Anda di halaman 1dari 25

BAGIAN PERIODONSIA Laporan Kasus

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI Juli 2019


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

PERIODONTITIS DENGAN MEDICALLY-


COMPROMISED (DIABETES MELITUS)

OLEH :

M Anugrah Pratama 162 2017 2044


Lulik Sry Handayani 162 2017 2037

Supervisor Pembimbing
Dr. drg. Lilies Anggarwati Astuti Sp. Perio

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PERIODONSIA
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

Dengan ini, saya yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa :

Nama : M Anugrah Pratama, Lulik Sry Handayani


Stambuk : 162 2017 2044, 162 2017 2037
Judul : Periodontitis Dengan Medically-Compromised
(Diabetes Melitus)

Telah menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik pada Bagian Periodonsia Fakultas


Kedokteran Gigi Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, Juli 2019

Supervisor Pembimbing

(Dr. drg. Lilies Anggarwati Astuti Sp. Perio)

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Penyakit periodontal merupakan penyakit infeksi yang menyerang gingiva

dan jaringan pendukung gigi lainnya, jika tidak dilakukan perawatan yang tepat

dapat mengakibatkan kehilangan gigi. Penyakit periodontal terdiri dari gingivitis

dan periodontitis. Periodontitis adalah inflamasi jaringan periodontal yang ditandai

dengan migrasi epitel jungsional ke apikal, kehilangan perlekatan dan puncak

tulang alveolar.1,2

Kegoyangan gigi merupakan salah satu gejala penyakit periodontal yang

ditandai dengan hilangnya perlekatan serta kerusakan tulang vertikal. Kegoyangan

dapat disebabkan adanya kerusakan tulang yang mendukung gigi, trauma dari

oklusi dan adanya perluasan peradangan dari gingiva ke jaringan pendukung yang

lebih dalam serta proses patologik rahang.3 Menurut Fedi dkk, kegoyangan gigi

diklasifikasikan menjadi tiga derajat. Derajat 1 yaitu kegoyangan sedikit lebih besar

dari normal. Derajat 2 yaitu kegoyangan sekitar 1 mm, dan derajat 3 yaitu

kegoyangan sekitar > 1 mm pada segala arah dan gigi dapat ditekan ke arah apikal.4

Kehilangan perlekatan dan bertambahnya kerusakan tulang serta

meningkatnya kegoyangan gigi dapat diperberat oleh trauma oklusi. Kegoyangan

gigi dapat diatasi dengan menghilangkan penyebab, terutama bakteri, pemberian

antibiotik, dengan cara pembedahan, menghilangkan faktor pengaruh terutama

3
oklusi traumatik, menyembuhkan, atau merangsang regenerasi dengan cara graft

atau guided tissue regeneration.5

Salah satu cara untuk mengontrol dan menstabilisasi kegoyangan gigi

adalah splinting. Splinting diindikasikan pada keadaan kegoyangan gigi derajat 3

dengan kerusakan tulang berat. Adapun indikasi utama penggunaan splint dalam

mengontrol kegoyangan yaitu imobilisasi kegoyangan yang menyebabkan

ketidaknyamanan pasien serta menstabilkan gigi pada tingkat kegoyangan yang

makin bertambah.6

1.2 TUJUAN

Adapun tujuan penyusunan laporan kasus ini adalah untuk memenuhi

tugas requirement pada bagian periodonsia, serta diharapkan dengan adanya

laporan kasus ini dapat menambah ilmu pengetahuan khususnya bagi penyusun

dan umumnya bagi pembaca.

4
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN

No. RM : 3122

Nama : Tn. H

Umur : 54 tahun

TTL : Jeneponto, 1964

Jenis kelamin : Laki-laki

Suku/Ras : Makassar

Pekerjaan : Buruh Harian

Alamat : Jl. Teluk Bayur

No. Hp :-

2.2 PEMERIKSAAN SUBJEKTIF

Keluhan utama :

Terdapat karang gigi

Riwayat penyakit sekarang :

Pasien datang dengan keluhan terdapat karang gigi pada bagian rahang atas dan

rahang bawah, pasien tidak mengeluhkan rasa sakit, pasien tidak pernah

membersihkan karang gigi sebelumnya, serta pasien ingin dilakukan

pembersihan karang gigi, pasien sering mengkonsumsi teh dan perokok serta

5
pasien mengeluhkan gigi goyang pada bagian bawah depan dan atas belakang

kiri dan kanan.

Riwayat penyakit dahulu :


Tidak ada

Riwayat penyakit Keluarga :


Tidak ada

Keadaan umum :

TD : 120/90 mm/Hg

N : 72 x/menit

P : 22 x/menit

S : 36,5oC

Kelainan sistemik :

Alergi : Tidak ada

Jantung : ada

Tekanan Darah Tinggi : Tidak ada

Kelainan Darah : Tidak ada

Hepatitis A/B/C : Tidak ada

Diabetes Melitus : ada

HIV/AIDS : Tidak ada

Penyakit Paru-paru : Tidak ada

Kelainan Pencernaan : Tidak ada

Penyakit Ginjal : Tidak ada

6
Epilepsi : Tidak ada

Dll : Tidak ada

2.3 PEMERIKSAAN OBJEKTIF

Pemeriksaan intraoral :

Debris : Ada ( RA dan RB)

Stain : ada

Kalkulus : Ada ( RA dan RB)

Perdarahan papilla interdental : ada

Mukosapipi/bibir : Tidak ada kelainan

Palatum : Tidak ada kelainan

Lidah : Tidak ada kelainan

Dasar mulut : Tidak ada kelainan

Hubungan rahang : Ortognati

Poket :-

Hiperplasi :-

Resesi : 11, 12, 13, 14, 15 16, 17, 21, 24, 25, 26,

31, 32, 33, 36, 41, 42, 43, 46, 47

Perdarahan :-

Keradangan : RA = 14, 15, 16, 17, 24, 25,

RB = 31, 32, 33, 34, 35, 36, 41, 42, 43, 44,

45, 46, 47

Kegoyangan : 14, 15, 16, 25, 31= mobile derajat 4

24, 36, 46 = mobile derajat 3

7
11, 12, 21, 25, 41= mobile derajat 2

Migrasi dan malposisi :-

Pemeriksaan ekstraoral :

Wajah/leher : tidak ada

Bibir dan sudut bibir : tidak ada

Kelenjar Getah bening submandibula :

Kiri : Teraba, lunak, tidak sakit

Kanan : Teraba, lunak, tidak sakit

Pemeriksaan CPITN

Tabel CPITN

17-14 13-23 24-27

III III III

III III III

47-44 43-33 34-37

8
Pemeriksaan penunjang

Foto Rontgen : Foto Panoramik

2.4 DIAGNOSA

Periodontitis

2.5 PERAWATAN

Perawatan Pertama :

- Pada kunjungan ke-1 dilakukan pemeriksaan Oral Hygine Indeks, Tampak

kalkulus yang berada pada bagian 2/3 tengah gigi. Gingiva membesar

berwarna merah yang melibatkan daerah margin gingiva dan mudah

berdarah.

9
- Scalling :

Merupakan proses pengambilan plak dan kalkulus baik supragingiva

maupun subgingiva dari permukaan gigi.

- DHE diberikan kepada pasien berupa cara menyikat gigi yang baik dan

benar, serta rajin melakukan kontrol ataupun pembersihan karang gigi di

dokter gigi.

Perawatan Kedua :

- Pada kunjungan ke-2 dilakukan perawatan splinting intrakorona

- Splinting intrakorona:

Splin intrakoronal merupakan salah satu contoh splinting sementara.

Splinting intrakoronal juga dapat digunakan sebagai splinting

semipermanen. Splinting intrakoronal dapat digunakan pada gigi posterior

maupun gigi anterior.

Kunjungan Awal :
 Sebelum scalling

10
 Setelah scalling

11
Kunjungan pertama (Dilakukan Splinting intrakoronal) :
 splinting intrakoronal pada gigi 11,12,13,21,22,23
Prosedur :
1. lakukan preparasi minimal di daerah puncak terbesar gigi sebagai retensi
bahan restorasi komposit
2. isolasi daerah gigi
3. lakukan etsa asam, kemudian di bilas hingga kering
4. lakukan bonding agent kemudian di lanjutkan dengan light curing
5. pasang wire di daerah yang sudah di preparasi kemudian di lanjutkan
dengan restorasi komposit.

12
Kunjungan Kedua (Kontrol) :
- Tidak terjadi penurunan kegoyangan gigi

2.6 PROGNOSIS
Sedang

13
BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Periodontitis

3.1.1 Definisi

Periodontitis merupakan penyakit peradangan pada jaringan

periodontal yang disebabkan terutama oleh bakteri spesifik pada

subgingiva, yang dapat menimbulkan respon inflamasi gingiva, dan

berlanjut ke struktur jaringan penyangga gigi yaitu sementum, ligamentum

periodontal dan tulang alveolar. Keadaan ini mengakibatkan hilangannya

perlekatan gingiva dan terjadinya kerusakan tulang alveolar lebih dalam,

pembentukan poket periodontal, migrasi patologism yang menimbulkan

diastema, dan kegoyangan gigi yang dapat berakibat tanggalnya gigi.4

3.1.2 Etiologi

Penyakit periodontal secara umum disebabkan oleh bakteri plak yang

terdapat pada permukaan gigi, dimana plak merupakan deposit lunak berupa

lapisan tipis biofilm yang berisi kumpulan mikroorganisme patogen seperti

14
Porphyromonas gingivalis, Actinobacillus actinomycetemcomitans,

Prevotela intermedia,Tannerella forsythia serta Fusobacterium nucleatum.

Kemampuan bakteri dalam mendegradasi jaringan dengan cara

menghasilkan beberapa produk bakteri seperti kolagenase, protease,

hialuronidase, kondroitin sulfatese serta lipopolisakarida dan asam

lipotheikholik. Produk lain seperti indol, amonia, hydrogen sulfide juga

berperan terhadap kerusakan jaringan.7

Adapun kondisi yang dapat berperan terhadap prevalensi dan

keparahan periodontitis selain peranan bakteri adalah adanya penyakit

sistemik seperti diabetes melitus (DM). Beberapa peneliti menyatakan

bahwa terdapat hubungan yang saling berkaitan antara penyakit sistemik

dan periodontitis walaupun terkadang tidak dapat dijelaskan secara nyata.7

Adapun kondisi yang dapat berperan terhadap prevalensi dan

keparahan periodontitis selain peranan bakteri adalah adanya penyakit

sistemik seperti diabetes melitus (DM). Beberapa peneliti menyatakan

bahwa terdapat hubungan yang saling berkaitan antara penyakit sistemik

dan periodontitis walaupun terkadang tidak dapat dijelaskan secara nyata.8

DM adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya gangguan

metabolik berupa hiperglikemia akibat defisiensi dan kegagalan pankreas

dalam memproduksi insulin didalam tubuh.5 Hiperglikemi mengakibatkan

terjadinya kerusakan mikrovaskular seperti retinophaty, nephrophaty serta

neurophaty jaringan. Kecenderungan peningkatan kadar glukosa darah pada

penderita DM juga berpengaruh terhadap kaparahan penyakit periodontal.

15
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa DM meningkatkan faktor resiko

dan keparahan penyakit periodontal.8

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Bridge dkk menunjukkan

bahwa keparahan periodontitis pada penderita DM lebih besar dibandingkan

penderita non DM terutama dengan kontrol glikemik yang buruk, hal ini

tampak pada peningkatan kedalaman probing, indeks plak, indeks gingiva,

kerusakan attachment serta kehilangan gigi. Keadaan DM juga

menyebabkan terjadinya penurunan fungsi polimorfonuklear (PMNs) yang

dapat meningkatkan derajat keparahan destruksi jaringan periodontal.

Selain itu kondisi DM dapat menunjukkan gejala dan manifestasi didalam

rongga mulut diantaranya adalah peradangan jaringan periodontal atau

periodontitis.8

3.2. Splinting

3.2.1. Definisi

Splinting periodontal adalah alat yang digunakan untuk mengimobilisasi

atau menstabilkan gigi-gigi yang mengalami kegoyangan dan memberi

hubungan yang baik antara tekanan oklusal dengan jaringan periodontal,

dengan cara membagi tekanan oklusal ke seluruh gigi secara merata sehingga

dapat mencegah kerusakan lebih lanjut akibat kegoyangan tersebut. Splinting

periodontal digunakan jika kapasitas adaptasi periodonsium telah terlampaui

dan derajat kegoyangan gigi tidak kompatibel dengan fungsi pengunyahan.9

Splinting biasanya dilakukan pada fase terapi inisial, dimana terapi

inisial bertujuan untuk membuang semua faktor lokal yang menyebabkan

16
peradangan gingival serta pemberian instruksi dan motivasi pasien dalam

melakukan kontrol plak. Terapi inisial juga disebut sebagai fase etiotropik

karena bertujuan untuk menghilangkan faktor etiologi penyakit periodontal.

Terapi inisial mencakup kontrol plak yang meliputi motivasi, edukasi dan

instruksi dari pasien, skeling dan penghalusan akar, rekonturing restorasi,

pembuangan karies, pemberian antimikroba serta evaluasi jaringan.

Pencapaian perawatan melalui bedah periodontal dapat dilakukan bilamana

terapi inisial berhasil dengan baik. Splinting biasanya dilakukan pada fase

inisial, sebelum fase bedah, baik berupa splinting sementara maupun splinting

permanen. Beberapa penelitian menunjukkan splinting dapat meningkatkan

resistensi jaringan terhadap kerusakan periodontal lebih lanjut dan

mempercepat respon penyembuhan.10

Untuk menjelaskan apakah terdapat beberapa indikasi untuk splinting,

seseorang harus mempertimbangkan penyebab mobilitas gigi:10

 Kehilangan struktur pendukung secara kuantitatif akibat periodontitis

 Perubahan struktur pendukung secara kualitatif akibat trauma from

occlusion

 Trauma jangka pendek pada periodonsium akibat perawatan

periodontitis.

 Kombinasi penjelasan di atas.

3.2.2. Indikasi

Salah satu cara untuk mengontrol dan menstabilisasi kegoyangan gigi

adalah splinting. Splinting diindikasikan pada keadaan kegoyangan gigi

17
derajat 3 dengan kerusakan tulang berat. Adapun indikasi utama penggunaan

splint dalam mengontrol kegoyangan yaitu imobilisasi kegoyangan yang

menyebabkan ketidaknyamanan pasien serta menstabilkan gigi pada tingkat

kegoyangan yang makin bertambah. Ditambahkan oleh Strassler dan Brown

splinting juga digunakan untuk mengurangi gangguan oklusal dan fungsi

mastikasi.6

3.2.3. Klasifikasi

 Splinting Sementara

Ligatur kawat sederhana (Gbr. 1) dapat berfungsi sebagai splint


cekat selama beberapa hari hingga beberapa minggu. Ligatur kawat sudah
jarang digunakan sekarang ini, terutama karena pertimbangan estetik.
Splint cekat sementara yang paling umum digunakan, yaitu splint resin
komposit etsa-asam tanpa preparasi gigi (Gbr. 2). Beberapa splint dapat
diaplikasikan dengan cepat dan mudah disertai penggunaan rubber dam
dalam rongga mulut; namun, splinting ini merupakan pengukuran
sementara karena adhesi resin terhadap struktur gigi tidak terlalu kuat
tanpa tambahan retensi mekanis yang diberikan oleh preparasi kavitas,
groove, dll. Fraktur splint umum terjadi jika lebih dari 3-4 gigi yang
terlibat dalam satu unit splinting.9

18
Gambar 1. Splint kawat. Kawat besi lunak (diameter 0.04 mm) dililitkan mengelilingi
permukaan fasial dan oral gigi yang akan di-splinting, kemudian ligatur dikencangkan
dengan memuntir ujung kawat.

Gambar 2. Splint resin komposit, tanpa preparasi gigi. Setelah gigi dibersihkan secara
menyeluruh, permukaan interproksimal diaplikasikan etsa-asam dan resin. Daerah apikal
ruang interdental harus dibiarkan terbuka untuk memelihara kebersihan yang baik.

Splint sementara lepasan dapat terbuat dari akrilik bening yang ditarik

di dalam vakum pada model studi (Gbr. 3). Splint ini kadang diindikasikan

untuk stabilisasi sementara gigi individu untuk jangka waktu yang singkat.

Jenis splint ini sebelumnya digunakan sebagai “bite guard” pada perawatan

parafungsi rongga mulut, namun dengan keberhasilan yang sangat sedikit.

19
Gambar 3. Vacuum formed removable acrylic splint. Splint ini dapat digunakan untuk retensi
atau stabilisasi gigi jangka pendek. Tepi splint harus melebihi tinggi kontur tiap
gigi (tanda panah pada skema) baik pada permukaan labial dan lingual, untunk
memberikan retensi yang aman.

 Splinting Semipermanen

1. Peningkatan mobilitas gigi sebagai akibat penurunan periodonsium

dapat diterima selama oklusi tetap stabil dan kenyamanan

pengunyahan tidak terganggu.

2. Relasi yang tidak menguntungkan antara mahkota klinis dan panjang

gigi secara keseluruhan dapat menyebabkan tekanan yang

berpengaruh pada puncak alveolar dan pada apeks selama fungsi:

sehingga disebut trauma oklusal sekunder

3. Pada kasus splinting gigi ini dalam menurunkan ruang ligamentum

periodontal, karena tekanan yang menganggu tersebar pada beberapa

gigi.

Indikasi untuk splinting semipermanen:

20
1. Penurunan gigi-jaringan pendukung yang signifikan.

2. Mobilitas gigi yang progresif.

3. Risiko kehilangan gigi selama fungsi atau perawatan.

Prosedur:

1. Splinting menggunakan komposit setelah pengetsaan daerah email

yang cukup besar pada gigi yang akan di-splinting dan gigi tetangga.

Splint dapat diperkuat menggunakan serat karbon atau dilindungi

dengan kerangka logam atau kerangka akrilik.

2. Pembentukan unit kecil yang mengalami mobilitas sangat

menguntungkan; jika lebih dari tiga gigi yang disatukan, risiko fraktur

(pada gigi yang kokoh) dianggap dapat mengalami peningkatan.

3. Oklusi harus diperiksa dengan teliti; terutama pada gigi anterior

maksila dapat menimbulkan keadaan yang tidak dapat diterima secara

estetik.

4. Kebersihan periodontal tidak boleh terganggu; pembersihan embrasur

dengan menggunakan sikat interdental atau dental floss (Superfloss)

di rumah harus memungkinkan.

Splint semipermanen cekat yang sangat sering digunakan pada

daerah anterior adalah splint resin komposit etsa-asam yang diaplikasikan

setelah preparasi gigi. splint ini dapat berfungsi selama beberapa bulan atau

bahkan tahun. Kadang sangat memungkinkan untuk melepas restorasi

anterior yang lama dan menggunakan preparasi kavitas pada splint. Teknik

21
aplikasi ini serupa dengan penempatan restorasi resin komposit menggunakan

etsa-asam sebelum perawatan. Pada daerah anterior mandibula, splint resin

intrakoronal yang menyatu dengan serat poliester telah terbukti sangat

berguna (Grau & Lutz 1982). Resin polimerisasi-ringan umumnya digunakan

untuk jenis splint ini karena waktu kerja yang panjang.

Gambar 4. Splint resin komposit dengan preparasi gigi.

Gambar 5. Splinting intrakoronal – Preparasi groove.

22
BAB IV

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Penyakit periodontal merupakan penyakit peradangan pada jaringan sekitar

gigi yang berawal dari inflamasi gingiva dan berlanjut ke struktur jaringan

penyangga gigi lainnya yaitu sementum, ligamentum periodontal dan tulang

alveolar. Kegoyangan gigi merupakan salah satu gejala penyakit periodontal

yang ditandai dengan hilangnya perlekatan serta kerusakan tulang vertikal.

Kegoyangan dapat disebabkan adanya kerusakan tulang yang mendukung gigi,

trauma dari oklusi dan adanya perluasan peradangan dari gingiva ke jaringan

pendukung yang lebih dalam serta proses patologik rahang. Salah satu cara

untuk mengontrol dan menstabilisasi kegoyangan gigi adalah splinting.

Splinting diindikasikan pada keadaan kegoyangan gigi derajat 3 dengan

kerusakan tulang berat. Adapun indikasi utama penggunaan splint dalam

mengontrol kegoyangan yaitu imobilisasi kegoyangan yang menyebabkan

ketidaknyamanan pasien serta menstabilkan gigi pada tingkat kegoyangan

yang makin bertambah.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Benyamin, Benni, Syarifah Nur Laili Siyam, Arlina Nurhapsari. 2015.

Pengaruh Stimulasi Permainan Ular Tangga Tentang Gingivitis Terhadap

Pengetahuan Anak Usia 8-11 Tahun Studi terhadap Siswa SD Negeri

Kuningan 04, Kecamatan Semarang Utara. ODONTO Dental Journal.

Volume 2. No.1. Juli 2015

2. Fedi, Peter F., Arthur R. Vernino, John L. Gray. 2004. Silabus Periodonti.

Jakarta: EGC. Hal.30

3. Strassler HE., Brown C. 2001. Periodontal splinting with a thinhigh

modulus polyethylene ribbon. Compend Contin Educ Den; 22: 610-20.

4. Suwandi Trijani. 2010 The Initial Treatment of Mobile Teeth Closure

Diastema in Chronic Adult Periodontitis. PDGI Jour;59:105-109.

5. Djais, Arni Irawaty. 2011. Berbagai jenis splint untuk mengurangi

kegoyangan gigi sebagai perawatan penunjang pasien penyakit

periodontal. Bagian Periodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas

Hasanuddin Makassar, Indonesia. Dentofasial, Vol.10, No.2, Juni:124-

127126

6. Suwandi, Trijani. 2010. Perawatan awal penutupan diastema gigi goyang

pada penderita periodontitis kronis dewasa. Jurnal PDGI. Vol. 59, No. 3,

September-Desember, Hal. 105-109 | ISSN 0024-954

7. Ermawati, Tantin. 2012. Periodontitis Dan Diabetes Melitus. Bagian

Periodonsia, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember. Stomatognatic

(J. K. G Unej) Vol. 9 No. 3: 152 – 154

24
8. Ermawati, Tantin. 2012. Periodontitis Dan Diabetes Melitus. Bagian

Periodonsia, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember. Stomatognatic

(J. K. G Unej) Vol. 9 No. 3: 152 – 154

9. Astuti, Lilies Anggarwati. 2015. Alternatif Splinting Pada Kegoyangan

Gigi Akibat Penyakit Periodontal. As-Syifaa Vol 07 (02) : Hal. 209-218,

Desember

10. Octavia, Mora, dkk. 2014. Adjunctive Intracoronal Splint in Periodontal

Treatment: Report of Two Cases. Journal of Dentistry Indonesia, Vol. 21,

No. 3, 94-99

25

Anda mungkin juga menyukai