SEMESTER III
TAHUN AKADEMIK 2018/2019
IKGT 2
TEMA : ANTIBAKTERI
“ABSES PERIODONTAL”
DISUSUN OLEH :
Abses gigi (dentoalveolar) adalah topik ilmu kedokteran yang kurang dibicarakan hingga akhir
1900-an. Abses gigi adalah denominasi yang digunakan untuk menggambarkan koleksi lokal nanah di
tulang alveolar di apeks akar gigi. Biasanya terjadi sekunder untuk karies gigi, trauma, tambalan yang
dalam atau pengobatan saluran akar yang gagal. Setelah ruang pulpa utuh dilanggar, kolonisasi saluran
akar terjadi dengan campuran beragam agen bakteriologis. Mikroorganisme ini mampu membentuk biofilm
di saluran akar, sehingga membuat penerapan "konsep biofilm" yang masuk akal dalam infeksi tersebut.
Setelah memasuki jaringan periapikal melalui foramen apikal, bakteri ini mampu menginduksi peradangan
akut yang menyebabkan pembentukan nanah (Shweta & S, 2013). Salah satu jenis abses gigi adalah
Abses Periodontal.
Abses periodontal adalah infeksi lokal bakteri yang terjadi di dalam jaringan periodontium. Abses
ini terbentuk karena mikroorganisme piogenik endogen, atau karena faktor toksik yang terkandung pada
plak dan atau menurunnya resistensi host akibat faktor lokal atau sistemik. Persentase abses ini berkisar
6%-14% merupakan kondisi kedaruratan ketiga setelah infeksi pulpa gigi (14-25%) dan perikoronitis (10-
11%). Prevalensi tertinggi terjadi pada gigi molar yaitu 50%. Hal ini dikarenakan bentuk poket periodontal
yang melibatkan furkasi, morfologi dan kompleksitas anatomi gigi molar. Abses dapat juga terjadi setelah
dilakukannya operasi periodontal tertentu. Lokasi abses belum tentu sama dengan lokasi permukaan poket
yang ada, poket pada bagian bukal atau lingual dapat membentuk abses pada bagian interproksimal dan
sebaliknya.
Tanda-tanda dan gejala abses periodontal akut adalah nyeri, pembengkakan, dan eritema
biasanya terlokalisasi pada gigi yang terkena, meskipun supurasi sering dapat menyebar ke jaringan di
dekatnya yang menyebabkan komplikasi fatal. Demam, pembengkakan ekstraoral dan intraoral, eritema,
nyeri pada palpasi adalah hal yang penting. Trismus di samping setiap perubahan dalam suara seperti
suara serak dan meneteskan air liur harus mendorong dokter gigi ke situasi darurat.
Perawatan abses periodontal tergantung pada tahap absesnya, berapa banyak kehilangan
perlekatan yang sudah terjadi, mobilitas gigi, keterlibatan furkasi dan apakah terdapat patologi pulpa.
Tujuan awal dari perawatan adalah meredakan rasa sakit dan mengontrol infeksi, salah satunya adalah
dengan terapi farmakologik dengan mengandalkan obat antibakteri. Bila tujuan ini sudah diperoleh, lesi
yang tertinggal harus dirawat, bila tidak akan terjadi rekurensi abses. Diagnosis dini dan perawatan yang
tepat sangat menentukan untuk keberhasilan perawatan abses periodontal (Djais, 2014).
Gambar lokasi Abses Periodontal
ETIOLOGI
PATOGENESIS
Masuknya bakteri kedalam dinding saku jaringan lunak merupakan awal terjadinya abses
periodontal. Sel-sel inflamatori kemudian ditarik oleh faktor kemotaksis yang dilepaskan oleh bakteri dan
bersama dengan reaksi inflamatori akan menyebabkan destruksi jaringan ikat, enkapsulasi dari infeksi
bakteri dan memproduksi pus. Secara histologis, akan ditemukan neutrofil-neutrofil yang utuh mengelilingi
bagian tengah debris jaringan lunak dan destruksi leukosit. Pada tahap berikutnya, membran piogenik yang
terdiri dari makrofag dan neutrofil telah terbentuk. Laju destruksi abses tergantung pada pertumbuhan
bakteri di dalamnya, virulensinya dan pH lokal. Adanya pH asam akan memberi keuntungan terhadap
enzim lisosom.
Infeksi purulen oral adalah polimikroba, dan disebabkan oleh bakteri endogen. Sekitar 60% di
jumpai bakteri anaerob. Bakteri ini tidak terlihat spesifik, tetapi diketahui patogen terhadap periodontal
seperti Porphyromonas gingivalis, Provotella intermedia dan Fusobakterium nucleatum merupakan spesis
bakteri paling banyak. Selain ketiga bakteri diatas dijumpai juga Porphyromonas melaninogenica,
Bacteriodes forsythus, Peptostreptococus micros dan Campylobacter rectus. Menurut hasil penelitian
terhadap sejumlah subjek dilaporkan bahwa pada subingival abses periodontal dijumpai Fusobacterium
spp. (75%), P. intermedia/nigrescens (60%), P. gingivalis (51%) dan A. actinomycetemcomitans (30%).
Pada umunya, mikrobiota pada subgingiva abses periodontal ini terutama terdiri dari mikroorganisme yang
berkaitan dengan penyakit periodontal. Bakteri penginfeksi batang gram negatif adalah keenam kelompok
organisme paling banyak (13 kasus, 21.7%) yaitu Enterobacter aerogenes (3,3%), Pseudomonas spp.
(3,3%), Klebsiella pneumoniae (1,7%), Acinetobacter lwofii (1,7%), A. baumanii (1,7%), E.agglomerans
(1,7%), dan dikenal non fermenter batang gram negatif (8,3%) (Shweta & S, 2013).
PREDISPOSISI
Abses periodontal dapat berasal dari periodontitis kronis yang terjadi karena berbagai faktor predisposisi.
Berbagai faktor predisposisi yang akan mempermudah terbentuknya abses periodontal yaitu :
1. Perubahan komposisi dari mikroflora.
2. Virulensi bakteri atau pada respon jaringan dapat membuat tidak efisiensinya pembuangan pus dari
lumen.
3. Bentuk poket yang kompleks yang berhubungan dengan furkasi gigi molar akan memudahkan
terbentuknya abses.
4. Perawatan scalling yang tidak sempurna.
5. Impaksi benda asing.
6. Infeksi kista lateral.
7. Trauma terhadap gigi yang mengakibatkan gigi patah pada bagian akarnya.
8. Terjadi perforasi lateral pada gigi yang sedang dirawat endodontik.
9. Pemberian antibiotik secara sistemik tanpa dilanjutkan dengan scalling subgingiva pada pasien dengan
periodontitis parah akan mengakibatkan perubahan pada komposisi mikrobiota subgingiva yang dapat
menghasilkan infeksi yang lebih parah.
RENCANA PERAWATAN
Penatalaksanaan bedah untuk kasus abses pada prinsipnya adalah insisi dan drainase. Insisi
merupakan pembuatan jalan keluar pus dengan menggunakan pisau bedah atau scalpel. Drainase
merupakan tindakan mengeluarkan pus dari rongga abses dengan menggunakan hemostat / arteri clamp.
Insisi dan drainase merupakan tindakan membuang materi purulen yang toksik / pus sehingga mengurangi
tekanan pada jaringan dan meningkatkan kadar oksigen di daerah infeksi. Tujuan tindakan insisi dan
drainase yaitu mencegah terjadinya perluasan abses / infeksi ke jaringan lain , mengurangi rasa sakit ,
menurunkan jumlah mikroba beserta toksinnya, memperbaiki vaskularisasi jaringan sehingga tubuh lebih
mampu menanggulangi infeksi. Mencegah terjadinya jaringan parut akibat drainase spontan dari abses
merupakan tujuan lain dari insisi dan drainase.
Kemudian penderita abses dapat diberikan obat karena merupakan obat tambahan yang penting
dalam perawatan. Dalam pemilihan obat perlu mempertimbangkan biaya, spektrum cakupan, toksisitas,
dan efek samping. Secara umum, antibiotik diindikasikan jika infeksi bakteri berkembang dengan cepat,
keterlibatan difus dan sistemik, dan kekebalan imun yang. Selain itu juga diharapkan abses tidak meluas
dan dapat sembuh. Pada penderita abses biasanya diberikan dua macam obat, yakni analgesik dan
antibiotik.
Untuk mengurangi rasa sakit pada penderita abses diberikan analgesik. Sedangkan antibiotik
bertujuan untuk menghilangkan/membunuh bakteri penyebab terjadinya abses. Abses periodontal
disebabkan oleh infeksi yang melibatkan banyak bakteri meliputi berbagai bakteri fakultatif anaerob seperti
Streptococcus viridans dan Streptococcus anginosus, serta bakteri obligat anaerob seperti spesies
Prevotella dan Fusobacterium. Secara umum, organisme yang ditemukan pada abses alveolar, abses
periodontal dan pulpa nekrotik adalah bakteri Gram positif aerob dan bakteri anaerob. Penisilin merupakan
antibiotik yang sensitif terhadap golongan kuman tersebut. Penisilin dan cephalosporin digunakan sebagai
obat pilihan pertama untuk semua peradangan yang mikrobanya peka dan selama tidak ada alergi
terhadap penisilin karena toksisitasnya yang hampir tidak ada dan kerjanya bersifat bakterisidal. Antibiotik
lain yang sering digunakan untuk mengobati abses odontogenik akut apabila pasien memiliki alergi atau
resistensi terhadap penisillin diantaranya amoksisilin, metronidazol, klindamisin dan eritromisin. Akibat
tingginya angka resistensi terhadap antibiotik, penggunaan kombinasi Amoksisilin-klavulanat lebih disukai
karena spektrum kerja yang luas dan memiliki profil farmakokinetik yang baik (Krismariono, 2009).
Penisilin
Penisilin banyak dipakai, baik untuk penyakit infeksi dalam rongga mulut maupun penyakit infeksi
pada bagian tubuh yang lain. Penisilin bersifat bakterisid dengan aktifitas kerja merusak dinding sel bakteri.
Penisilin dikenal sebagai first line antibiotic karena penisilin mempunyai kemampuan melawan sebagaian
besar bakteri penyebab infeksi. Banyak bakteri yang peka terhadap penisilin, kecuali bakteri yang
memproduksi enzim β-laktamase, karena cincin β-laktam yang terdapat pada struktur kimia penisilin
dirusak oleh enzim tersebut sehingga penisilin menjadi tidak aktif. Penisilin termasuk antibiotika
berspektrum luas. Penisilin efektif terhadap bakteri penyebab periodontitis, yaitu golongan porphyromonas,
fusobacterium maupun prevotella. Derivat penisilin yang banyak digunakan dalam perawatan penyakit
periodontal adalah amoksisilin. Amoksisilin merupakan antibiotika semi sintetik. Spektrum antibiotikanya
lebih luas dibanding penisilin, efektif terhadap bakteri gram positif dan negatif. Amoksisilin bermanfaat
sebagai antibiotika penunjang pada kasus refractory maupun juvenile periodontitis. Dosis yang disarankan
adalah 500mg 3x1 sehari selama 7 hari.
Metronidazole
Metronidazole adalah antibiotika sintetik yang berasal dari imidazole. Secara sistemik,
metronidazole dapat berpenetrasi dengan baik ke jaringan. Konsentrasinya ditemukan cukup tinggi pada
GCF dan serum. Pada mulanya metronidazole di bidang kedokteran gigi digunakan sebagai antibiotika
pada perawatan ANUG (Acute Necrotizing Ulcerative Gingivitis), kemudian berkembang mengarah
penggunaannya pada perawatan kasus-kasus periodontal yang destruktif. Metronidazole efektif terhadap
bakteri anaerob, antara lain: bacteroides, porphyromonas gingivalis, prevotella intermedia dan
fusobacterium nucleatum. Untuk bakteri actinobacillus actinomycetemcomitans dan eikenella corodens,
metronidazole kurang efektif. Metronidazole banyak digunakan dalam perawatan penyakit periodontal
terutama yang didominasi oleh bakteri anaerob gram negatif bentuk batang. Bakteri tersebut adalah
bacteroides spp dan fusobacterium spp yang banyak ditemukan pada adult periodontitis. Kombinasi
metronidazole dan amoksisilin (Augmentin) efektif membunuh bakteri actinobacillus
actinomycetemcomitans, sehingga banyak peneliti melaporkan metronidazole efektif digunakan dalam
perawatan adult periodontitis dan juvenile periodontitis. Efek samping metronidazole yang diberikan secara
sistemik antara lain: gangguan pada saluran cerna, pusing, urtikaria, mulut terasa kering dan kandidiasis.
Tetrasiklin
Tetrasiklin populer pada tahun 1970an sebagai antibiotika spektrum luas dengan toksisitas
rendah.Tetrasiklin menghambat multiplikasi sel dengan cara menghambat sintesa protein tetapi tidak
membunuhnya, oleh karena itu tetrasiklin disebut sebagai antibiotika bakteriostatik. Tetrasiklin merupakan
antibiotika yang telah lama digunakan, generasi baru dari golongan ini antara lain adalah minosiklin,
doksisiklin dan demeklosiklin. Tetrasiklin mampu menghambat kerja enzim kolagenase yang dihasilkan
oleh bakteri, oleh karena itu tetrasiklin disebut sebagai antibiotika yang bersifat anti kolagenolitik. Sifat ini
menguntungkan jaringan periodontal karena menghambat kerusakan yang terjadi pada penyakit
periodontal. Tetrasiklin efektif terhadap bakteri actinobacillus actinomycetemcomitans yang banyak
ditemukan pada kasus juvenile periodontitis. Tetrasiklin tidak efektif terhadap subspesies bakteri
capnocytophaga dan eikenella corrodens, walaupun kedua macam bakteri tersebut banyak pula ditemukan
dalam poket periodontal.
Scaling dan root planing saja tidak cukup untuk menghilangkan bakteri actinobacillus
actinomycetemcomitans pada kasus localized juvenile periodontitis. Untuk itu perlu pemberian tetrasiklin
sistemik yang diberikan per oral dengan dosis 250mg 4x sehari selama 2-3 minggu. Gordon and Walker
(1993) menyatakan bahwa pemberian tetrasiklin dalam jangka waktu yang lama diperlukan untuk menekan
pertumbuhan bakteri dalam poket.
Namun, tetrasiklin yang diberikan secara sistemik dapat terikat pada permukaan akar dan
dilepaskan sedikit demi sedikit dalam bentuk aktif selama jangka waktu tertentu. Efek samping yang
ditimbulkan dengan pemberian tetrasiklin secara sistemik adalah staining pada gigi dan hipoplasi enamel.
Klindamisin
Klindamisin merupakan derivat linkomisin, termasuk antibiotika bakteriostatik dengan aktifitas kerja
menghambat sintesa protein bakteri. Klindamisin mempunyai aktifitas penetrasi yang baik ke jaringan lunak
dan keras. Klindamisin efektif terhadap bakteri stric anaerob yang memproduksi enzim β-laktamase, antara
lain pigmented dan non-pigmented prevotella. Menurut Goodman and Gillman’s klindamisin berpotensi
meningkatkan daya tahan tubuh serta menghambat transmisi neuromuskuler, sehingga dapat membantu
mengurangi rasa sakit. Efek samping klindamisin antara lain: mual, pusing, diare, serta yang perlu
diwaspadai adalah timbulnya colitis pseudomembran. Pada umumnya klindamisin secara sistemik
digunakan pada perawatan penyakit periodontal khususnya refractory adult periodontitis. Klindamisin
digunakan pada perawatan penyakit periodontal yang bersifat kambuhan, terutama bila perawatan secara
mekanis maupun perawatan dengan antibiotika yang lain (penisilin dan tetrasiklin) tidak ampuh.
PERESEPAN OBAT
KESIMPULAN
Abses periodontal merupakan infeksi lokal bakteri yang terjadi didalam jaringan periodontium.
Abses periodontal dapat terjadi pada tahap apapun pada pasien dengan periodontitis.
Penatalaksanaan pasien dengan abses periodontal dimulai dengan pemeriksaan awal, sehingga dapat
dibedakan apakah terjadi abses periodontal akut dan abses periodontal kronis. Pada kondisi kronis
dilakukan perawatan awal dan dilanjutkan dengan drainase dan menghilangkan faktor etiologi,
setelah itu dievaluasi kembali dan dilanjutkan dengan perawatan definitif. Pada kondisi akut
keadaan umum pasien harus diperiksa.
DAFTAR PUSTAKA
Djais, A. I. (2014, Agustus). Perawatan pasien dengan abses periodontal. Makassar Dental Journal, 3(4),
1-4.
Dapat diakses di : http://jurnal.pdgimakassar.org/index.php/MDJ/article/view/189/185
Diakses pada tanggal 19 November 2018.
Shweta, & S, K. P. (2013, Sept-Oct). Dental Abscess: A Microbiological Review. Dental Research Journal,
10(5), 585-591.
Dapat diakses di : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3858730/