Anda di halaman 1dari 5

Etiologi dan Patofisiologi penyakit periodontal

1. Etiologi
Penyakit periodontal merupakan penyakit yang mengenai jaringan periodontal seperti
gingiva, sementum, ligamen periodontal, serta tulang alveolar. Epidemiologi penyakit
periodontal menunjukkan bahwa prevalensi dan keparahan penyakit periodontal
dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, faktor lokal rongga mulut dan faktor sistemik.
Banyak penelitian yang menyatakan bahwa keparahan penyakit periodontal sejalan
dengan bertambahnya umur (Damanik dan Josevina, 2011).
Penyakit periodontal dibedakan menjadi gingivitis dan periodontitis. Penyebab
penyakit periodontal multifaktorial, biasanya penyebab penyakit periodontal dibedakan
menjadi faktor lokal dan sistemik.
1. Faktor lokal
Faktor lokal terjadinya penyakit periodontal dibedakan menjadi dua yaitu:
a. Plak
Plak merupakan suatu deposit lunak yang terdiri atas kumpulan bakteri yang
berkembangbiak di dalam lapian suatu matrik intraseluler, lapisan terbentuk dan
melekat erat pada permukaan gigi. Ada dua faktor yang memepengaruhi plak
yaitu:
- Faktor insial: bakteri plak merupakan penyebab utama terjadi penyakit
periodontis, bakteri plak bila berkumpul dalam subgingiva menyebabkan
inflamasi gingiva.
Bakteri penyebab periodontitis antara lain:
1) Phorphyomonas gingivalis sering menyebabkan periodontitis pada orang
dewasa.
2) Prevotella intermedius sering menyebabkan gingivitis pada orang hamil.
3) Haemophilus, Actinomycetemcomitans dan strain Capnocytophaga sering
ditemukan pada periodontitis juvenile.
- Faktor predesposisi misalnya restorasi gigi yang tidak sesuai, kesalahan alat
rehabilitasi atau prostodonsi gigi dan kesalahan pada perawatan ortodonsi
(Suryono, 2014)
b. Non plak
Dapat muncul karena fungsional misalnya, buxism, cleanching dan tapping,
dimana gerakan oklusal akan merusak ligamen periodontal dan tulang alveolar,
bisa diakibatkan juga karena adanya traumatik oklusi karena restorasi yang salah
atau cara menggosok gigi yang salah. Selain itu juga faktor iatrogenik seperti
pemakaian gigi tiruan lepasan atau piranti ortodonsi juga dapat menyebabkan
penyakit periodontal (Peter, 2004).
2. Faktor sistemik
Faktor sistemik merupakan suatu kondisi tubuh yang dapat mempengaruhi
jaringan periodontal. Faktor sistemik sebagai penyebab penyakit didahului oleh
adanya faktor adanya faktor lokal. Faktor sistemik menyebabkan rendahnya resistensi
jaringan periodontal sehingga mudah terpengaruh efek dari faktor lokal. Sistem
pertahanan tubuh yang rendah berakibat rentan terjadi infeksi oleh kuman sub
gingival, yang berakibat munculnya gangguan fungsi dan struktur dari komponen
jaringan periodontal. Faktor sistemik yang mempegaruhi jaringan periodontal
meliputi :
a. Ketidakseimbangan endokrin
b. Defisiensi nutrisi
Defisiensi vitamin C yang berat (scurvy) diketahi dapat menginduksi
kerusakan jaringan periodontal. Perubahan awal dapat bermanifestasi sebagai
gingivitis ringan hingga sedang, yang diikuti pleh pembesaran gingiva yang
terinflamasi akut, edematus dan hemoragik. Gejala oral ini disertai perubahan
fisiologik menyeluruh seperti kelesuan, lemah, malaise, nyeri sendi, ekimosis dan
turunya berat badan. Jika tidak terdekteksi, scurvy pada akhirnya akan
menimbulkan kerusakan jaringan periodontal yang hebat dan tanggalnya gigi
secara spontan.
Defisiensi vitamin D dapat menyebabkan terjadinya osteoporosis yang
bermanifestasi sebagai ricketsia pada anak anak atau osteomalasia pada orang
dewasa. Kedua kondisi ini dikaitkan dengan kerusakan ligamen periodonsium dan
resorpsi tulang alveolar menyeluruh seperti pada keadaan hipofosfatasia.
Defisiensi protein yang berat seperti kwashiokor, dikaitkan dengan lesi
nekrotik gingiva dan jaringan mulut lainnya, serta dengan bertambahnya inflamasi
gingiva dan hilangnya tulang jaringan periodontal. Efek ini dapat terjadi karena
akibat respon imun yang berubah pada periodontitis karena plak.
c. Pengaruh obat obatan
Obat obat yang menginduksi xerostomia dapat meningkatkan akumulasi plak
dan kalkulus. Tidak adanya buffer dari saliva dan berkurangnya imunoglobulin
saliva dapat mengubah ketahanan hospes terhadap iritan lokal. Tidak kurang dari
400 obat obatan dapat menyebabkan xerostomia termasuk diuretik, antipssikotik,
antihipertensi dan antidepresan.
d. Kelainan darah
Kelainan darah sistemik dapat memberikan pengaruh sangat besar terhadap
jaringan periodontal. Diskrasia darah seperti polisitemia, trombositopenia atau
kekurangan faktor pembekuan darah dapat menyebabkan waktu perdarahan yang
panjang setelah prosedur perawatan periodontal. Kelainan sel darah merah seperti
anemia aplastik atau anemia sel sabit dapat memperburuk hasil perawatan
periodontal dan dapat meyebabkan komplikasi pascaoperasi yang berat.

2. Patofisiologi
Penyakit periodontal berkaitan dengan plak ditandai dengan inflamasi. Proses
inflamasi diaktifkan untuk menahan penyebaran proses penyakit akan tetapi selain efek
yang menguntungkan ini, proses inflamasi juga memiliki komponen yang merusak.
Respon inflamasi pada periodontitis yang berkaitan dengan plak dapat dicetuskan oleh
beberapa faktor. Enzim lisis yang diproduksi oleh bakteri dapat menyebabkan kerusakan
jaringan periodontal secara langsung. Produk bakteri lain seperti endotoksin dapat
mengaktivasi sistem komplemen yang menimbulkan pembentukan protein aktif secara
biologis. Protein aktif ini menstimulasi peningkatan permeabilitas vaskular disertai
migrasi sel-sel radang dari pembuluh darah, respon kemoktaktik, perlekatan sel dan
fagositosis (Peter, 2004).
Respon imunologis tampaknya berpengaruh dalam memulai dan juga meneruskan
respons inflamasi. Bakteri plak memiliki antigen yang tinggi, antigen dapat menstimulasi
proliferasi limfosit T dan B pada jaringan ikat gingiva dan berperan dalam respon imun
humoral atau seluler. Beberapa teori menunjukan bahwa pasien yang menderita penyakit
periodontal berkaitan dengan plak, mempunyai antibodi terhadap antigen plak dalam
sirkulasi darahnya (Peter, 2004).
Gambaran histopatologi perkembangan penyakit periodontal yang berkaitan dalam 4
tahap yaitu:
1. Lesi awal
Perubahan jaringan yang pertama kali terlihat secara mikroskopis terjadi 2 sampai 4
hari setelah akumulasi plak. Terdapat sedikit akumulasi neutrofil polimononuklear
(PMNs) dan sel mononuklear dibawah epitel jungsional. Pengurangan kolagen
perivaskular terjadi daerah ini, demikian juga pengurangan serabut kolagen yang
mendukung bagian koronal epitel jungsional. Pada tahapan ini mengenai tidak lebih
dari 5-10% jaringan ikat gingiva. Terjadi vaskulitis klasik pada pembuluh darah yang
berbeda dibawah epitel jungsional.
2. Lesi dini
Lesi dini terjadi setelah akumulasi plak 4 sampai 7 hari. Perubahan yang terjadi pada
lesi awal menetap dan berlanjut ketingkat yang lebih parah pada tahap ini. Tanda-
tanda utama lesi dini adalah pembentukan dan infiltrasi sel limfoid yang padat di
jaringan ikat gingiva. Sejumlah sel limfosit berukuran kecil dan sedang berakumulasi
tepat dibawah epitel jungsional. Sel sel ini merupakan sel radang yang paling
dominan. Epitel jungsional dan epitel sulkular mulai membentuk rete pegs (ridge).
Sejumlah fibroblas yang rusak dapat ditemukan di sekitar sel-sel limfoid. Kolagen
yang terdapat dalam jaringan ikat gingiva berkurang sekitar 70% di daerah inflamasi.
3. Lesi jelas
Lesi jelas adalah suatu perkembangan lesi dini dan dapat ditemukan 2 sampai 3
minggu setelah akumulasi plak. Perubahan jaringan destruktif yang terjadi pada
kedua tahap sebelumnya masih tetap ada. Sel radang yang mendominasi pada tahap
ini adalah plasmasit, sel sel ini terdapat di jaringan ikat yang terinflamasi. Plasmasit
memproduksi imunoglobulin terutama IgG. Epitel jungsional dan epitel sulkular terus
berpoliferasi dan saat ini dapat dianggap epitel poket. Ketebalan epitel ini bervariasi
dan menunjukan adanya ulserasi. Sel-sel radang berakumulasi sepanjang pembuluh
darah dan diantara serabut kolagen yang berada jauh di dalam lesi. Pada tahap ini,
tidak terdapat perubahan ligamen periodonsium dan tulang alveolar. Manifestasi
penyakit dapat ditemukan pada tahap ini.
4. Lesi lanjut
Setelah melewati waktu yang bervariasi, terjadilah lesi lanjut. Pada tahap ini daerah
lesi membesar, tepi epitel poket berpenetrasi ke dalam jaringan ikat. Kerusakan yang
hebat terjadi pada bundel serabut kolagen dan gingiva, tetapi serabut transeptal tetap
beregenerasi seiring dengan bergeraknya lesi ke arah apikal. Banyak plasmasit
tampak mengalami kerusakan dan dapat dilihat jauh di dalam jaringan. Terjadi
resorpsi puncak tulang alveolar, khususnya di daerah sekitar pembuluh daerah (Peter,
2004).

A. Gambaran Radiografi Penyakit Periodontal


Radiologi dapat digunakan untu pemeriksaan penunjang dari diagnosis penyakit
periodontal. Dalam keadaan normal gambaran radiologi gigi dengan jaringan periodontal
tidak menunjukkan suatu ketidaknormalan. Radiografi yang dapat digunakan dalam
pemeriksaan penyakit periodontal antara lain bitewing, periapical dan panoramik.
Radiografi bitewing dapat digunakan untuk mengevaluasi ketinggian tulang
interproksimal selama pemeriksaan periodontal dan rencana perawatan. Deposit kalkulus
subgingival juga dapat dideteksi. Walaupun demikian, hasil dari bitewing radiografi pada
diagnosis penyakit periodontal hanya terbatas pada bagian mahkota akar gigi yang
diamati, dan terbatas pada regio molar-premolar. Periapical radiografi sering digunakan
tidak hanya untuk membantu perbedaan diagnosis dari gejala pasien, tetapi juga
menyaring proses patologis yang tidak terdeteksi pada gigi dan sekeliling tulang alveolar.
Radiografi panoramik memberi gambaran umum dari struktur mulut, dan berguna untuk
mendeteksi pola kehilangan tulang secara umum. Tetapi radiograf tidak merupakan
pemeriksaan tunggal dalam menentukan penyakit periodontal, radiograf hanya membantu
melihat yang tidak bias dilihat pada saat pemeriksaan obyektif sederhana dengan dental
probing, seperti kehilangan tulang alveolar crest (Tetradis, 2002).
Gambaran radiografi gingivitis antara lain tidak ada bukti kehilangan tulang,
terdapat crestal lamina dura, tingkat tulang alveolar antara 1-2 mm dari area CEJ.
Gingivitis yang disebabkan oleh kalkulus subgingiva terlihat gambaran radiopak dibawah
CEJ, sedangkan gingivitis yang tidak karena kalkulus gambaran radiografi normal tidak
ada radiolusen pada CEJ (Tetradis, 2002).
Gambaran radiografi periodontitis antara lain hilangnya alveolar crest, turunnya
tulang alveolar sampai bifurkasi atau apikal, hilangnya struktur gigi pada bagian apek dan
terlihat gambaran radiopak meluas dari CEJ sampai apikal (Tetradise, 2002).
DAFTAR PUSTAKA
Tetradis, Sotirios, Fermin A. Carranza, Robert C. Fazio, and Henry H., 2002, Takei.
Radiographic Aids in The Diagnosis of Periodontal Disease Edisi 10. Philadelpia,
561-65.
Damanik, Simson., Josevina, Silalahi., 2011, Kebutuhan Perawatan Penyakit Periodontal dan
Perilaku Pemeliharaan Gigi pada Masyarakat Di Kecamatan Pangururan Samosir,
Dentica Dental Journal, 16: 154-155.
Suryono., 2012, Bedah dasar Periodonsia, Deepublish, Yogyakarta.
Peter, F.D., Arthur, R.V., John, L.G., 2004, Silabus Ortodonti, EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai