Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

Laporan Kasus : Anastesi Infiltrasi Pencabutan Gigi Persistensi

disusun untuk Memenuhi Tugas Praktikum Mata Kuliah Penatalaksanaan Kuratif Terbatas IV

Dosen Pembimbing : Sadimin, S.Si.T., M.Kes

Disusun Oleh :
Intan Rachmawati Sumarno
P1337425218042

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN TERAPI GIGI


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SEMARANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Analisis
Kasus : Anestesi Infiltrasi Pencabutan Gigi Persistensi” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas praktikum mata kuliah Penatalaksanaan Kuratif Terbatas IV. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan mengenai penggunaan
anestesi infiltrasi pada tindakan pencabutan gigi persistensi.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sadimin, S.Si.T., M.Kes.
selaku dosen pembimbing praktikum Penatalaksanaan Kuratif Terbatas IV yang
telah membimbing kami dalam mempelajari dan menyelesaikan tugas ini. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah bekerjasama untuk
menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah yang ini masih jauh
dari kata sempurna sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun
demi kesempurnaan makalah ini.
Minggu, 29 Agustus 2021

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR GAMBAR iii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. LATAR BELAKANG 1
B. IDENTIFIKASI KASUS 2
C. PENATALAKSANAAN KASUS 4
BAB II PEMBAHASAN 9
A. PERSISTENSI 9
B. WAKTU ERUPSI GIGI 9
C. DAMPAK PERSISTENSI 10
D. ANESTESI PADA TINDAKAN PENCABUTAN GIGI PERSISTENSI 12
BAB III PENUTUP 15
A. KESIMPULAN 15
DAFTAR PUSTAKA 16

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Mesiodens pada Palatal Elemen 11 3


Gambar 2. Pemeriksaan Radiograf Periapikal Mesiodens pada Palatal Elemen 11 3

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Gigi lebih merupakan kelainan jumlah gigi yaitu jumlah gigi yang ada lebih
banyak dari normal. Gigi lebih yang paling sering dijumpai adalah mesiodens
yang terletak di daerah premaksila pada garis tengah palatum dengan
frekuensi sekitar 90-98% dan seluruh gigi lebih. Mesiodens ini dapat erupsi dan
dapat pula tidak erupsi atau impaksi. Adanya mesiodens dapat menimbulkan
berbagai gangguan klinis pada pasien anak, seperti erupsi gigi permanen yang
terlambat dan malposisi gigi permanen. Diagnosis dini dan penanganan yang
tepat sangat penting untuk mencegah terjadinya berbagai gangguan klinis
tersebut.
Suatu studi menunjukkan terdapat perbedaan jenis dan penyebab yang
ditimbulkan oleh trauma gigi sulung dan gigi permanen, hal ini terkait dengan
struktur tulang pada gigi permanen yang padat sehingga lebih sering
mengalami fraktur, sedangkan gigi sulung mengandung bahan anorganik lebih
sedikit dibandingkan dengan gigi permanen. Tulang yang kurang padat dan
termineralisasi menyebabkan gigi sulung yang trauma lebih sering mengalami
subluksasi daripada fraktur.
Kelainan jantung kongenital merupakan kelainan jantung yang paling
sering dijumpai pada anak, salah satunya adalah kelainan Defek Septum
Ventrikel. Kelainan ini mengenai anak dengan insiden 20-30% dari seluruh
kelainan jantung longenital. Perawatan gigi pada anak dengan kelainan jantung
harus dilakukan secara hati-hati terutama dalam hal pencegahan terhadap
infeksi endokarditis. Oleh karena itu kerjasama dengan ahli kardiologi sangat
diperlukan untuk mengetahui apakah prosedur dental yang akan dilakukan
merupakan intra indikasi dan premedikasi apa yang tepat untuk tindakan
profilaksis terbadap infeksi endokarditis.

1
2

Pada laporan kasus ini akan dibahas mengenai odontektomi mesiodens


dengnn profilaksis antibiotika pada anak laki-laki berusia 6 tahun 8 bulan
dengan kelainan jantung kongenital berupa Defek Septum Ventrikel yang
dilakukan secara multidisiplin antara Bagian Kedokteran Gigi Anak FKC UI,
Bagian Kardiologi Anak FK UI serta Bagian Bedah Mulut FKG UI (Ariany,
Hayatiz and Suharsini, 2000).

B. IDENTIFIKASI KASUS
1. Identitas Pasien
Nama lengkap : …….
Jenis kelamin : Laki-laki
Tempat dan tanggal lahir : 9 tahun
Agama : ……
Pekerjaan : ……
Bangsa : Indonesia
Alamat : ……
Gol. Darah : ……
No. telpon : …..
2. Pengkajian
a. Keluhan Pasien
Keluhan utama :
Pasien dating dengan keluhan gigi berlebih pada gigi depan atas
kanan dan menyebabkan giginya terlihat berjejal.
Keluhan tambahan :-
b. Riwayat Kesehatan Umum:
Tidak ada riwayat medis yang tercatat secara relevan, sedangkan
riwayat kesehatan keluarga juga tidak tercatat secara signifikan.
c. Riwayat Kesehatan gigi
1) Ini merupakan pengalaman pertama datang ke klinik gigi
2) Melakukan beberapa kali kunjungan untuk melakukan
perawatan gigi
d. Pemeriksaan Ekstra oral : wajah simetris
3

e. Pemeriksaan Intra Oral :


Pemeriksaan intraoral menunjukkan anak dalam fase gigi
campuran awal. Hubungan oklusi molar kiri kelas II, molar kanan
kelas I, overbite sebesar 6 mm, overjet 7 mm, dan terdapat crowding
anterior maksila dan mandibula. Terdapat sisa akar pada gigi 52 dan
53, karies profunda pada gigi 54, 55, 64, 75, 74, 73, 84, 85, serta
karies media pada gigi 83.
Pemeriksaan klinis dan radiograf, periapikal menunjukkan
terdapat mesiodens pada palatal gigi 11 (Gambar 1 dan 2).
Berdasarkan penilaian risiko karies menurut AAPD pasien memiliki
risiko karies tinggi (Sembiring and Marcia, no date).

Gambar 1. Mesiodens pada Palatal Elemen 11

Gambar 2. Pemeriksaan Radiograf Periapikal Mesiodens pada Palatal


Elemen 11
4

Data /
Bentuk Bentuk Warn
G Lokasi Konsistensi Masala
Papil Margin a
i h
g Pal La Abn
Bu Ling Keny Lun Run Bul Nor
i ata bia orm
kal ual al ak cing at mal
l l al
severe
5 Mera
V - - - - V - V - V gingiviti
2 h
s
severe
1 Mera
- - V - - V V - - V gingiviti
1 h
s

f. Diagnosa

DATA MASALAH KEMUNGKINAN PENYEBAB


52 Sisa Akar - Karies tidak diberi perawatan
- Kurangnya menjaga kesehatan gigi
dan mulut
- Konsumsi makanan manis berlebih
11 Persistensi - Kurangnya perhatian orang tua
akan kondisi gigi anak
- Membiarkan gigi susu sudah
waktunya untuk tanggal tetapi tetap
berada didaerah mulut

C. PENATALAKSANAAN KASUS
Penatalaksanaan pada ekstraksi mesiodens pada anterior maksila sebagai
berikut :
1. Melakukan pemeriksaan menyeluruh pada rongga mulut
Pada kunjungan awal, dilakukan pemeriksaan menyeluruh pada
rongga mulut pasien. Untuk pemeriksaan penunjang, dilakukan radiograf
periapical. Setelah seluruh kondisi rongga mulut diperiksa, ditentukan
diagnosis dan rencana perawatan lalu dijelaskan kepada pasien dan
orang tuanya. Pasien juga diinstruksikan mengenai cara menyikat gigi
yang baik dan benar.
2. Melakukan Tindakan ekstraksi
5

Pencabutan gigi yang ideal adalah pencabutan tanpa rasa sakit,


satu gigi utuh, atau akar gigi dengan trauma minimal terhadap jaringan
pendukung gigi, sehingga bekas pencabutan dapat sembuh dengan
sempurna (Wasilah and Probosari, 2011b). Sebelum dilakukan tindakan,
orangtua pasien diminta untuk menanda tangani informed consent.
a. Sebelum dilakukan anestesi infiltrasi, daerah gigi 11 dioleskan
anestesi topikal untuk mengurangi rasa sakit saat insersi jarum
anestesi. Kemudian daerah kerja dioleskan kapas dengan carian
antiseptic, dan dilakukan anestesi infiltrasi di regio gigi 11. Untuk
cara melakukan anestesi infiltrasi yaitu sebagai berikut:
1.) Keringkan daerah yang akan dilakukan anestesi
2.) Kemudian berikan antiseptic (menggunakan iodine)
3.) Berikan anestesi topical secukupnya selama minimal 1 menit
pada daerah penetrasi jarum suntik
4.) Mengoles bahan antiseptis betadine dengan ibu jari atau
telunjuk tangan kiri pada mukosa, tangan kanan meltakkan
bahan kapas topical anestikum
5.) Lakukan anestesi infiltrasi higga menembus permukaan
mukosa dan bevel jarum harus diarahkan ke periosteum
sambal menyuntikkan beberapa anestikum local.
6.) Masukkan jarum suntik lambat-lambat ke tujuan sasaran.
Setelah menunggu 2-3 detik agar anestikum bekerja lanjutkan
jarum pada daerah sasaran lebih dalam dan lanjutkan
beberapa tetes. Kemudian lanjutkan lagi hingga sampai ke
daerah sasaran (Noerdin, 2000).
b. Setelah dilakukan anestesi , dilakukan pemisahan antara
permukaan jaringan lunak dan jaringan sekitarnya menggunakan
bein kemudian mesiodens diekstraksi dengan tang. Cara
melakukan esktraksi yaitu sebagai berikut:
1.) Ekstraksi
Ekstraksi terbagi menjadi dua tahap, yaitu pertama gigi
dipisahkan dari jaringan lunak sekitarnya menggunakan
desmotome atau elevator dan kedua gigi diangkat dari socket
menggunakan tang atau elevator.
6

a) Memisahkan gigi dari jaringan lunak


Memutuskan perlekatan jaringan lunak Langkah
pertama dalam ekstraksi gigi adalah memutuskan atau
melonggarkan jaringan lunak sekitar gigi. Dua instrumen
yang diperlukan untuk memutuskan jaringan lunak adalah
desmotomes lurus dan melengkung. Desmotome lurus
digunakan untuk enam gigi anterior rahang atas,
sedangkan desmotome melengkung digunakan untuk
sisa gigi rahang atas dan semua gigi rahang bawah.
Desmotome dipegang pada tangan dominan, dengan
pegangan pena lalu diposisikan di bagian bawah sulkus
gingiva, digunakan untuk memutuskan ligamen
periodontal. Hal ini dilakukan dalam satu gerakan
berkelanjutan, mulai dari permukaan distal gigi dan
bergerak menuju permukaan mesial, dimulai dari bukal
dan kemudian lingual atau palatal. Disaat yang
bersamaan, jari telunjuk dan ibu jari dari tangan yang
tidak dominan yang diposisikan di bukal dan palatal atau
jari telunjuk dan jari tengah posisikan di bukal dan lingual,
hal ini bertujuan untuk melindungi jaringan lunak dari
cedera (lidah, pipi dan palatum).
b) Merendahkan jaringan lunak atau gingiva sekitar gigi
dengan dua instrumen yang disebut Chompret Elevator
Elevator ini digunakan untuk mendorong atau sedikit
merendahkan gingiva disekitar gigi. Beberapa orang
menyarankan bahwa merendahkan jaringan lunak tidak
diperlukan karena mereka memutuskan sudah cukup,
sementara yang lain menganggap bahwa merendahkan
jaringan lunak adalah prosedur yang lebih tepat
dibandingkan dengan memutuskan jaringan lunak.
Faktanya tetap bahwa memutuskan jaringan lunak adalah
prosedur kurang traumatis dibandingkan dengan prosedur
ini. Prosedur ini dilakukan dengan cara yang sama seperti
memutuskan jaringan lunak tetapi dengan gerakan yang
7

sedikit berbeda yaitu dengan sedikit tekanan dan dalam


ke arah luar.
c) Ekstraksi dengan teknik forceps
Teknik ini mengajarkan cara yang benar untuk
memegang tang dan gigi itu sendiri, memasukan tang
pada gigi, dan arah gerakan selama ekstraksi. Tang
ekstraksi dipegang di tangan dominan, sedangkan ibu jari
secara bersamaan ditempatkan diantara pegangan tepat
di belakang engsel, sehingga tekanan pada gigi
dikendalikan Tangan yang tidak dominan juga
memainkan peran penting dalam prosedur ekstraksi.
3. Spooling
Spooling dilakukan dengan cairan NaCl 0.9% pada daerah bekas
ekstraksi, selanjutnya pasien diminta untuk menggigit kassa steril selama
60 menit sampai pendarahan berhenti. Pasien juga diberikan instruksi
post ekstraksi dan diresepkan antibiotic Amoxicillin syr 125 mg/5ml 3x1,5
cth no II dan analgetik Paracetamol syr 120 mg/5ml 3x1,5 cth no I.
(Sembiring and Marcia, no date) Pasien yang melakukan ekstraksi gigi,
setelah pencabutan sebaiknya diberikan edukasi. Edukasi yang diberikan
dapat berisi tindakan-tindakan yang perlu dilakukan dan perlu dihindari
setelah pencabutan gigi. Edukasi yang diberikan kepada pasien setelah
ekstraksi gigi antara lain :
a. Menggigit kapas atau tampon selama 30 menit sesudah pencabutan
gigi.
b. Jangan minum dan makan apapun selama 2 jam segera setelah
ekstraksi gigi.
c. Lakukan kompres dengan air es.
d. Lakukan sikat gigi seperti biasa namun sementara menghindari
daerah luka.
e. Tidurlah dengan kepala agak dinaikkan yaitu dengan diganjal satu
atau dua bantal tambahan.
f. Menaati anjuran dan resep yang diberikan oleh dokter.
g. Jangan mengunyah permen karet dan mengisap daerah bekas
pencabutan gigi.
8

h. Jangan meludah.
i. Jangan berkumur selama 24 jam pertama.
j. Jangan minum alkohol
k. Jangan memberikan rangsangan panas pada daerah pencabutan.
9

BAB II
PEMBAHASAN

A. PERSISTENSI
Persistensi gigi sulung (gigi susu) adalah suatu keadaan dimana gigi
sulung masih berada pada mulut dan belum tanggal, tetapi gigi tetap yang
akan menggantikannya sudah tumbuh. Pada keadan persistensi terkadang gigi
sulung tidak goyang dan dapat ditemukan pada bagian gigi mana saja.
Persistensi gigi sulung merupakan gigi sulung yang tidak tanggal ketika
seharusnya sudah tanggal.
Dikutip dari sebuah jurnal penelitian di Turkey men gungkapkan bahwa
ketidak hadiran konginetal dari gigi pengganti permanen adalah alasan paling
umum yang menyebabkan gigi sulung tetap bertahan, diikuti dengan faktor lain
seperti impaksi,posisi gigi abnormal,dan erupsi gigi penerus yang terlambat
(Aktan et al., 2012).
Jenis gigi sulung yang persisten yang paling umum dijumpai adalah molar
kedua sulung mandibula, diikuti oleh kaninus sulung rahang atas. Dari hasil
riset disebutkan bahwa jika gigi persisten berhubungan dengan tidak adanya
gigi penerus secara konginetal maka resorpsi akar gigi lebih sedikit. Disisi lain
jika alasan persistensi gigi adalah impaksi maka resorpsi akar gigi sulung lebih
banyak terjadi (Aktan et al., 2012).

B. WAKTU ERUPSI GIGI


Erupsi gigi merupakan suatu perubahan posisi gigi yang diawali dengan
pertumbuhan dalam tulang rahang melalui beberapa tahap berturut-turut
hingga mencapai posisi fungsional di dalam rongga mulut (Koch dan Poulsen,
2001). Proses erupsi gigi di dalam mulut sangat kompleks. Erupsi gigi pada
masing-masing individu terjadi pada rentang waktu yang hampir sama namun
terkadang terjadi penyimpangan waktu erupsi. Penyimpangan waktu erupsi
dapat terjadi karena adanya faktor pengganggu, seperti trauma, faktor
herediter, dan kondisi patologis yang jika dibiarkan tanpa perawatan akan
menyebabkan kelainan pada gigi, salah satunya kondisi persistensi (Kurniasih,
2008).
10

Waktu erupsi gigi permanent dimulai saat anak berusia 6 sampai 7 tahun,
ditandai dengan erupsi gigi molar pertama rahang bawah bersamaan dengan
insisif pertama rahang bawah dan molar pertama rahang atas. Gigi insisif
sentral rahan atas erupsi umur 7 tahun dilanjutkan dengan gigi insisif lateral
rahang bawah. Gigi insisif lateral rahang atas erupsi umur 8 tahun dan gigi
kaninus rahang bawah umur 9 tahun. Gigi premolar pertama rahang atas
erupsi umur 10 tahun, dilanjutkan dengan erupsi gigi premolar kedua rahang
atas, premolar pertama rahang bawah, kaninus rahang atas dan premolar
kedua rahang bawah. Erupsi gigi molar kedua rahang bawah terjadi umur 11
tahun dan molar kedua rahang atas umur 12 tahun. Erupsi gigi paling akhir
adalah molah ketiga rahang atas dan rahang bawah (McDonald dan Avery,
2000).

C. DAMPAK PERSISTENSI
Gigi supernumerary memiliki potensi mengganggu perkembangan oklusal
normal dan estetika pada anak (Sembiring and Marcia, no date). Persistensi
gigi sulung adalah keadaan pada akar gigi sulung yang tidak mengalami
resorpsi secara normal sehingga gigi sulung tetap berada ditempatnya dan
tidak mengalami eksfoliasi. Gigi persistensi bila tetap berada didalam rongga
mulut dapat menyebabkan beberapa masalah seperti maloklusi. Salah Satu
contoh maloklusi adalah gigi berjejal. Kondisi tersebut dapat meningkatkan
akumulasi plak sehingga meningkatkan faktor risiko terjadinya karies pada gigi
sulung. Selain masalah klinis, masalah pada gigi sulung juga menyebabkan
kesulitan untuk mengunyah, gangguan fonetik, gangguan estetika, bahkan
dapat mempengaruhi penampilan anak (Oktafiani and Dwimega, 2020).
Persistensi gigi sulung yang tidak ditangani dengan baik dapat berisiko
menyebabkan masalah kesehatan, baik pada proses pertumbuhan gigi
maupun pada kesehatan gusi dan mulut. Beberapa masalah utama yang
disebabkan oleh persistensi gigi sulung adalah:
1. Infraoklusi
Infraoklusi adalah kondisi di mana gigi permanen mulai tumbuh di
samping gigi susu yang belum tanggal. Hal ini membuat posisi gigi susu
lebih rendah dan memiliki bentuk yang berbeda dari gigi permanen yang
ada di sebelahnya. Perbedaan tinggi antara gigi susu dengan gigi
11

permanen dapat menyebabkan komplikasi pertumbuhan gigi lain, seperti


gigi tumbuh miring dan tidak sempurna.
2. Trauma oklusi
Trauma oklusi merupakan kerusakan jaringan di sekitar gigi, seperti
gusi dan tulang penyangga gigi, akibat tekanan antargigi yang terlalu
kuat. Kondisi ini terjadi karena ukuran gigi susu yang berbeda dengan gigi
permanen, sehingga menyebabkan posisi gigi atas dan gigi bawah tidak
selaras atau tidak rata.
3. Diastema
Diastema atau kerenggangan antargigi terjadi akibat ukuran gigi
susu yang kecil, sehingga menyebabkan terbentuknya jarak atau celah di
antara gigi satu dengan gigi lainnya. Diastema dapat menyebabkan
penampilan gigi dan senyum menjadi kurang menarik.

Selain beberapa gangguan perkembangan gigi di atas, persistensi gigi


sulung yang tidak kunjung mendapatkan penanganan juga dapat
menyebabkan berbagai masalah kesehatan lain, seperti gigi berlubang, infeksi
gusi atau periodontitis, dan pengeroposan tulang penyangga gigi.
Beberapa kondisi maloklusi seperti gigi berjejal memiliki pengaruh
terhadap kejadian karies pada gigi permanen. Kondisi gigi-geligi yang
berjejal mengakibatkan makanan terselip disela-sela gigi dan sulit untuk
dibersihkan, hal ini akan terus berlanjut hingga sisa makanan tersebut
diakumulasikan oleh bakteri menjadi plak yang lebih sulit lagi untuk
dibersihkan. Plak yang tidak dibersihkan pada permukaan gigi akan
menyebabkan terbentuknya karies atau gigi berlubang (Anggriani, Hutomo
and Wirawan, 2017).
Persistensi tidak boleh dibiarkan tanpa diberi perawatan karena tidak
hanya mengganggu secara estetik tetapi kondisi persistensi akan mengganggu
tumbuh kembang rahang dan gangguan fungsi pengunyahan. Bila seorang
anak mengalaminya, maka orangtua harus segera membawanya ke dokter gigi
supaya dicabut gigi susunya. Dengan begitu, gigi tetap yang tidak pada
tempatnya bisa segera menyesuaikan dan kembali ke dalam lengkung rahang.
Orang tua berperan penting untuk mencegah maupun menangani
persistensi. Orang tua harus memahami usia pertumbuhan gigi anak sehingga
12

dapat mendeteksi dini jika ditemukan adanya persistensi. Orangtua yang


mengetahui periode erupsi gigi anak akan lebih siaga terhadap proses erupsi
gigi anaknya (Pratiwi, Sulastri and Hidayati, 2014). Selain itu, rajin kontrol enam
bulan sekali ke dokter gigi. Anak-anak harus mengurangi konsumsi makanan
yang terlalu lembut. Mengunyah secara aktif dapat membantu mengoptimalkan
perkembangan rahang sehingga menjadi salah satu upaya mencegah
persistensi. 

D. ANESTESI PADA TINDAKAN PENCABUTAN GIGI PERSISTENSI


Anastesi adalah hilangnya semua bentuk sensasi termasuk sakit,
sentuhan, persepsi temperatur dan tekanan dan dapat disertai dengan
terganggunya fungsi motorik (Putri, 2015). Anastesi yang digunakan dalam
pencabutan kasus persistensi adalah anastesi lokal.
Anastesi lokal merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit untuk
sementara pada satu bagian tubuh dengan cara mengaplikasikan bahan
topikal atau suntikan tanpa menghilangkan kesadaran. Pencegahan rasa sakit
selama prosedur perawatan gigi dapat membangun hubungan baik antara
perawat gigi dan pasien, membangun kepercayaan, menghilangkan rasa takut,
cemas dan menunjukkan sikap positif dari perawat gigi. Anastesi lokal dapat
berupa anastesi topikal dan infiltrasi. Keuntungan dari anastesi lokal adalah
teknik-tekniknya dapat dipelajari dengan mudah, sedikit peralatan yang
diperlukan, ekonomis, serta mudah dibawa. Penggunaan bentuk anastesi ini
juga tidak menganggu saluran pernapasan dan anastesi dapat dilakukan oleh
perawat gigi biasa. Keuntungan lain dari anastesi lokal adalah memungkinkan
diperolehnya kerja sama yang baik antatra pasien dan perawat gigi selama
dilakukannya perawtan gigi. Kontraindikasi terpenting dari anastesi lokal adalah
adanya infeksi akut pada daerah operasi. Suntikan larutan anastesi lokal ke
daerah peradangan akut akan menyebabkan infeksi menyebar melalui
rusaknya daya pertahanan alami dan jarang dapat menimbulkan efek
anastesi . Anestesi topical dibagi menjadi 2, yakni topical dan infiltrasi:
1. Anestesi Topikal atau Permukaan
Anestesi topikal diperoleh melalui aplikasi agen anastesi tertentu
pada daerah kulit maupun membran mukosa yang dapat dipenetrasikan
untuk membaalkan ujung-ujung saraf superfisial. Anastesi ini paling sering
13

digunakan untuk membaalkan mukosa sebelum penyuntikkan. Semprotan


yang mengandung agen anastesi lokal tertentu dapat digunakan untuk
tujuan ini karena aksinya berjalan cukup tepat. Bahan 14 aktif yang
terkandung dalam larutan adalah lignokain hidroklorida 10% dalam basis
air yang dikeluarkan dalm jumlah kecil dari kontainer aerosol.
Penambahan berbagai rasa buah-buahnan dimaksudkan untuk membuat
preparat lebih dapat ditolerir oleh anak, namun sebenarnya dapat
menimbulkan masalah karena merangsang terjadinya salivasi berlebihan.
2. Anestesi Infiltrasi
Teknik yang lebih sering digunakan untuk menghentikan persepsi
rasa sakit adalah dengan mendepositkan larutan anastesi di sekitar
filamen saraf, suatu metode yang disebut anastesi infiltrasi. Peralatan
yang diperlukan untuk anastesi lokal harus dapat digunakan dengan
mudah dan harus selalu dalam keadaan steril. Peralatan anastesi lokal
yang paling sering digunakan pada praktek gigi yaitu syringe, cartridge,
dan jarum.
Larutan anastesi lokal umumnya masing-masing preparat
mengandung konstituen agen anastesi lokal, vasokonstriktor, agen
reduktor, pengawet, antijamur, dan perantara (vehicle). Persyaratan
pertama untuk substansi ideal adalah bila substansi di pergunakan secara
tepat dan dalam dosis yang tepat, substansi ini akan memberikan efek
anastesi lokal yang efektif dan konsisten. Agen-agen terdahulu (misal
kokain) umunya diambil dari sumber-sumber 15 alami dan karena itu,
mempunyai kemurnian, potensi dan realiabilitas yang bervariasi. Kendala
ini dapat ditanggulangi dengan menggunakan metode-metode produksi
dan pengemasan modern. Jadi, pengalaman menunjukkan bahwa 98%
suntikan yang menggunakan lignokain 2% dengan adrenalin 1:80.000
merupakan suntikan yang memberikan efek anastesi efektif. Idealnya,
suntikan agen tersebut harus diikutin segera dengan timbulnya efek
anastesi lokal. Dalam konteks ini, perlu diketahui perbedaan antara
timbulnya “perubahan sensasi” yang berefek analgesia dan anastesi
operasi yang sebenarnya dengan pemblokiran impuls yang menyeluruh.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa waktu timbul rata-rata setelah
14

anastesi infiltrasi dengan lignokain 2% dan larutan adrenalin 1:80.000


adalah sekitar 1 menit 20 detik (Wasilah and Probosari, 2011a).

Keefektifan anastesi lokal Tergantung pada :


a. Potensi analgesik dari agen anastesi yang digunakan
b. Konsentrasi agen anastesi local
c. Kelarutan agen anastesi lokal dalam air (misal cairan ekstraselular)
dan lipoid (selubung mielin lipoid).
d. Persistensi agen pada daerah suntikan tergantung baik pada
konsenttrasi agen anastesi lokal maupun keefektifan vasokonstriktor
yang ditambahkan.
e. Kecepatan metabolisme agen pada daerah suntikan.
f. Ketepatan terdepositnya larutan di dekat saraf yang akan dibuat
baal. Hal ini sangat tergantung pada keterampilan operator, tetapi
variasi anatomi juga berpengaruh disini.
g. Penyebaran agen anastesi dapat digunakan untuk menanggulangi
kendala akibat variasi anatomi. Lignokain mempunyai kualitas
penyebaran yang baik dan blok gigi inferior dapat dilakukan dengan
lebih mudah pada penggunaan lignokain daripada prilokain.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Persistensi merupakan suatu keadaan dimana gigi sulung belum
mengalami erupsi namun gigi tetap yang akan menggantikannya sudah
tumbuh. Oleh karena itu periode erupsi gigi sulung merupakan salah satu hal
yang mempengaruhi terjadinya persistensi. Persistensi harus ditangani dengan
baik supaya tidak menimbulkan risiko terjadinya masalah kesehatan lain, baik
pada proses pertumbuhan gigi maupun pada kesehatan gusi dan mulut.
Penatalaksanaan persistensi dilakukan dengan pencabutan gigi sulung. Dalam
tindakan pencabutan itu sendiri, persistensi merupakan faktor penyulit
sehingga anestesi yang dibutuhkan dalam tindakan pencabutan ini adalah
anestesi infilrasi yang memiliki kemampuan anestesi lebih dalam dan luas
dibandingkan dengan anestesi topical.

15
DAFTAR PUSTAKA

Aktan, A. M. et al. (2012) ‘An Evaluation of Factors Associated with Persistent Primary Teeth’,
European Journal of Orthodontics, 34, pp. 208–212. doi: 10.1093/ejo/cjq189.

Anggriani, N. L. P. M., Hutomo, L. C. and Wirawan, I. M. A. (2017) ‘Hubungan Tingkat Keparahan


Maloklusi Berdasarkan ICON (Index of Complexity, Outcome and Need) dengan Risiko Raries Ditinjau
dari Lama Perlekatan Plak pada Remaja di SMPN 2 Marga’, Bali Dental Journal, 1(2), pp. 63–75.

Ariany, S., Hayatiz, R. and Suharsini, M. (2000) ‘Penatalaksanaan Mesiodens pada Anak dengan
Kelainan Jantung Kongenital Defek Septum Ventrikel’, JKGUI, 7.

Kurniasih, I. (2008) ‘Permasalahan-permasalahan yang Menyertai Erupsi Gigi’, Mutiara Medika, 8(1),
pp. 52–59.

Noerdin, S. (2000) ‘Penatalaksanaan Pemberian Anestesi Lokal Pada Gigi Anak’, Jurnal Kedokteran
Gigi, pp. 162–168.

Oktafiani, H. and Dwimega, A. (2020) ‘Prevalensi Persistensi Gigi Sulung Pada Anak Usia 6-12 Tahun’,
Jurnal Kedokteran Gigi Terpadu, 2(2), pp. 12–15.

Pratiwi, A., Sulastri, S. and Hidayati, S. (2014) ‘Hubungan Tingkat Pengetahuan Orang Tua Tentang
Jadwal Pertumbuhan Gigi Dengan’, Jurnal Gigi dan Mulut, 1(1), pp. 12–18.

Putri, O. J. (2015) Penatalaksanaan Tindakan Pencabutan Sisa Akar Gigi Sulung Pada Pasien Anak
a.N. N Dengan Kasus Persistensi Disertai Ulkus Dekubitus Di Puskesmas Karang Setra Bandung Tahun
2015, Karya Tulis Ilmiah.

Sembiring, L. S. and Marcia (no date) ‘Ekstraksi Mesiodens pada Anterior Maksila : Laporan Kasus’,
SONDE (Sound of Dentistry), 4(2), pp. 47–56.

Wasilah and Probosari, N. (2011a) ‘Penatalaksanaan Pasien Cemas pada Pencabutan Gigi Anak
dengan Menggunakan Anestesi Topikal dan Injeksi’, Stomatognatic (J. K. G. Unej), 8(1), pp. 51–55.

Wasilah and Probosari, N. (2011b) ‘PENATALAKSANAAN PASIEN CEMAS PADA PENCABUTAN GIGI
ANAK DENGAN MENGGUNAKAN ANESTESI TOPIKAL DAN INJEKSI Wasilah, Niken Probosari Bagian
Pedodonsia Fakultas kedokteran Gigi Universitas Jember’, 8(1), pp. 51–55.

16

Anda mungkin juga menyukai