Anda di halaman 1dari 10

3.

1 Trauma Gigi
3.1.1 Definisi Trauma Gigi
Pengertian trauma secara umum adalah luka atau jejas baik fisik maupun psikis.
Trauma dengan kata lain disebut injury atau wound, dapat diartikan sebagai
kerusakan atau luka yang biasanya disebabkan oleh tindakan-tindakan fisik
dengan terputusnya kontinuitas normal suatu struktur. Trauma juga diartikan
sebagai suatu kejadian tidak terduga atau suatu penyebab sakit, karena kontak
yang keras dengan suatu benda (Dorland, 2002). Sementara itu, trauma gigi
didefinisikan sebagai kerusakan yang mengenai jaringan keras gigi dan atau
periodontal karena sebab mekanis. Trauma gigi juga dapat diartikan sebagai
kerusakan pada gigi dan struktur periradikular. Kerusakan ini dapat merusak
pulpa, dengan atau tanpa menyebabkan kerusakan pada mahkota dan atau akar,
atau pada kasus yang parah dapat menyebabkan perpindahan gigi (Schuurs, 1992).

3.1.2 Etiologi Trauma Gigi


Trauma gigi merupakan masalah kesehatan yang banyak terjadi di
masyarakat dengan prevalensi yang lebih tinggi pada anak-anak dan remaja. Salah
satu penyebab utama dari trauma pada gigi adalah jatuh dengan persentase 31,7-
64,2%, yang umumnya terjadi pada anak yang baru belajar berjalan karena kurang
seimbang. Penyebab lainnya adalah kegiatan olahraga dengan prevalensi hingga
40,2%. Kegiatan olahraga ini digolongkan ke dalam dua kategori berdasarkan
risikonya, yaitu olahraga berisiko tinggi dan menengah. Contoh kegiatan olah raga
berisiko tinggi yaitu bela diri, sedangkan kegiatan olahraga berisiko menengah
contohnya adalah basket, menyelam, dan senam (Aghdash dkk, 2015; Zaleckiene
dkk, 2014).
Kecelakaan juga merupakan faktor penyebab terjadinya trauma gigi.
Kecelakaan lalulintas dengan prevalensi mencapai 7.8% merupakan kelompok
penyebab trauma yang khas karena sering menimbulkan trauma multipel termasuk
trauma pada jaringan pendukung. Sementara itu, kecelakaan bersepeda dengan
prevalensi hingga 19,5% merupakan penyebab trauma gigi yang umum terjadi
pada anak usia sekolah. Berdasarkan studi, penggunaan helm saat bersepeda dapat
menurunkan risiko trauma wajah hingga 65%, namun tidak menurunkan risiko
trauma pada gigi (Zaleckiene dkk, 2014).
Perkelahian dan kekerasan juga menjadi salah satu faktor terjadinya
trauma gigi pada anak dan remaja yang mengindikasikan karakteristik perilaku
pada rentang usia ini. Oleh sebab itu, pendidikan sosial baik di rumah maupun di
sekolah sangat dibutuhkan untuk mengembangkan budaya mengontrol diri dan
saling menghormati satu sama lain. Disamping itu, penting untuk diketahui juga
bahwa dokter gigi dapat mendeteksi terjadinya kekerasan fisik pada anak
berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan (Aghdash dkk, 2015; Zaleckiene
dkk, 2014). Beberapa kasus trauma pada gigi juga bersifat iatrogenik yaitu terjadi
selama prosedur intubasi pada anestesi umum. Trauma gigi yang terjadi karena
faktor iatrogenik ini yaitu fraktur mahkota dan akar, luksasi, dan avulsi
(Zaleckiene dkk, 2014). Selain faktor-faktor tersebut, variasi anatomi individu
juga berperan sebagai faktor predisposisi untuk insiden trauma gigi yang lebih
tinggi. Anak-anak dengan maloklusi klas 1 divisi 1 ditemukan lebih sering
mengalami trauma gigi apabila dibandingkan dengan anak dengan jenis oklusi
lainnya. Anak dengan overjet besar (>3,0 mm) juga ditemukan 5,4 kali lebih
berisiko mengalami trauma gigi apabila dibandingkan dengan anak dengan overjet
lebih rendah atau sama dengan 3,0 mm (Zaleckiene dkk, 2014).

3.1.3 Klasifikasi Trauma Gigi


3.1.3.1 Klasifikasi Ellis dan Davey
Ellis dan Davey (1970) menyusun klasifikasi fraktur pada gigi anterior
menurut banyaknya struktur gigi yang terlibat, yaitu (Kasyruddin, 2014):
Kelas 1 : Fraktur mahkota sederhana yang hanya melibatkan jaringan email. Ini
adalah fraktur relatif tidak berbahaya melibatkan permukaan terluar gigi . Hal ini
biasanya tidak menimbulkan rasa sakit.
Kelas 2 : Fraktur mahkota yang lebih luas yang telah melibatkan jaringan dentin
tetapi belum melibatkan pulpa. Fraktur ini menembus lapisan kedua gigi yang
cenderung sensitif terhadap suhu panas atau dingin.
Kelas 3 : Fraktur mahkota gigi yang melibatkan jaringan dentin dan menyebabkan
terbukanya pulpa.
Kelas 4 : Fraktur pada gigi yang menyebabkan gigi menjadi non vital dengan atau
tanpa kehilangan struktur mahkota.
Kelas 5 : Fraktur pada gigi yang menyebabkan kehilangan gigi atau avulsi.
Kelas 6 : Fraktur akar dengan atau tanpa kehilangan struktur mahkota.
Kelas 7 : Fraktur pada gigi yang menyebabkan perubahan posisi atau
displacement gigi.
Kelas 8 : Fraktur mahkota yang besar dan perpindahannya.

Berdasarkan klasifikasi oleh Ellis dan Davey (1970), trauma yang terjadi pada
gigi insisivus sentral dan lateral maksila kiri pada kasus termasuk dalam kelas 7
yaitu fraktur pada gigi yang menyebabkan perubahan posisi atau displacement
pada gigi. Pada gigi insisivus sentral maksila kiri terjadi perpindahan gigi 5 mm
ke arah aksial atau yang disebut intrusi gigi, sedangkan pada gigi insisivus lateral
maksila kiri terjadi fraktur akar pada sepertiga tengah dengan gambaran radiografi
yang menunjukkan perubahan posisi fragmen gigi (Gambar 1.A)

3.1.3.2 Klasifikasi menurut World Healh Organization

Trauma pada jaringan keras gigi oleh WHO (1994) diklasifikasikan menjadi tujuh
jenis yaitu sebagai berikut (Pagada dan Tadikonda, 2015):

1. Retak mahkota/enamel infraction yaitu fraktur tidak sempurna atau


keretakan pada email tanpa kehilangan struktur gigi.
2. Fraktur email/uncomplicated crown fracture yaitu fraktur pada bagian
email gigi tanpa melibatkan bagian dentin maupun pulpa gigi.
3. Fraktur email dentin/uncomplicated crown fracture yaitu fraktur pada
bagian email dan dentin gigi tanpa melibatkan pulpa.
4. Fraktur mahkota yang kompleks /complicated crown fracture yaitu fraktur
pada email dan dentin gigi yang telah melibatkan pulpa.
5. Fraktur mahkota akar yang tidak kompleks/uncomplicated crown root
fracture yaitu fraktur pada email, dentin, dan sementum tanpa melibatkan
pulpa. Fraktur mahkota akar yang kompleks (complicated crown root
fracture) yaitu fraktur pada email, dentin dan sementum yang telah
melibatkan pulpa.
6. Fraktur akar/root fracture yaitu fraktur yang melibatkan dentin, sementum
dan melibatkan pulpa. Fraktur akar dapat diklasifikasikan lebih lanjut
berdasarkan perpindahan fragmen koronal, yaitu horizontal, oblique, dan
vertikal.

Apabila dikaitkan dengan kasus, trauma yang terjadi pada gigi insisivus lateral
maksila kiri oleh WHO diklasifikasikan menjadi fraktur akar (root fracture),
yang lebih lanjut diklasifikasikan menjadi fraktur akar horizontal berdasarkan
perpindahan fragmen koronalnya. Hal ini didukung oleh pemeriksaan klinis
dan radiografi pada kasus yang menunjukkan adanya fraktur akar horizontal
pada sepertiga tengah insisivus lateral maksila kiri.

4.3.2.1 Trauma pada Jaringan Periodontal

Kerusakan pada jaringan periodontal terbagi menjadi enam jenis, yaitu (Pagada
dan Tadikonda, 2014):

1. Konkusio yaitu trauma terhadap jaringan pendukung gigi yang


menyebabkan gigi menjadi lebih sensitif terhadap tekanan dan perkusi
tanpa adanya kegoyangan atau perubahan posisi gigi.
2. Subluksasi (N 503.20), yaitu trauma terhadap jaringan pendukung gigi
yang menyebabkan terjadinya kegoyangan tanpa disertai perubahan posisi
gigi.
3. Luksasi (N 503.20), yaitu perubahan posisi gigi dalam arah lateral, palatal,
lingual maupun labial dan menyebabkan kerusakan pada ligamen
periodontal dan kontusi atau fraktur pada soket alveolar gigi tersebut.
4. Luksasi ekstrusi (N 503.20), yaitu terlepasnya sebagian gigi dari soketnya
yang menyebabkan kerusakan pada jaringan periodontal. Luksasi ekstrusi
disebut juga avulsi parsial, pada umumnya disertai dengan fraktur soket
alveolar.
5. Luksasi intrusi (N 503.21), yaitu masuknya gigi ke dalam soket tulang
alveolar yang menekan ligamen periodontal dan umumnya menyebabkan
fraktur pada soket tulang alveolar.
6. Avulsi (N 503.22), yaitu terlepasnya gigi secara keseluruhan dari
soketnya. Pada kondisi ini, ligamen periodontal terputus dan dapat disertai
dengan fraktur pada tulang alveolar.

3.2 Avulsi
3.2.1 Etiologi Avulsi
Avulsi merupakan lepasnya keseluruhan gigi dari soket disertai kerusakan ligamen
periodontal dengan atau tanpa fraktur alveolar.17 Avulsi pada gigi permanen
merupakan trauma gigi paling serius karena menyebabkan kerusakan yang parah
pada jaringan pendukung, pembuluh darah dan saraf.6 Kerusakan pada pembuluh
darah mengakibatkan gangguan suplai darah ke pulpa dan mengakibatkan nekrosis
pada pulpa gigi.19,20 Gigi avulsi didiagnosis secara klinis maupun radiografi dengan
tidak ditemukan gigi pada soket.17

Trauma gigi avulsi merupakan salah satu trauma gigi paling serius yang disebabkan
oleh berbagai etiologi. Usia 7-9 tahun merupakan usia paling rentan terjadi kasus
trauma avulsi yaitu saat masa gigi insisivus permanen erupsi dengan ligamen
periodontal yang masih longgar, akar gigi yang belum terbentuk sempurna dan
struktur tulang alveolar yang masih lemah. 8
Penyebab terjadinya gigi avulsi antara lain terjatuh (36,4%), kecelakaan lalu lintas
(22,7%), kecelakaan bersepeda (18,2%), benturan (9,1%) dan penyebab lainnya
(13,6%).9 Faktor predisposisi penyebab trauma gigi adalah maloklusi Klas II divisi 1,
gigi dengan overjet >3mm, keadaan yang memperlemah gigi seperti hipoplasia
enamel, anak penderita cerebral palsy dan anak dengan kebiasaan mengisap ibu jari
yang menyebabkan gigi anterior protrusif.
3.2.2 Penatalaksanaan Avulsi

3.2.3 Media Penyimpanan


Perhatian utama pada perawatan awal avulsi adalah untuk mempertahankan
vitalitas jaringan periodontal pada pemukaan akar sehingga replantasi harus
dilakukan segera setelah terjadi cedera. Dibutuhkan kemampuan dan pengetahuan
yang memadai mengenai protokol perawatan avulsi gigi karena replantasi
sesegera mungkin tidak selamanya dapat dilakukan.20 Media penyimpanan
diperlukan untuk mempertahankan gigi dari kekeringan selama waktu terlepas
hingga akan dilakukan replantasi.6
Mempertahankan gigi dilakukan pada media yang kelembabannya ideal untuk
dapat melindungi viabilitas sel pulpa dan ligamen periodontal pada permukaan
akar gigi selama mungkin.29 Penelitian mengarah kepada perkembangan media
penyimpanan yang menghasilkan kondisi yang menyerupai lingkungan alveolar
sebenarnya. Beberapa persyaratan media yang ideal diantaranya adalah dapat
menghasilkan klon sel, mengandung antioxidan, tanpa atau minimal kontaminasi
mikroba, osmolalitas dan pH fisiologis yang sesuai serta mudah diperoleh dan
murah.6
2.4.3.1 Hank’s Balanced Salt Solution
Hank’s Balanced Salt Solution (HBSS) merupakan larutan salin standar, yang
biasanya digunakan dalam penelitian biomedis untuk mendukung pertumbuhan
berbagai sel. Larutan HBSS bersifat biocompatible dengan sel-sel ligamen
periodontal karena mempunyai osmolalitas yang ideal yaitu 270-320 mOsm dan
pH yang seimbang, serta mengandung berbagi nutrien yang penting seperti
kalsium, fosfat, kalium dan glukosa yang diperlukan untuk mempertahankan
metabolisme sel yang normal dalam waktu yang lama.29 Larutan HBSS mampu
mempertahankan sel tetap vital selama 24 jam. Kelemahan dari penggunaan bahan
ini adalah sulit ditemukan pada tempat-tempat kejadian trauma dan pada
penggunaanya yang tidak praktis dimana media ini harus digunakan pada
inkubator terkontrol pada suhu 370C.

2.4.3.2 Susu
Susu memiliki beberapa karakteristik yang menguntungkan sebagai media
penyimpanan gigi avulsi. Susu merupakan cairan isotonik dengan pH yang hampir
netral dan osmolalitas yang fisiologis, tanpa atau minimal kontaminasi bakteri,
mengandung faktor pertumbuhan dan nutrisi sel yang essensial, paling mudah
ditemukan dimana saja dan murah. Susu mempunyai kemampuan dalam
mendukung kapasitas klonogenik sel-sel ligamen periodontal pada suhu ruang
sampai 60 menit.6
Susu dapat mengurangi pembengkakan sel, meningkatkan viabilitas sel dan
perbaikan penyembuhan sel pada suhu yang lebih rendah. Penelitian fisiologis sel
menunjukkan kemampuan susu temperatur rendah untuk mendukung klonogenik
sel ligamen periodontal pada gigi avulsi lebih lama 45 menit dibandingkan dengan
media penyimpanan susu pada temperatur ruang.29 Susu yang efektif untuk
digunakan adalah susu segar atau susu UHT yang dingin, sedangkan susu bubuk
tidak dianjurkan. Beberapa penelitian menyatakan gigi yang disimpan dengan
media susu dapat bertahan sebanyak 70%-90%. International Association of
Dental Traumatology dan American Academy of Pediatric Dentistry
menganjurkan penggunaan media susu kepada dokter gigi maupun masyarakat
umum sebagai media penyimpanan gigi yang akan direplantasikan karena efek
dan karakteristik yang menguntungkan serta mudah diperoleh pada saat terjadi
trauma.6
2.4.3.3 Salin Fisiologis
Salin memiliki osmolalitas dan pH yang fisiologis tetapi tidak terdapat ion yang
essensial dan glukosa yang merupakan kebutuhan fundamental untuk
mempertahankan metabolisme sel. Studi pustaka menyebutkan bahwa sel ligamen
periodontal tetap terjaga viabilitasnya selama 45 menit dengan tingkat mortalitas
20%. Salin fisiologis tidak lebih baik dibandingkan HBSS dan susu tetapi lebih
baik dibandingkan air dan saliva sehingga dapat disimpulkan bahwa salin
fisiologis bukanlah media yang adekuat untuk dijadikan sebagai media
penyimpanan tetapi masih dapat dijadikan sebagai media penyimpanan untuk
waktu yang singkat.6
2.4.3.4 Air
Air memiliki karakteristik yang tidak adekuat sebagai media penyimpanan karena
terkontaminsi bakteri, hipotonis, pH dan osmolalitas tidak fisiologis yang dapat
menyebabkan lisis pada jaringan periodontal dan kematian jaringan secara cepat.
Air hanya dapat digunakan untuk menghindari gigi dari kekeringan tetapi tidak
adekuat dalam melindungi gigi avulsi.6
2.4.3.5 Saliva (vestibulum bukal)
Sama halnya dengan air, saliva manusia digunakan sebagai media penyimpanan
karena ketersediaanya yang mudah didapatkan tetapi memiliki karakteristik yang
tidak menguntungkan seperti osmolalitas dan pH yang tidak fisiologis,
kontaminasi bakteri yang tinggi dan hipotonis. Studi menunjukkan bahwa saliva
tidak efisien dalam mempertahankan viabilitas sel namun masih lebih baik
daripada membiarkan gigi dalam kondisi kering karena efek penyerapan akan
lebih parah seiring dengan bertambahnya waktu.6
2.4.3.6 Air Kelapa
Air kelapa merupakan minuman yang alami yang dikemas kedap udara secara
biologis di dalam buah kelapa dan banyak ditemukan di Indonesia. Komposisi
elektrolit dari air kelapa menyerupai cairan intraseluler. Air kelapa juga unggul
dalam pemeliharaan kelangsungan hidup sel-sel ligamen periodontal karena
adanya berbagai nutrisi di dalamnya seperti protein, asam amino, vitamin dan
mineral.6 Penyimpanan gigi avulsi pada air kelapa selama 15-120 menit sama
efektifnya dengan HBSS namun resorpsi inflamasi lebih sering terjadi setelah
disimpan pada media ini dibandingkan dengan penyimpanan dalam media susu.
3.3 Replantasi
3.3.1 Syarat Replantasi
Perawatan avulsi dilakukan untuk menghindari atau meminimalisir komplikasi dari
dua akibat utama yaitu kerusakan perlekatan dan infeksi pulpa gigi. Suplai darah
melalui apeks tidak dapat terjadi sebagaimana mestinya saat gigi dalam keadaan
avulsi sehingga untuk mengembalikan suplai darah tersebut dapat dilakukan tindakan
replantasi.7
Replantasi merupakan pilihan terhadap kebanyakan kasus avulsi gigi namun
tidak selalu dapat dilakukan secara langsung. Terdapat beberapa keadaan dimana
replantasi tidak dapat dilakukan diantaranya gigi dengan karies yang parah, terjadi
kekeringan pada gigi atau media penyimpanan yang digunakan tidak memadai,
fraktur pada tulang alveolar, gigi permanen belum sempurna dengan akar pendek
dan apeks terbuka lebar, memiliki penyakit periodontal, pasien yang tidak kooperatif
dan memiliki kondisi sistemik yang parah seperti imunosupresi dan penyakit jantung
yang parah. Replantasi pada gigi hendaknya selalu diupayakan meskipun hanya
sebagai solusi sementara karena sering terjadi resorpsi eksternal akibat inflamasi.
Gigi masih dapat bertahan selama beberapa tahun untuk mempertahankan jarak
dan memelihara tinggi dan lebar alveolar meskipun resorpsi tetap terjadi.
Keberhasilan penyembuhan setelah replantasi dapat terjadi jika terdapat kerusakan
minimal pada pulpa dan ligamen periodontal dengan jenis media penyimpanan
ekstra-alveolar dan waktu ekstra-alveolar sebagai faktor kritis.28
3.3.2 Indikasi dan Kontaindikasi Replantasi
3.3.3 Teknik Replantasi
3.4 Splinting
3.4.1 Syarat-syarat Splinting
3.4.2 Teknik Splinting
3.4.3 Prosedur Splinting

Aghdash, S.A., Azar, F.E., Azar, F.P., Rezapour, A., Joo, M.M., Moosavi, A.,
Oskouei, S.G., 2015, Prevalence, Etiology, and Types of Dental Trauma in
Children and Adolescents: Systematic Review and Meta-Analysis, Med J Islam
Repub Iran, 29(234):1-13.

Dorland, W. A.N. 2002, Kamus kedokteran Dorland. 29th ed. Terjemahan H.


Hartanto dkk. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal. 12.
Pagadala, Sasikala, Deepti, C.T., 2015. An Overview of Classification of Dental
Trauma. Maharashtra, India, hal. 157-164.

Schuurs, A.H.B. dkk. 1992, Patologi gigi-geligi: Kelainan-Kelainan Jaringan


Keras Gigi. Terjemahan S. Suryo. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
hal. 20.

Zaleckiene, V., Peciuliene, V., Brukiene, V., Drukteinis, S., 2014, Traumatic
Dental Injuries: Etiology, Prevalence, and Possible Outcomes, Baltic Dental and
Maxillofacial Journal, 16(1): 7-14.

Anda mungkin juga menyukai