Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Fraktur adalah hilangnya atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh.


Fraktur dinamai sesuai dengan regio tubuh yang mengalami diskontinuitas.
Fraktur yang terjadi pada tulang – tulang wajah yaitu tulang frontal, temporal,
orbitozigomaticus, nasal, maksila, dan mandibula,fraktur maksilofasial
diklasifikasikan menjadi fraktur kompleks nasal, kompleks zigoma, dentoalveolar,
maksila, dan mandibula.1
Fraktur dentoalveolar didefinisikan sebagai fraktur yang meliputi avulsi,
subluksasi, atau fraktur gigi yang berkaitan dengan fraktur tulang alveolar. Fraktur
dentoalveolar dapat terjadi tanpa disertai dengan fraktur bagian tubuh lainnya,
biaasanya terjadi akibat kecelakaan ringan, seperti jatuh, benturan, berolahraga,
atau iatrogenik.2,3
Epidemiologi fraktur dentoalveolar serupa dengan epidemiologi fraktur
maksilofasial. Menurut penelitian yang pernah dilakukan, dari 100 orang yang
mengalami fraktur didapatkan 5 orang mengalami fraktur dentoalveolar. 4
Penelitian lain menyebutkan dari 122 sampel pasien trauma terdapat 90 pasien
mengalami fraktur maksilofasial. 8,3% diantaranyan (5 orang) mengalami fraktur
dentoalveolar.5 Puncak insidensi terjadi pada anak usia 2 – 3 tahun, sebagai akibat
sekunder perkembangan koordinasi neuromuskular. Pada gigi tetap, puncak
insidensi terjadi pada anak usia 10 tahun saat dimulainya aktifitas atletik. Etiologi
yang paling sering dilaporkan adalah kecelakaan lalu lintas dan perkelahian.
Dalam laporan ini dilakukan pembahasan mengenai kasus fraktur
dentoalveolar dengan tujuan untuk mengetahui manifestasi klinis, penegakan,
diagnosis dan tatalaksana untuk kasus tersebut yang menyesuaikan kompetensi
dokter umum.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Fraktur Dentoalveolar


Definisi fraktur secara umum adalah pemecahan atau kerusakan suatu bagian
terutama tulang (Kamus Kedokteran Dorland edisi 29, 2002). Literatur lain
menyebutkan bahwa fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas
jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh trauma
(Mansjoer, 2000). Berdasarkan definisi-definisi tersebut maka fraktur
dentoalveolar adalah kerusakan atau putusnya kontinuitas jaringan keras pada
stuktur gigi dan alveolusnya disebabkan trauma.

2.2 Klasifikasi Fraktur Dentoalveolar


Jenis fraktur dentoalveolar pada anak diklasifikasikan menjadi beberapa
kejadian. Klasifikasi ini membantu dokter gigi untuk memilih cara penanganan
yang tepat untuk setiap kejadiannya sehingga pasien mendapatkan prognosis yang
baik selama perawatan. Klasifikasi fraktur dentoalveolar juga dapat memberikan
informasi yang komprehensif dan universal untuk mengkomunikasikan mengenai
tujuan perawatan tersebut. Terdapat banyak klasifikasi yang mendeskripsikan
mengenai fraktur dentoalveolar. Klasifikasi yang banyak dijadikan pedoman
dalam penanganan fraktur dentoalveolar adalah klasifikasi menurut World
HealthOrganization (WHO).
Klasifikasi yang direkomendasikan dari World Health Organization (WHO)
diterapkan pada gigi sulung dan gigi tetap, yang meliputi jaringan keras gigi,
jaringan pendukung gigi dan jaringan lunak rongga mulut. Pada pembahasan ini
klasifikasi WHO yang diterangkan hanya pada trauma yang mengakibatkan
fraktur dentoalveolar, yaitu cedera pada jaringan keras gigi dan pulpa, jaringan
periodontal, dan tulang pendukung (Welbury, 2005) :
1. Cedera pada jaringan keras gigi dan pulpa (gambar 2.1)
 Enamel infraction: jenis fraktur tidak sempurna dan hanya berupa
retakantanpa hilangnya substansi gigi.
 Fraktur email: hilangnya substansi gigi berupa email saja.
 Fraktur email-dentin: hilangnya substansi gigi terbatas pada email
dan dentin tanpa melibatkan pulpa gigi.
 Fraktur mahkota kompleks (complicated crown fracture): fraktur
email dan dentin dengan pulpa yang terpapar.
 Fraktur mahkota-akar tidak kompleks (uncomplicated crown-
rootfracture): fraktur email, dentin, sementum, tetapi tidak melibatkan
pulpa.
 Fraktur mahkota-akar kompleks (complicated crown-root fracture):
fraktur email, dentin, dan sementum dengan pulpa yang terpapar.
 Fraktur akar: fraktur yang melibatkan dentin, sementum, dan
pulpa, dapat disubklasifikasikan lagi menjadi apikal, tengah, dan sepertiga
koronal (gingiva).

Gambar 2.1 Cedera pada Jaringan Keras Gigi dan Jaringan Pulpa (Fonseca,
2005)
2. Cedera pada jaringan periodontal (gambar 2.2)
 Concussion: tidak ada perpindahan gigi, tetapi ada reaksi ketika
diperkusi.
 Subluksasi: kegoyangan abnormal tetapi tidak ada perpindahan
gigi.
 Luksasi ekstrusif (partial avulsion): perpindahan gigi sebagian dari
soket.
 Luksasi lateral: perpindahan ke arah aksial disertai fraktur soket
alveolar.
 Luksasi intrusif: perpindahan ke arah tulang alveolar disertai
fraktur soket alveolar.
 Avulsi: gigi lepas dari soketnya.

Gambar 2.2 Cedera pada Jaringan Periodontal (Fonseca, 2005).

3. Cedera pada tulang pendukung (gambar 2.3)


1) Pecah dinding soket alveolar mandibula atau maksila : hancur dan tertekannya
soket alveolar, ditemukan pada cedera intrusif dan lateral luksasi.
2) Fraktur dinding soket alveolar mandibula atau maksila : fraktur yang terbatas pada
fasial atau lingual/palatal dinding soket.
3) Fraktur prosesus alveolar mandibula atau maksila : fraktur prosesus alveolar yang
dapat melibatkan soket gigi.
4) Fraktur mandibula atau maksila : dapat atau tidak melibatkan soket alveolar.

Gambar 2.3 Cedera pada Tulang Pendukung (Fonseca, 2005).

2.3 Etiologi dan Epidemiologi


Penyebab trauma dibagi menjadi dua, langsung dan tidak langsung. Trauma
langsung jika benturannya itu langsung mengenai gigi, biasanya pada regio
anterior. Trauma tidak langsung terjadi ketika ada benturan rahang bawah ke
rahang atas, gigi patah pada bagian mahkota atau mahkota-akar di gigi premolar
dan molar, dan juga pada kondilus dan simfisis rahang. Faktor yang memengaruhi
hasil trauma adalah kombinasi dari energi impaksi, resiliensi objek yang terkena
impaksi, bentuk objek yang terkena impaksi, dan sudut arah gaya impaksi.
(Welburry, 2005).
Penyebab umum trauma adalah terjatuh dengan perbandingan antara 26% dan
82% dari semua kasus cedera, tergantung pada subpopulasi yang diteliti. Olahraga
merupakan penyebab kedua yang mengakibatkan cedera (Berman, et al., 2007).
Kasus trauma dentoalveolar pada anak dapat disebabkan kecelakaan lalu lintas,
serangan hewan, perkelahian dan kekerasan dalam rumah tangga. Gigi yang
terkena trauma biasanya hanya satu, kecuali pada kasus kecelakaan dan olahraga.
(Cameron and Widmer, 2008).
Maloklusi dapat menjadi faktor pendukung terjadinya trauma dentoalveolar.
Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya trauma adalah protrusi gigi
anterior pada maloklusi kelas I tipe 2 atau kelas II divisi 1. Insidensi pada anak
dengan kondisi tersebut dua kali dibandingkan anak dengan kondisi oklusi
normal. Anak dengan overjet berlebih juga dapat memiliki faktor resiko lebih
tinggi terjadi trauma dibandingkan dengan anak dengan overjet normal (Holan
and McTigue, 2005). Tabel 2.1 menunjukkan probabilitas fraktur gigi
incisifsentral maksila dengan perbedaan overjet.

Tabel 2.1 Probabilitas Kejadian Fraktur Gigi Incisif Sentral Maksila dengan PerbedaanJarak
Overjet (Finn, 2003).
Overjet Laki-laki Perempuan Semua Anak

< 1 mm 1:25 1:55 1:34

1-5 mm 1:13 1:27 1:18

6-9 mm 1:7 1:11 1:8

10 + mm 1:4 1:10 1:6

Prevalensi trauma gigi anak berkisar dari 10-30% di beberapa negara di dunia.
(Shun-Te Huang, et al., 2005). Data epidemiologi mengenai fraktur gigi anak di
Indonesia belum ditemukan secara pasti, namun ada beberapa laporan makalah
ilmiah yang memperkirakan 2%-5% (Sutadi, 2003). Penelitian yang dilakukan
Sasteria pada 1.348 anak usia 1-12 tahun di Klinik Ilmu Kedokteran Gigi Anak
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia selama periode 1 Januari 1995-31
Desember 1995 menunjukkan bahwa 98 anak (7,27%) mengalami fraktur pada
gigi anterior atas (Sasteria, 1997).
Kejadian terbanyak trauma dentoalveolar terjadi pada usia 2-4 tahun ketika
koordinasi motorik anak sedang berkembang. Trauma sering terjadi di rumah
ketika anak sudah mulai mencoba banyak hal baru dan bergerak aktif, sedangkan
pada usia 7-10 tahun anak biasanya mengalami trauma di sekolah ketika mereka
sedang bermain, berlari, bersepeda, dan atau berolahraga. Gigi yang mengalami
trauma pada usia ini biasanya gigi permanen. (Welbury, 2005).
Insidensi trauma dentoalveolar pada anak menurut usia adalah sebagai berikut:
pada usia 5 tahun, 31-40% anak laki-laki dan 16-30% anak perempuan mengalami
trauma. Pada usia 12 tahun 12-33% anak laki-laki dan 4-19 % anak perempuan
mengalami trauma gigi. Insidensi injuri pada laki-laki dua kali lebih banyak baik
pada usia anak maupun dewasa (Welbury, 2005). Literatur lain menyebutkan rasio
insidensi injuri pada anak hampir sama antara laki-laki dan perempuan (Berman,
et.al., 2007). Kasus trauma yang terjadi pada anak sebagian besar terjadi di
daerahanterior terutama incisif sentral (Welbury, 2005), sedangkan pada bagian
posterior biasanya terjadi karena trauma tidak langsung, seperti trauma pada
bagian dagu yang mengakibatkan tekanan berlebih pada bagian maksila (Finn,
2003).
Kejadian yang paling sering terjadi pada anak-anak adalah concussion,
subluksasi, dan luksasi, sedangkan pada gigi permanen adalah fraktur
mahkotatidak kompleks (uncomplicated crown fracture) (Welburry, 2005).
Gambar 2.4 menunjukkan persentasi kejadian fraktur menurut klasifikasi cedera
pada jaringan pendukung gigi.
Gambar 2.4 Persentasi Kejadian Fraktur (KochandPoulsen, 2001).
Fraktur dentoalveolar pada anak dapat menyebabkan kerusakan gigi permanen
yang berada di atas atau bawahnya. Hal ini dapat langsung terjadi dari luka atau
infeksi residual yang disebabkan oleh trauma pada gigi anak. Andreasen dan
Ravnmenemukan bahwa usia anak pada waktu terjadinya trauma merupakan
faktor yang paling memengaruhi perkembangan kerusakan gigi permanen. Mereka
menemukan bahwa 60% anak di bawah usia 4 tahun dengan trauma pada gigi
incisif menunjukkan anomali klinis pada radiografi gigi permanen pengganti
(Dummet, 2006).

2.4 Pencegahan Fraktur Dentoalveolar


Hal terbaik yang dilakukan pada fraktur dentoalveolar adalah melakukan
tindakan pencegahan. Pencegahan adalah orientasi utama seorang dokter gigi,
terutama dalam perawatan gigi anak. Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan
untuk mencegah kejadian fraktur dentoalveolar, di antaranya adalah sebagai
berikut (Cameron and Widmer, 2008):
1. Perawatan orthodonti;
2. Sabuk pengaman;
3. Pemakaian helm saat bersepeda;
4. Pemakaian mouth protector;
5. Pengawasan terhadap binatang peliharaan; dan
6. Penyuluhan kepada para orang tua
Tindakan pencegahan tersebut dilakukan sesuai dengan kondisi. Perawatan
orthodonti dilakukan pada pasien yang memiliki kecenderungan mengalami
fraktur gigi, seperti pada pasien kelas II divisi 1 dengan overjet tinggi.
Pembahasan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa pasien dengan overjet tinggi
akan memiliki kecenderungan lebih rentan terjadi fraktur gigi daripada
pasiendengan overjet normal. Hal tersebut memberikan gambaran kepada dokter
gigi untuk menghimbau pasien dengan keadaan overjet tinggi ini untuk
melakukan perawatan orthodonti, sehingga kondisi overjet pasien dapat dikoreksi
dan kejadian fraktur dentoalveolar dapat dihindari.
Penyebab fraktur dentoalveolar berikutnya selain overjet adalah terjadinya
kecelakaan, bukan hanya saat berkendara tetapi juga saat berolahraga. Dokter gigi
dapat menghimbau kepada masyarakat untuk menggunakan sabuk pengaman saat
berkendara dan memakai helm saat bersepeda. Hal ini dapat mengurangi resiko
cedera saat terjadi kecelakaan lalu lintas.
Cedera saat berolahraga dapat dicegah dengan mouth protector. Contoh
olahraga yang biasanya membutuhkan alat ini adalah olahraga dinamis, seperti
sepakbola, hoki, baseball, softball, dan lain sebagainya. Ada beberapa jenis
mouthprotector yang dapat digunakan sebagai langkah pencegahan terhadap
frakturdentoalveolar, berikut adalah tipe dari mouth protector (Fonseca, 2005):
1. Stock mouth protectors
Jenis mouth protector ini merupakan tindakan pencegahan yang paling mudah
dan murah. Mouthguard ini dibuat dari lateks atau material silikon dan hanya
menjaga secara minimal karena cukup longgar saat digunakan sehingga harus
dalam kondisi rahang yang tertutup. Jenis ini kurang nyaman saat digunakan
karena menyulitkan pengguna untuk berbicara dan bernafas, selain itu
mouthguard ini mengiritasi gingiva dan vestibula di bagian bukal. Jenis ini kurang
direkomendasikan. Gambar 2.5 menunjukkan stock mouth protector.

Gambar 2.5 Stock Mouth Protector (Fonseca, 2005)


2. Mouth formed protectors
Mouth formed protector paling sering digunakan dan terdiri dari dua jenis,
yaitu shell-liner mouthguard dan thermoplastic guard.
1) Shell-liner mouthguard
Shell-liner mouthguard terdiri dari karet lateks atau plastik yang menutupgigi
maksila. Jenis ini cukup halus dan permukaannya lembut beradaptasi dengan gigi.
Kekurangannya adalah pemakaiannya terbatas, jika sering digigit material yang
mendasarinya akan berkurang dan mengilangkan ikatan dengan gigi. Lapisannya
dapat mengeras jika terkena cairan mulut. Pelindung ini tidak direkomendasikan
untuk atlet yang menggunakan braket ortho.
2) Thermoplastic mouthguard
Jenis pelindung ini paling banyak digunakan karena keunggulannya yang murah,
tahan lama, dan dapat dilembutkan kembali serta diadaptasikan jika retensinya
mulai berkurang. Kekurangan dari pelindung ini adalah distorsidan pengerasan
ketika kontak dengan cairan mulut. Gambar 2.6 menunjukkan pelindung mulut
jenis thermoplastik.

Gambar 2.6 Thermoplastic Mouthguard (Fonseca, 2005)

3. Bimaxillary mouthguard
Penggunaan pelindung mulut ini terfiksasi di mandibula dan cukup nyaman untuk
bernafas secara maksimal. Efektif mencegah cedera karena concussion dan trauma
yang menyebabkan jejas pada kondilus mandibula. Gigi anterior mandibula juga
terproteksi dari trauma yang cukup frontal. Gambar 2.7 menunjukkan pelindung
mulut jenis bimaksila.
Gambar 2.7 Bimaxillary Mouthguard

4. Custom-made mouth protectors


Jenis pelindung mulut ini adalah yang terbaik jika dibandingkan dengan jenis
lainnya dilihat dari retensi, proteksi, rasa, bau, kenyamanan saat berbicara, dan
kebersihannya. Keunggulan tersebut tidak sepenuhnya menjadi bukti bahwa alat
pelindung ini paling baik mencegah dampak buruk dari trauma. Pelindung ini
difabrikasi menggunakan alginat menyesuaikan dengan maksila pasien tersebut.
Gambar 2.8 menunjukkan pelindung mulut jenis custom-made.

Gambar 2.8 Custom-made Mouth Protector (Vito, 2012)


Tindakan yang sudah disebutkan di atas akan berjalan optimal ketika para
orang tua sudah teredukasi dengan baik tentang pencegahan trauma gigi pada
anak-anak. Langkah darurat yang bisa dilakukan ketika terjadi trauma gigi pada
anak juga akan mengurangi keparahan trauma yang mengenai intraoral.
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. S
Umur : 30 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Status perkawinan : Belum Menikah
Alamat : Kendal
Pekerjaan : Wiraswasta
MRS : 1 Juni 2015
No. CM : C537563

3.2 Anamnesis

Autoanamnesis pada 1 Juni 2015 pukul 09.00 di Poli Gigi dan Mulut
RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Keluhan Utama : Rahang patah (rujukan dari RS Soewondo Kendal)
Riwayat Penyakit Sekarang
± 4 hari SMRS pasien mengalami kecelakaan motor, mekanisme
kecelakaan tidak diketahui. Pasien tidak menggunakan helm. Pingsan setelah
kecelakaan (+) Mual (-) Muntah (-). Pasien kemudian dibawa ke IGD RS
Soewondo, dilakukan penjaitan di bagian mulut dan dirawat inap selama 4 hari.
Selama rawat inap, pasien diberikan infus dan obat-obatan lewat infus. Selain itu,
pasien melakukan foto gigi. Pasien tidak dapat makan makanan padat, selama ini
hanya minum saja, tetapi tidak dipasang jalur makanan melalui hidung. Nyeri gigi
belakang rahang atas bawah (+) hilang timbul, gusi berdarah (-), nyeri gusi (-).
Pasien tidak dapat mengatupkan gigi maupun membuka mulutnya secara
maksimal.
Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat penyakit jantung disangkal
 Riwayat diabetes melitus disangkal
 Riwayat hipertensi disangkal
 Riwayat operasi sebelumnya disangkal
 Riwayat alergi obat disangkal
 Riwayat asthma disangkal
 Riwayat trauma daerah wajah sebelumnya disangkal
 Riwayat sakit gigi disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat hipertensi disangkal
 Riwayat diabetes melitus disangkal
 Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan seperti ini
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien bekerja sebagai wiraswasta. Belum menikah, tinggal bersama kedua orang
tuanya. Pembiayaan mandiri.

3.3 Pemeriksaan Fisik

Dilakukan pada 1 Juni 2015 pukul 09.30 di Poli Gigi dan Mulut RSUP Dr.
Kariadi Semarang.
a. Status Generalis
o Keadaan umum
Kesadaran : compos mentis
Keadaan gizi : cukup
o Tanda-tanda vital
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 78x/ menit
RR : 20x/ menit
Suhu : 36,5oC
VAS :3
o Gambaran Umum lainnya :
Tinggi Badan : 164 cm
Berat Badan : 50 kg
Edema : -
Pucat : -
Clubbing finger : -
Jaundice : -

Pemeriksaan Ekstraoral
o Wajah
Inspeksi : asimetri
Palpasi : nyeri tekan (+)
Mata : perdarahan subconjungtiva (+/-) memar (+/-)
Hidung : deviasi (-), discharge (-)
Telinga : discharge (-)
o Leher
Inspeksi : pembesaran nnll (-), dextra (-)
Palpasi : nyeri (-)

Pemeriksaan Intraoral
Mukosa pipi : edema (-/-), hiperemis (-/-)
Mukosa palatum : edema (-/-), hiperemis (-/-)
Mukosa dasar mulut/ lidah : edema (-/-), hiperemis (-/-)
Mukosa pharynx : edema (-/-), hiperemis (-/-)
Ginggiva atas : edema (-/-), hiperemis (-/-)
Ginggiva bawah : edema (-/-), hiperemis (-/-)
Karang gigi : (-)
Pocket : (-)
Oklusi : maloklusi, open bite (+)
Palatum : Tidak ada kelainan
Supernumerary teeth : Tidak ada
Diastema : Tidak ada
Gigi anomali : Tidak ada

Keterangan
Gigi 11, 12, 21, 31, 32, 33, 31, 41, 42, 43 intrusi, avulsi
Gigi 2.2 missing tooth

b. Status Lokalis
Pemeriksaan Ekstraoral
Inspeksi : wajah asimetris, tampak jahitan di daerah mulut
Palpasi : tidak ada pembesaran kelenjar betah bening (-), bengkak (-)

Pemeriksaan Intraoral
Gigi 1.1 gigi tampak masuk ke dalam,mahkota tampak lebih panjang
Gigi 1.2 gigi tampak masuk ke dalam, mahkota tampak lebih panjang
Gigi 2.1 gigi tampak masuk ke dalam,, mahkota tampak lebih panjang
Gigi 2.2  gigi tampak menghilang
Gigi 3.1 gigi tampak masuk ke dalam,mahkota tampak lebih panjang
Gigi 3.2 gigi tampak masuk ke dalam, mahkota tampak lebih panjang
Gigi 3.3 gigi tampak masuk ke dalam, mahkota tampak lebih panjang
Gigi 4.1 gigi tampak masuk ke dalam,mahkota tampak lebih panjang
Gigi 4.2 gigi tampak masuk ke dalam, mahkota tampak lebih panjang
Gigi 4.3 gigi tampak masuk ke dalam, mahkota tampak lebih panjang
c. Status Dental
Gigi 11, 12, 21, 31, 32,33, 31, 41, 42, 43
Inspeksi : tidak sejajar dengan lengkung gigi
Palpasi : (-)
Sondasi : (-)
Perkusi : (-)
Vitalitas : (-)
Mobilitas : (+), intrusi

Gigi 2.2
Inspeksi : sulit dinilai
Palpasi : sulit dinilai
Sondasi : sulit dinilai
Perkusi : sulit dinilai
Vitalitas : sulit dinilai
Mobilitas : sulit dinilai

3.4 Pemeriksaan Penunjang

Panoramic X-Ray

3.5 Diagnosis Kerja

Fraktur Dentoalveolar maxilla dan mandibula

3.6 Initial Plan

Dx : S : -
O : Panoramic x-ray
Rx : rujuk ke spesialis bedah mulut
Mx : tanda nyeri, tanda vital
Ex :Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien mengenai diagnosis dan
menerangkan bahwa keluhan rahang yang patah harus ditatalaksana lebih lanjut
dengan cara operasi dan rujuk ke spesialis bedah mulut.
BAB III

PEMBAHASAN

Fraktur dentoalveolar didefinisikan sebagai fraktur yang meliputi avulsi,


subluksasi, atau fraktur gigi yang berkaitan dengan fraktur tulang alveolar. Fraktur
dentoalveolar dapat terjadi tanpa disertai dengan fraktur bagian tubuh lainnya,
biaasanya terjadi akibat kecelakaan ringan, seperti jatuh, benturan, berolahraga,
atau iatrogenik. Fraktur dentoalveolar diklasifikasikan menjadi tiga yaitu cedera
pada tulang pendukung, cedera pada jaringan periodontal, dan cedera pada
jaringan keras gigi dan pulpa.

Seorang laki-laki 30 tahun datang ke Poli Gigi Mulut RSDK dengan


keluhan rahang bengkak atas rujukan RS Soewondo Kendal. ± 4 hari SMRS
pasien mengalami kecelakaan motor, mekanisme kecelakaan tidak diketahui.
Pasien tidak menggunakan helm. Pingsan setelah kecelakaan (+) Mual (-) Muntah
(-). Pasien kemudian dibawa ke IGD RS Soewondo, dilakukan penjaitan di bagian
mulut dan dirawat inap selama 4 hari. Selama rawat inap, pasien diberikan infus
dan obat-obatan lewat infus. Selain itu, pasien melakukan foto gigi. Pasien tidak
dapat makan makanan padat, selama ini hanya minum saja, tetapi tidak dipasang
jalur makanan melalui hidung. Nyeri gigi belakang rahang atas bawah (+) hilang
timbul, gusi berdarah (-), nyeri gusi (-). Pasien tidak dapat mengatupkan gigi
maupun membuka mulutnya secara maksimal. Riwayat penyakit jantung,
hipertensi, diabetes mellitus, dan alergi obat disangkal. Riwayat keluarga
menderita penyakit seperti ini disangkal.

Pada pemeriksaan ekstraoral didapatkan asimetri wajah, tampak jahitan di


daerah mulut. Pada palpasi tidak ada pembesaran kelenjar betah bening dan tidak
bengkak. Pada periksaan intraoral tampak mahkota lebih panjang dan luksasi
derajat 3 pada gigi 11, 12, 21, 31, 32, 41, dan 42. Pada gigi 22 tampak gigi
menghilang (avulsi). Pada pemeriksaan juga didapatkan oklusi gigi yang
abnormal.

Pada pemeriksaan status dental…

Dari anamnesis, pemeriksaan status lokalis, dan pemeriksaan penunjang


berupa panoramic x-ray yang telah dilakukan didapatkan diagnosis fraktur
dentoalveolar rahang atas dan rahang bawah serta fraktur angulus mandibula.
Penatalaksanaan yang dilakukan adalah melakukan konsul ke bagian bedah mulut
untuk kemudian dilakukan operasi. Edukasi yang diberikan kepada pasien dan
keluarga adalah memberitahukan kepada pasien dan keluarga mengenai keadaan
dan diagnosis pasien dan juga pentingnya dilakukan operasi untuk
penatalaksanaan lanjut untuk menghindari komplikasi dan mengembalikan fungsi.

Untuk menegakkan diagnosis fraktur dentoalveolar diperlukan anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan
adanya riwayat trauma pada bagian mulut. Pada pemeriksaan status lokalis
didapatkan tanda-tanda klinis fraktur alveolaris yaitu gigi goyang, pergeseran
beberapa gigi dalam satu segmen, laserasi pada ginggiva, serta adanya luka atau
bengkak pada dagu. Tanda klinis lainnya adalah luka pada ginggiva dan hematom
diatasnya, serta adanya nyeri tekan pada garis fraktur. Fraktur alveolar bisa terjadi
karena adanya trauma tidak langsung pada gigi atau tulang pendukung yang
dihasilkan dari pukulan atau tekanan pada dagu. Hal ini bisa terlihat dengan
adanya pembengkakan dan hematom pada dagu serta luka pada bibir. Pada pasien
ini didapatkan gelaja klinis yang sesuai dengan teori mengenani fraktur
dentoalveolar, maka didapatkan diagnosis fraktur dentoalveolar.

Penatalaksanaan yang seharusnya dilakukan pada saat mendapat pasien


dengan trauma maksilofasial yang harus dilakukan pertama kali adalah
penatalaksanaan trauma secara umum. Penatalaksanaan yang harus dilakukan
meliputi pembersihan jalan napas, baik dari serpihan gigi, darah, ataupun
hematom sublingual yang dapat menyumbat jalan napas. Hal lain yang harus
dilakukan adalah menghentikan perdarahan, memberikan terapi antibiotik
profilaksis, dan kontrol rasa nyeri. Pada pasien trauma maksilofasial yang tidak
dapat makan secara normal perlu diperhatikan mengenai intake nutrisinya.

Pada pasien ini kagawatdaruratan telah tertangani RS Kendal dan sekarang


pasien dalam keadaan stabil oleh karena itu penatalaksanaan kegawat daruratan
sudah tidak perlu dilakukan. Penatalaksanaan lanjut yang dilakukan adalah
konsultasi kepada bagian bedah mulut mengenai operasi untuk memperbaiki
fungsi dan mencegah komplikasi.
BAB IV

KESIMPULAN

Fraktur dentoalveolar didefinisikan sebagai fraktur yang meliputi avulsi,


subluksasi, atau fraktur gigi yang berkaitan dengan fraktur tulang alveolar.Fraktur
dentoalveolar diklasifikasikan menjadi tiga yaitu cedera pada tulang pendukung,
cedera pada jaringan periodontal, dan cedera pada jaringan keras gigi dan pulpa.
Pada pasien ini didapatkan anamnesis, gejala klinis, dan gambaran radiologis
yang sesuai dengan teori mengenai fraktur dentolaveolar sehingga didapatkan
diagnosis fraktur dentolaveolar. Penatalaksanaan kegawatdaruratan telah
dilakukan, sehingga pasien sekarang dalam keadaan stabil. Penatalaksanaan yang
akan dilakukan selanjutnya adalah konsultasi kepada bagian bedah mulut untuk
operasi yang bertujuan menghindari komplikasi dan memperbaiki fungsi.
DAFTAR PUSTAKA

1. USU 9
2. Banks P, Brown A Fractures of The Facial Skeleton. Wright; 2001. P. 40 –
2, 72 – 9
3. Killey HC. Fractures of The Middle Third of The Facial Skeleton, Third
Edition. Bristol : Johhn Wright and sons Ltd, 1977
4. Selvi, Zakiah, Intan. Fraktur Dentoalveolar. 2014. Jatinangor : FKG
Universitas Padjajaran.
5. Namirah, Nurul. Prevalensi Fraktur Maksilofasial pada Kasus Kecelakaan
Lalu Lintas di RSUD Andi Makasau Kota Pare – Pare tahun 2013. 2014.
Makassar : FKG Universitas Hassanudin.

Anda mungkin juga menyukai