Anda di halaman 1dari 15

KONSEP DASAR

I. Anatomi Fisiologi

Tulang-tulang tengkorak pada wajah dapat dibedakan menjadi bagian kranium


dan bagian wajah. Kranium terdiri dari sejumlah tulang yang menyatu pada sendi
yang tidak bergerak yang disebut sutura. Mandibula adalah suatu perkecualian karena
menyatu dengan kranium melalui artikulasio temporomandibularis yang mobil.
Tulang wajah terdiri atas:
1. os zygomaticum (2 buah)
2. maksila (2 buah)
3. os nasale (2 buah)
4. os lacrimale (2 buah)
5. os vomer (1 buah)
6. os palatinum (2 buah)
7. konka nasalis inferior (2 buah)
8. os mandibula (1 buah)
Os frontale melengkung ke bawah, membentuk margo superior orbita. Di
bagian medial, os frontale berartikulasi dengan procesus frontalis maksila dan os
nasale. Di bagian lateral, berartikulasi dengan os zygomatikum. Margo orbitalis
superior dibentuk oleh os frontale, lateral oleh os zygomatikum, inferior oleh maksila
dan medila oleh procesus maksilaris dan os frontale.
Kedua os nasales membentuk batang hidung. Tepi bawahnya bersama maksila
membentuk apertura nasalis anterior. Cavum nasi dibagi dibagi dua oleh septum
nasale bertulang yang sebagian besar dibentuk oleh vomer. Konka superior dan media
dari os ethmoidale pada setiap sisi, menonjol ke dalam cavum nasi; sedangkan konka
inferior merupakan tulang tersendiri.
Kedua maksila membentuk rahang atas, pars anterior palatum durum, sebagian
dinding lateral rongga hidung dan sebagian dasar orbita. Os zygomatikum membentuk
tonjolan pipi dan bagian dari dinding lateral serta dasar orbita. Di medial, berartikulasi
dengan maksila dan di lateral dengan prosesus zygomatikus ossis temporalis
membentuk arkus zygomatikus. Os zygomatikum ditembus oleh dua foramen untuk n.
Zygomatikofasialis dan zygomatikotemporalis. Mandibula terdiri atas, corpus
horisontal dan dua ramus vertikal. Korpus menyatu dengan ramus pada angulus
mandibula. Foramen mentale bermuara pada permukaan anterior korpus mandibula,
di bawah gigi premolar kedua.

II. Pengertian
Fraktur adalah hilang atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh. Fraktur
maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu tulang
frontal, temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan mandibula. Fraktur
maksilofasial lebih sering terjadi sebagai akibat dari faktor yang datangnya dari luar
seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olah raga dan juga
sebagai akibat dari tindakan kekerasan.
Fraktur midfasial terdiri dari fraktur zigomatikomaksilar
(zygomaticomaxillary complex /ZMC) termasuk fraktur Le fort, dan fraktur
nasoorbitoethmoid (nasoorbitalethmoid /NOE). Fraktur midfasial cenderung terjadi
pada sisi benturan terjadi dan bagian yang lemah seperti sutura, foramen, dan
apertura. Fraktur zigoma merupakan salah satu fraktur midfasial yang paling sering
terjadi, umumnya sering terjadi pada trauma yang melibatkan 1/3 bagian tengah
wajah, hal ini dikarenakan posisi zigoma agak lebih menonjol pada daerah sekitarnya.
Fraktur ZMC biasanya melibatkan dinding bawah orbita tepat diatas nervus alveolaris
inferior, sutura zigomatikofrontal, sepanjang arkus pada sutura zigomatikotemporal,
dinding lateral zigomatikomaksila, dan sutura zigomatikosplenoid yang terletak di
dinding lateral orbita, sedangkan dinding medial orbita tetap utuh.

III. Etiologi
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada
tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak langsung dan sering
berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang di sebabkan oleh kendaraan
bermotor. Menurut Carpenito (2000) adapun penyebab fraktur antara lain:
1. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.
Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah
melintang atau miring.
2. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling
lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan
penarikan.
Fraktur zigoma merupakan salah satu fraktur midfasial yang paling sering terjadi,
umumnya sering terjadi pada trauma yang melibatkan 1/3 bagian tengah wajah, hal ini
dikarenakan posisi zigoma agak lebih menonjol pada daerah sekitarnya. Fraktur ZMC
biasanya melibatkan dinding bawah orbita tepat diatas nervus alveolaris inferior,
sutura zigomatikofrontal, sepanjang arkus pada sutura zigomatikotemporal, dinding
lateral zigomatikomaksila, dan sutura zigomatikosplenoid yang terletak di dinding
lateral orbita, sedangkan dinding medial orbita tetap utuh.

IV. Klasifikasi
Manson et.al. ( tahun 1990), didasarkan pada pola segmentasi dan pergeseran
1. Low-energy zygoma fractures
Fraktur yang memperlihatkan sedikit atau tidak ada pergeseran
2. Middle-energy zygoma fractures
Fraktur complete pada seluruh artikulasi dengan pergeseran ringan hingga
moderat
3. High-energy zygoma fractures
Ditandai dengan serpihan pada orbita lateral dan pergeseran lateral dengan
segmentasi pada arcus zygomatik

V. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk
menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat
diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau
terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh
darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang
rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di
rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah.
Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang
ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah
putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang
nantinya
VI. Tanda dan Gejala

Gejala fraktur zygoma antara lain:

1. Pipi menjadi lebih rata (dibandingkan dengan sisi kontralateral atau sebelum
trauma)
2. Diplopia dan terbatasnya gerakan bola mata
3. Edema periorbita dan ekimosis
4. Perdarahan subkonjungtiva, ptosis
5. Enophtalmus (fraktur dasar orbita atau dinding orbita)
6. Terdapatnya hipestesia atau anestesia karena kerusakan saraf infra-orbitalis
7. Terbatasnya gerakan mandibula
8. Emfisema subkutis
9. Epistaksis karena perdarahan yang terjadi pada antrum

VII. Pemeriksaan Penunjang


1. X.Ray
2. Foto Ronsen
3. Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
4. Ct Scan pada potongan axial maupun coronal merupakan gold standard pada
pasien dengan kecurigaan fraktur zigoma, untuk mendapatkan pola fraktur, derajat
pergeseran, dan evaluasi jaringan lunak orbital.

VIII. Penatalaksanaan
1. Reduksi tidak langsung (Keen dan Goldwaite)
Reduksi tidak langsung melalui sulkus gingivobukalis. Dibuat sayatan kecil pada
mukosa bukal di belakang tuberositas maksila. Elevator dimasukkan di belakang
tuberositas dan fraktur dikembalikan kepada tempatnya. Cara reduksi fraktur ini
mudah dikerjakan dan memberi hasil baik.

2. Reduksi terbuka
Tulang zygoma yang patah tidak bisa diikat dengan kawat baja dari Kirschner,
harus ditanggulangi dengan reduksi terbuka menggunakan kawat atau mini plate.
Laserasi yang timbul di atas zygoma dapat dipakai sebagai tanda untuk melakukan
insisi. Adanya fraktur pada rima orbita inferior, dasar orbita, dapat direkonstruksi
dengan melakukan insisi di bawah palpebra inferior untuk mencapai fraktur dis
ekitar tulang orbita tersebut. Tindakan ini harus dikerjakan hati-hati karena dapat
merusak bola mata.
KONSEP ASUHAN KEPERWATAN

I. Pengkajian
a. Data Subyektif
1. Pasien mengatakan nyeri di daerah pipi
2. Pasien mengatakan tulang pipi tidak menonjol
3. Pasien mengatakan bengkak pada daerah wajah
4. Pasien mengatakan sesak nafas
5. Pasien mengatakan susah menggerakkan rahang
6. Pasien mengatakan takut cemas akan kondisi nya
b. Data Obyektif
1. Muka pasien asimetris
2. Nafas pasien pendek
3. Pipi pasien terlihat rata
4. Terdapat edema periorbita
5. Perdarahan subkonjungtiva
6. Pasien tampak susah menggerakkan rahang
7. Enophtalmus (+)
8. pergerakan bola mata baik
9. Tidak ada diplopia
10. Ekspresi pasien cemas

II. Diagnosa Keperawatan


1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan
lunak, stress/ansietas, luka operasi.
2. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan
membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
3. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma
jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
III. Rencana Keperawatan

1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak,
stress/ansietas, luka operasi.

Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan asuhan keperawatan selama 3x 24


jam, nyeri yang dirasakan klien berkurang dengan criteria hasil :

Kriteria Hasil :
 Skala nyeri menurun
 Ekspresi wajah tenang
 Ungkapan verbal klien bahwa nyeri berkurang
 Pasien mampu mengatasi nyeri dengan beberapa teknik nonfarmakologi
 Tanda tanda vital dalam rentang normal

Rencana Intervensi :

 Kaji secara komprehensip terhadap nyeri termasuk lokasi, karakteristik, durasi,


frekuensi, kualitas, intensitas nyeri dan faktor presipitasi
 Observasi reaksi ketidaknyaman secara nonverbal
 Berikan informasi tentang nyeri termasuk penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan
hilang, antisipasi terhadap ketidaknyamanan dari prosedur
 Control lingkungan yang dapat mempengaruhi respon ketidaknyamanan
klien( suhu ruangan, cahaya dan suara)
 Ajarkan cara penggunaan terapi non farmakologi (distraksi, guide
imagery,relaksasi)
 Kolaborasi pemberian analgesic

Rasional

 Untuk mengetahui tingkat nyeri pasien

 Untuk mengetahui tingkat ketidaknyamanan dirasakan oleh pasien


 Pemberian “health education” dapat mengurangi tingkat kecemasan dan
membantu klien dalam membentuk mekanisme koping terhadap rasa nyer

 Untuk mengurangi tingkat ketidaknyamanan yang dirasakan klien.

 Agar klien mampu menggunakan teknik nonfarmakologi dalam memanagement


nyeri yang dirasakan.

 Pemberian analgetik dapat mengurangi rasa nyeri pasien

2. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli,

Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan asuhan keperawatan selama 3x 24


jam, gangguan pertukaran gas dapat teratasi dengan criteria hasil :

Kriteria hasil :
 Frekuensi pernapasan menjadi normal
 Irama pernapasan normal
 Pernapasan cuping hidung tidak ada
 Gangguan kesadaran tidak ada

Intervensi :
 Kaji tingkat pernapasan, kedalaman, dan usaha, termasuk penggunaan otot
aksesori, sengatan hidung, dan pola pernapasan abnormal.
 Pantau perubahan pada BP dan HR.
 Pantau saturasi oksigen terus menerus, dengan menggunakan pulse oximeter.
 Menilai sakit kepala, pusing, lesu, mengurangi kemampuan mengikuti
instruksi, disorientasi, dan koma.
 Siapkan peralatan oksigen dan berikan melalui humidifier
 Posisi pasien dengan kepala tempat tidur ditinggikan, dalam posisi semi-
Fowler (kepala tempat tidur pada 45 derajat saat terlentang) seperti yang
ditoleransi.
Rasional :

 Pola pernafasan yang cepat dan dangkal serta hipoventilasi mempengaruhi


pertukaran gas. Peningkatan laju pernapasan, penggunaan otot aksesori,
sengatan hidung, pernapasan perut, dan tampilan panik di mata pasien dapat
dilihat dengan hipoksia.
 BP, HR, dan tingkat pernapasan semua meningkat dengan hipoksia awal dan
hiperkkapnia. Namun, ketika kedua kondisi menjadi parah, BP dan HR
menurun, dan disritmia mungkin terjadi.
 Oksimetri pulsa adalah alat yang berguna untuk mendeteksi perubahan
oksigenasi. Saturasi oksigen <90% (normal: 95% sampai 100%) atau tekanan
parsial oksigen <80 (normal: 80 sampai 100) menunjukkan adanya masalah
oksigenasi yang signifikan.
 Memberikan posisi yang nyaman untuk pasien
 Ini adalah tanda-tanda hiperkapnia.
 Membantu pasien memperoleh O2
 Posisi tegak atau posisi semi-Fowler memungkinkan peningkatan kapasitas
toraks, penurunan penuh diafragma, dan peningkatan ekspansi paru-paru yang
mencegah isi perut dari keramaian.

3. Risiko infeksi b.d Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan
kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)

Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien


dapat terhindar dari risiko infeksi

Kriteria Hasil :
 Integritas kulit klien normal

 Temperatur kulit klien normal

 Tidak adanya lesi pada kulit

 Tidak ada tanda-tanda infeksi


 menunjukkan terjadinya proses penyembuhan luka

Intervensi

 Monitor karakteristik, warna, ukuran, cairan dan bau luka

 Bersihkan luka dengan normal salin

 Rawat luka dengan konsep steril

 Ajarkan klien dan keluarga untuk melakukan perawatan luka

 Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga mengenai tanda dan gejala dari
infeksi

 Kolaborasi pemberian antibiotic

 Instruksikan pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah


berkunjung

Rasional

 Untuk mengetahui keadaan luka dan perkembangannya

 Normal salin merupakan cairan isotonis yang sesuai dengan cairan di tubuh

 Agar tidak terjadi infeksi dan terpapar oleh kuman atau bakteri

 Memandirikan pasien dan keluarga

 Agar keluarga pasien mengetahui tanda dan gejala dari infeksi

 Pemberian antibiotic untuk mencegah timbulnya infeksi

 meminimalkan patogen yang ada di sekeliling pasien


LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR ZYGOMA

DISUSUN OLEH

KARLIYN AYU ANGELINA MARPAUNG

P17211173016

PROGRAM STUDI DIV KEPERAWATAN


POLTEKKES KEMENKES MALANG
2019
ASUHAN KEPERAWATAN

FRAKTUR ZYGOMA

DISUSUN OLEH

KARLIYN AYU ANGELINA MARPAUNG

P17211173016

PROGRAM STUDI DIV KEPERAWATAN


POLTEKKES KEMENKES MALANG
2019
RESUME

DISUSUN OLEH

KARLIYN AYU ANGELINA MARPAUNG

P17211173016

PROGRAM STUDI DIV KEPERAWATAN


POLTEKKES KEMENKES MALANG
2019

Anda mungkin juga menyukai