Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN FRAKTUR TIBIA PLATEAU

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA


BALI

2019
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Definisi Fraktur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis
dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari
yang diabsorbsinya. Patah tulang terbuka atau disebut juga opened fracture
adalah keadaan patah tulang yang terjadi dengan adanya hubungan antara
jaringan tulang yang patah tersebut dengan lingkungan eksternal dari kulit.
Fraktur Tibia adalah fraktur yang terjadi pada bagian tibia sebelah kanan
maupun kiri akibat pukulan benda keras atau terjatuh (Smeltzer &
Bare,2003). Menurut Mansjoer (2007), fraktur tibia (bumper
fracture/fraktur tibia plateau)adalah fraktur yang terjadi akibat trauma
langsung dari arah samping lutut dengan kaki masih terfiksasi ke tanah.
Fraktur tibia plateau merupakan fraktur yang terjadi sebagai akibat
kompresi bagian atas tibia terhadap femur, sehingga terjadi kerusakan pada
satu sisi. (Helmi & Zairin, 2012)

2. Epidemiologi/Insiden Kasus
Fraktur tibia plateau terjadi pada 1% kasus dari semua fraktur dan 8% kasus
terjadi pada pasien yang tua. Fraktur yang terjadi pada pasien tua
merupakan hasil dari trauma dengan energi rendah. Fraktur pada medial
plateau terjadi pada 23% kasus fraktur plateau sedangkan fraktur lateral
plateau terjadi pada 70% kasus dan kombinasi antara keduanya terjadi pada
31% kasus.

3. Etiologi/Penyebab
Fraktur disebabkan oleh :(Arif Muttaqin, 2008, hal 70)
a) Trauma langsung
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang. Hal
tersebut dapat mengakibatkan terjadinya fraktur pada daerah tekanan.
Fraktur yang terjadi biasanya bersifat komuniti dan jaringan lunak ikut
mengalami kerusakan.
b) Trauma tidak langsung
Apabila trauma dihantarkan kedaerah yang lebih jauh dari daerah
fraktur, trauma tersebut disebut trauma tidak langsung. Misalnya jatuh
dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada klavikula.
Pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh.

Fraktur juga dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk,


gerakan puntir mendadak, dan kontraksi otot ekstrim. (Brunner & Suddart,
2002, hal 2357). Fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan
yang berlebih oleh tulang ( lukman 2007,hal 26). Jenis dan beratnya patah
tulang dipengaruhi oleh :
a) Arah, kecepatan dan kekuatan dari tenaga yang melawan tulang
b) Usia penderita
c) Kelenturan tulang
d) Jenis tulang
Dengan tenaga yang sangat ringan, tulang yang rapuh karena osteoporosis
atau tumor biasanya menyebabkan patah tulang

4. Patofisiologi Terjadinya Penyakit


Fraktur dapat terjadi karena trauma / rudapaksa sehingga dapat
menimbulkan luka terbuka dan tertutup. Fraktur luka terbuka memudahkan
mikroorganisme masuk kedalam luka tersebut dan akan mengakibatkan
terjadinya infeksi. Pada fraktur dapat mengakibatkan terputusnya
kontinuitas jaringan sendi, tulang bahakan kulit pada fraktur terbuka
sehingga merangsang nociseptor sekitar untuk mengeluarkan histamin,
bradikinin dan prostatglandin yang akan merangsang serabut A-delta untuk
menghantarkan rangsangan nyeri ke sum-sum tulang belakang, kemudian
dihantarkan oleh serabut-serabut saraf aferen yang masuk ke spinal melalu
“dorsal root” dan sinaps pada dorsal horn. Impuls-impuls nyeri
menyeberangi sum-sum belakang pada interneuron-interneuron dan
bersambung dengan jalur spinal asendens, yaitu spinothalamic tract (STT)
dan spinoreticuler tract (SRT). STT merupakan sistem yang diskriminatif
dan membawa informasi mengenai sifat dan lokasi dari stimulus kepada
thalamus kemudian ke korteks untuk diinterpretasikan sebagai nyeri.
Nyeri bisa merangsang susunan syaraf otonom mengaktifasi norepinephrin,
sarap msimpatis terangsang untuk mengaktifasi RAS di hipothalamus
mengaktifkan kerja organ tubuh sehingga REM menurun menyebabkan
gangguan tidur. Akibat nyeri menimbulkan keterbatasan gerak
(imobilisasi) disebabkan nyeri bertambah bila digerakkan dan nyeri juga
menyebabkan enggan untuk bergerak termasuk toiletening, menyebabkan
penumpukan faeses dalam colon. Colon mereabsorpsi cairan faeses
sehingga faeses menjadi kering dan keras dan timbul konstipasi.
Imobilisasi sendiri mengakibatkan berbagai masalah, salah satunya
dekubitus, yaitu luka pada kulit akibat penekanan yang terlalu lama pada
daerah bone promenence.
Perubahan struktur yang terjadi pada tubuh dan perasaan ancaman akan
integritas stubuh, merupakan stressor psikologis yang bisa menyebabkan
kecemasan. Terputusnya kontinuitas jaringan sendi atau tulang dapat
mengakibatkan cedera neuro vaskuler sehingga mengakibatkan oedema
juga mengakibatkan perubahan pada membran alveolar (kapiler) sehingga
terjadi pembesaran paru kemudian terjadi kerusakan pada pertukaran gas,
sehingga timbul sesak nafas sebagai kompensasi tubuh untk memenuhi
kebutuhan oksigen.
Pathway
Rudapaksa atau trauma

Fraktur

Fraktur luka terbuka

Mikroorganisme masuk Terputusnya kontinuitas


jaringan sendi

Terjadi infeksi Cedera vaskuler


Merangsang nociseptor mengeluarkan
histamin, bradikinin, dan prostatglandin
Oedema

Disfungsi Rangsangan nyeri dihantarkan serabut


neurovaskuler A-delta ke sumsum tulang belakang

Perubahan membran serabut-serabut saraf aferen


alveolar (kapiler)

Edema paru spinal melalui dorsal root dan sinaps pada


dorsal horn

Kerusakan
pertukaran gas Spinal asendens (STT&SRT)

Korteks serebri

Nyeri

Nyeri bertambah dan enggan bergerak Merangsang RAS di


Hiphotalamus
Keterbatasan gerak (imobilisasi)
REM menurun
Penekanan terlalu
Penumpukan faeses dalam colon lama
Gangguan tidur

Faeses kering dan keras Sirkulasi darah terganggu

Konstipasi Pemenuhan nutrisi dan O2


ke jaringan menurun

Ischemia Cemas

Ancaman
Nekrosis jaringan Dekubitus stressor
integritas
5. Klasifikasi
Jika kerusakan yang terjadi tertutup, maka digunakan klasifikasi Tscherne
dan Gotzen. Jika fraktur terbuka maka digunakan klasifikasi Gustilo-
Anderson. Fraktur tibia plateau dapat diklasifikasikan dengan Schatzker
yaitu berdaarkan lokasi dan konfigurasi fraktur.
a) Klasifikasi fraktur tertutup (Tscheme and Gotzen) yaitu :
Grade 0 : kerusakan jaringan lunak minimal
Grade 1 : abrasi superficial/kontusio
Grade 2 : dalam, abrasi dengan kontusio kulit ataupun otot. Tanda-
tanda impending kompartemen sindrom
Grade 3 : kontusio kulit yang luar, avulse subkutan, dan kerusakan
otot

b) Klasifikasi fraktur terbuka (Gustilo-Anderson) yaitu :


Grade 1 : luka kecil kurang dari 1 cm, terdapat sedikit krusakan
jaringan, tidak terdapat tanda-tanda trauma yang hebat pada
jaringan lunak. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat simpel,
tranversal, oblik pendek atau komunitif.
Grade 2 : Laserasi kulit melebihi 1cm tetapi tidak terdapat kerusakan
jaringan yang hebat atau avulsi kulit. Terdapat kerusakan
yang sedang dan jaringan
Grade 3 : terdapat kerusakan yang hebat paa jaringan lunak termasuk
otot, kulit, dan struktur neovaskuler dengan kontaminasi
yang hebat dibagi menjasi 3 sub tipe yaitu :
- Grade IIIA : jaringan lunak cukup menutup tulang yang
patah
- Grade IIIB : disertai kerusakan dan kehilangan jaringan
lunak, soft tissue cover (-)
- Grade IIIC : disertai cedera arteri yang memerlukan
repair segera
c) Klasifikasi fraktur tibia plateau (Schatzer classification) yaitu :
Tipe 1 : fraktur biasa pada kondilus tibia lateral. Pada pasien yang
lebih muda yang tidak menderita osteoporosis berat,
mungkin terdapat vertikan dengan pemisahan fragmen
tuggal. Fraktur ini mungkin sebenernya tidak bergeser, atau
jelas sekali tertekan dan miring, kalau retaknya leher,
fragmen yang lepas ataua meniscus lateral dapat terjebak
dalam celah
Tipe 2 : peremukan komunitif pada kondilus lateral dengan depresi
pada fragmen. Tipe fraktur ini paling sering ditemukan dan
biasanya terjadi pada orang tua dengan osteoporosis
Tipe 3 : peremukan komunitif dengan fragmen luar yang utuh.
Fraktur ini mirip dengan tipe 2, tetapi segmen tulang sebelah
luar memberikan selembar permukaan sendi yang utuh
Tipe 4 : fraktur pada kondilus tibia medial. Ini kadang-kadang
akibat cedera berat, dengan perobekan ligament kolateral
lateral
Tipe 5 : fraktur pada kedua kondilus dengan batang tibia yang
melesak diantara keduanya
Tipe 6 : kombinasi fraktur kodilus dan subkondilus, biasanya akibat
daya aksial yang hebat

6. Manifestasi Klinis
Menurut Brunner dan Suddart (2002; 2358) Manifestasi klinis fraktur
adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstermitas,
krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna.
a) Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang dirancang untum meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.
b) Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian yang tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap
rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau
tungkai menyebabkan deformitas (terliahat maupun teraba) ekstermitas
yang bisa diketahui dengan membandingkan ekstermitas yang normal.
Ekstermitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
c) Pada fraktur tulang panjang, terjadi pemendekan tulang yang
sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan bawah
tempat fraktur. Fragmen sering saling melengkapi satu sama lain
sampai 2,5-5cm (1-2 inchi).
d) Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya. Uji kreptus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan
yang lebih berat.
e) Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagi
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa
baru terjadi setelah beberapa jam atau cedera.

7. Komplikasi
Brunner dan Suddarth (2002; 2365) membagi komplikasi fraktur kedalam
empat macam, antara lain :
a) Syok hipovolemik atau traumatik yang terjadi karena perdarahan dan
kehilangan cairan ekstra sel kejaringan yang rusak.
b) Sindrome emboli lemak (terjadi dalam 24 sampai 72 jam setelah
cedera). Berasal dari sumsum tulang karena perubahan tekanan dalam
tulang yang fraktur mendorong molekul-molekul lemak dari sumsum
tulang masuk ke sistem sirkulasi darah ataupun karena katekolamin
yang dilepaskan oleh reaksi stres.
c) Sindrom Kompartemen terjadi karena perfusi jaringan dalam otot
kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa
diakibatkan karna:
1) Penurunan ukuran kompartemen otot karena fasia yang
membungkus otot terlalu ketat atau gips atau balutan yang terlalu
menjerat
2) Peningkatan isi kompartemen otot karena edema.
d) Tromboemboli, infeksi dan Koagulopati Intravaskuler Desiminata
(KID)

8. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
a) Pemeriksaan Laboratorium
1) Alkalin fosfat
2) Kalsium serum dan fosfor serum
3) Enzim otot seperti kreatinin kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-
5), Asparat Amino Transferase (AST)

b) Pemeriksaan Radiologi
1) Sinar rontgen (X-ray)
Pemeriksaan standar untuk trauma pada lutut adalah foto X-ray
dengan posisi anteroposterior (AP), lateral, dan dua oblik. Foto X-
ray digunakan untuk mengidentifikasi garis fraktur dan pergeseran
yang terjadi tetapi tingkat kominusi atau depresi dataran mungkin
tidak terlihat jelas. Foto tekanan (dibawah anestesi) kadang-kadang
bermanfaat untuk menilai tingkat ketidakstabilan sendi. Bila
kondilus lateral remuk, ligamen medial utuh, tetapi bila kondilus
medial remuk, ligamen lateral biasanya robek.

2) CT Scan
CT-Scan digunakan untuk mengidentifikasi adanya pergeseran dari
fraktur tibia plateau. CT-Scan potongan sagital meningkatkan
akurasi diagnosis dari fraktur tibia plateau dan diindikasikan pada
kasus dengan depresi artikular.
3) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Magnetic Resonance Imaging (MRI) digunakan untuk
mengevaluasi trauma ataupun sebagai alternatif dari CT-Scan atau
arthroscopy. MRI dapat mengevaluasi tulang serta komponen
jaringan lunak dari lokasi trauma. Namun, tidak ada indikasi yang
jelas untuk penggunaan MRI pada fraktur tibia plateau.

4) Elektromiografi
Terdapat kerusakan kondukasi saraf yang diakibatkan fraktur.

5) Arthroscopi
Didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang
berlebihan.

6) Indium imaging
Pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi.

c) Pemeriksaan lainnya
1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan tes sensitivitas
2) Biopsy tulang dan otot diindikasikan bila terjadi infeksi

9. Prognosis
Prognosis pada fraktur tibial plateau adalah :
1. Fraktur tibial plateau dapat menyebabkan kerusakan yang parah
2. Insidensi arthritis post trauma dihubungkan dengan usia pasien,
lokasi dari pergeseran, dan reduksi.
3. Fraktur karena energy tinggi yang diterapi dengan fiksasi eksternal
hanya memiliki insidensi sebesar 5% mengenai masalah luka
10. Therapy/Tindakan Penanganan
Terapi pada fraktur tibia plateau dibag menjadi non-operative dan
operative:
a) Non operative
Fraktur yang non-displaced dan stabil baik diterapi non-operative.
Pemakaian hinged cast-brace untuk melindungi pergerakan lutut dan
beban tubuh merupakan salah satu metode pilihan. Latihan isometric
untuk quadriceps, pasif, aktif dan pergerakan aktif dari lutut sebagai
stabilitas dapat dilakukan. Dibolehkan untuk memikul beban tubuh
secara partial selama 8-12 minggu dan progresif hingga memikul beban
tubuh secara keseluruhan. Terapi dengan long leg cast juga dapat
digunakan.
Fraktur yang tidak bergeser atau sedikit bergeser biasanya
menimbulkan hemathrosis. Hemathrosis diaspirasi dan pembalut
kompresi dipasang. Tungkai diistirahatkan pada mesin gerakan pasif
kontinu dan gerakan lutut dimulai. Segera setelah nyeri dan
pembengkakan akut telah mereda, gips penyangga berengsel dipasang
dan pasien diperbolehkan menahan beban sebagian dengan kruk
penopang.

(a)tampaknya tidak mungkin bahwa fraktur bikondilus yang kompleks


ini dapat direduksi dengan sempurna dan difiksasi secara memuaskan
dengan operasi, maka (b,c) pen traksi bawah dimasukkan dan gerakan
dilatih dengan tekun (d) sepuluh hari kemudian sinar X memperlihatkan
reduksi yang sangat baik dan hasil akhir sangat bagus.

b) Operative
Indikasi operasi pada fraktur tibia plateau adalah :
- Depresi pada articular yang dapat ditoleransi adalah <2mm sampai
1cm
- Instabilisasi >10o dari lutut yang diperpanjang dibandingkan
dengan sisi sebaliknya. Fraktur yang retak lebih tidak stabil
dibandingkan fraktur yang hanya kompresi
- Fraktur terbuka
- Sindrom kompartemen
- Adanya kerusakan vascular

Terapi pembedahan berdasarkan tipe frakturnya (Schatzker


classification) yaitu :

Schatzker tipe 1

Fraktur yang bergeser, fragmen kondilus yang besar harus benar-benar


direduksi dan difiksasi pada posisinya. Ini terbaik dilakukan dengan
operasi terbuka.

Schatzker tipe 2

Fraktur komunitif, pada dasarnya ini adalah fraktur kompresi, mirip


dengan fraktur kompresi vertebra. Kalau depresi ringan (kurang dari 5
mm) dan lutut stabil atau jika pasien telah tua dan lemah serta
mengalami osteoporosis, fraktur diterapi secara tertutup dengan tujuan
memperoleh kembali mobilitas dan fungsi bukannya restitusi anatomis.
Setelah aspirasi dan pembalutan kompresi, traksi rangka dipasang lewat
pen berulir melalui tibia, 7 cm dibawah fraktur. Kondilus mulai
dibentuk, lutut kemudian difleksikan dan diekstensikan beberapa kali
untuk membentuk tibia bagian atas pada kondilus femur yang
berlawanan. Kaki diletakkan pada bantal dan dengan 5 kg traksi, latihan
aktif harus dilakukan tiap hari. Selain itu, lutut dapat diterapi sejak
permulaan dengan mesin CPM, untuk semakin meningkatkan rentang
gerakan, seminggu setelah terapi ini penggunaan mesin itu dihentikan
dan latihan aktif dimulai. Segera setelah fraktur menyatu (biasanya
setelah 3-4 minggu), pen traksi dilepas, gips penyangga berengsel
dipasang dan pasien diperbolehkan bangun dengan kruk penopang.
Pembebanan penuh ditunda selama 6 minggu lagi. Pada pasien muda
dengan fraktur tipe 2, terapi ini mungkin dianggap terlalu konsertivatif
dan reduksi terbuka dengan peninggian plateau dan fiksasi internal
sering menjadi pilihan. Pasca operasi lutut, diterapi dengan mesin
CPM, setelah beberapa hari latihan aktif dimulai dan setelah 2 minggu
pasien dibiarkan dengan gips penyangga yang dipertahankan hingga
fraktur telah menyatu. Pasca operasi lutut diterapi dengan mesin CPM
setelah beberapa hari.

Schatzker tipe 3

Kominusi dengan fragmen lateral yang utuh. Prinsip terapinya mirip


dengan prinsip yang berlaku untuk fraktur tipe 2. Tetapi, fragmen
lateral dengan kartilago artikular yang utuh merupakan permukaan
yang berpotensi mendapat pembebanan, maka reduksi yang sempurna
lebih penting. Cara ini kadang-kadang dapat dilakukan secara tertutup
dengan traksi yang kuat dan kompresi lateral, jika ini berhasil, fraktur
diterapi dengan traksi atau CPM. Kalau reduksi tertutup gagal, reduksi
terbuka dan fiksasi dapat dicoba. Pasca operasi, latihan dimulai secepat
mungkin dan 2 minggu kemudian pasien dibiarkan bangun dalam gips
penyangga yang dipertahankan hingga fraktur telah menyatu.
Pasien dengan fraktur terbuka pada tibia plateau dengan kominusi yang
ekstensif. Eksternal fiksasi dipasang selama 10 hari sampai jaringan
lunak memungkinkan untuk dilakukan definitif fiksasi.

Schatzker tipe 4

Fraktur pada kondilus medial. Fraktur yang sedikit bergeser dapat


diterapi dalam gips penyangga. Kalau fragmen nyata sekali bergeser
atau miring, reduksi terbuka dan fiksasi diindikasikan. Kalau ligamen
lateral juga robek, ini harus diperbaiki sekaligus.

Schatzker tipe 5 dan 6

Merupakan cedera berat yang menambah resiko sindrom kompartemen.


Fraktur bikondilus sering dapat direduksi dengan traksi dan pasien
kemudian diterapi seperti pada cedera tipe 2. Fraktur yang lebih
kompleks dengan kominusi berat juga lebih baik ditangani secara
tertutup, meskipun traksi dan latihan mungkin harus dilanjutkan selama
4-6 minggu hingga fraktur cukup menyatu untuk memungkinkan
penggunaan gips penyangga. Jika terdapat beberapa fragmen yang
bergeser, fiksasi internal dapat dilakukan.

Reduksi terbuka dan fiksasi

Fraktur plateau sulit direduksi dan difiksasi. Terapi operasi hanya


dilakukan kalau tersedia seluruh jenis implant. Melalui insisi parapatela
longitudinal, kapsul sendi dibuka. Tujuannya untuk mempertahankan
meniskusi sambil sepenuhnya membuka plateau yang mengalami
fraktur. Ii terbaik dilakukan dengan memasuki sendi melalui insisi
kapsul melintang di bawah meniscus. Fragmen besar tunggal dapat
direposisi dan dipertahankan dengan sekrup kanselosa dan ring tanpa
banyak kesulitan. Fraktur tekanan yang komunitif harus ditinggikan
dengan mendorong massa yang terpotong-potong ke atas : permukaan
osteokartikular kemudian disokong dengan membungkus daerah
subkondral dengan cangkokan kanselosa (diperoleh dari kondilus
femur atau krista iliaka) dan dipertahankan ditempatnya dengan
memasang plat penunjang yang sesuai dengan kontur dan sekrup pada
sisi tulang itu. Kecuali kalau robek meniscus harus dipertahankan dan
dijahit lagi di tempatnya ketika kapsul diperbaiki.

Fraktur kompleks pada tibia proksimal sulit difiksasi dan banyak


ahli bedah lebih suka member terapi dengan traksi dan mobilisasi.
Kalau dipilih terapi operasi, pemaparan luka secara memadai sangat
diperlukan. Schatzker menganjurkan membelah ligament patella dan
membalik patella ke atas. Pasca operasi, tungkai ditinggikan dan
dibebat hingga pembengkakan mereda, gerakan dimulai secepat
mungkin dan dianjurkan melakukan latihan aktif. Pada akhir minggu
keempat pasien biasanya diperbolehkan dalam gips penyangga,
menahan beban sebagian dengan penopang ; penahanan beban penuh
dilanjutkan bila penyembuhan telah lengkap.

Fraktur tibial plateau- fiksasi. (a) sekrup tunggal mungkin sudah


mencukupi untuk retakan sederhana, meskipun (b) plat penopang dan
sekrup lebih aman. (c) depresi yang lebih dari 1 cm dapat diterapi
dengan peninggian dari bawah dan (d) disokong dengan pencangkokan
tulang. (e) fraktur compels dapat diterapi dengan operasi tetapi, kecuali
kalau reduksi dapat dijamin sempurna, terapi dengan traksi dan gerakan
saja mungkin lebih bijaksana ; mengikat fragmen yang menonjol ke
atas permukaan sendi akan mengundang osteoarthritis dini.

Fraktur tibial plateau yang kompleks – fiksasi internal. Trauma pada


jaringan lunak oleh fraktur dengan senergy tinggi pada tibial plateau
bias any atidak aman untuk dilakukan operasi segera. Stabilisasi dengan
eksternal fiksasi memungkinkan pembengkakan berkurang dan pasien
bisa berisitirahat dengan nyaman. (a) ketika keadaan membaik dan
biasanya dalam waktu 2 minggu, operasi terbuka dapat
dipertimbangkan. Contohnya, dua plat buttress digunakan untuk
menopang daerah lateral dan posteromedial dari tibial plateau.
Fraktur tibial plateau yang kompleks – eksternal fiksasi. Daripada
membuka daerah sendi untuk mengurangi fraktur, hal ini juga dapat
digunakan secara perkutaneus, dengan control X-Ray, dan fragmen
sendi berpegang pada multiple screw. (a,b) metafisis tibial berpegang
pada batang dengan fiksasi eksternal circular.

11. Penatalaksanaan
Menurut Price, Sylvia Anderson, alih bahasa Peter Anugerah, (1994:1187),
empat konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu menangani
fraktur :
a) Rekognisi, menangani diagnosis pada tempat kejadian kecelakaan dan
kemudian dibawa ke rumah sakit.
b) Reduksi, reposisi fragmen-fragmen fraktur semirip mungkin dengan
keadaan letak normal, usaha-usaha tindakan manipulasi fragmen-
fragmen tulang yang patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak
asalnya.
c) Retensi, menyatakan metoda-metoda yang dilaksanakan untuk
menahan fragmen-fragmen tersebut selama penyembuhan.
d) Rehabilitasi, dimulai segera setelah dan sesudah dilakukan bersamaan
pengobatan fraktur, untuk menghindari atropi otot dan kontraktur sendi.
Penatalaksanaan klien dengan fraktur dapat dilakukan dengan cara :
a) Traksi
Yaitu penggunaan kekuatan penarikan pada bagian tubuh dengan
memberikan beban yang cukup untuk penarikan otot guna
meminimalkan spasme otot, mengurangi dan mempertahankan
kesejajaran tubuh, untuk memobilisasi fraktur dan mengurangi
deformitas.
b) Fiksasi interna
Yaitu stabilisasi tulang yang patah yang telah direduksi dengan skrup,
plate, paku dan pin logam dalam pembedahan yang dilaksanakan
dengan teknik aseptik.
c) Reduksi terbuka
Yaitu melakukan kesejajaran tulang yang patah setelah terlebih dahulu
dilakukan fiksasi dan pemanjangan tulang yang patah.
d) Gips
Adalah fiksasi eksterna yang sering dipakai terbuat dari plester ovaria,
fiber dan plastik.

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan tahap yang
paling enentukan bagi tahap berikutnya. Kegiatan dalam pengkajian adalah
pengumpulan data (Rahmah, Nikmatur dan Saiful walid. 2009; 24).
a) Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan proses yang berisikan status kesehatan
klien dengan menggunakan teknik anamnesis (autoanamnesa dan
aloanamnesa) dan observasi.
1) Biodata Klien
a. Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin perlu dikaji
karena biasanya laki-laki lebih rentan terhadap terjadinya
fraktur akibat kecelakaan bermotor, pendidikan, pekerjaan,
agama, suku/bangsa, tanggal masuk rumah sakit, tanggal
pengkajian, diagnosa medis, nomor medrek dan alamat.
b. Identitas penanggung jawab meliputi : nama, umur, pekerjaan,
agama, pendidikan, suku/bangsa, alamat, hubungan dengan
klien.
2) Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
Keluhan utama adalah alasan klien masuk rumah sakit yang
dirasakan saat dilakukan pengkajian yang ditulis dengan singkat
dan jelas, dua atau tiga kata yang merupakan keluhan yang
membuat klien meminta bantuan pelayanan kesehatan.
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Merupakan penjelasan dari permulaan klien merasakan keluhan
sampai dengan dibawa ke rumah sakit dan pengembangan dari
keluhan utama dengan menggunakan PQRST.
P (Provokative/Palliative), apa yang menyebabkan gejala
bertambah berat dan apa yang dapat mengurangi gejala.
Q (Quality/Quantity), bagaimana gejala dirasakan klien dan
sejauh mana gejala dirasakan.
R (Region/Radiation) dimana gejala dirasakan ? apakah
menyebar? apa yang dilakukan untuk mengurangi atau
menghilangkan gejala tersebut ?
S (Saferity/Scale), seberapa tingkat keparahan gejala dirasakan?
Pada skala berapa?
T (Timing), berapa lama gejala dirasakan ? kapan tepatnya
gejala mulai dirasakan, apakah ada perbedaan intensitas gejala
misalnya meningkat di malam hari
c. Riwayat Kesehatan Dahulu
Tanyakan mengenai masalah-masalah seperti adanya riwayat
trauma, riwayat penyakit tulang seperti osteoporosis,
osteomalacia, osteomielitis, gout ataupun penyakit metabolisme
yang berhubungan dengan tulang seperti diabetes mellitus
(lapar terus-menerus, haus dan kencing terus–menerus),
gangguan tiroid dan paratiroid.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Hal yang perlu dikaji adalah apakah dalam keluartga klien
terdapat penyakit keturunan ataupun penyakit menular dan
penyakit-penyakit yang karena lingkungan yang kurang sehat
yang berdampak negatif pada kesehatan anggota keluarga
termasuk klien.
3) Pemeriksaan Fisik
Dilakukan dengan menggunakan teknik inspeksi, palpasi, perkusi
dan auskultasi terhadap berbagai sistem tubuh.
a. Keadaan Umum
Klien yang mengalami immobilisasi perlu dilihat dalam hal
penampilan, postur tubuh, kesadaran, gaya berjalan, kelemahan,
kebersihan dirinya dan berat badannya.
b. Sistem Pernafasan
Bentuk hidung, ada atau tidaknya sekret, PCH (Pernafasan
Cuping Hidung), kesimetrisan dada dan pernafasan, suara nafas
dan frekwensi nafas. Pengaturan pergerakan pernafasan akan
mengakibatkan adanya retraksi dada akibat kehilangan
koordinasi otot. Ekspansi dada menjadi terbatas karena posisi
berbaring akibatnya ventilas paru menurun sehingga dapat
menimbulkan atelektasis. Akumulasi sekret pada saluran
pernafasan mengakibatkan terjadinya penurunan efisiensi
siliaris yang dapat menyebabkan pembersihan jalan nafas yang
tidak efektif. Kelemahan pada otot pernafasan akan
menimbulkan mekanisme batuk tidak efektif.
c. Sistem Kardiovaskuler
Warna konjungtiva pada fraktur, terutama fraktur terbuka akan
terlihat pucat dikarenakan banyaknya perdarahan yang keluar
dari luka, terjadi peningkatan denyut nadi karena pengaruh
metabolik, endokrin dan mekanisme keadaaan yang
menghasilkan adrenergik sereta selain itu peningkatan denyut
jantung dapat diakibatkan pada klien immobilisasi. Orthostatik
hipotensi biasa terjadi pada klien immobilisasi karena
kemampuan sistem syaraf otonom untuk mengatur jumlah
darah kurang. Rasa pusing saat bangun bahkan dapat terjadi
pingsan, terdapat kelemahan otot. Ada tidaknya peningkatan
JVP (Jugular Vena Pressure), bunyi jantung serta pengukuran
tekanan darah. Pada daerah perifer ada tidaknya oedema dan
warna pucat atau sianosis.
d. Sistem Pencernaan
Keadaan mulut, gigi, bibir, lidah, kemampuan menelan,
peristaltik usus dan nafsu makan. Pada klien fraktur dan
dislokasi biasanya diindikasikan untuk mengurangi pergerakan
(immobilisasi) terutama pada daerah yang mengalami dislokasi
hal ini dapat mengakibatkan klien mengalami konstipasi.
e. Sistem Genitourinaria
Ada tidaknya pembengkakan dan nyeri daerah pinggang,
palpasi vesika urinaria untuk mengetahui penuh atau tidaknya,
kaji alat genitourinaria bagian luar ada tidaknya benjolan, lancar
tidaknya pada saat klien miksi serta warna urine. Pada klien
fraktur dan dislokasi biasanya untuk sementara waktu jangan
dulu turun dari tempat tidur, dimana hal ini dapat
mengakibatkan klien harus BAK ditempat tidur memaskai
pispot sehingga hal ini menambah terjadinya susah BAK karena
klien tidak terbiasa dengan hal tersebut.
f. Sistem Muskuloskeletal
Derajat Range Of Motion pergerakan sendi dari kepala sampai
anggota gerak bawah, ketidaknyamanan atau nyeri ketika
bergerak, toleransi klien waktu bergerak dan observasi adanya
luka pada otot akibat fraktur terbuka, tonus otot dan kekuatan
otot. Pada klien fraktur dan dislokasi dikaji ada tidaknya
penurunan kekuatan, masa otot dan atropi pada otot. Selain itu
dapat juga ditemukan kontraktur dan kekakuan pada
persendian.
g. Sistem Integumen
Keadaan kulit, rambut dan kuku. Pemeriksaan kulit meliputi
tekstur, kelembaban, turgor, warna dan fungsi perabaan. Pada
klien fraktur dan dislokasi yang immobilisasi dapat terjadi
iskemik dan nekrosis pada jaringan yang tertekan, hal ini
dikarenakan aliran darah terhambat sehingga penyediaan nutrisi
dan oksigen menurun.
h. Sistem Persyarafan
Mengkaji fungsi serebral, fungsi syaraf cranial, fungsi sensorik
dan motorik sertsa fungsi refleks.
4) Pola Aktivitas Sehari-hari
a. Pola Nutrisi
Kebiasaan makan klien sehari-hari dan kebiasaan makan-
makanan yang mengandung kalsium yang sangat berpengaruh
dalam proses penyembuhan tulang dan kebiasaan minum klien
sehari-hari, meliputi frekwensi, jenis, jumlah dan masalah yang
dirasakan.
b. Pola Eliminasi
Kebiasaan BAB dan BAK klien, apakah berpengaruh terhadap
perubahan sistem tubuhnya yang disebabkan oleh fraktur.
c. Pola Istirahat Tidur
Kebiasaan klien tidur sehari-hari, apakah terjadi perubahan
setelah mengalani fraktur.
d. Personal Hygiene
Kebiasaan mandi, cuci rambut, gosok gigi dan memotong kuku
perlu dkaji sebelum klien sakit dan setelah klien dirawat
dirumah sakit.
e. Pola Aktivitas
Sejauh mana klien mampu beraktivitas dengan kondisinya saat
ini dan kebiasaan klien berolah raga sewaktu masih sehat
5) Aspek Psiko Sosial Spiritual
a. Data Psikologis
Pengkajian psikologis yang dilakukan pada klien dengan fraktur
pada dasarnya sama dengan pengkajian psikososial dengan
gangguan sistem lain yaitu mengenai konsep diri (gambaran
diri, ideal diri, harga diri, peran diri dan identitas diri). Pada
klien fraktur adanya perubahan yang kurang wajar dalam status
emosional, perubahan tingkah laku dan pola koping yang tidak
efektif.
b. Data sosial
Pada data sosial yang dikaji adalah hubungan klien dengan
keluarga dan hubungan klien dengan petugas pelayanan
kesehatan.
c. Data Spiritual
Perlu dikaji agama dan kepribadiannya, keyakinan dan harapan
yang merupakan aspek penting untuk penyembuhan
penyakitnya.
6) Data Penunjang
Menurut Doengoes et. al (2002:762), pemeriksaaan diagnostik yang
biasa dilakukan pada pasien dengan fraktur:
a. Pemeriksaan rontgen
Menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma.
b. Computed Tomography (CT-SCAN).
Memperlihatkan fraktur dan dislokasi, dapat digunakan untuk
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak dan untuk
mengetahui lokasi dan panjangnya patah tulang didaerah yang
sulit dievaluasi.
c. Arteriogram
Dilakukan bila dicurigai terdapat kerusakan vaskuler.
d. Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan darah lengkap meliputi kadar haemoglobin yang
biasanya lebih rendah karena perdarahan akibat trauma.
Hematokrit mungkin meningkat atau menurun (perdarahan
bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh dari trauma
multiple). Kreatinin (trauma otot meningkatkan beban kreatinin
untuk klirens ginjal). Profil koagulasi (perubahan dapat terjadi
pada kehilangan darah, tranfusi multipel atau cedera hati).

b) Analisa Data
Data yang sudah dikumpulkan kemudian dikelompokkan berdasarkan
masalahnya kemudian dianalisa dengan menggunakan tabel yang
terdiri dari nomer, data yang terdiri dari data subjektif dan objektif,
etiologi dan masalah, sehingga menghasilkan suatu kesimpulan berupa
masalah keperawatan yang nantinya akan menjadi diagnosa
keperawatan.

2. Diagnosis K eperawatan yang Muncul


Doenges et.al (2000; 762-775) merumuskan delapan diagnosa
keperawatan, Brunner dan Suddarth (2002; 2363) merumuskan tiga
diagnosa keperawatan yang dapat terjadi pada fraktur tertutup dan Engram,
Barbara (1999; 268-271) merumuskan lima diagnosa keperawatan pada
klien dengan fraktur. Dari tiga pendapat tersebut dapat di simpulkan bahwa
diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada gangguan sistem
muskuloskeletal dengan fraktur adalah:
a) Risiko infeksi berhubungan dengan peningkatan paparan organisme
patogen lingkungan
b) Risiko disfungsi neurovaskuler berhubungan dengan cedera vaskuler
c) Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang,
cedera pada jaringan lunak, alat traksi/imobilisasi
d) Konstipasi berhubungan dengan penurunan mobilitas usus
e) Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri
f) Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan
3. Rencana Tindakan dan Rasionalisasi
No. Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Dx
1. Setelah diberikan asuhan 1. Monitor karakteristik luka, termasuk 6. Tanda perkiraan gangren
keperawatan selama …x24 jam warna, ukuran, dan bau 7. Mengetahui keadaan umum
diharapkan pasien dapat 2. Monitor tanda-tanda vital pasien pasien
menunjukkan tidak terjadinya 3. Kaji sisi pen/kulit, perhatikan 8. Dapat mengidindikasi
infeksi dengan kriteria hasil : keluhan peningkatan rasa nyeri timbulnya infeksi
a. Tidak ditemukannya 4. Berikan perawatan pen/kawat steril lokal/nekrosis
tanda-tanda infeksi sesuai protokol dan latihan mencuci 9. Dapat mencegah kontaminasi
b. Tanda vital terutama suhu tangan silang dan kemungkinan
tidak terjadi peningkatan 5. Lakukan prosedur isolasi infeksi
atau tanda-tanda vital 6. Berikan obat sesuai dengan indikasi, 10. Adanya drainage purulen
normal dengan : contoh antibiotik IV/topikal akan memerlukan
TD : 120/80 mmHg 7. Kolaborasi pemeriksaan kewaspadaan luka untuk
RR : 16-24x/menit laboratorium, hitung darah lengkap mencegah kontaminasi silang
N : 60-80x/menit 11. Antibiotik spektrum luas
o
S : 36,5-37,5 C dapat digunakan secara
c. Leukosit normal propilaktip pada
mikroorganisme khusus
12. Leukositosis biasanya ada
dengan proses infeksi

2. Setelah diberikan asuhan 1. Kaji warna kulit dan kehangatan 1. Warna klulit putih
keperawatan selama …x24 distal dalam fraktur menunjukkan gangguan
jam diharapkan pasien dapat 2. Kaji tanda-tanda iskemia eskremitas arterial
menunjukkan perfusi jaringan tiba-tiba (penurunan suhu kulit, 2. Dislokasi fraktur sendi dapat
adekuat dengan kriteria hasil : peningkatan nyeri) menyebabkan kerusakan
a. Kesadaran kompos metis 3. Monitor tanda-tanda vital arteri yang berdekatan
b. Tanda-tanda vital dalam 4. Lakukan pengkajian neuromuskular 3. Mengetahui keadaan umum
batas normal dengan : 5. Anjurkan pasien melakukan ambulasi pasien
TD : 120/80 mmHg sesegera mungkin 4. Gangguan perasaan kebas,
RR : 16-24x/menit kesemutan terjadi bila
N : 60-80x/menit
S : 36,5-37,5oC sirkulasi pada saraf tidak
c. Akral hangat adekuat
5. Meningkatkan sirkulasi dan
menurunkan pengumpulan
darah

3. Setelah diberikan asuhan 1. Kaji tingkat nyeri 1. Mengefektifkan pengawasan


keperawatan selama …x24 jam 2. Monitor tanda-tanda vital intervensi
diharapkan pasien dapat 3. Lakukan teknik distraksi dengan cara 2. Mengetahui keadaan umum
menunjukkan nyeri berkurang mengajak pasien berbincang-bincang pasien
dengan kriteria hasil: 4. Pertahankan imobilisasi bagian yang 3. mengalihkan fokus akan
a. Klien mengatakan nyeri sakit dengan tirah baring, gips, traksi nyerinya
berkurang 5. Berikan alternatif tindakan 4. menghilangkan nyeri dan
b. Skala nyeri menjadi 2 dari kenyamanan (pijatan) mencegah kesalahan posisi
skala nyeri 0-5 tulang/tegangan jaringan yang
c. Tanda-tanda vital dalam tegang
batas normal dengan : 5. meningkatkan sirkulasi umum,
TD : 120/80 mmHg menurunkan area tekanna
RR : 16-24x/menit lokal,dan kelelahan otot
N : 60-80x/menit
S : 36,5-37,5oC
d. Klien dapat melakukan
teknik distraksi dan
relaksasi yang tepat

4. Setelah diberikan asuhan 1. Mengajarkan klien pergerakan yang 1. meningkatkan ketegangan otot
keperawatan selama …x24 jam melibatkan daerah abdomen seperti abdomen yang membantu
diharapkan pasien dapat miring kanan dan miring kiri peningkatan peristaltik
menunjukkan BAB lancar 2. Berikan cairan yang adekuat sehingga feses yang keluar
dengan kriteria hasil: 3. Berikan makanna tinggi serat lancar
a. Klien dan keluarga 2. Meningkatkan kansungan air
mengetahui jenis-jenis dalam feses
makanan yang dikonsumsi 3. Makanan tinggi serat akan
b. BAB lancar dan normal (1- menarik cairan dari lumen usus
2x/hari) dengan warna
kuning, konsistensi lembek, sehingga feses menjadi lembek
dan bau khas feces dan mudah untuk dikeluarkan
c. Tidak terjadi distensi pada
abdomen
d. Hasil auskultasi peristaltik
usus normal 4-12x/menit

5. Setelah diberikan asuhan 1. Berikan makanan kecil, susu hangat 1. Meningkatkan relaksasi
keperawatan selama …x24 jam sore hari dengan perasaan mengantuk
diharapkan kebutuhan istirahat 2. Turunkan jumlah minum sore hari, 2. Menurunkan kebutuhan akan
tidur terpenuhi dengan kriteria lakukan berkemih sebelum tidur bangun untuk pergi ke kamar
hasil: 3. Batasi masukan makanna dan mandi
a. Tidur/istirahat diantara minuman mengandung kafein 3. Kafein dapat memperlambat
gangguan 4. Kolaborasi dalam pemberian obat pasien untuk tidur dan
b. Melaporkan peningkatan analgetik dan sedatif mempengaruhi tidur tahap
rasa sehat dan merasa dapat REM
istirahat 4. Nyeri mempengaruhi
kemampuan pasien untuk
tidur, sedatif obat yang tepat
meningkatkan istirahat

6. Setelah diberikan asuhan 1. Jalin rasa percaya 1. Rasa percaya dapat melahirkan
keperawatan selama …x24 jam 2. Kaji ulang tingkat kecemasan keterbukaan
diharapkan cemas berkurang 3. Berikan kesempatan mengekspresikan 2. Mengetahui derajat kecemasan
dengan kriteria hasil: perasaannya klien sehingga memudahkan
a. Klien tampak rileks 4. Berikan penjelasan tentang penyakit intervensi selanjutnya
b. Melaporakan ansietas yang diderita 3. Beban kecemsan berkurang
berkurang 5. Berikan kesempatan bertanya dengan diekspresikan
4. Dengan mengetahui banyak
penyakit, dimungkinkan klien
merasa tenang
5. Memungkinkan mengetahui
hal yang tidak diketahui
4. Implementasi
Implementasi sesuai intervensi yang dibuat.

5. Evaluasi
Evaluasi bertujuan untuk mengakhiri rencana tindakan keperawatan,
memodifikasi rencana tindakan keperawatan dan meneruskan rencana
keperawatan. Evaluasi terdiri dari evaluasi proses (formatif) dan evaluasi
hasil (sumatif). Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan setiap
selesai tindakan, berorientasi pada etiologi dan dilakukan secara terus-
menerus sampai tujuan yang telah ditentukan berhasil. Sedangkan evaluasi
sumatif dilakukan setelah akhir tindakan keperawatan secara paripurna,
berorientasi pada masalah keperawatan, menjelaskan keberhasikan/ketidak
berhasilan, rekaputasi dan kesimpulan status kesehatan klien sesuai dengan
kerangka waktu yang ditetapkan.
DAFTAR PUSTAKA

Arif Mutaqin.2008.Asuhan Keperawatan Sistem Muskuluskeltal

Doenges, Marilynn E. et.al. (2000) Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman


Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC

Rasjad, Chairuddin. 2003. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makasar : Lintang

Imumpasue

Smeltzer, Suzanne C. Bare Brenda G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal


Bedah Brunner & Suddarth, Edisi 8. Jakarta : EGC

Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan, Edisi III.


Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai