Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

PERITONITIS

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Stage Keperawatan Gawat Darurat

Pembimbing Klinik
Agus , Ns.,M.Kep.

Disusun Oleh:
Nurul Islamy., S.Kep
2014901110068

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN
TAHUN AJARAN 2020/2021
LAPORAN PENDAHULUAN
PERITONITIS

A. Anatomi Fisiologi
Peritoneum ialah membran serosa rangkap yang terbesar di dalam tubuh.
Peritoneum terdiri atas dua bagian utama yailu peritoneum parietal, yang
melapisi dinding rongga abdominal dan peritoneum viseral yang menyelaputi
semua organ yang bcrada di dalam rongga itu. Ruang yang bisa lerdapat di
antara dua lapis ini disebut rongga peritoneum atau cavum peritoneum.
Normalnya terdapat 50 mL cairan bebas dalam rongga peritoneum, yang
memelihara permukaan peritoneum tetap licin. Pada orang laki-laki
peritoneum berupa kantong tertutup; pada orang perempuan saluran telur
(tuba Fallopi) membuka masuk ke dalam rongga peritoneum (Pierce, 2006).

Dilihat secara embriologi peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang


tetap bersifat epitelial. Pada permulaan, mesoderm merupakan dinding dari
sepasang rongga yaitu coelom. Di antara kedua rongga terdapat entoderm
yang merupakan dinding enteron. Enteron didaerah abdomen menjadi usus.
Kedua rongga mesoderm, dorsal dan ventral usus saling mendekat, sehingga
mesodermtersebut kemudian menjadi peritonium. (Mansjoer, 2000)

Lapisan peritonium dibagi menjadi 3, yaitu:


1. Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis
2. Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina
parietalis.
3. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis
(Mansjoer, 2000)

Pada beberapa tempat peritoneum visceral dan mesenterium dorsal mendekati


peritoneum dorsal dan terjadi perlekatan. Akibat perlekatan ini, ada bagian-
bagian usus yang tidak mempunyai alat-alat penggantung, dan akhirnya
berada disebelah dorsal peritonium sehingga disebut retroperitoneal. Bagian-
bagian yang masih mempunyai alat penggantung terletak di dalam rongga
yang dindingnya dibentuk oleh peritoneum parietal, dengan demikian:
1. Duodenum terletak retroperitoneal
2. Jejenum dan ileum terletak intraperitoneal dengan alat penggantung
mesenterium;
3. Colon ascendens dan colon descendens terletak retroperitoneal;
4. Colon transversum terletak intraperitoneal dan mempunyai alat
penggantung disebut mesocolon transversum;
5. Colon sigmoideum terletak intraperitoneal dengan alat penggatung
mesosigmoideum; cecum terletak intraperitoneal;
6. Processus vermiformis terletak intraperitoneal dengan alat
penggantung mesenterium.

Fungsi utama peritoneum adalah menjaga keutuhan atau integritas organ


intraperitoneum. Peritoneum parietal disarafi oleh saraf aferen somatik dan
visceral yang cukup sensitif terutama pada peritoneum parietal bagian
anterior, sedangkan pada bagian pelvis agak kurang sensitif. Peritoneum
visceral disarafi oleh cabang aferen sistem otonom yang kurang sensitif. Saraf
ini terutama memberikan respon terhadap tarikan dan distensi, tetapi kurang
respon terhadap tekanan dan tidak dapat menyalurkan rasa nyeri dan
temperatur (Pierce, 2006).

Fungsi peritoneum yaitu :


a. Menutupi sebagian dari organ abdomen dan pelvis
b. Membentuk pembatas yang halus sehinggan organ yang ada dalam rongga
peritoneum tidak saling bergesekan
c. Menjaga kedudukan dan mempertahankan hubungan organ terhadap
dinding posterior abdomen
d. Tempat kelenjar limfe dan pembuluh darah yang membantu melindungi
terhadap infeksi.
B. Definisi
 Peritonitis adalah inflamasi peritoneum, lapisan membrane serosa rongga
abdomen dan meliputi visera yang merupakan penyulit berbahaya yang
dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronik / kumpulan tanda dan
gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans
muscular dan tanda – tanda umum inflamasi. ( Santosa, Budi. 2005)
 Peritonitis adalah peradangan peritoneum, suatu lapisan endotelial tipis
yang kaya akan vaskularisasi dan aliran limpa. ( Soeparman, dkk)
 Peritonitis adalah suatu peradangan dari peritoneum, pada membrane
serosa, pada bagian rongga perut.
 Peritonitis adalah peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada
selaput rongga perut (peritoneum) lapisan membrane serosa rongga
abdomen dan dinding perut bagian dalam.

C. Etiologi
A. Infeksi bakteri
 Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan
beta hemolitik, stapilokokus aureus, enterokokus dan yang paling
berbahaya adalah clostridium wechii.
 Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
 Appendiksitis yang meradang dan perforasi
 Tukak peptik (lambung / dudenum)
 Tukak thypoid
 Tukak pada tumor

B. Secara langsung dari luar.


 Operasi yang tidak steril
 Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi
peritonitisyang disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai
respon terhadap benda asing, disebut juga peritonitis granulomatosa
 Trauma pada kecelakaan peritonitis lokal seperti rupturs limpa, ruptur
hati
 Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis.

C. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti


radang saluran pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis,
glomerulonepritis. Penyebab utama adalah streptokokus atau pnemokokus.
D. Tanda dan Gejala
Gejala peritonitis tergantung pada jenis dan penyebaran infeksinya. Biasanya
penderita muntah, demam tinggi dan merasakan nyeri tumpul di perutnya.
Bisa terbentuk satu atau beberapa abses. Infeksi dapat meninggalkan jaringan
parut dalam bentuk pita jaringan (perlengketan, adhesi) yang akhirnya bisa
menyumbat usus. Bila peritonitis tidak diobati dengan seksama, komplikasi
bisa berkembang dengan cepat. Gerakan peristaltik usus akan menghilang dan
cairan tertahan di usus halus dan usus besar. Cairan juga akan merembes dari
peredaran darah ke dalam rongga peritoneum. Terjadi dehidrasi berat dan
darah kehilangan elektrolit. Selanjutnya bisa terjadi komplikasi utama, seperti
kegagalan paru-paru, ginjal atau hati dan bekuan darah yang menyebar.

Tanda-tanda peritonitis relatif sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi
atau pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga
menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum
maximum ditempat tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan
terasa tegang karena mekanisme antisipasi penderita secara tidak sadar untuk
menghindari palpasinya yang menyakinkan atau tegang karena iritasi
peritoneum. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada
penderita dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan
steroid, pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran
(misalnya trauma cranial, ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan
analgesic), penderita dengan paraplegia dan penderita geriatric.

E. Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya
sehingga membatasi infeksi. Bila bahan-bahan infeksi tersebar luas pada
pemukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis
umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus
kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam
lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oliguri.
Peritonitis menyebabkan penurunan aktivitas fibrinolitik intraabdomen
(meningkatkan aktivitas inhibitor aktivator plasminogen) dan sekuestrasi
fibrin dengan adanya pembentukan jejaring pengikat. Produksi eksudat fibrin
merupakan mekanisme terpenting dari sistem pertahanan tubuh, dengan cara
ini akan terikat bakteri dalam jumlah yang sangat banyak di antara matriks
fibrin.

Pembentukan abses pada peritonitis pada prinsipnya merupakan mekanisme


tubuh yang melibatkan substansi pembentuk abses dan kuman-kuman itu
sendiri untuk menciptakan kondisi abdomen yang steril. Pada keadaan jumlah
kuman yang sangat banyak, tubuh sudah tidak mampu mengeliminasi kuman
dan berusaha mengendalikan penyebaran kuman dengan membentuk
kompartemen - kompartemen yang kita kenal sebagai abses. Masuknya
bakteri dalam jumlah besar ini bisa berasal dari berbagai sumber. Yang paling
sering ialah kontaminasi bakteri transien akibat penyakit viseral atau
intervensi bedah yang merusak keadaan abdomen. Selain jumlah bakteri
transien yang terlalu banyak di dalam rongga abdomen, peritonitis terjadi juga
memang karena virulensi kuman yang tinggi hingga mengganggu proses
fagositosis dan pembunuhan bakteri dengan neutrofil. Keadaan makin buruk
jika infeksinya dibarengi dengan pertumbuhan bakteri lain atau jamur,
misalnya pada peritonitis akibat koinfeksi Bacteroides fragilis dan
bakterigram negatif, terutama E. coli. Isolasi peritoneum pada pasien
peritonitis menunjukkan jumlah Candida albicans yang relatif tinggi,
sehingga dengan menggunakan skor APACHE II (acute physiology and
cronic health evaluation) diperoleh mortalitas tinggi, 52%, akibat kandidosis
tersebut. Saat ini peritonitis juga diteliti lebih lanjut karena melibatkan
mediasi respon imun tubuh hingga mengaktifkan systemic inflammatory
response syndrome (SIRS) dan multiple organ failure (MOF).
Pathway Keperawatan
Infeksi Bakteri, virus, Trauma Appendiksitis Konsumsi diit rendah serat
cacing/ parasit abdomen

Obstruksi lumen peritonium Fekalit dalam lumen


Ruptur
peritonium Perforasi
Mukosa Terbendung Konstipasi

Sekresi mukus terus menerus Tekanan intra sekal

Tekanan intra luminal Respon inflamasi Sumbatan fungsional


dan pertumbuhan kuman kolon

Aliran limfe terhambat


Oedema, ulserasi mukosa

Peritonitis

Pre Operasi

Peradangan Peritonium Peningkatan Peristaltik Proses infeksi


Konsumsi diit
mendadak rendah serat

Proses penyakit Anoreksia, mual,Kemungkinan distensi abdomen


muntah ruptur

Nyeri Ketidakseimbangan Resiko Konstipasi


nutrisi kurang dari infeksi
Hipetermi kebutuhan tubuh

Post Operasi

Pembedahan/Laparatomy Pembatasan, paska operasi (puasa) Kelemahan fisik

Resiko Intoleransi
kekurangan aktivitas
Nyeri
volume cairan

Resiko
infeksi

Sumber: Mansjoer,2000 dan Syamsuhidayat,2004.

F. Komplikasi
1. Penumpukan cairan mengakibatkan penurunan tekanan vena sentral yang
menyebabkan gangguan elektrolit bahkan hipovolemik, syok dan gagal
ginjal.
2. Abses peritoneal
3. Cairan dapat mendorong diafragma sehingga menyebabkan kesulitan
bernafas.
4. Sepsis

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Test laboratorium
 Leukositosis
 Hematokrit meningkat
 Asidosis metabolik
2. X. Ray
Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan :
 Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.
 Usus halus dan usus besar dilatasi.
 Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.

H. Penatalaksanaan Medis
1. Bila peritonitis meluas dan pembedahan dikontraindikasikan karena syok
dan kegagalan sirkulasi, maka cairan oral dihindari dan diberikan cairan
vena untuk mengganti elektrolit dan kehilangan protein. Biasanya selang
usus dimasukkan melalui hidung ke dalam usus untuk mengurangi tekanan
dalam usus.
2. Bila infeksi mulai reda dan kondisi pasien membaik, drainase bedah dan
perbaikan dapat diupayakan.
3. Pembedahan mungkin dilakukan untuk mencegah peritonitis, seperti
apendiktomi. Bila perforasi tidak dicegah, intervensi pembedahan mayor
adalah insisi dan drainase terhadap abses.
I. Konsep Asuhan Keperawatan dengan Peritonitis
a) Pengkajian
1. Pengkajian
a. Biodata
Nama, umur, alamat, agama, pendidikan, dll.
b. Riwayat kesehatan
 Kaji keluhan utama
 Keluhan waktu di data : Terdapat pasien muntah-muntah,
demam, sakit kepala, nyeri ulu hati, makan-minum kurang,
turgor kulit jelek, keadaan umum lemah.
 Riwayat kesehatan yang lalu : Pernah menderita moviting atau
tidak
 Riwayat kesehatan keluarga : Apakah anggota keluarga pernah
menderita penyakit seperti pasien
c. Pemeriksaan fisik
 Tanda vital : kenaikan TD, nadi, suhu dan respirasi
 Inspeksi :
- Kepala : Keadaan rambut, mata, muka, hidung, mulut, telinga
dan leher
-Abdomen: biasanya terjadi pembesaran limfa,
- Genetalia : Tidak ada perubahan
 Palpasi abdomen : Teraba pembesaran limfa , perut kembung,
nyeri
 Auskultasi : peristaltic usus menurun
 Perkusi abdomen : hipersonor

2. Pengkajian primer

a. Airway
Menilai apakah jalan nafas pasien bebas. Adakah sumbatan jalan
nafas berupa secret, lidah jatuh atau benda asing
b. Breathing
Kaji pernafasan klien, berupa pola nafas, ritme, kedalaman, dan
nilai berapa frekuensi pernafasan klien per menitnya.
c. Circulation
Nilai sirkulasi dan peredaran darah, kaji pengisian kapiler, kaji
keseimbangan cairan dan elektrolit klien, lebih lanjut kaji output
dan intake klien.
d. Disability
Menilai kesadaran dengan cepat dan akurat. Hanya respon terhadap
nyeri atau sama sekali tidak sadar. Tidak di anjurkan menggunakan
GCS, adapun cara yang cukup jelas dan cepat adalah :
A: Awakening
V: Respon Bicara
P: Respon Nyeri
U: Tidak Ada Respon

e. Exposure
Lepaskan pakaian yang dikenakan dan penutup tubuh agar dapat
diketahui kelaianan yang muncul, pada abdomen akan tampak
distensi sebagai akibat perubahan sirkulasi, penumpukan cairan dan
udara yang tertahan dilumen.

b) Diagnosa keperawatan
Diagnosa yang muncul pada pasien dengan kasus peritonitis berdasarkan
rumusan diagnosa keperawatan menurut NANDA (2006) antara lain:
Pre Operasi
I. Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit.
II. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan mual,muntah, anoreksia.
III. Hipertermi berhubungan dengan proses peradangan.
IV. Konstipasi berhubungan dengan distensi abdomen.
V. Resiko infeksi berhubungan dengan kemungkinan ruptur.
Post Operasi
I. Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik
II. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan asupan cairan
yang tidak adekuat.
III. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.
IV. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.

c) Intervensi Keperawatan
Intervensi menurut Mc.Closkey (1996) Nursing Intervention
Classsification (NIC), dan hasil yang diharapkan menurut Johnson (2000)
Nursing Outcome Classification ( NOC) , antara lain:
Pre Operasi
Dx I. Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit.
 Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
nyeri dapat berkurang atau hilang.
 NOC : Level nyeri, kriteria hasil:
1. Nyeri berkurang
2. Ekspresi nyeri lisan atau pada wajah
3. Kegelisahan atau keteganganotot
4. Mempertahankan tingkat nyeri pada skala 0-10.
5. Menunjukkan teknik relaksasi yang efektif untuk mencapai
kenyamanan.
 NIC : Penatalaksanaan nyeri
1) Lakukan pengkajian nyeri, secara komprhensif meliputi
lokasi, keparahan, factor presipitasinya
2) Observasi ketidaknyamanan non verbal
3) Gunakan pendekatan yang positif terhadap pasien, hadir
dekat pasien untuk memenuhi kebutuhan rasa nyamannya
dengan cara: masase, perubahan posisi, berikan perawatan
yang tidak terburu-buru
4) Kendalikan factor lingkungan yang dapat mempengaruhi
respon pasien terhadap ketidaknyamanan
5) Anjurkan pasien untuk istirahat
6) Libatkan keluarga dalam pengendalian nyeri pada anak.
7) Kolaborasi medis dalam pemberian analgesic.

Dx II. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


berhubungan dengan mual,muntah, anoreksia.
 Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nutrisi
pasien adekuat.
 NOC : Status Gizi, kriteria hasil:
1. Mempertahankan berat badan.
2. Toleransi terhadap diet yang dianjurkan.
3. Menunjukan tingkat keadekuatan tingkat energi.
4. Turgor kulit baik.
 NIC : Pengelolaan Nutrisi
1) Tentukan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi.
2) Pantau kandungan nutrisi dan kalori pada catatan asupan.
3) Berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan
bagaimana memenuhinya.
4) Minimalkan faktor yang dapat menimbulkan mual dan muntah.
5) Pertahankan higiene mulut sebelum dan sesudah makan.

Dx III. Hipertermi berhubungan dengan proses peradangan.


 Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan suhu
tubuh kembali normal 37o C
 NOC : Thermoregulation, kriteria hasil:
1. Suhu kulit dalam rentang yang diharapkan
2. Suhu tubuh dalam batas normal
3. Nadi dan pernapasan dalam rentang yang diharapkan
4. Perubahan warna kulit tidak ada
 NIC : Fever Treatment
1) Pantau suhu minimal setiap dua jam, sesuai dengan kebutuhan
2) Pantau warna kulit dan suhu
3) Lepaskan pakaian yang berlebihan dan tutupi pasien dengan
hanya selembar pakaian.
4) Berikan cairan intravena

Dx IV. Konstipasi berhubungan dengan pola makan yang buruk.


 Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
konstipasi teratasi.
 NOC : Eliminasi defekasi, kriteria hasil:
1. Pola eliminasi dalam rentang yang diharapkan
2. Mengeluarkan feses tanpa bantuan.
3. Mengingesti cairan dan serat dengan adekuat.
 NIC : Penatalaksanaan defekasi
1) Pantau pergerakan defekasi meliputi frekuensi,
konsistensi,bentuk, volume, dan warna yang tepat.
2) Perhatikan masalah defekasi yang telah ada sebelumnya,
rutinitas defekasi dan penggunaan laksatif.
3) Instruksikan pada pasien dan keluarga tentang diet, asupan
cairan,aktivitas dan latihan.
4) Awali konferensi keperawatan dengan melibatkan pasien dan
keluarga untuk mendorong perilaku positif yaitu perubahan diet.
5) Beri umpan balik positif untuk pasien saat terjadi perubahan
tingkah laku.

Dx V. Resiko infeksi berhubungan dengan kemungkinan ruptur.


 Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien
bebas dari gejala peritonitis.
 NOC : Pengendalian Resiko, kriteria hasil:
1. Terbebas dari tanda dan gejala peritonitis.
2.Mengindikasikan status gastrointestinal, pernafasan,genitourinaria,
dan imun dalam batas normal.
3.Menunjukan gejala dan tanda infeksi dan mengikuti prosedur dan
pemantauan.
 NIC : Pengendalian Infeksi
1) Pantau TTV dengan ketat, khususnya adanya peningkatan
frekuensi jantung dan suhu serta pernafasan yang cepat dan
dangkal untuk mendeteksi rupturnya apendiks.
2) Observasi adanya tanda-tanda lain peritonitis ( misal hilangnya
nyeri secara tiba-tiba pada saat terjadi perforasi diikuti dengan
peningkatan nyeri yang menyebar dan kaku abdomen, distensi
abdomen, kembung, sendawa karena akumulasi udara, pucat,
menggigil, peka rangsang untuk menentukan tindakan yang
tepat.
3) Hindari pemberian laksatif,karena dapat merangsang motilitas
usus dan meningkatkan resiko perforasi.
4) Pantau jumlah SDP sebagai indikator infeksi.
5) Lindungi pasien dari kontaminasi silang.

Post Operasi
Dx. I. Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik.
 Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri
dapat berkurang atau hilang.
 NOC : Level nyeri, kriteria hasil:
1. Nyeri berkurang
2. Ekspresi nyeri lisan atau pada wajah
3. Mempertahankan tingkat nyeri pada skala 0-10.
4. Menunjukkan teknik relaksasi yang efektif untuk mencapai
kenyamanan.
 NIC: Penatalaksanaan nyeri
1) Lakukan pengkajian nyeri, secara komprhensif meliputi lokasi,
keparahan.
2) Observasi ketidaknyamanan non verbal
3) Gunakan pendekatan yang positif terhadap pasien, hadir dekat
pasien untuk memenuhi kebutuhan rasa nyamannya dengan
cara: masase, perubahan posisi, berikan perawatan yang tidak
terburu-buru
4) Kendalikan factor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon
pasien terhadap ketidaknyamanan
5) Anjurkan pasien untuk istirahat dan menggunakan tenkik
relaksai saat nyeri.
6) Kolaborasi medis dalam pemberian analgesic.

Dx II. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan asupan


cairan yang tidak adekuat.
 Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
keseimbangan cairan pasien normal dan dapat mempertahankan
hidrasi yang adekuat.
 NOC : Fluid balance, kriteria hasil:
1. Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ
urine normal, HT normal
2. Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal
3. Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas, turgor kulit, membran
mukosa lembab,
4. Tidak ada rasa haus yang berlebihan
 NIC : Fluid Management
1) Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
2) Monitor vital sign dan status hidrasi
3) Monitor status nutrisi
4) Awasi nilai laboratorium, seperti Hb/Ht, Na+ albumin dan waktu
pembekuan.
5) Kolaborasikan pemberian cairan intravena sesuai terapi.
6) Atur kemungkinan transfusi darah.

Dx. III. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.


 Tujuan: Setelah dilakuakan tindakan keperawatan diharapkan tidak
terjadi infeksi pada luka bedah.
 NOC : Pengendalian Resiko, kriteria hasil:
1. Bebas dari tanda dan gejala infeksi.
2. Higiene pribadi yang adekuat.
3. Mengikuti prosedur dan pemantauan.
 NIC: Pengendalian Infeksi
1) Pantau tanda dan gejala infeksi( suhu, denyut jantung,
penampilan luka).
2) Amati penampilan praktek higiene pribadi untuk perlindungan
terhadap infeksi.
3) Instruksikan untuk menjaga higiene pribadi untuk melindungi
tubuh terhadap infeksi.
4) Lindungi pasien terhadap kontaminasi silang dengan pemakaian
set ganti balut yang steril.
5) Bersihkan lingkungan dengan benar setelah.

Dx. IV. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.


 Tujuan : Setelah dilakukan tindakan diharapkan pasien dapat
beraktivitas tanpa mengalami kelemahan.
 NOC : Konservasi energi, kriteria hasil:
1. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan
tekanan darah, nadi, dan RR
2. Mampu melakukan aktivitas secara mandiri.
 NIC : Management Energi
1) Tirah baring pada pasien dan bantu segala aktivitas sehari-hari,
atur periode istirahat dan aktivitas
2) Monitor terhadap tingkat kemampuan aktivitas, hindari aktivitas
yang berlebihan
3) Tingkatkan aktivitas sesuai dengan toleransi
4) Monitor kadar enzim serum untuk mengkaji kemampuan
aktivitas
5) Monitor tanda-tanda vital dan atur perubahan posisi.
6) Monitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner / Sudart. Texbook of Medical Surgical Nursing Fifth edition IB.


Lippincott Company. Philadelphia. 1984.

Doenges, Marilynn E. et all. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.

Johnson, Marion et all. 2000. Iowa Intervention Project Nursing Outcomes


Classification (NOC). St. Louis : Mosby Inc.

Mansjoer, Arif. 2012. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius.

McCloskey, Joanne C. dan Gloria M. Bulechek. 1996. Iowa Intervention Project


Nursing Interventions Classification (NIC). St. Louis : Mosby - Year
Book Inc.

Potter dan Perry. 1999. Fundamental Keperawatan Edisi 4 Vol 2. Buku


Kedokteran. Jakarta : ECG.

Soeparman, dkk 1987. Ilmu Penyakit Dalam Edisi II. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI

Santosa, Budi. 2015. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda. Jakarta: Prima


Medika.

Banjarmasin, Juni 2021


Pembimbing Klinik Ners Muda

Agus, S.Kep.,Ns Nurul Islamy, S.Kep

Anda mungkin juga menyukai