Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN PERITONITIS


GENERALISATA DI INTENSIVE CARE UNIT (ICU)
RSD dr. SOEBANDI JEMBER

oleh
Sya’baina Hasatun Hasanah, S.Kep
NIM 192311101050

KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2020
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Teori tentang Penyakit


1. Anatomi Fisiologi

Gambar 1. Anatomi Fisiologi Peritoneal


Peritonium merupakan membran serosa rangkap yang paling besar dalam
tubuh. Peritonium ini terdiri dari 2 bagian utama, yaitu peritonium parietal yang
elapisi dinding rongga abdominal dan berhubungan dengan fascia muscular, dan
peritonium viseral yang menyelaputi semua organ yang berada di dalam rongga
tersebut. Peritonium parietal mempunyai komponen somatik dan viseral yang
melokalisasi sesuatu yang berbahaya dan menimbulkan defans muscular dan sensasi
nyeri lepas. Ruang terdapat di antara dua lapis ini disebut ruang peritoneal atau
cavitas peritoneal, sedangkan ruang di luarnya disebut Spatium extraperitoneale. Di
dalam cavitas peritonealis terdapat cairan peritoneum yang berfungsi sebagai
pelumas sehingga alat-alat dapat bergerak tanpa menimbulkan gesekan yang
merugikan. Cairan peritoneum yang diproduksi berlebihan pada kelainan tertentu
disebut sebagai asites (Hydroperitoneum) (Jong dan Sjamsuhidayat, 2011).
Luas peritoneum kira-kira 1,8 meter sama dengan luas permukaan kulit orang
dewasa. Fungsi peritonium adalah menutupi sebagian organ-organ abdomen dan
pelvis, membentuk perbatasan halus yang memungkinkan saling bergesekkan tanpa
adanya cedera. Selain itu peritonium juga setengah bagiannya memiliki membran
basal semipermiabel yang berguna untuk difusi air, elektrolit, makro, maupum mikro
sel. Oleh karena itu, peritoneum memiliki kemampuan yang berperan sebagai media
cuci darah yaitu peritoneal dialisis dan menyerap cairan otak pada operasi ventrikulo
peritoneal shunting untuk kasus Hidrochepalus (Pearce, 2009). Peritonium terbagi
menjadi 3 lapisan yaitu (Mansjoer, 2000) :
1. Lembaran yang menutupi dinding usus yang disebut lamina visceralis.
2. Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.
3. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis
Pada beberapa tempat peritoneum visceral serta mesenterium dorsal mendekati
peritoneum dorsal, dan terjadi perlekatan. Akibat perlekatan ini, ada bagian-bagian
usus yang tidak mempunyai alat-alat penggantung, dan akhirnya berada disebelah
peritonium dorsal sehingga disebut retroperitoneal. Bagian-bagian yang masih
mempunyai alat penggantung terletak di dalam rongga yang dindingnya dibentuk
oleh peritoneum parietal, yang mengakibatkan :
1. Duodenum terletak retroperitoneal.
2. Jejenum dan ileum terletak intraperitoneal dengan alat penggantung
mesenterium.
3. Colon ascendens dan colon descendens terletak retroperitoneal.
4. Colon transversum terletak intraperitoneal dan mempunyai alat penggantung
disebut mesocolon transversum.
5. Colon sigmoideum terletak intraperitoneal dengan alat penggatung
mesosigmoideum, serta cecum terletak intraperitoneal.

2. Definisi Peritonitis
Peritonitis adalah inflamasi membran serosa yang melingkupi rongga abdomen
beserta organ-organ yang didalamnya (Dailey BJ, 2017 dalam )
Peritonitis adalah peradangan peritoneum (membran serosa yang melapisi
rongga abdomen dan menutupi visera abdomen) yang dapat terjadi dalam bentuk akut
maupun kronis. Keadaan umumnya terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ
abdomen, perforasi saluran cerna, atau dari luka tembus abdomen. Bakteri yang
sering menjadi faktor penyebabnya dapat berupa dari bakteri yang hidup dalam kolon
(pada kasus ruptura appendik) seperti Eschericia coli atau Bacteroides, atau yang
berasal dari luar seperti stafilokokus dan streptokokus (Jong dan Sjamsuhidayat,
2011).

3. Epidemiologi
Prevalensi peritonitis pada pasien asites mencapai 18%. Angka ini meningkat
dibandingkan dua dekade sebelumnya, dimana prevalensi peritonitis hanya sebanyak
8% pada pasien dengan asites. Kasus peritonitis dulu hanya ditemukan pada pasien
dengan sirosis alkoholik, namun sekarang diketahui bahwa peritonitis dapat terjadi
pada pasien dengan semua jenis sirosis. Peritonitis bakterial spontan adalah infeksi
bakteri yang paling sering pada pasien sirosis. Peritonitis bakterial spontan dilaporkan
ditemukan pada 10-30% pasien sirosis yang dirawat di rumah sakit. Sebuah penelitian
yang dilakuakn oleh Ghosh et al di India menemukan bahwa selama tiga tahun, di
satu rumah sakit besar terdapat 545 pasien dengan diagnosis peritonitis sekunder, dan
84,58% pasien tersebut adalah laki-laki (Wahjoepramono, 2017).

4. Etiologi
Terjadinya peritonitis disebabkan oleh bakteri, bakteri dapat masuk ke rongga
peritoneum dan terjadi peradangan. Menurut Muttaqin dan Kumala (2011) bakteri
yang sering menyebabkan peradangan yaitu Escheria Coli (40%), Klebsiella
pneumoniae (7%), Streptococcus pneumoniae (15%), Pseudomonas species, Proteu
species, dan gram negatif lainnya (20%), Streptoccous lainnya (15%),
Staphylococcus (3%). Menurut Jitowiyono dan Kristiyanasari (2012) peitonitis juga
bisa disebabkan secara langsung dari luar seperti operasi yang tidak steril,
terkontaminasi talcum veltum, lypodium, sulfonamida, serta trauma kecelakaan
seperti ruptur limfa dan ruptur hati.
5. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya peritonitis dikelompokkam menjadi 3 antara lain
sebagai berikut (Yuni, 2016) :
a. Penyebab primer (peritonitis spontan)
Peritonitis diakibatkan karena kontaminasi bakterial secara hematogen pada
cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya
bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau Pneumococus. Peritonitis
primer biasanya disebabkan oleh penyakit hati. Cairan menumpuk di perut,
menciptakan lingkungan yang utama untuk pertumbuhan bakteri. Peritonitis bakterial
primer dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Spesifik : misalnya Tuberculosis
2) Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis an Tonsilitis.
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi,
keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi. Kelompok resiko tinggi
adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus
sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.
b. Penyebab sekunder (berkaitan dengan proses patologis pada organ visceral)
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractus
gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak akan
menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat
memperberat terjadinya infeksi ini. Bakteri anaerob, khususnya spesies Bacteroides,
dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi.Peritonitis
sekunder, bentuk peritonitis yang paling sering terjadi, disebabkan oleh perforasi atau
nekrosis (infeksi transmural) organ-organ dalam dengan inokulasi bakteri rongga
peritoneal. Spektrum patogen infeksius tergantung penyebab asalnya. Berbeda
dengan SBP, peritonitis sekunder lebih banyak disebabkan bakteri gram positif yang
berasal dari saluran cerna bagian atas.
c. Penyebab tersier (infeksi rekuren atau persisten sesudah terapi awal yang adekuat).
Peritonitis tersier dapat terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah
mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, sering bukan berasal
dari kelainan organ. Pasien dengan peritonitis tersier biasanya timbul abses atau
flegmon, dengan atau tanpa fistula. Peritonitis tersier timbul lebih sering ada pasien
dengan kondisi komorbid sebelumnya dan pada pasien yang imunokompromais.
Menurut Dailey BJ (2017) Peritonitis dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok
yang berdasarkan etiloginya yaitu:
a. Peritonitis primer, disebabkan karena penyebaran hematogenous biasanya pada
pasien immunocompromised seperti peritonitis primer tidak terdapat perforasi dari
organ berongga
b. Peritonitis sekunder, disebbakan karena perforasi organ berongga baik karena
penyakit, trauma maupun iatrogenik. Contohnya peritonitis sekunder yang serng
ditemui adalah apendiksitis perforasi dan perforasi gaster
c. Peritonitis tersier, yaitu peritonitis yang persisten atau rekuren setelah terapi atau
operasi yang adekuat.

6. Patofisiologi
Timbulnya peritonitis adalah komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat
penyebaran infeksi. Keluarnya eksudat fibrinosa merupakan reaksi awal peritoneum
terhadap invasi oleh bakteri. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk diantara
perlekatan fibrinosa yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya
sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang
tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrinosa yang kelak dapat mengakibatkan
obstruksi usus. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan
peritoneum atau bila infeksi menyebar dapat timbul peritonitis umum. Dengan
perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus
paralitik, usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang
kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi syok, gangguan sirkulasi dan oliguria,
perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat
mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus. Gejala
bebeda-beda tergantung luas peritonitis, beratnya peritonitis dan jenis organisme yang
bertanggung jawab. Gejala utama adalah sakit perut (biasanya terus menerus),
muntah dan abdomen yang tegang, kaku, nyeri dan tanpa bunyi, demam dan
leukositosis sering terjadi (Price dan Wilson, 2006).

7. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yaang diakibatkan karena peritonitis tergantung pada
penyebab infeksi yang menyebabkan inflamasinya. Salah satu gejala yang paling
sering terjadi pada pasien dengan kasus ini yaitu sebagai berikut (Nurin, 2016) :
d. Kehilangan selera makan dan mual
e. Nyeri pada bagian perut nyeri dan sakit
f. Perasaan kenyang (distensi) di dalam perut
g. Demam dan menggigil
h. Diare
i. Sering buang air kecil
j. Rasa haus yang ekstrem
k. Ketidakmampuan atau kesulitan dalam buang air besar atau buang angin.

8. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk kasus peritonitis dapat dilakukan anatar lain
sebagai berikut :
a. Test laboratorium
1) Leukositosis
Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein
(lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit, basil tuberkel diidentifikasi
dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi
memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar
diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.
2) Hematokrit meningkat
Asidosis metabolik (dari hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien
peritonitis didapatkan pH =7.31, PCO2= 40, BE= -4 )

b. X-Ray
Dari tes X-Ray didapat foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral)
c. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk
pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada
peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu :

1) Tiduran terlentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi


anteroposterior.
2) Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar
dari arah horizontal proyeksi anteroposterior.
3) Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal
proyeksi anteroposterior.
Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat mencakup
seluruh abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan film ukuran
35x43 cm. Sebelum terjadi peritonitis, jika penyebabnya adanya gangguan pasase
usus (ileus) obstruktif maka pada foto polos abdomen 3 posisi didapatkan gambaran
radiologis antara lain:
1) Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada tidaknya
penjalaran. Gambaran yang diperoleh yaitu pelebaran usus di proksimal
daerah obstruksi, penebalan dinding usus, gambaran seperti duri ikan (Herring
bone appearance).
2) Posisi LLD (Left Lateral Decubitus), untuk melihat air fluid level dan
kemungkinan perforasi usus. Dari air fluid level dapat diduga gangguan
pasase usus. Bila air fluid level pendek berarti ada ileus letak tinggi, sedang
jika panjang-panjang kemungkinan gangguan di kolon. Gambaran yang
diperoleh adalah adanya udara bebas infra diafragma dan air fluid level.
3) Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh adanya air
fluid level dan step ladder appearance
d. CT scan abdomen
CT scan abdomen adalah metode yang jauh lebih sensitif untuk mendeteksi
udara setelah perforasi, bahkan jika udara tampak seperti gelembung dan saat pada
foto rontgen murni dinyatakan negatif. Saat CT scan dilakukan dalam posisi supine,
gelembung udara pada CT scan terutama berlokasi di depan bagian abdomen. Kita
dapat melihat gelembung udara bergerak jika pasien setelah itu mengambil posisi
decubitus kiri. CT scan juga jauh lebih baik dalam mendeteksi kumpulan cairan di
bursa omentalis dan retroperitoneal. Walaupun sensitivitasnya tinggi, CT scan tidak
selalu diperlukan berkaitan dengan biaya yang tinggi dan efek radiasinya.
e. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi adalah metode awal untuk kebanyakan kondisi akut abdomen.
Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi cairan bebas dengan berbagai densitas,
yang pada kasus ini adalah sangat tidak homogen karena terdapat kandungan
lambung. Pemeriksaan ini khususnya berharga untuk mendeteksi cairan bebas di
pelvik kecil menggunakan teknik kandung kemih penuh. Kebanyakan, ultrasonografi
tidak dapat mendeteksi udara bebas.
9. Penatalaksanaan
Penanganan untuk kasus peritonitis dapat dilakuakn secara konservatif dan
definitif sebagai berikut (Suprohaita dkk, 2000) :
a. Konservatif
Prinsip umum pengobatan adalah mengistirahatkan saluran cerna dengan :
1) Pemberian oksigen
Pemberian oksigen adalah vital untuk semua pasien dengan syok. Hipoksia
dapat dimonitor oleh pulse oximetri atau BGA.
2) Resusitasi cairan
Resusitasi cairan dapat dilakukan dengan kristaloid, volumenya berdasarkan
derajat syok dan dehidrasi. Penggantian elektrolit (biasanya potassium)
biasanya dibutuhkan. Pasien harus dikateterisasi untuk memonitor output
urine tiap jam. Monitoring tekanan vena sentral dan penggunaan inotropik
sebaiknya digunakan pada pasien dengan sepsis atau pasien dengan komorbid.
Hipovolemi terjadi karena sejumlah besar cairan dan elektrolit bergerak dari
lumen usus ke dalam rongga peritoneal dan menurunkan caran ke dalam ruang
vaskuler.
3) Analgetik
Analgetik opiat intravena dan mungkin dibutuhkan antiemetik.
4) Antibiotik
Pemberian Cefalosporin generasi III dan metronidazole adalah strategi primer.
Bagi pasien yang mendapatkan peritonitis di RS (misalnya oleh karena
kebocoran anastomose) atau yang sedang mendapatkan perawatan intensif,
dianjurkan terapi lini kedua diberikan meropenem atau kombinasi dari
piperacillin dan tazobactam. Terapi antifungal juga harus dipikirkan untuk
melindungi dari kemungkinan terpapar spesies Candida.
b. Definitif (Pembedahan)
1) Laparotomi
Biasanya dilakukan insisi upper atau lower midline tergantung dari lokasi
yang dikira. Tujuannya untuk :
a) Menghilangkan kausa peritonitis
b) Mengkontrol origin sepsis dengan membuang organ yang mengalami
inflamasi atau ischemic (atau penutupan viscus yang mengalami
perforasi).
c) Peritoneal lavage
Mengkontrol sumber primer dari sepsis adalah sangat penting. Re-
laparotomi mempunyai peran yang penting pada penanganan pasien
dengan peritonitis sekunder, dimana setelah laparotomi primer ber-efek
memburuk atau timbul sepsis. Re-operasi dapat dilakukan sesuai
kebutuhan. Relaparotomi yang terencana biasanya dibuat dengan
membuka dinding abdomen dengan pisau bedah sintetik untuk mencegah
eviserasi.
Bagaimanapun juga, penelitian menunjukkan bahwa five year
survival rate di RS dan jangka panjang, lebih tinggi pada relaparotomi
sewaktu dari pada relaparotomi yang direncanakan. Pemeriksaan
ditunjang dengan CT scan. Perlu diingat bahwa tidak semua pasien sepsis
dilakukan laparotomi, tetapi juga memerlukan ventilasi mekanikal,
antimikrobial, dan support organ. Mengatasi masalah dan kontrol pada
sepsis saat operasi adalah sangat penting karena sebagian besar operasi
berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas
c. Laparoskopi
Teori bahwa resiko keganasan pada hiperkapnea dan syok septik dalam
absorbsi karbondioksida dan endotoksin melalui peritoneum yang mengalami
inflamasi, belum dapat dibuktikan. Tetapi, laparoskopi efektif pada penanganan
appendicitis akut dan perforasi ulkus duodenum. Laparoskopi dapat digunakan pada
kasus perforasi kolon, tetapi angka konversi ke laparotomi lebih besar. Syok dan ileus
adalah kontraindikasi pada laparoskopi.
d. Drain
Efektif digunakan pada tempat yang terlokalisir, tetapi cepat melekat pada
dinding sehingga seringkali gagal untuk menjangkau rongga peritoneum. Ada banyak
kejadian yang memungkinkan penggunaan drain sebagai profilaksis setelah
laparotomi.
B. Clinical Pathway
Faktor penyebab

Mikroorganisme (misal Tukak lambung Appendiksitis Operasi yang tidak steril


Bakteri E. Coli)

Kerusakan mukosa Menghambat aliran Pertumbuhan


Masuk melalui darah lambung limfe bakteri
atau getah bening

Pengeluaran histamin Edema


RISIKO
INFEKSI
Membentuk
Merangsang Meningkatkan produksi cairan berisi pus
pengeluaran HCL pepsinogen

Sekresi mukus
Degradasi mukus berlebih

Merusak mukosa lambung Inflamasi meluas


ke daerah
peritoneum
Perforasi lambung

Invasi bakteri ke kavum peritoneum

Merangsang zat
Inflamasi pada peritoneum pirogen di
hipotalamus Memicu pengeluaran
prostaglandin
PERITONITIS

Meningkatkan set
poin suhu tubuh
Pelepasan mediator
kimiawi (hisatmin, Keluarnya eksudat
bradikinin, serotonin) fibrinosa Peningkatan suhu
tubuh

HIPERTERMI
Penurunan
Peningkatan produksi
Merangsang saraf perasa aktivitas peristaltik
HCL
nyeri di cerebrum
Atonia usus
Iritasi lambung

Nyeri abdomen
Merangsang sistim Penekanan abdomen
Peningkatan limbik
NYERI AKUT permeabilitas kapiler
Gastrointestinal
dan kebocoran
terganggu
membran Sensasi mual muntah

NAUSEA
Pengumpulan cairan Kehilangan banyak
di rongga peritoneum cairan
Anoreksia

Peningkatan tekanan Dehidrasi


intra abdominal DEFISIT NUTRISI

RESIKO
Menekan diafragma
KETIDAKSEIMBANGAN
CAIRAN
Penurunan ekspansi
paru

Oksigen dalam tubuh


menurun (hipoventilasi)

Sesak nafas

POLA NAFAS TIDAK EFEKTIF


C.Konsep Asuhan Keperawatan
1.1 Pengkajian
a. Identitas
Nama, umur, jenis kelamin, dan lingkungan.
b. Keluhan Utama
Klien mengeluh nyeri pada perut.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Klien masuk rumah sakit dengan keluhan demam, perut terasa kaku, mual dan
muntah, diare dan konstipasi.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Klien sering mengalami nyeri pada perut sebelumnya, namun menghilang dengan
sendirinya. Contohnya gastritis, Inflamatory Bowel Disease, Divertikulitis,
Thyphoid
Memiliki riwayat operasi
e. Riwayat Kesehatan Keluarga
Klien mengatakan pada keluarga klien tidak terdapat anggota keluarga yang
memiliki penyakit sama dengan klien.
f. Riwayat Alergi
Klien mengatakan klien tidak mempunyai alergi terhadap apapun.
g. Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola persepsi dan tata laksana kesehatan : pola hidup sehat klien yang
menderita peritonitis harus ditingkatkan dalam menjaga kebersihan diri,
perawatan, dan tatalaksana hidup sehat. Klien juga harus membiasakan untuk
mencuci dan memasak makanan yang dikonsumsinya.
2) Pola nutrisi dan metabolisme : nutrisi yang kurang akan menyebabkan
membran mukosa klien kering dan turgor kulit tidak elastis.
3) Memiliki kebiasaan/ gaya hidup : minum jamu, pemakaian imunosupresan
4) Pola eliminasi : klien kesulitan untuk melakukan BAB dan sedikit
mengeluarkan urin.
5) Pola aktivitas : klien lemah dan kesulitan untuk bergerak.
6) Pola istirahat dan tidur : klien kesulitan untuk tidur karena nyeri abdomen
secara tiba-tiba.
7) Pola kognitif dan persepsi sensori : pola ini mengenai pengetahuan klien dan
keluarga terhadap penyakit yang diderita klien.
8) Pola konsep diri : bagaimana persepsi klien dan keluarga terhadap pengobatan
dan perawatan yang akan dilakukan.
9) Pola hubungan-peran : peran keluarga sangat dibutuhkan dalam merawat dan
mengobati klien dengan peritonitis.
10) Pola seksual-seksualitas : pada klien yang menderita peritonitis biasanya
terdapat gangguan untuk memenuhi hubungan intim.
11) Pola mekanisme koping : klien gelisah terhadap keadaanya. Untuk itu,
dukungan keluarga sangat dibutuhkan dalam membangun kepercayaan diri
klien.
12) Pola nilai dan kepercayaan : keluarga selalu optimis dan berdoa agar penyakit
pada klien dapat sembuh.
h. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum :
TTV :
Tekanan darah : hipotensi (shock), lebih rendah dari 90/60 mmHg
Suhu : hipertermia, lebih dari 370 C (normal 360 C–370 C)
Nadi : takikardia (normal 60-100 x/ menit)
RR : takipneu (normal 16-20 x/ menit)
2) Kepala dan Leher
Inspeksi:
Wajah : simestris, dahi mengkerut
Rambut : lurus/ keriting, distribusi merata/ tidak
Mata : pupil miosis, konjungtiva anemis
Hidung : tidak ada pernapasan cuping hidung
Telinga : bersih
Bibir dan mulut : mukosa bibir kering, terdapat lesi pada rongga mulut
Lidah : terdapat bercak – bercak putih pada lidah.
Palpasi : tidak ada pembesaran kelenjar thyroid dan limfe pada leher
3) Dada
Inspeksi : simetris, terdapat tarikan otot bantu pernapasan
Palpasi : denyutan jantung teraba cepat, badan terasa panas, nyeri
tekan
Perkusi : jantung : pekak
Paru : sonor
Auskultasi : tidak terdengar suara ronchi tidak terdengar bunyi wheezing
4) Abdomen
Inspeksi : perut pasca operasi, flat, distended
Palpasi : adanya nyeri tekan seluruh perut, defans muscular
Perkusi : timpani gaster, pekak hepar menghilang
Auskultasi : bising usus menurun/tidak terdengar
5) Kulit
Tugor kulit tidak elastis, pucat, dan kebiruan.
Akral hangat, dingin
6) Ekstremitas
Tidak terdapat odem pada ekstremitas.

i. Body System
1) Pernapasan (B1: Breath)
Pada general anastesi pernapasan pasien dengan ventilator dan pemberian
oksigen. Pada pembiusan SAB pasien bernafas spontan
2) Cardiovaskuler (B2: Blood)
Peningkatan tekanan darah dan denyut nadi akibat proses pembedahan (nyeri),
risiko perdarahan. Kaji TTV 15 menit sekali.
3) Persarafan (B3: Brain)
Pasien tidak sadar dengan general anastesi dan sadar jika pembiusan SAB.
Umunya tibul demam ringan kemudian semakin lama meninggi.
4) Perkemihan-eliminasi (B4: Bladder)
Biasanya sedikit mengeluarkan urin, mengeluarkan urine dengan kateter
5) Pencernaan-eliminasi alvi (B5: Bowel)
Biasanya kesulitan untuk melakukan BAB.
6) Tulang-otot-integumen (B6: Bone)
Kekuatan otot, tulang, dan integumen 0 (nol), kadang pasien dapat menggerakkan
anggota tubuh karena obat anastesi berkurang
j. Pemeriksaan Diagnostik
1) Test laboratorium :
- ditemukan protein berlebih pada cairan peritoneal dan limfosit serta
hematokrit meningkat
- lekosit : normal, leukositosis
- liver function test, apakah terdapat abses liver
- amilase dan lipase pad adugaan pankreatitis
- kultur kuman
2) Radiologi :
- Foto polos abdomen (BOF) : Ground glass appearance
- BOF erect : air sickle/free air dibawah diafragma (menandakan adanya
perforasi)
3) X-ray : usus halus dan usus besar dilatasi serta udara bebas dalam rongga
abdomen.
4) USG Abdomen :abses liver, tubo ovarial abscess (TOA), Appendisitis. USG
tidak bisa mendeteksi cairan kurang dari 100mL.
5) Gambaran radiologis : ditemukan pelebaran usus di proksimal daerah obstruksi,
penebalan dinding usus, dan udara bebas infra diafragma.
k. Terapi
Terapi
- Volume resuscitation, hati-hati pada usia tua;
- Monitoring cairan dengan memasang kateter;
- Koreksi elektrolit;
- Dekompresi dengan memasang NGT, kateter, dan needle dekompresi bila
diperlakukan;
- Antibiotik broad spectrum;
- Antipiretik; dan
- Terapi definitif (Dailey BJ, 2017)

1.2 Diagnosa
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan posisi tubuh yang menghambat
ekspansi paru (oksigen dalam tubuh menurun / hipoventilasi).
2. Nyeri akut berhubungan dengan cedera pada organ peritoneum (peritonitis)
3. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi (peritonitis)
4. Resiko ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan prosedur pembedahan
mayor
5. Nausea berhubungan dengan iritasi lambung (peritonitis)
6. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorbsi makanan
(iritasi lambung).
7. Risiko Infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (peritonitis)
1.3 Intervensi Keperawatan
Paraf dan
Diagnosa
No Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi keperawatan Nama
keperawatan
Terang
1. pola nafas Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 Manajemen Respirasi (I.01014) Baina
tidak efektif jam, pola nafas membaik dengan Observasi
(D.0005) Kriteria hasil : 1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya nafas
Pola napas (I.01004) 2. Monitor pola nafas (seperti bradipnea, takipnea,
Kriteria hasil Skor sebelum Skor yang ingin hiperventilasi, kussmaul, cheyne-stokes, biot, ataksik)
dicapai 3. Monitor adanya sputum
Produksi 2 5 4. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
sputum 5. Auskultasi bunyi napas
Dispeneai 2 5 6. Monitor saturasi oksigen
Mengi 2 5 7. Monitor hasil x-ray toraks
wheezing 2 5 Terapeutik
1. Dokumentasikan asuhan keperawatan
Keterangan : Edukasi
1 : Meningkat 1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
2 : cukup menigkat 2. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
3 : sedang
4 : cukup menururn
5 : menurun
2. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 nyeri Manajemen Nyeri (I.08238) Baina
(D.0077) dapat berkurang dengan Observasi
Kriteria Hasil : 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
Manajemen nyeri (L.03020) kualitas, intensitas nyeri
2. Identifikasi skala nyeri
Kriteria hasil Skor Skor yang 3. Identifikasi respon nyeri non verbal
sebelum ingin dicapai 4. Identifikasi faktor yang dapat memperberat dan
Asupan cairan 2 5 memperingan nyeri
Haluaran urin 2 5
Kelembapan membran 2 5 Terapeutik
mukosa 1. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
Turgor kulit 2 5 (misalnya suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan)
Tekanan darah 2 5 2. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
Keterangan : pemilihanstrategi meredakan nyeri
Kolaborasi
1. Menurun 1. kolaborasi pemberian analgesik, jika perlu
2. Cukup menurun
3. Sedang
4. Cukup meningkat
5. meningkat

3. Hipertermi Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 24 Manajemen hipertermia (I.15506) Baina
(D.0130) jam masalah hipertermia teratasi dengan kriteria Observasi
hasil : 1. Identifikasi penyebab hipertermia (misalnya dehidrasi,
Termoregulasi (L.14134)
terpapar lingkungan panas, penggunaan inkubator)
Kriteria hasil Skor Skor yang 2. Monitor suhu tubuh
sebelum ingin dicapai
3. Monitor kadar elektronik
Suhu tubuh 2 5
Suhu kulit 2 5 4. Monitor haluaran urin
menggigil 2 5 5. Monitor komplikasi akibat hipertermia
Kulit merah 2 5 Terapeutik
Tekanan darah 2 5 1. Sediakan lingkungan yang diinginkan
Keterangan : 2. Longgarkan atau lepaskan pakaian
3. Basahai dan kipasi permukaan tubuh
1. Menurun
4. Berikan cairan oral
2. Cukup menurun
5. Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika mengalami
3. Sedang
hiperhidrosis (keringat berlebih)
4. Cukup meningkat
6. Lakukan pendinginan eksternal (misalnya selimut
5. Meningkat
hipotermia atau kompres dingin pada dahi, leher, dada,
abdomen dan aksila)
7. Hindari pemberian antipiretik atau aspirin
Edukasi
Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit intravena, jika
perlu
4. Resiko Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 24 Manajemen cairan (I.03098) Baina
ketidakseimb jam cairan tubuh pasien seimbang dengan kriteria hasil Observasi:
angan cairan : 1. Monitor status hidrasi (frekuensi nadi, kekuatan nadi,
(D.0036) Keseimbangan cairan (L.03020) akral, CRT, kelembapan mukosa, turgor kulit, tekanan
Kriteria hasil Skor Skor yang darah)
sebelum ingin dicapai 2. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium (Hb, hematokrit,
Asupan cairan 2 5 Na, K,Cl, BUN)
Haluaran urin 2 5 3. Monitor status hemodinamik (MAP, CVC, CVP)
Kelembapan membran 2 5 Terapeutik
mukosa 1. Catat intake dan output cairan
Turgor kulit 2 5 2. Berikan asupan cairan sesuai kebutuhan
Tekanan darah 2 5 3. Berikan cairan intravena
Keterangan : Kolaborasi
Kolaborasi pemberian deuretik (bila perlu)
1. Menurun Pemantauan cairan (I.03121)
2. Cukup Menurun 1. Monitor adanya hipovolemia
3. Sedang 2. Monitor tanda-tanda hipervolemia
4. Cukup meningkat 3. Identifikasi faktor resiko ketidakseimbangancairan
Terapeutik
5. meningkat
1. Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi
pasien
2. Dokumentasikann hasil pemantauan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan (jika perlu)
5. Nausea Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 masalah Manajemen mual (I.03117) Baina
(D.0076) mual pasien teratasi dengan kriteria hasil : Observasi
Status nutrisi (L.03030) 1. Identifikasi pengalaman mual
Kriteria hasil Skor Skor yang 2. Identifikasi dampak mual terhadap kualitas hidup
sebelum ingin dicapai (misalnya nafsu makan, aktivitas, kinerja, tanggung
Perasaan cepat kenyang 2 5 jawab peran, dan tidur)
Nyeri abdomen 2 5 3. Identifikasi faktor penyebab mual (misalnya pengobatan
Sariawan 2 5 dan prosedur)
Rambut rontok 2 5 4. Monitor mual (misalnya, frekuensi, durasi dan tingakt
Diare 2 5 keparahan)
Keterangan : 5. Monitor asupan dan kalori
1. Meningkat Terapeutik
2. Cukup meningkat 1. Kurangi atau hilangkan keadaaan penyebab mual
3. Sedang (misalnya kecemasan, ketakutan, kelelahan)
4. Cukup menurun 2. Berikan makanan dalam jumlah kecil dan menarik
3. Berikan makanan dingin, cairan bening, tidak berbau dan
5. Menurun tidak berwarna, jika perlu
Observasi
1. anjurkan istirahat tidur yang cukup
2. anjurkan sering membersihkan mulut, kecuali jika
merangsang mual
3. anjurkan makan tinggi karbohidrat dan rendah lemak
4. anjurkan menggunakan teknik non farmakologis (misalnya
hipnosis, relaksasi, terapi musik, akupresur)
Kolaborasi
1. kolaborasi pemberian antiemetik, jika perlu
6. Defisit nutrisi Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 24 Manajemen nutrisi (I. 03119) Baina
(D.0019) jam masalah defisit nutrisi teratasi dengan kriteria hasil Observasi
: 1. Identifikasi status nutrisi
Status nutrisi (L.03030) 2. Dentifikasi alergi dan intoleransi makanan
Kriteria hasil Skor Skor yang 3. Identifikasi makanann yang disukai
sebelum ingin dicapai 4. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien
Perasaan cepat kenyang 2 5 5. Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik
Nyeri abdomen 2 5 6. Monitor asupan makanan
Sariawan 2 5
Rambut rontok 2 5 Terapeutik
Diare 2 5 1. Sajkan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
Keterangan : 2. Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
1. Meningkat 3. Berikan makanan tinggi kalori dan inggi protein
2. Cukup meningkat 4. Berikan suplemen makanan, jika perlu
5. Hentikan pemberian makanan melalui nasogastrik jika
3. Sedang asupan oral dapat ditoleransi
4. Cukup menurun
5. Menurun Edukasi
1. Anjurkan posisi duduk, jika perlu
2. Anjurkan diet yang diprogramkan

Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan
(misalnya pereda nyeri,antiemetik) jika perlu
2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah
kalori dan jenis nutrien yang dibutuhkan, jika perlu
6. Risiko Infeksi Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 24 pencegahan Infeksi (I.14539) Baina
(D.0142) jam masalah resiko infeksi teratasi dengan kriteria Observasi
hasil : Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
Terapeutik
Tingkat infeksi (L.14137)
1. Atasi jumlah pengunjung
Kriteria hasil Skor Skor yang
2. Berikan perawatan kulit pada area edema
sebelum ingin dicapai
Demam 2 5 3. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien
Kemerahan 2 5 dan lingkungan pasien
Nyeri 2 5 4. Pertahankan tekniik aseptik pada pasien beresiko tinggi
Bengkak 2 5 Edukasi
Kultur area luka 2 5 1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
2. Anjurkan untuk cuci tangan dengan benar
Keterangan : 3. Ajarkan etka batuk
1. Menurun 4. Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi
2. Cukup Menurun 5. Anjurkan untuk meningkatkan asupan nutrisi
3. Sedang 6. Anjurkan meningkatkan asupan cairan
4. Cukup Meningkat Kolaborasi
5. Meningkat Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu
D.Discharge Planning
Discharge planning dilakukan untuk meningkatkan kontinuitas perawatan,
meningkatkan kualitas perawatan dan memaksimalkan manfaat sumber pelayanan
kesehatan. Discharge Planning dapat  mengurangi hari rawatan pasien, mencegah
kekambuhan, meningkatkan perkembangan kondisi kesehatan pasien dan
menurunkan beban perawatan pada keluarga (Smeltzer & Bare, 2002). Discharge
planning dilakukan sebelum pasien pulang ke rumah. Discharge planning pada
pasien dengan peritonitis dapat berupa :
1. Mengajarkan pada pasien dan keluarga untuk segera menghubungi tim kesehatan
atau segera menuju ke pelayanan kesehatan apabila terjadi tanda – tanda dan gejala
infeksi.
2. Mengajarkan pada pasien dan keluarga untuk mengamati respon terhadap
pengobatan dan memberitahu dokter tentang adanya efek samping.
3. Memberitahukan pada pasien dan keluarga tentang penjadwalan pemeriksaan lebih
lanjut.
4. Menganjurkan pasien menjaga pola makan dengan tidak memakan makanan cepat
saji dan meningkatkan frekuensi pola makan.
5. Menganjurkan pasien untuk menjaga kebersihan diri agar kuman tidak mudah
masuk kedalam tubuh yang menyebabkan infeksi kembali.
6. Olahraga secara teratur
7. Menjaga pola tidur agar tidak kelelahan
DAFTAR PUSTAKA

Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000, Bedah Digestif, dalam Kapita


Selekta Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius FKUI, Jakarta
Doherty GM, dan Way LW. 2006. Current surgicaldiagnosis and treatment,edisike-
12. New York: The McGraw Hill companies.
Hidayati, A N, Akbar, M I A, Rosyid, A N. 2018. Gawat Darurat Medis dan Bedah.
Surabaya: Airlangga University Press. ISBN 978-602-473-004-8

Muttaqin A. dan Kumala S. 2011. Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi Asuhan


Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika
Nurin, Fajarina. 2016. Penyakit Peritonitis.
Jong, Wim de., dan Sjamsuhidayat, R. 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta :
EGC
Price, SA., & Wilson, LM. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Ed 6. Jakarta: EGC.
Pearce, Evelyn C. 2009. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia.
Schwartz I.S. 2000. Principles of Surgery 7th. Jakarta: EGC.
Smeltzer & Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 5. Jakarta:
EGC.
Wahjoepramono, Graciella N.T. 2017. Epidemiologi Peritonitis. Retrieved Oktober
17, 2020
Yuni. 2016. Deskripsi Lengkap Klasifikasi Peritonitis. Retrieved Oktober 17, 2020

Anda mungkin juga menyukai