Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

TETANUS

A. Konsep Dasar Penyakit


A.1 Pengertian Tetanus
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan
berat. Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang
disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi
oleh Clostridium tetani. Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease". Dan
pada tahun 1890, diketemukan toksin seperti strichnine, kemudian dikenal dengan
tetanospasmin, yang diisolasi dari tanah anaerob yang mengandung bakteri.
lmunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan pencegahan dari
tetanus. Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka
pada kulit oleh karena terpotong, tertusuk ataupun luka bakar serta pada infeksi
tali pusat (Smeltzer, 2010).
Tetanus adalah suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh eksotoxin
yang dihasilkan oleh clostridium tetani yang ditandai dengan peningkatan
kekakuan umum dan kejang-kejang otot rangka (Mahadewa, 2009).
Tetanus merupakan penyakit akut yang menyerang susunan saraf pusat yang
disebabkan oleh racun tetanospasmin yang dihasilkan oleh Clostridium Tetani.
Penyakit ini timbul jika kuman tetanus masuk ke dalam tubuh melalui luka,
gigitan serangga, infeksi gigi, infeksi telinga, bekas suntikan dan pemotongan tali
pusat. Dalam tubuh kuman ini akan berkembang biak dan menghasilkan
eksotoksin antara lain tetanospasmin yang secara umum menyebabkan kekakuan,
spasme dari otot bergaris.

A.2 Klasifikasi Tetanus


Tetanus diklasifikasikan berdasarkan pada menjadi:
1. Tetanus local
2. Tetanus cephalic
3. Tetanus umum
4. Tetanus neonatal
Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat sewaktu
proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses
pertolongan persalinan yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah
terkontaminasi spora C. tetani, maupun penggunaan obat-obatan untuk tali pusat
yang telah terkontaminasi. Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan
dan obat tradisional yang tidak steril, merupakan faktor yang utama dalam
terjadinya neonatal tetanus.

A.3 Epidemiologi Tetanus


Tetanus ditemukan diseluruh dunia,terjadi secara sporadis atau secara
"outbreak" dalam skala yang kecil. Saat ini dinegara-negara maju sudah jarang
ditemukan, sedangkan dinegara agraris dimana kontak dengan kotoran hewan
masih dimungkinkan, tetanus sering ditemukan. Pada dewasa, laki-laki lebih
sering dari pada wanita, yaitu 2,5 : 1, kebanyakan pada usia produktif.

A.4 Etiologi Tetanus


Kuman penyebab penyakit tetanus yang dikenal sebagai Clostridium tetani;
berbentuk batang yang langsing dengan ukuran panjang 2–5 um dan lebar 0,3–0,5
um, termasuk gram positif dan bersifat anaerob. Bakteri ini berspora, dijumpai
pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada manusia dan juga pada tanah
yang terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut. Spora ini bisa tahan beberapa
bulan bahkan beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka seseorang atau bersamaan
dengan benda daging atau bakteri lain, ia akan memasuki tubuh penderita tersebut,
lalu mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin.
Clostridium tetani dapat dibedakan dari tipe lain berdasarkan flagella
antigen. Kuman tetanus ini membentuk spora yang berbentuk lonjong dengan
ujung yang butat, khas seperti batang korek api (drum stick) Sifat spora ini tahan
dalam air mendidih selama 4 jam, obat antiseptik tetapi mati dalam autoclaf bila
dipanaskan selama 15–20 menit pada suhu 121°C. Bila tidak kena cahaya, maka
spora dapat hidup di tanah berbulan–bulan bahkan sampai tahunan. Juga dapat
merupakanflora usus normal dari kuda, sapi, babi, domba, anjing, kucing, tikus,
ayam dan manusia. Spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif dalam anaerob
dan kemudian berkembang biak. Bentuk vegetatif tidak tahan terhadap panas dan
beberapa antiseptic.
Kuman tetanus tumbuh subur pada suhu 17°C dalam media kaldu daging dan
media agar darah. Demikian pula dalam media bebas gula karena kuman tetanus
tidak dapat mengfermentasikan glukosa. Kuman tetanus tidak invasif. tetapi
kuman ini memproduksi 2 macam eksotoksin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin.
Tetanospasmis merupakan protein dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut
dalam air labil pada panas dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik. tetapi
stabil dalam bentuk murni dan kering. Tetanospasmin disebut juga neurotoksin
karena toksin ini melalui beberapa jalan dapat mencapai susunan saraf pusat dan
menimbulkan gejala berupa kekakuan (rigiditas), spasme otot dan kejang–kejang.
Tetanolisin menyebabkan lisis dari sel–sel darah merah.

A.5 Tanda dan Gejala Tetanus


Adapun tanda dan gejala dari penyakit tetanus, antara lain:
1. Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5-7 hari.
2. Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekuensinya
3. Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
4. Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari leher.
Kemudian timbul kesukaran membuka mulut (trismus, lockjaw) karena
spasme otot masetter.
5. Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk (opistotonus, nuchal rigidity)
6. Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik
keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat.
7. Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai
dengan eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap
baik.
8. Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis,
retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis (pada anak).
Sebagai tanda-tanda permulaan timbul kejang otot sekitar luka, gelisah,
lemah, cemas, mudah tersinggung dan sakit kepala. Kemudian diikuti nyeri dan
kaku rahang, perut dan punggung yang mengeras dan kesukaran untuk menelan.
Gambaran yang spesifik adalah kekakuan dan kejang otot. Kekakuan mengenai 3
group utama yaitu: masseter, otot-otot perut dan otot-otot punggung. Penderita
selalu sadar penuh. Gejala-gejala sistemik dapat timbul, seperti panas akibat
sepsis dan ini memberi prognosa yang jelek. Tekanan darah menunjukkan
fluktuasi, juga sering takhikardi dan keringat banyak. Untuk menilai gradasi
banyak cara bisa digunakan seperti Phillip`s score dan klasfikasi menurut Owen
Smith, MS (Emergency Surgery, 2012).
Tanda-gejala tetanus berdasarkan klasifikasi penyakit tetanus adalah sebagai
berikut:
a. Localized tetanus
Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada
daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah
merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan,
bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya
menghilang secara bertahap. Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi
generalized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang
menimbulkan kematian. Bisa juga lokal tetanus ini dijumpai sebagai
prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama
dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.
b. Cephallic tetanus
Cephallic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi
berkisar 1-2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di
India), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing
dalam rongga hidung.
Merupakan salah satu varian tetanus lokal. Terjadinya bentuk ini bila luka
mengenai daerah mata, kulit kepala, muka, telinga, leper, otitis media kronis
dan jarang akibat tonsilectomi. Gejala berupa disfungsi saraf loanial antara
lain: N. III, IV, VII, IX, X, XI, dapat berupa gangguan sendiri-sendiri maupun
kombinasi dan menetap dalam beberapa hari bahkan berbulan-bulan. Tetanus
cephalic dapat berkembang menjadi tetanus umum. Pada umumnya prognosa
bentuk tetanus cephalic jelek.
c. Generalized tetanus
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi
yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara
diam-diam. Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai (50 %),
yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan
kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan
menelan.
Gejala lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot
muka, opistotonus (kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme
dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran
nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi disuria dan retensi urine, kompressi
fraktur dan pendarahan didalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya
sedikit, tetapi begitupun bisa mencapai 40oC. Bila dijumpai hipertermi
ataupun hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan dijumpai takhikardia,
penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan
gejala klinis.
Menurut berat ringannya tetanus umum dapat dibagi atas:
1) Tetanus ringan: trismus positif dan lebih dari 3 cm, tidak disertai kejang
umum walaupun dirangsang, masa inkubasi lebih dari 14 hari, period of
onset >6 hari, sukar makan dan minum tetapi disfagia tidak ada, dan
lokalisasi kekakuan dekat dengan luka berupa spasme disekitar luka dan
kekakuan umum terjadi beberapa jam atau hari.
2) Tetanus sedang: trismus kurang dari 3 cm dan disertai kejang umum bila
dirangsang, masa inkubasi 10-14 hari, period of onset 3 hari atau kurang,
trismus ada dan disfagia ada, serta kekakuan umum terjadi dalam beberapa
hari tetapi dispnoe dan sianosis tidak ada
3) Tetanus berat: trismus kurang dari 1 cm dan disertai kejang umum yang
spontan, masa inkubasi <10 hari, period of onset 3 hari atau kurang,
trismus berat, disfagia berat, dan kekakuan umum dan gangguan
pernapasan asfiksia, ketakutan, keringat banyak dan takikardia.

A.6 Patofisiologi Tetanus


Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang
terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang, pupuk. Cara masuknya spora
ini melalui luka yang terkontaminasi antara lain luka tusuk (oleh besi: kaleng),
luka bakar, luka lecet, otitis media, infeksi gigi, ulkus kulit yang kronis, abortus,
tali pusat, kadang–kadang luka tersebut hampir tak terlihat. Pandi dkk (2010)
melaporkan bahwa 70% pada telinga sebagai port d’entree, sedangkan beberapa
peneliti melaporkan bahwa porte d'entree melalui telinga hanya 6,5%. Bila
keadaan menguntungkan di mana tempat luka tersebut menjadi hipaerob sampai
anaerob disertai terdapatnya jaringan nekrotis, lekosit yang mati, benda–benda
asing maka spora berubah menjadi vegetatif yang kemudian berkembang. Kuman
ini tidak invasif. Bila dinding sel kuman lisis maka dilepaskan eksotoksin, yaitu
tetanospasmin dan tetanolisin
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada
beberapa level dari susunan syaraf pusat, dengan cara:
1. Tobin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat
pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.
2. Karakteristik spasme dari tetanus (seperti strichmine) terjadi karena toksin
mengganggu fungsi dari refleks synaptik di spinal cord.
3. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral
ganglioside.
4. Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System
(ANS) dengan gejala: berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti
takikhardia, aritmia jantung, peninggian cathecholamine dalam urine.
(Smeltzer, 2010)
Kerja dari tetanospamin analog dengan strychninee, dimana ia
mengintervensi fungsi dari arcus refleks yaitu dengan cara menekan neuron spinal
dan menginhibisi terhadap batang otak. Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi
yang normal, yang menyebabkan meningkatnya aktifitas dari neuron yang
mensarafi otot masetter sehingga terjadi trismus. Oleh karena otot masetter adalah
otot yang paling sensitif terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen
tidak hanya menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya
kontraksi agonis dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas.
Tetanospasmin sangat mudah mudah diikat oleh saraf dan akan mencapai
saraf melalui dua cara.
a. Secara lokal: diabsorbsi melalui mioneural junction pada ujung-ujung saraf
perifer atau motorik melalui axis silindrik kecornu anterior susunan saraf pusat
dan susunan saraf perifer.
b. Toksin diabsorbsi melalui pembuluh limfe lalu ke sirkulasi darah untuk
seterusnya susunan saraf pusat.
Aktivitas tetanospamin pada motor end plate akan menghambat pelepasan
asetilkolin, tetapi tidak menghambat alfa dan gamma motor neuron sehingga
tonus otot meningkat dan terjadi kontraksi otot berupa spasme otot. Tetanospamin
juga mempengaruhi sistem saraf simpatis pada kasus yang berat, sehingga terjadi
overaktivitas simpatis berupa hipertensi yang labil, takikardi, keringat yang
berlebihan dan meningkatnya ekskresi katekolamin dalam urine. Tetanospamin
yang terikat pada jaringan saraf sudah tidak dapat dinetralisir lagi oleh antitoksin
tetanus.
Tetanospasmin yang merupakan zincdependent endopeptidase memecah
vesicleassociated membrane protein II (VAMP II atau synaptobrevin) pada suatu
ikatan peptida tunggal. Molekul ini penting untuk pelepasan neurotransmiter di
sinaps, sehingga pemecahan ini mengganggu transmisi sinaps.
Toksin awalnya mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah pelepasan glisin dan
γ-amino butyric acid (GABA). Pada saat interneuron menghambat motor neuron
alpha juga terkena pengaruhnya, terjadi kegagalan menghambat refleks motorik
sehingga muncul aktivitas saraf motorik tak terkendali, mengakibatkan
peningkatan tonus dan rigiditas otot berupa spasme otot yang tiba-tiba dan
potensial merusak. Hal ini merupakan karakteristik tetanus. Otot wajah terkena
paling awal karena jalur axonalnya pendek, sedangkan neuron-neuron simpatis
terkena paling akhir, mungkin akibat aksi toksin di batang otak. Pada tetanus
berat, gagalnya penghambatan aktivitas otonom menyebabkan hilangnya kontrol
otonom, aktivitas simpatis yang berlebihan dan peningkatan kadar katekolamin.
Ikatan neuronal toksin sifatnya irreversibel, pemulihan membutuhkan tumbuhnya
terminal saraf yang baru, sehingga memanjangkan durasi penyakit ini.
Manisfestasi klinis tetanus yang timbul adalah sebagai akibat pengaruh toksin
pada susunan saraf pusat, toksin menghambat synapsis cholinergik perifer,
menurunkan pengeluaran acetilcholin dan mengganggu saraf syimpatis. Bila
sembuh tetanus tidak meninggalkan kelainan neurologis (Mahadewa, 2009).

A.7 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium kurang menunjang dalam diagnosis. Pada
pemeriksaan darah rutin tidak ditemukan nilai-nilai yang spesifik; lekosit dapat
normal atau dapat meningkat.
2. Pemeriksaan mikrobiologi
Bahan diambil dari luka berupa pus atau jaringan nekrotis kemudian
dibiakkan pada kultur agar darah atau kaldu daging. Tetapi pemeriksaan
mikrobiologi hanya pada 30% kasus ditemukan Clostridium tetani.
3. Pemeriksaan cairan serebrospinalis dalam batas normal, walaupun kadang-
kadang didapatkan tekanan meningkat akibat kontraksi otot.
4. Pemeriksaan elektroensefalogram adalah normal dan pada pemeriksaan
elektromiografi hasilnya tidak spesifik

A.8 Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Farmakologis
a. Pengobatan Umum
1) Isolasi penderita untuk menghindari rangsangan dan ruangan perawatan
harus tenang.
2) Perawatan luka dengan Rivanol, Betadin, H202.
3) Bila perlu diberikan oksigen dan kadang-kadang diperlukan tindakan
trakeostomi untuk menghindari obstruksi jalan napas.
4) Jika banyak sekresi pada mulut akibat kejang atau penumpukan saliva
maka dibersihkan dengan pengisap lendir
5) Makanan dan minuman melalui sonde lambung. Bahan makanan yang
mudah dicerna dan cukup mengandung protein dan kalori
b. Pengobatan Khusus
1) Anti-tetanus toksin
Selama infeksi, toksin tetanus beredar dalam 2 bentuk:
a) Toksin bebas dalam darah
b) Toksin yang bergabung dengan jaringan saraf.
Yang dapat dinetralisir oleh antitoksin adalah toksin yang bebas dalam
darah. Sedangkan yang telah bergabung dengan jaringan saraf tidak dapat
dinetralisir oleh antitoksin. Sebelum pemberian antitoksin harus dilakukan:
a) Anamnesa apakah ada riwayat alergi
b) Tes kulit dan mata
c) Harus selalu sedia Adrenalin 1:1.000
Ini dilakukan karena antitoksin berasal dari serum kuda, yang bersifat
heterolog sehingga mungkin terjadi syok anafilaksis.
Tes mata
Pada konjungtiva bagian bawah diteteskan 1 tetes larutan antitoksin
tetanus 1:10 dalam larutan garam faali, sedang pada mata yang lain hanya
ditetesi garam faali. Positif bila dalam 20 menit, tampak kemerahan dan
bengkak pada konjungtiva.

Tes kulit
Suntikan 0,1 cc larutan 1/1000 antitoksin tetanus dalam larutan faali
secara intrakutan. Reaksi positif bila dalam 20 menit pada tempat suntikan
terjadi kemerahan dan indurasi lebih dari 10 mm.
Bila tes mata dan kulit keduanya positif, maka antitoksin diberikan
secara bertahap. Dosis ATS yang diberikan 50.000–100.000u yang
diberikan setengah lewat intravena dan setengahnya intramuskuler.
Pemberian lewat intravena diberikan dengan cara melarutkannya dalam
100-200 cc glukosa 5% dan diberikan selama 1-2 jam.
2) Antikonvulsan atau sedatif
Obat–obat ini digunakan untuk merelaksasi otot dan mengurangi
kepekaan jaringan saraf terhadap rangsangan. Obat yang ideal dalam
penanganan tetanus ialah obat yang dapat mengontrol kejang dan
menurunkan spastisitas tanpa mengganggu pernapasan, gerakan–gerakan
volunter atau kesadaran.
Obat-obat yang lazim digunakan ialah diazepam. Bila penderita datang
dalam keadaan kejang maka diberikan dosis 0,5 mg/kg.bb/kali i.v.
perlahan-lahan dengan dosis optimum 10 mg/kali diulangi setiap kali
kejang.
3) Antibiotik
- Penisilin Prokain
Digunakan untuk membasmi bentuk vegetatif Clostridium Tetani.
Dosis: 50.000 u/kg.BB/hari i.m selama 10 hari atau 3 hari setelah
panas turun. Dosis optimal 600.000 u/hari.
- Tetrasiklin dan Eritromisin Diberikan terutama bila penderita alergi
terhadap penisilin.
Tetrasiklin: 30–50 mg/kg.BB/hari dalam 4 dosis.
Eritromisin: 50 mg/kg.BB/hari dalam 4 dosis, selama 10 hari.
4) Oksigen bila terjadi sianosis

5) Trakeostomi
Dilakukan pada penderita tetanus jika terjadi: spasme berkepanjangan
dari otot respirasi, tidak ada kesanggupan batuk atau menelan,
obstruksi larings, dan koma.
2. Penatalaksanaan Nonfarmakologis
Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan
membuka mulut dan menelan. Hila ada trismus, makanan dapat diberikan
personde atau parenteral.

A.9 Pencegahan
1. Perawatan luka terutama pada luka tusuk, kotor atau luka yang tercemar
dengan spora tetanus. Perawatan luka dapat dialkukan dengan cara irigasi
luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik), membuang benda asing
dalam luka serta kompres dengan H202, dalam hal ini penata laksanaan,
terhadap luka tersebut dilakukan 1-2 jam setelah daerah sekitar luka disuntik
ATS dan pemberian antibiotika.
2. Imunisasi pasif dengan cara diberikan antitoksin, pemberian antitoksin ada 2
bentuk, yaitu:
a. ATS dari serum kuda
b. Tetanus Immunoglobulin Human (TIGH). Pemberian ini sebaiknya
didahului dengan tes kulit dan mata. Dosis TIGH: 250–500 u i.m
3. Imunisasi aktif
Di Indonesia dengan adanya Program Pengembangan Imunisasi (PPI) selain
menurunkan angka kesakitan juga mengurangi angka kematian tetanus. Imunisasi
tetanus biasanya dapat diberikan dalam bentuk DPT; DT dan TT. DPT diberikan
untuk imunisasi dasar, DT diberikan untuk booster pada usia 5 tahun, dan pada
anak dengan riwayat demam dan kejang, TT diberikan pada: ibu hamil dan anak
usia 13 tahun keatas.
Sesuai dengan Program Pengembangan Imunisasi (PPI), imunisasi dilakukan
pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan booster dilakukan pada usia 1,5-2 tahun
dan usia 5 tahun. Dosis yang diberikan adalah 0,5 cc tiap kali pemberian secara
intramuskuler (IM).

A.10 Komplikasi
Pada keadaan yang berat akan timbul komplikasi seperti:
a. Respirasi: henti napas pada saat kejang-kejang terutama akibat rangsangan
pada waktu memasukkan pipa lambung, aspirasi sekret pada saat atau
setelah kejang, yang dapat menimbulkan aspirasi pneumoni, atelektase,
atau abses paru.
b. Cardioivaskuler: hipertensi, takhikardi dan aritmia oleh karena rangsangan
syampatis yang lama.
c. Tulang/otot:fraktur atau kompresi tulang belakang, robekan otot perut dan
quardriceps femoris. Pernah juga dilaporkan terjadi myostis ossifican.
d. Metabolisme: hiperpireksi.
B. Clinical Pathway

MK: Risiko
MK: Ketidaefektifan ketidaefektifan perfusi
perfusi jaringan jaringan serebral
MK: perifer
Ketidaefektifan pola
MK:
nafas
Ketidakseimbangan
Suplai oksigen ke Penurunan
nutrisi: kurang dari
otak berkurang kesadaran
kebutuhan tubuh
hiperventilasi

MK: Risiko Intake makanan MK: Gangguan


aspirasi inadekuat Kompensasi tubuh Komunikasi Verbal Metabolism
meningkatkan RR menurun

Hipersalivasi, reflek MK: Spasme


batuk menurun, Ketidakefektifan Peningkatan hipoksia otot rahang Produksi ATP
kesulitan menelan bersihan jalan nafas di jaringan menurun

Tonus otot
Spasme otot laring Peningkatan produksi Penurunan suplai meningkat, kontraksi MK: Intoleransi
dan faring secret, ronkhi oksigen di jaringan otot meningkat aktivitas

Merangsang MK: Risiko


Aktivasi system syaraf simpatis Menghambat pelepasan korteks kejang
Menyebar ke SSP asetilkolin Cidera
cerebri
Sinap ganglion spinal,
neuromuscular junction, Proses infeksi Sekresi zat MK: Hipertermi
dan syaraf otonom di SSP pirogenik

tetanospamin tetanolisin MK: Risiko


Infeksi

Spora berbentuk
vegetatif masuk ke Invasi kuman atau
dalam tubuh bakteri melalui luka
C. Asuhan Keperawatan
C.1 Pengkajian
a. Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan keluarga membawa klien untuk
meminta pertolongan kesehatan adalah panas badan tinggi, kejang, dan
penurunan tingkat kesadaran.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Faktor riwayat penyakit sangat penting di ketahui karena untuk mengetahui
predisposisi penyebab sumber luka. Disini harus di tanya dengan jelas
tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau
bertambah buruk. Keluhan kejang perlu mendapat perhatian untuk di
lakukan pengkajian lebih mendalam, bagaimana sifat timbulnya kejang,
stimulus apa yang sering menimbulkan kejang, dan tindakan apa yang telah
di berikan dalam upaya menurunkan keluhan kejang tersebut.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran di hubungkan
dengan toksin tetanus yang mengimplamasi jaringan otak. Keluhan
perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit,
dapat terjadi letargi, tidak responsip, dan koma.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah di alami klien yang memungkinkan
adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi
pernah kah klien mengalami tubuh terluka dan luka tusuk yang dalam
misalnya tertusuk paku, pecahan kaca, terkenaa kaleng, atau luka yang
menjadi kotor; karena terjatuh di tempat yang kotor dan terluka atau
kecelakaan dan timbul luka yang tertutup debu/kotoran juga luka bakar dan
patah tulang terbuka. Adakah porte d’entree lainnya seperti luka gores yang
ringan kemudian menjadi bernanah dan gigi berlubang di koreng dengan
benda yang kotor.
d. Pemeriksaan Fisik Body System
1) B1 (Breath)
Inspeksi : klien batuk, produksi sputum bagaimana, pengembangan
dada simetris, penggunaan otot bantu pernafasan (+),
pernafasan cuping hidung (-), irama nafas cepat
(takipnea), RR di atas batas normal (>16-20x/menit).
Klien dengan tetanus akan mengalami peningkatan RR
akibat suplai O2 ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan
tubuh tidak adekuat, sehingga klien akan melakukan
upaya kompensasi dengan meningkatkan frekuensi
pernafasan untuk memenuhi kebutuhan oksigen tubuh.
Palpasi : tidak teraba massa atau benjolah di daerah dada, vocal
fremitus teraba jelas di lapang paru kanan-kiri
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru: ICS ke-1 hingga ICS ke-6
di seluruh lobus paru
Auskultasi : Ada bunyi nafas tambahan ronchi di akhir pernapasan
sebagai komplikasi dari tetanus akibat kemampuan batuk
klien menurun
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan syok hipovelemik
yang sering terjadi pada klien tetanus. TD biasnya normal, peningkatan
heart rate, adanya anemis karena adanya hancurnya eritrosit.
3) B3 (Brain)
a) Kesadaran klien biasanya kompos mentis. Pada keadaan lanjut
tingkat kesadaran klien tetanus mengalami penurunan pada tingkat
letargi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien sudah mengalami
koma maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat
kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk monitoring pemberian
asuhan.
b) Status mental: obsevasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai
gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah dan aktifitas motorik
yang pada klien tetanus tahap lanjut biasanya status mental klien
mengalami perubahan.
c) Pemeriksaan saraf kranial
- Saraf I. Biasanya pada klien tetanus tidak ada kelainan dan fungsi
penciuman tidak ada kelainan.
- Saraf II. Tes ketajaman pengelihatan pada kondisi normal
- Saraf III,IV,VI. Dengan alasan yang tidak di ketahui, klien tetanus
mengeluh mengalami fotophobia atau sensitif yang berlebihan
terhadap cahaya. Respons kejang umum akibat stimulus rangsang
cahaya perlu di perhatikan perawat untuk memberikan intervensi
menurunkan stimulus cahaya tersebut.
- Saraf V. Refleks masester menigkat. Mulut mencucu seperti mulut
ikan (ini adalah gejala khas pada tetanus).
- Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.
- Saraf VIII. Tidak di temukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
- Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran
membuka mulut (trismus).
- Saraf XI. Di dapatkan kaku kuduk. Ketegangan otot rahang dan
leher (mendadak)
- Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak
ada pasikulasi. Indra pengecapan normal.
d) Kekuatan otot
Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan kordinasi pada
tetanus tahap lanjut mengalami perubahan.
e) Pemeriksaan reflek
Pemeriksaan reflek dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum,
atau periusteum derajat reflek pada respon normal.
f) Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, Tic dan distonia. Pada keadaan
tertentu klien mengalami kejang umum, terutama pada anak yang
tetanus disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi. Kejang
berhubungan sekunder akibat area fokal kortikal yang peka.
g) Sistem sensori
Pemeriksaan sensorik pada tetanus biasanya di dapatkan perasaan
raba normal, perasaan nyeri normal. Perasaan suhu normal. Tidak
ada perasaan abnormal di permukaan tubuh. Perasaan proprioseftif
normal dan perasaan diskriminatif normal.
4) B4 (Bladder)
Penurunan volume haluaran urin berhubungan dengan penurunan
perpusi dan penurunan curah jantung ke ginjal. Adanya retensi urin
karena kejang umum. Pada klien yang sering kejang sebaiknya
pengeluaran urine dengan menggunakan kateter.
5) B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam
lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien tetanus menurun karena
anoreksia dan adanya kejang, kaku dinding perut (perut papan)
merupakan tanda khas dari tetanus. Adanya spasme otot menyebabkan
kesulitan BAB.

6) B6 (Bone)
Adanya kejang umum sehingga mengganggu mobilitas klien dan
menurunkan aktivitas sehari-hari. Perlu dikaji apabila klien mengalami
patah tulang terbuka yang memungkinkan menjadi port de
entrée kuman Clostridium tetani, sehingga memerlukan perawatan luka
yang optimal. Adanya kejang memberikan resiko raktur pertibra pada
bayi, ketegangan, dan spasme otot pada abdomen.
D. Masalah Keperawatan
1. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan suplai
oksigen ke otak menurun
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan
nafas akibat peningkatan sekresi mucus
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi
4. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan suplai oksigen
ke perifer inadekuat
5. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake inadekuat
6. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
oksigen dan kebutuhan
7. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
8. Gangguan komunikasi bverbal berhubungan dengan spasme otot rahang
9. Risiko infeksi berhubungan dengan proses penyakit
10. Risiko aspirasi berhubungan dengan penurunan reflek menelan
11. Risiko cidera berhubungan dengan penurunan kesadaran
E. Perencanaan Keperawatan
No. Masalah Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan Rasional
Risiko ketidakefektifan perfusi NOC:
jaringan serebral berhubungan a) Circulation status 1) Monitor TTV 1. Deteksi penurunan perfusi
dengan penurunan suplai b) Neurologic status 2) Monitor AGD, ukuran serebral
oksigen di otak c) Tissue perfusion pupil, ketajaman, 2. Penurunan kontraksi pupil
kesimetrisan dan reaksi mengidentifikasi ada
Setelah dilakukan tindakan 3) Monitor adanya diplopia, gangguan pada perfusi
keperawatan selama ..x 24 jam pandangan kabur, nyeri serebral
klien mampu mencapai kepala 3. Penurunan perfusi serebral
keefektifan perfusi jaringan 4) Monitor level mempengaruhi peningkatan
serebral dengan kiteria hasil: kebingungan dan orientasi tekanan intracranial yang
1) Tekanan systole dan diastole 5) Monitor tonus otot menyebabkan nyeri kepala
dalam rentang yang pergerakan 4. Memonitor adanya
diharapkan 6) Pertahankan parameter kerusakan sistem persarafan
2) Tidak ada hipertensi ortostati hemodinamik 5. Kerusakan pada sel di otak
3) Menunjukkan konsentrasi 7) Tinggikan kepala 0-45 menyebabkan kehilangan
dan orientasi derajat tergantung pada kontrol volunter
4) Pupil seimbang dan reaktif konsisi pasien dan order 6. Membantu menstabilkan
5) Bebas dari aktivitas kejang medis. perfusi jaringa serebral
6) Tidak mengalami nyeri 7. Membantu drainage vena
kepala untuk mengurangi kongesti
vena

Ketidakefektifan bersihan jalan NOC : 1. Kaji fungsi paru, adanya 1. Membantu dan mengatasi
nafas berhubungan dengan Respiration status (Ventilation) bunyi napas tambahan, komplikasi pontensial.
obstruksi jalan nafas akibat Airway patency perubahan irama dan Pengkajian fungsi
peningkatan produksi mukus kedalaman, penggunaan pernapasan dengan interval
Setelah dilakukan asuhan otot-otot aksesori, warna, yang teratur adalah penting
keperawatan selama ....x24 jam, dan kekentalan sputum karena pernapasan yang
bersihan jalan napas kembali 2. Ajarkan cara batuk efektif tidak efektif dan adanya
efektif 3. Lakukan fisioterapi dada, kegagalan , karena adanya
Kriteria hasil: vibrasi dada kelemahan atau paralisa
1) secara subjektif sesak napas 4. Penuhi hidrasi cairan via pada otot –otot interkostal
(-), RR 16-20x/ menit oral seperti minum air dan diafragma yang
2) Tidak menggunakan otot putih dan pertahankan berkembang dengan cepat
bantu napas, retraksi intake cairan 2500 ml/hari 2. Klien berada pada risiko
ICS(-), ronkhi(-/-), 5. Lakukan pengisapan tinggi bila tidak dapat batuk
mengi(-/) lendir/suction pada jalan efektif untuk membersihkan
3) Dapat mendemonstrasikan napas jalan napas dan mengalami
cara batuk efektif. 6. Berikan oksigen sesuai kesulitan dalam menelan,
kebutuhan yang dapat menyebabkan
aspirasi saliva, dan
mencetuskan gagal napas
akut
3. Terapi fisik dada membantu
meningkatkan batuk lebih
efektif
4. Pemenuhan cairan dapat
mengencerkan mucus yang
kental dan dapat membantu
pemenuhan cairan yang
banyak keluar dari tubuh
5. Pengisapan mungkin
diperlukan untuk
mempertahankan
kepateanan jalan napas
menjadi bersihn napas
6. Pemenuhan oksigen
terutama pada klien tetanus
dengan laju metabolism
yang tinggi
Ketidakefektifan pola nafas NOC: NIC:
berhubungan dengan Status pernafasan (0415) Airway Management Airway Management
hiperventilasi Status Pernafasan: ventilasi a. Kaji kepatenan jalan nafas a. Mengidentifikasi apakah
(0403) pasien terdapat obstruksi akibat
adanya sekret pada jalan
Setelah dilakukan tidakan nafas pasien, menjadi
keperawatan selama 1x24 jam, pedoman dalam menentukan
pola nafas kembali efektif intervensi
Kriteria hasil: b. Auskultasi suara nafas, b. Obstruksi secret pada
a. RR dalam batas normal (15- catat adanya suara bronkus akibat peningkatan
20x/menit tambahan produksi mucus sehingga
b. Irama nafas normal menimbulkan suara ronkhi
c. Tidak ada tanda sianosis c. Posisikan pasien untuk c. Posisi pasien yang tepat
d. Pengembangan dada simetris memaksimalkan ventilasi akan membantu udara yang
keluar masuk paru-paru
berjalan optimal
d. Monitor respirasi dan d. Obstruksi pada bronkus
status O2 dapat menyebabkan
penurunan intake O2 saat
inspirasi sehingga tubuh
mengalami kekurangan O2
e. Anjurkan klien untuk e. Air hangat mampu
minum air hangat membantu pengenceran
secret
f. Kolaborasi dalam f. Obat bronkodilator
pemberian obat membantu melebarkan jalan
bronkodilator dan nafas pasien, dan mukolitik
mukolitik dapat membantu
pengenceran sekret
Terapi oksigen (3320) Terapi Oksigen (3320)
a. Pertahankan kepatenan a. Terapi oksigen tidak akan
jalan nafas efektif jika terdapat
hambatan di jalan nafas
b. Monitor aliran oksigen b. Aliran oksigen yang terlalu
cepat justru akan
mengakibatkan keracunan
oksigen
c. Periksa perangkat c. Air dalam humidifier harus
pemberian oksigen terisi untuk
d. Monitor efektifitas terapi mempertahankan
oksigen kelembapan mukosa hidung
e. Berikan terapi oksigen d. Jika tidak memberikan
melalui O2 nasal jika dampak yang signifikan ,
sianosis klien sudah jumlah harus ditingkatkan
berkurang dan e. Pemberian oksigen dapat
maintanance membantu mengembalikan
pola nafas menjadi normal
Ketidakefektifan perfusi NOC: 1. Monitor frekuensi dan 1. pasien dengan tetanus
jaringan perifer berhubungan Perfusi Jaringan Perifer irama jantung mempunyai suara jantung
dengan suplai oksigen ke perifer 2. Observasi perubahan tambahan apabila ada
inadekuat Setelah dilakukan tindakan status mental komplikasi
keperawatan selama 3x24 jam 3. Observasi warna dan 2. pasien dengan tetanus dapat
pasien menunjukkan perfusi suhu kulit atau hipoksia dengan penurunan
jaringan membaik kreiteria membran mukosa kesadaran
hasil: 4. Ukur haluaran urin dan 3. pasien dengan tetanus
a. Daerah perifer hangat catat berat jenisnya rentan mengalami
b. Tidak ada tanda-tanda penurunan perfusi jaringan
5. Kolaborasi : Berikan
sianosis 4. pasien dengan tetanus yang
cairan IV l sesuai
c. gambaran EKG tak berakibat pada gagal
indikasi
menunjukan perluasan infark jantung berisiko mengalami
d. RR 16-24 x/ menit 6. Pantau Pemeriksaan kelebihan volume cairan
e. tak terdapat clubbing finger diagnostik atau dan dalam tubuhnya
f. kapiler refill 3-5 detik laboratorium mis EKG, 5. pasien dengan tetanus
g. nadi 60-100x / menit elektrolit, GDA ( Pa O2, terjadi ketidak
h. TD 100-140 mmHg Pa CO2 dan saturasi O2). keseimbangan cairan
Dan Pemberian oksigen 6. pasien dengan tetanus
7. Ajarkan ROM mengalami perubahan
hemodinamik dan hasil
EKG yang abnormal
7. ROM dapat memperlancar
peredaran darah perifer
Ketidakseimbangan nutrisi: NOC: Nutritional status NIC:
kurang dari kebutuhan tubuh Setelah dilakukan tindakan Nutrition monitoring
berhubungan dengan keperawatan 1x24 jam nutrisi 1. Monitor berat badan 1. Memantau perkembangan
ketidakmampuan mencerna pasien dapat terpenuhi pasien berat badan pasien
makanan (00002/hal. 177) 2. Monitor tipe dan jumlah 2. Aktivitas dapat membuat
Indikator: aktivitas yang biasa metabolisme meningkat
1. Mampu mengidentifikasi dilakukan 3. Memantau hidrasi
kebutuhan nutrisi 3. Monitor kulit kering dan 4. Lingkungan dapat
Tidak terdapat tanda-tanda perubahan pigmentasi mempengaruhi motivasi
malnutrisi 4. Monitor lingkungan untuk makan
selama makan 5. Monitor hidrasi
5. Monitor turgor kulit 6. Untuk memonitor masukan
6. Monitor kalori intake dan kalori pada klien
intake nutrisi

Nutrition Management
1. Kaji adanya alergi 1. Mencegah terjadinya alergi
makanan makanan
2. Berikan informasi tentang 2. Meningkatkan pengetahuan
kebutuhan nutrisi klien terkait pentingnya
3. Ajarkan pasien bagaimana pemenuhan nutrisi
membuat catatan makanan 3. Untuk memandirikan klien
harian dan membentuk pola hidup
4. Kolaborasi dengan ahli sehat pada klien
gizi untuk menentukan 4. Untuk pemenuhan gii klien
jumlah kalori dan nutrisi secara tepat
yang dibutuhkan pasien
Intoleransi aktivitas NOC: NIC:
berhubungan dengan 1. Self Care: ADL’s Energy Management Energy Management
ketidakseimbangan antara suplai 2. Toleransi Aktifitas a. Observasi adanya a. Mengidentifikasi sejauh
oksigen dan kebutuhan (00092) 3. Konservasi Energi pembatasan pasien dalam mana pasien dapat
melakukan aktifitas melakukan aktifitas yang
Setelah dilakukan tindakan ditolerir oleh tubuhnya
keperawatan selama 3 x 24 jam
pasien dapat bertoleransi b. Kaji adanya faktor yang b. Meminimalkan faktor
terhadap aktivitas dengan menyebabkan kelelahan pencetus agar tidak terjadi
Kriteria Hasil: kelelahan berlebih
a. Berpartisipasi dalam aktivitas c. Monitor nutrisi dan sumber c. Mengidentifikasi kecukupan
fisik tanpa disertai energi yang adekuat energi yang dimiliki tubuh
peningkatan tekanan darah, untuk melakukan aktifitas
nadi, dan RR d. Monitor respon d. Penurunan/ketidakmampuan
b. Mampu melakukan aktifitas kardiovaskular terhadap miokardium untuk
sehari-hari (ADLs) secara aktivitas (takikardia, meningkatkan volume
mandiri disritmia, sesak nafas, sekuncup selama aktivitas
c. Keseimbangan aktifitas dan diaphoresis, pucat, dapat menyebabkan
istirahat perubahan hemodinamik) peningkatan segera frekuensi
jantung dan kebutuhan
oksigen juga peningkatan
kelelahan dan kelemahan.
e. Mengidentifikasi kecukupan
e. Monitor pola tidur dan energi yang dihasilkan
lamanya tidur atau istirahat dengan beristirahat untuk
pasien melakukan aktifitas

Activity Therapy Activity Therapy


a. Kolaborasikan dengan a. Peningkatan bertahap pada
tenaga rehabilitasi dalam aktivitas dengan
merencanakan program menghindari kerja
terapi yang tepat jantung/konsumsi oksigen
berlebihan. Penguatan dan
perbaikan fungsi jantung
dibawah stress, bila fungsi
jantung tidak dapat membaik
kembali.

b. Bantu pasien untuk b. Mengidentifikasi


mengidentifikasi aktivitas kemampuan pasien dalam
yang mampu dilakukan melakukan aktifitas yang
ditolerir oleh tubuhnya
c. Bantu untuk c. Mengidentifikasi minat
mengidentifikasi aktivitas pasien dalam melakukan
yang disukai aktifitas yang akan
digunakan sebagai terapi
d. Bantu pasien untuk d. Membantu pasien untuk
membuat jadwal latihan melkaukan kegiatan latihan
diwaktu luang perbaikan aktifitas secara
kontinyu
Hipertermi berhubungan dengan NOC: Perawatan Demam (3740)
proses infeksi Thermoregulasi (0800) a. Pantau suhu dan tanda vital a. Untuk mengetahui kondisi
Hidrasi (0602) yang lainnya klien secara berkala
b. Monitoring warna kulit dan b.Mengetahui sejauh mana
Setelah dilakukan tindakan suhu tingkat peningkatan suhu dan
keperawatan 2 x 24 jam, suhu gambaran secara fisiologis
tubuh klien dapat kembali pengaruh dari peningkatan
normal dengan kriteria hasil: suhu terhadap kondisi klien
a. Klien melaporkan c. Mengkaji kebutuhan cairan
kenyamanan suhu c. Monitoring intake-output dan kehilangan cairan klien
b. Penurunan suhu ke batas cairan akibat adanya peningkatan
normal suhu
c. Perubahan denyut nadi ke d.Membantu memenuhi
batas normal d. Dorong klien untuk kebutuhan cairan tubuh yang
d. Status kesadaran meningkat peningkatan konsumsi hilang akibat peningkatan
e. Turgor kulit dalam batas cairan evaporasi
normal e. Meminimalkan risiko
f. Membran mukosa lembab e. Pantau kondisi pasien terjadinya kejang demam
untuk menghindari berulang
komplikasi dari demam f. Menurunkan suhu tubuh klien
f. Kolaborasi dengan tim hingga ke batas normal.
medis terkait pemberian
obat antipiretik

Pengaturan Suhu (3900)


a. Monitoring suhu setiap 2 a. Mengobservasi keadaan
jam umum klien agar tidak
terjadi kejang demam
berulang
b. Monitoring tanda vital b. Memantau perubahan tanda
lainnya: TD, nadi, RR vital lainnya bersamaan
dengan meningkatnya suhu
c. Tingkatkan intake cairan tubuh klien
dan nutrisi yang adekuat c. Membantu memenuhi
kebutuhan cairan yang
d. Ajarkan kepada klien dan hilang akibat peningkatan
keluarga tentang evaporasi
bagaimana mengatasi d. Membantu klien dan
demam di rumah keluarga untuk dapat
melakukan tindakan
pencegahan terjadinya
kejang demam berulang dan
membantu klien dan
keluarga untuk melakukan
e. Kolaborasi pemberian pertolongan pertama pada
antipiretik saat klien mengalmai
peningkatan suhu tubuh
e. Menurunkan suhu tubuh
klien hingga ke batas normal
menggunakan obat.
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek G.M., Butcher H.K., Dochterman J.M., Wagner C. 2013. Nursing
Interventions Classifications (NIC). 6th edition. Mosby: Elsevier Inc.

Gleadle, J. 2007. At a Glance: Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta:


Penerbit Erlangga.

Herdman, T. H. 2015. Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi 2015-2017.


Jakarta: EGC.

Capernito, Lynda Juall. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.

Arif, Mansjoer, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3. Jakarta. Medica
Aesculpalus, FKUI.

Moorhead S., Johnson M., Maas M.L., Swanson E. 2013. Nursing Outcomes
Classifications (NOC): Measurement of Health Outcomes. 5th edition.
Mosby: Elsevier Inc.

Price & Wilson. 2012. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


Jakarta: EGC

Smeltzer, S. Bare, B. Hinkle, J. & Cheever, K. 2010. Brunner & Suddarth’s


Textbook of Medical Surgical Nursing. 11th edition. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.

Sukandar, E., 2006. Neurologi Klinik. Edisi ketiga. Bandung: Pusat Informasi
Ilmiah (PII) Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD.

Waugh, A., Grant A. 2014. Ross and Wilson Anatomy & Physiology in Health and
Illness. 12th edition. Churchill Livingstone: Elseiver (China) Ltd.

Anda mungkin juga menyukai