Anda di halaman 1dari 13

Telah disetujui/diterima Pembimbing

Hari/Tanggal :

Tanda tangan

ILMU KEPERAWATAN ANAK DALAM KONTEKS KELUARGA


PROGRAM PROFESI NERS

Asuhan Keperawatan pada An. N dengan TB Paru


di Ruang Selicah Instalasi Kesehatan Anak
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang

LAPORAN PENDAHULUAN

Oleh :
LISA NUR HANIFA
04064881921025

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTASKEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2019
TB PARU PADA ANAK

1. Definisi
Tuberculosis (TBC) adalah penyakit akibat bakteri Mycobakterium tuberculosis
sistemis, sehingga dapat mengenai semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru-
paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer (Mansjoer, 2000). Tuberculosis paru
adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim paru. Tuberculosis dapat
juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, terutama meningen, ginjal, tulang, dan nodus
limfe (Smeltzer, 2001). Penyakit tuberculosis pada anak merupakan penyakit yang bersifat
sistemik, yang dapat bermanifestasi pada berbagai organ, terutama paru. Sifat sistemik ini
disebabkan oleh penyebaran hematogen dan limfogen setelah terjadi infeksi
Mycobacterium tuberculosis (Mansjoer, 2000). Tuberculosis adalah contoh lain infeksi
saluran napas bawah yang disebabkan oleh mikroorganisme Mycobacterium
tuberculosis (Elizabeth, 2002).

2. Etiologi
a. Merokok pasif
Merokok pasif bisa berdampak pada sistem kekebalan anak, sehingga meningkatkan
risiko tertular. Pajanan pada asap rokok mengubah fungsi sel, misalnya dengan
menurunkan tingkat kejernihan zat yang dihirup dan kerusakan kemampuan
penyerapan sel dan pembuluh darah (Reuters Health, 2007).
b. Faktor Risiko TBC anak (Amin, 2007)
1) Risiko infeksi TBC: Anak yang memiliki kontak dengan orang dewasa dengan
TBC aktif, daerah endemis, penggunaan obat-obat intravena, kemiskinan serta
lingkungan yang tidak sehat, pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius.
Resiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi
jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum yang positif, terdapat
infiltrat luas pada lobus atas atau kavitas produksi sputum banyak dan encer,
batuk produktif dan kuat serta terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat,
terutama sirkulasi udara yang tidak baik. Pasien TBC anak jarang menularkan
kuman pada anak lain atau orang dewasa di sekitarnya, karena TBC pada anak
jarang infeksius, hal ini disebabkan karena kuman TBC sangat jarang ditemukan
pada sekret endotracheal, dan jarang terdapat batuk. Walaupun terdapat batuk,
tetapi jarang menghasilkan sputum. Bahkan jika ada sputum, bakteri TBC jarang
muncul sebab hanya terdapat dalam konsentrasi yang rendah pada sekret
endobrokhial anak.
2) Risiko Penyakit TBC: Anak ≤ 5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami
progresi infeksi menjadi sakit TBC, mungkin karena imunitas selulernya belum
berkembang sempurna (imatur). Namun, risiko sakit TBC ini akan berkurang
secara bertahap seiring pertambahan usia. Pada bayi < 1 tahun yang terinfeksi
TBC, 43% nya akan menjadi sakit TBC, sedangkan pada anak usia 1-5 tahun,
yang menjadi sakit hanya 24%, pada usia remaja 15% dan pada dewasa 5-10%.
3. Patofisiologi
Berbeda dengan TBC pada orang dewasa, TBC pada anak tidak menular. Pada TBC
anak, kuman berkembang biak di kelenjar paru-paru. Jadi, kuman ada di dalam kelenjar,
tidak terbuka. Sementara pada TBC dewasa, kuman berada di paru-paru dan membuat
lubang untuk keluar melalui jalan napas. Saat batuk, percikan ludah pasien TBC dewasa
mengandung kuman. Ini yang biasanya terisap oleh anak-anak, lalu masuk ke paru-paru
(Wirjodiardjo, 2008).
Proses penularan tuberculosis dapat melalui proses udara atau langsung, seperti saat
batuk. Terdapat dua kelompok besar penyakit ini di antaranya adalah sebagai berikut:
tuberculosis paru primer dan tuberculosis post primer. Tuberculosis primer sering terjadi
pada anak, proses ini dapat dimulai dari proses yang disebut droplet nuklei, yaitu statu
proses terinfeksinya partikel yang mengandung dua atau lebih kuman tuberculosis yang
hidup dan terhirup serta diendapkan pada permukaan alveoli, yang akan terjadi eksudasi
dan dilatasi pada kapiler, pembengkakan sel endotel dan alveolar, keluar fibrin serta
makrofag ke dalam alveolar spase. Tuberculosis post primer, dimana penyakit ini terjadi
pada pasien yang sebelumnya terinfeksi oleh kuman Mycobacterium tuberculosis
(Hidayat, 2008).
Sebagian besar infeksi tuberculosis menyebar melalui udara melalui terhirupnya
nukleus droplet yang berisikan mikroorganisme basil tuberkel dari seseorang yang
terinfeksi. Tuberculosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas yang
diperantarai oleh sel dengan sel elector berupa makropag dan limfosit (biasanya sel T)
sebagai sel imuniresponsif. Tipe imunitas ini melibatkan pengaktifan makrofag pada
bagian yang terinfeksi oleh limfosit dan limfokin mereka, responya berupa reaksi
hipersentifitas selular (lambat). Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolar
membangkitkan reaksi peradangan yaitu ketika leukosit digantikan oleh makrofag. Alveoli
yang terlibat mengalami konsolidasi dan timbul pneumonia akut, yang dapat sembuh
sendiri sehingga tidak terdapat sisa, atau prosesnya dapat berjalan terus dengan bakteri di
dalam sel-sel (Price, & Wilson, 2006).
Tuberculosis paru termasuk insidias. Sebagian besar pasien menunjukkan demam
tingkat rendah, keletihan, anorexia, penurunan berat badan, berkeringat malam, nyeri dada
dan batuk menetal. Batuk pada awalnya mungkin nonproduktif, tetapi dapat berkembang
ke arah pembentukan sputum mukopurulen dengan hemoptisis. Tuberculosis dapat
mempunyai manifestasi atipikal pada anak seperti perilaku tidak biasa dan perubahan
status mental, demam , anorexia dan penurunan berat badan. Basil tuberkulosis dapat
bertahan lebih dari 50 tahun dalam keadaan dorman (Smeltzer dan Bare, 2002).

4. Manifestasi Klinik
Menurut Wirjodiardjo (2008), gejala TBC pada anak tidak serta-merta muncul. Pada
saat-saat awal, 4-8 minggu setelah infeksi, biasanya anak hanya demam sedikit. Beberapa
bulan kemudian, gejalanya mulai muncul di paru-paru. Anak batuk-batuk sedikit. Tahap
berikutnya (3-9 bulan setelah infeksi), anak tidak napsu makan, kurang gairah, dan berat
badan turun tanpa sebab. Juga ada pembesaran kelenjar di leher, sementara di paru-paru
muncul gambaran vlek. Pada saat itu, kemungkinannya ada dua, apakah akan muncul
gejala TBC yang benar-benar atau sama sekali tidak muncul. Ini tergantung kekebalan
anak. Kalau anak kebal (daya tahan tubuhnya bagus), TBC-nya tidak muncul. Tapi bukan
berarti sembuh. Setelah bertahun-tahun, bisa saja muncul, bukan di paru-paru lagi,
melainkan di tulang, ginjal, otak, dan sebagainya. Ini yang berbahaya dan butuh waktu
lama untuk penyembuhannya.
Riwayat penyakit TBC anak sulit dideteksi penyebabnya. Penyebab TBC adalah
kuman TBC. Sebetulnya, untuk mendeteksi bakteri TBC (dewasa) tidak begitu sulit. Pada
orang dewasa bisa dideteksi dengan pemeriksaan dahak langsung dengan mikroskop atau
dibiakkan dulu di media. Mendeteksi TBC anak sangat sulit, karena tidak mengeluarkan
kuman pada dahaknya dan gejalanya sedikit. Diperiksa dahaknya pun tidak akan keluar,
sehingga harus dibuat diagnosis baku untuk mendiagnosis anak TBC sedini mungkin.
Yang harus dicermati pada saat diagnosis TBC anak adalah riwayat penyakitnya. Apakah
ada riwayat kontak anak dengan pasien TBC dewasa. Kalau ada, dapat dimungkinkan jika
anak positif TBC (Wirjodiardjo, 2008).
Gejala-gejala lain untuk diagnosa TBC antara lain (Wirjodiardjo, 2008):
a. Apakah anak sudah mendapat imunisasi BCG semasa kecil. Atau reaksi BCG sangat
cepat. Misalnya, bengkak hanya seminggu setelah diimunisasi BCG. Ini juga harus
dicurigai TBC, meskipun jarang.
b. Berat badan anak turun tanpa sebab yang jelas, atau kenaikan berat badan setiap bulan
berkurang.
c. Demam lama atau berulang tanpa sebab. Ini juga jarang terjadi. Kalaupun ada, setelah
diperiksa, ternyata tipus atau demam berdarah.
d. Batuk lama, lebih dari 3 minggu. Ini terkadang tersamar dengan alergi. Kalau tidak
ada alergi dan tidak ada penyebab lain, baru dokter boleh curiga kemungkinan anak
terkena TBC.
e. Pembesaran kelenjar di kulit, terutama di bagian leher, juga bisa ditengarai sebagai
kemungkinan gejala TBC. Yang sekarang sudah jarang adalah adanya pembesaran
kelenjar di seluruh tubuh, misalnya di selangkangan, ketiak, dan sebagainya.
f. Mata merah bukan karena sakit mata, tapi di sudut mata ada kemerahan yang khas.
g. Pemeriksaan lain juga dibutuhkan di antaranya pemeriksaan tuberkulin (Mantoux
Test, MT) dan foto. Pada anak normal, Mantoux Test positif jika hasilnya lebih dari
10 mm. Tetapi, pada anak yang gizinya kurang, meskipun ada TBC, hasilnya biasanya
negatif, karena tidak memberikan reaksi terhadap MT.

5. Pemeriksaan Diagnostik
a. Kultur sputum : positif untuk mycobacterium pada tahap akhir penyakit.
b. Ziehl Neelsen : (pemakaian asam cepat pada gelas kaca untuk usapan cairan darah)
positif untuk basil asam cepat.
c. Test kulit : (PPD, Mantoux, potongan vollmer) ; reaksi positif (area durasi 10 mm)
terjadi 48 – 72 jam setelah injeksi intra dermal. Antigen menunjukan infeksi masa lalu
dan adanya anti body tetapi tidak secara berarti menunjukan penyakit aktif. Reaksi
bermakna pada pasien yang secara klinik sakit berarti bahwa TB aktif tidak dapat
diturunkan atau infeksi disebabkan oleh mycobacterium yang berbeda.
d. Elisa / Western Blot : dapat menyatakan adanya HIV.
e. Foto thorax ; dapat menunjukan infiltrsi lesi awal pada area paru atas, simpanan
kalsium lesi sembuh primer atau efusi cairan, perubahan menunjukan lebih luas TB
dapat masuk rongga area fibrosa.
f. Histologi atau kultur jaringan (termasuk pembersihan gaster ; urien dan cairan
serebrospinal, biopsi kulit) positif untuk mycobakterium tubrerkulosis.
g. Biopsi jarum pada jaringan paru ; positif untuk granula TB ; adanya sel raksasa
menunjukan nekrosis.
h. Pemeriksaan fungsi pada paru ; penurunan kapasitas vital, peningkatan ruang mati,
peningkatan rasio udara resido dan kapasitas paru total dan penurunan saturasi
oksigen sekunder terhadap infiltrasi parenkhim / fibrosis, kehilangan jaringan paru
dan penyakit pleural (TB paru kronis luas).
6. Pathway (Masalah Keperawatan)

Invasi Mycobacterium tuberculosis via inhalasi


Masuk traktus respiratorius

Tinggal di alveoli

Risiko Infeksi Pertahanan primer tidak adekuat

Gangguan
Reaksi inflamasi Respon imun
termoregulasi

Kerusakan membran Pembentukan


alveolar sputum dan Hipertermia
sekret

Gangguan
Penumpukan
respirasi
sekret
Ketidakseimbangan
suplai dan kebutuhan Sesak napas
Bersihan jalan
oksigen napas tidak efektif
Sianosis

Intoleransi
Hipoksia
Aktivitas
Pelepasan mediator
Gangguan pertukaran gas
kimia seperti histamin,
bradikinin dan
Respon tubuh menurun
prostaglandin

Batuk refleks muntah


Nyeri akut

Obstruksi

Anoreksia

Defisit Nutrisi
7. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Keperawatan
Menurut Hidayat (2008) perawatan anak dengan tuberculosis dapat dilakukan
dengan melakukan:
1) Pemantauan tanda-tanda infeksi sekunder
2) Pemberian oksigen yang adekuat
3) Latihan batuk efektif
4) Fisioterapi dada
5) Pemberian nutrisi yang adekuat
6) Kolaburasi pemberian obat antituberculosis (seperti: isoniazid, streptomisin,
etambutol, rifamfisin, pirazinamid dan lain-lain)
7) Promotif
a) Penyuluhan kepada masyarakat apa itu TBC
b) Pemberitahuan baik melalui spanduk/iklan tentang bahaya TBC, cara
penularan, cara pencegahan, faktor risiko
c) Mensosialisasikan BCG di masyarakat
8) Preventif
a) Vaksinasi BCG
b) Menggunakan isoniazid (INH)
c) Membersihkan lingkungan dari tempat yang kotor dan lembab
d) Bila ada gejala-gejala TBC segera ke Puskesmas/RS, agar dapat
diketahui secara dini.
b. Penatalaksanaan Medis
Dalam pengobatan TB paru dibagi 2 bagian :
1) Jangka pendek
Dengan tata cara pengobatan: setiap hari dengan jangka waktu 1 – 3 bulan.
a) Streptomisin injeksi 750 mg
b) Pas 10 mg
c) Ethambutol 1000 mg
d) Isoniazid 400 mg
2) Jangka panjang
Tata cara pengobatan: setiap 2 x seminggu, selama 13 – 18 bulan, tetapi setelah
perkembangan pengobatan ditemukan terapi. Terapi TB paru dapat dilakukan
dengan minum obat saja. Tujuan pengobatan pada penderita TB Paru selain untuk
mengobati juga mencegah kematian, mencegah kekambuhan atau resistensi
terhadap OAT serta memutuskan mata rantai penularan. Pengobatan tuberculosis
terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan).
Panduan obat yang digunakan terdiri dari obat utama dan obat tambahan. Jenis
obat utama yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah
Rifampisin, INH, Pirasinamid, Streptomisin dan Etambutol, sedangkan jenis
obat tambahan adalah Kanamisin, Kuinolon, Makrolide dan Amoksisilin + Asam
Klavulanat, derivat Rifampisin/ INH.

8. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membran alveolus-kapiler
2) Bersihan jalan napas tidak efektif b.d sekresi yang tertahan
3) Nyeri akut b.d inflamasi
4) Hipertermia b.d proses penyakit
5) Defisit nutrisi b.d ketidakmampuan menelan makanan
6) Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
7) Risiko infeksi d.d vaksinasi tidak adekuat

9. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
Gangguan Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor frekuensi, irama,
pertukaran gas b.d keperawatan selama 1 x 24 kedalaman, dan upaya napas
perubahan jam, pertukaran gas 2. Monitor pola napas
membran alveolus- meningkat 3. Palpasi kesimetrisan
kapiler ekspansi paru
Kriteria Hasil: 4. Monitor saturasi oksigen
5. Monitor nilai AGD
1. Tidak ada keluhan sesak 6. Monitor kecepatan aliran
napas oksigen
2. Tidak ada bunyi napas 7. Pertahankan kepatenan jalan
tambahan napas
3. PCO2 membaik 8. Berikan oksigen tambahan
4. PO2 membaik 9. Ajarkan pasien dan keluarga
5. pH arteri membaik cara menggunakan oksigen
6. Tidak ada takikardia di rumah
10. Kolaborasi penentuan dosis
oksigen

Bersihan jalan Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi kemampuan


napas tidak efektif keperawatan selama 1 x 24 batuk
b.d sekresi yang jam, bersihan jalan napas 2. Monitor pola napas
tertahan meningkat (frekuensi, kedalaman,
usaha, napas)
Kriteria Hasil: 3. Monitor bunyi napas
tambahan
1. Produksi sputum 4. Monitor sputum (jumlah,
menurun warna, aroma)
2. Tidak ada mengi 5. Ator posisi semi-fowler atau
3. Tidak ada wheezing fowler
6. Berikan minum hangat
7. Lakukan fisioterapi dada
8. Lakukan penghisapan lendir
kurang dari 15 detik
9. Berikan oksigen
10. Jelaskan tujuan dan prosedur
batuk efektif
11. Ajarkan teknik batuk efektif
12. Kolaborasi pemberian
mukolitik atau ekspektoran

Nyeri akut b.d Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi nyeri


inflamasi keperawatan selama 1 x 24 menggunakan PQRST
jam, tingkat nyeri menurun 2. Identifikasi respons nyeri
non verbal
Kriteria Hasil: 3. Identifikasi faktor yang
memperberat dan
1. Keluhan nyeri menurun memperingan nyeri
2. Pasien tidak meringis 4. Berikan teknik
3. Pasien tidak gelisah nonfarmakologis untuk
4. Kesulitan tidur menurun mengurangi rasa nyeri
5. Frekuensi nadi membaik 5. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
6. Fasilitasi istirahat dan tidur
7. Jelaskan strategi meredakan
nyeri
8. Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
menghilangkan rasa nyeri
9. Kolaborasi pemberian
analgetik

Hipertermia b.ds Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi penyebab


proses penyakit keperawatan selama 1 x 24 hipertermia
jam, termoregulasi membaik 2. Monitor suhu tubuh
3. Sediakan lingkungan yang
Kriteria Hasil: dingin
4. Longgarkan atau lepaskan
1. Pasien tidak menggigil pakaian
2. Suhu tubuh dalam 5. Basahi dan kipasi permukaan
rentang normal (36,5 – tubuh
37,50C) 6. Berikan cairan oral
3. Kulit tidak teraba panas 7. Ganti linen setiap hari atau
lebih sering jika mengalami
hiperhidrosis (keringat
berlebih)
8. Anjurkan tirah baring
9. Kolaborasi pemberian cairan
dan elektrolit intravena

Defisit nutrisi b.d Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi status nutrisi


ketidakmampuan keperawatan selama 1 x 24 2. Identifikasi alergi dan
menelan makanan jam, status nutrisi membaik intoleransi makanan
3. Identifikasi makanan yang
disukai
4. Monitor asupan makanan
Kriteria Hasil: 5. Monitor berat badan
6. Lakukan oral hygiene
1. Berat badan membaik sebelum makan
2. Indeks Massa Tubuh 7. Sajikan makanan secara
(IMT) membaik menarik dan suhu yang
sesuai
8. Berikan makanan tinggi serat
untuk mencegah konstipasi
9. Berikan makanan tinggi
kalori dan tinggi protein
10. Berikan suplemen makanan
11. Anjurkan makan dengan
posisi duduk
12. Kolaborasi pemberian
antiemetik sebelum makan

Intoleransi Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi gangguan fungsi


aktivitas b.d keperawatan selama 1 x 24 tubuh yang mengakibatkan
ketidakseimbangan jam, toleransi aktivitas kelelahan
antara suplai dan meningkat 2. Monitor pola dan jam tidur
kebutuhan oksigen 3. Sediakan lingkungan nyaman
Kriteria Hasil: dan rendah stimulus
4. Lakukan latihan rentang
1. Frekuensi nadi gerak pasif atau aktif
meningkat 5. Berikan aktivitas distraksi
2. Keluhan lelah menurun yang menenangkan
3. Tidak ada keluhan sesak 6. Fasilitasi duduk di sisi
napas saat beraktivitas tempat tidur, jika tidak dapat
4. Tidak ada keluhan sesak berpindah atau berjalan
napas setelah aktivitas 7. Anjurkan tirah baring
8. Anjurkan melakukan
aktivitas secara bertahap
9. Kolaborasi dengan ahli gizi
tentang cara meningkatkan
asupan makanan

Risiko infeksi d.d Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi riwayat


vaksinasi tidak keperawatan selama 1 x 24 kesehatan dan riwayat alergi
adekuat jam, tingkat infeksi 2. Monitor tanda dan gejala
menurun infeksi lokal dan sistemik
3. Batasi jumlah pengunjung
Kriteria Hasil: 4. Cuci tangan sebelum dan
sesudah kontak dengan
1. Pasien tidak demam pasien dan lingkungan pasien
2. Tidak ada kemerahan 5. Pertahankan teknik aseptik
3. Tidak nyeri pada pasien berisiko tinggi
4. Tidak bengkak 6. Jelaskan tanda gejala infeksi
5. Kadar sel darah putih 7. Ajarkan cara mencuci tangan
membaik dengan benar
8. Anjurkan pasien
meningkatkan asupan
makanan dan cairan
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Zulkifli. (2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FK UI.

Elizabeth, J. C. (2002). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Hidayat, A. A. (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan.


Jakarta: Salemba Medika.

Mansjoer, Arif. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.

Muttaqin, Arif. (2007). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguuan Sistem
Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

Price, A. Wilson. (2006). Patofisiologi Konsep Proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC.

Reuters Health. (2007). Merokok Pasif dikaitkan dengan Risiko TB pada Anak-anak.

Smeltzer, C. S. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan


Suddarth. Jakarta: EGC.

Smeltzer., & Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Tim Pokja SDKI PPNI. (2017). Standar Diagnostik Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Indikator Diagnostik. Jakarta: PPNI.

Tim Pokja SIKI PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Tindakan Keperawatan. Jakarta: PPNI.

Tim Pokja SLKI PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Kriteria Hasil. Jakarta: PPNI.

Wirjodiardjo, M. (2008). Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

Anda mungkin juga menyukai