Anda di halaman 1dari 33

LANDASAN TEORITIS

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Anatomi fisiologi
Sistem persarafan terdiri dari otak, medula spinalis, dan saraf perifer. Struktur-
struktur ini bertanggung jawab untuk kontrol dan koordinasi aktifitas sel tubuh melalui
impuls-impuls elektrik. Perjalanan impuls-impuls tersebut melalui serat-serat saraf dan
jaras-jaras secara langsung dan terus menerus.Responnya seketika sebagai hasil dari
perubahan potensial elektrik ,yang mentransmisikan sinyal-sinyal.
a. Otak
Dibagi menjadi tiga bagian besar:serebrum,batang otak,serebelum terdapat tiga
lapisan dalam otak yaitu:durameter,arakhnoid dan pirameter.
Durameter
Lapisan paling luar,menutup otak dan mendulla spinalis,sifatnya liar,tebal dan
tidak elastis,berupa serabut dan berwarna abu-abu.Jika tekanan dirongga otak
meningkalt,jaringan tertekan kearah tentarium atau berpindah kebawah,keadaan
ini disebut herniasi.
Arakhoid
Membran bagian tengah yang bersifat tipis dan lembut, menyerupai sarang
laba-laba, oleh itu disebut arakhnoid, berwarna putih karena tidak dialairi darah.
Pada dinding arakhnoid terdapat pleksus khoroid yang bertanggung jawab
memproduksi cairan serebrosfinal (css). Pada usia dewasa normal css diproduksi
500 ml perhari, tetapi 150ml diabsorbsi oleh villi. Villi mengabsorbsi css juga
pada saat darah masuk kedalam sisem (akibat trauma, pecahnya aneurisma, stroke
dan lain-lain) dan yang mengakibatkan sumbatan. Bila villi arakhnoid tersumbat
dapat menyebabkan hidrosepalus.

Piameter
Membran yang paling dalam berupa dinding yang tipis, transparan yang
menutupi otak dan meluas kesetiap lapisan daerah otak.
1) Serebrum
Terdiri dari dua hemisfer yaitu substansia grisea terdapat pada bagian luar dinding
serebrum yang terbentuk dari badan-badan sel saraf memenuhi kortek serebri,
nukleus dan basal gang lia. Substansia alba menutupi dinding serebrum bagian dalam
dan terdiri dari sel-sel saraf yang menghubungkan bagian-gabian otak dengan yang
lain. Sebagian besar hemisfer serebri (teten sefalon) berisi jaringan sistem saraf pusat
(ssp). Area inilah yang mengontrol fungsi motorik tertinggi, yaitu terhadap fungsi
individu dan intelegensia.
Lobus serebrum antara lin lobus frontal yang terletak pada fossa anterior. Area ini
mengontrol perilaku individu, membuat keputusan, kepribadian dan menahan diri.
Lobus parietal (lobus sensori). Area ini menginterprestasikan sensasi, sensasi rasa
yang tidak berpengaruh adalah bau. Lobus parietal mengatur individu maupun
mengetahui posisi dan letak bagian tubuhnya.
Lobus temporal berfungsi mengintegrasikan sensasi kecap, bau dan pendengaran,
ingatan jangka pendek sangat berhubungan dengan daerah ini. Lobus aksipital
terletak pada lobus posterior hemisfer serebri. Bagian ini bertanggung jawab
mengintepretasikan penglihatan
Dien sefalon
Fosa bagian tengah atau dien sefalon berisi talamus, hipotalamus dan kelenjar
hipofisis.
1) Talamus berada pada salah satu sisi pada sepertiga ventrikel dan aktifitas
primernya sebagai pusat penyambung sensasi bau yang diterima semua impus
memori, sensasi dan nyeri melalui bagian ini.
2) Hipotalamus berfungsi mengontrol dan mengatur sistem syaraf autonom.
Mempertahankan keseimbangan cairan, mempertahankan pengaturan suhu
tubuh melalui peningkatan vasokontruksi atau vasodilatasi dan mempengaruhi
sekresi horonal dengan kelenjar hipofisis, sebagai pusat lapar, mengontrol
berat badan, mengatur tidur, tekanan darah, perilaku agresif dan seksual dan
respon emosional (malu, marah, depresi, panik dan takut).
3) Kelenjar hipofisis
Hipofisis lobus anterior memproduksi hormon pertumbuhan, hormon
adrenakortikatropil (Acth), prolaktin, hormon perangsang tiroid (TSH), Hormon
folikel (FSH) dan luteinizing hormon (LH). Lobus posterior berisi hormon
antidiuretik (ADH) yang mengatur sekresi dan retensi cairan pada ginjal. Dua
syndrom yang sering muncul dihubungkan dengan abnormalitas ADH adalah
diabetes insipidus (DI) dan syndrom ketidak tepatan ADH (SIADH)
Serabut syaraf dari semua bagian korteks membentuk bundel yang padat
yang disebut kapsul internal masuk pons dan medulla dengan masing-masing
bundel secara bersamaan menyilang ke posisi yang berlawanan. Beberapa akson-
akson ini membuat hubungan dengan akson-akson dari serebelum, basal ganglia,
talamus dan hipotalamus, beberapa akson lain menyambung dengan sel-sel syaraf
otak. Serabut-serabut syaraf lain dari korteks dan pusat subkortikal melalui
saluran pons dan medulla menuju medulla spinalis.
2) Batang otak
Terdiri dari otak tengah, pons dan medulla oblongata, otak tengah
menghubungkan pons dan serebelum dengan hemisfer serebelum. Bagian ini berisi
jalur sensorik dan morotik dan sebagai pusat refleks pendengaran dan penglihatan.
Pons terletak di depan serebelum antara otak tengah dan medulla dan merupakan
jembatan antara bagian serebelum, dan juga antara medulla dan serebelum. Pons
berisis jaras sensorik dan motorik.
Medulla oblongata meneruskan serabut-serbaut motorik dari otak ke medulla
spinalis dan serabur-serabut sensorik dari medulla spinalis ke otak. Pons berisi pusat-
pusat terpenting dalam mengontrol jantung, pernapasan dan tekanan darah dan
sebagai asal usul saraf otak kelima sampai kedelapan.
3) Serebelum
Terletak pada fossa pasterior dan terpisah dari hemisfer serebral, lipatan
durameter nentorium serebelum. Serebelum mempunyai dua aksi yaitu merangsang
dan menghambat dan tanggung jawab yang luas terhadap koordinasi dan getaran
halus. Ditambah mengontrol getaran yang benar, keseimbangan , posisi dan
mengintegrasikan input sensorik.
b. Sirkulasi serebral
Sirkulasi serebral menerima kira-kira 20% dari curah jantung atau 750 ml/menit.
Sirkulasi ini sangat dibutuhkan karena otak tidak menyimpan makanan, sementara
mempunyai kebutuhan metabolisme yang tinggi.

c. Cairan Serebrospinal
Merupakan cairan bersih dan tidak berwarna dengan berat jenis 1,007. diproduksi
didalam pleksus koroid pada ventrikel lateral ketiga dan keempat. Sistem ventrikular
dan subarakhnoid mengandung kira-kira 150 ml air, 15 sampai 25 ml dari CSS.
Terdapat di masing-masing ventikel lateral. CSS mengandung protein, glukosa dan
klorida, juga mengandung immunoglobulin. Secara normal CSS mempunyai sedikit
sel-sel darah putih dan tidak mengandung sel darah merah.

d. Medulla Spinalis
Penghubung otak dan saraf perifer, seperti kulit dan otot. Panjangnya rata-rata 45
cm dan menipis pada jari-jari.
Saraf-saraf Spinal medula Spinalis, tersusun dari 33 segmen yaitu 7 segmen
Servikal , 12 segmen Torakal, 5 Lumbal, 5 Sakral dan 5 segmen koksigeus. Medula
Spinalis, mempunyai 31 pasang saraf spinal.
Kolumna vertebra melindung medula Spinalis, memungkinkan gerakan kepala
dan tungkai, dan menstabilkan struktur tulang untuk ambulasi. Vertebra terpisah oleh
potongan-potongan kecuali servikal pertama dan kedua, sakral dan tulang belakang
koksigius.

e. Jaras Visual
Serabut-serabut yang berhubungan dengan saraf optik berakhir pada pangkal
masing-masing hemisfer. Sel-sel penerima ini bertanggunga jawab terhadap
penglihatan. Pengkajian penglihatan pasien dilakukan melalui uji ketajaman
penglihatan dengan menggunakan kartu snellen dan cara biasa dengan membaca
koran. Penglihatan pasien harus diperiksa dengan dan tanpa koreksi lenda.

f. Saraf Motorik Atas dan Bawah


Setiap serabut otot yang mengatur gerakan disadari melalui dua kombinasi sel-sel
syaraf. Salah satunya terdapat pada kortek motorik, serabut-serabutnya berada tepat
pada traktus. Piramida atau penyilangan traktus piramida, dan serat lainnya berjalan
menuju otot. Yang pertama disebut sebagia neuron motorik atas (upper motor neuron
[UMN]) dan yang terakhir disebut sebagai neuron motorik bawah (lower motor
neuron (LMN)). Setiap syaraf motorik yab\ng menggerakkan setiap otot merupakan
komposisi gabungan ribuan saraf-saraf motorik bawah.
Jaras motorik dari otak ke medulla spinalis dan juga dari sereberum ke batang
otak dibentuk oleh (UMN). UMN mulai di dalam korteks pada sisi yang berlawanan
di otak, menurun melalui kapsul internal, menyilang ke sisi berlawanan di dalam
batang otak. Menurun melalui trakrus kartikospinal dan ujungnya berakhir pada
sinaps LMN.
UMN seluruhnya berada dalam sistem syaraf pusat (ssp). LMN menerima impuls
di bagian ujung posterior dan berjalan menuju sambungan mioneural. Berbeda
dengan UMN, LMN berakhir didalam otot. Ciri-ciri klinik pada lesi di UMN dan
LMN dibicarakan pada bagian sebelumnya yang terdapat dalam tabel berikut :
Akibat lesi Neuron Motor Atas (UMN) versus Neuron Motor Bawah (LMN)
LESI UMN LESI LMN
Kehilangan kontrol volunter Kehilangan kontrol volunter
Peningkatan tonus otot Penurunan tonus otot
Spastisitas otot Paralisis flaksid otot
Tidak ada atrofi otot Atrofi otot
Refleks hipertaktif dan abnormal Tidak ada / penurunan refleks
Jika UMN rusak / hancur sering menyebabkan stroke, paralisis (kehilangan
gerakan yann disadari) karena pengaruh hambatan dari UMN utuh pada keadaan ini
mengalami kerusakan, gerakan refleks (tidak disadari) tidak dihambat. Akibat otot
tidak atrofi atau menjadi lumpuh, tetapi sebaliknya tetap lebih tegang secara
permanen daripada normal dan menunjukkan paralisis spastik.
Akibat dari rusaknya LMN adalah otot menjadi lumpuh dan orang tersebut tidak
mampu menggerakkan otot. Paralisis flaksid (kelumpuhan dan atrofi) pada otot-otot
adalah tanda spesifik pada penyakit LMN

g. Kontrol Motor Ekstrapiramidal


Gerakan – gerakan otot yang halus, tepat dan kuat pada orang normal diakibatkan
oleh pengaruh serebelum dan basal ganglia.
Distinesia akibat adanya cedera pada intrakranial atau beberapa tipe perluasan
massa (mis : hemoragi, abses atau tumor) dapat menyebabkan kehilangan tonus otot,
lemah dan kelelahan pasien terlihat decorticate, decerebrate atau tubuh flaksid,
terutama pada trauma serebri.

h. Sistem Saraf Autonomik


Kontraksi otot-otot yang tidak di bawah kontrol kesadaran, seperti otot jantung,
sekresi semua digesti dan kelenjar keringat dan aktivitas organ-organ endokrin
dikontrol oleh sebagian besar komponen sistem saraf yang dikenal sebagai sistem
syaraf autonom (SSA).
SSA berpusat pada serebelum dan basal ganglia. Keunikan dari sistem ini adalah :
pertama SSA mempengaruhi pengaturan dimana sel-selnya tidak bersifat
indivudial tetapi meluas pada sebagian besar jaringan dan seluruh organ. Kedua
respon yang muncul tidak cepat tetapi hanya setelah periode yang lambat. Respon ini
bersifat terus-menerus dengan jangka waktu yang panjang, yang tidak dimiliki oleh
respon neurologik lainnya. Contohnya : pembuluh darah dan isi rongga perut.

2.
3. Pengertian Cedera Kepala
Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, otak, cedera paling sering dan
merupakan penyakit neuroligist yang serius diantara penyakit neurologist dan merupakan
proporsi epodemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya.
(Bruner & Suddart, 2002)
Cedera kepala adalah cedera neurologik yang diakibatkan oleh suatu benda atau
serpihan tulang yang menembus atau merobek suatu jaringan otak oleh pengaruh suatu
kekuatan atau energi yang diteruskan ke dalam otak dan akhirnya oleh efek percepatan,
perlambatan pada otak yang terbatas pada kompartemen yang kaku.(Price. J. Wilson,
2006)
Cedera kepala atau (cedera otak) adalah gangguan fungsi otak normal karena trauma
(trauma tumpul atau trauma tusuk) (Sandra. M. Nettima, 2002)
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecatatan utama pada
kelompok usia produktif dan sebagian terjadi akibat kecelakaan lalulintas. (Arif
Mansjoer, dkk. 1999)
Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi -
decelerasi ) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan
pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada
kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan.
(http//www.staroncology.)
Jadi dapat disimpulkan bahwa cedera kepala merupakan suatu cedera / trauma pada
kulit kepala, tengkorak, otak yang diakibatkan oleh suatu benda atau serpihan tulang yang
menembus atau merobek suatu jaringan otak, merupakan penyakit neuroligis yang seirus
diantara penyakit neurologis karena menyebabkan kematian / kecacatan terutama pada
kelompok usia produktif.

4. Etiologi
a. Trauma oleh benda tajam
Menyebabkan cedera setempat, seperti luka tembus peluru, pisau.
b. Trauma oleh benda tumpul
Contoh : Pukulan, tabrakan mobil, terjatuh, cedera saat berolah raga, dll,
menyebabkan cedera menyeluruh (difus). Kerusakan terjadi ketika energi atau
kekuatan diteruskan ke substansi otak. Energi diserap oleh lapisan pelindung yaitu
rambut, kulit, kepala, tengkorak dn otak.

5. Klasifikasi cedera kepala


Klasifikasi cedera kepala dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
a. Menurut jenis luka atau cedera
1) Cedera kepala terbuka
Trauma yang menembus tengkorak dan jaringan otak
2) Cedera kepala tertutup
Dapat disamakan pada pasien dengan gagar otak ringan dengan edema serebral
yang luas
b. Menurut berat ringannya berdasarkan GCS (Gaslow Coma Scale)
1) Cedera kepala ringan
a) GCS (13-15) sadar penuh atentif dan orientatif
b) Dapat kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit
c) Tidak ada fraktur tengkorak
d) Tidak ada kontosio serebral, hematoma
e) Pasien dapat mengeluh sakit kepala dan pusing
f) Tidak ada gangguan neurologi

2) Cedera kepala sedang


a) GCS (9-12) konfusi, letargi atau stupor
b) Kehilangan kesadaran kurang dari 6 jam
c) Ada gangguan neurolgi (disorientasi ringan, vertigo)
d) Mual dan muntah
3) Cedera kepala berat
a) GCS (3-8) koma
b) Kehilangan kesadaran lebih dari 6 jam
c) Fleksi / ekstensi abnormal ekstremitas, hemiparese
d) Edema otak, kejang
e) Biasanya pasien membutuhkan alat bantu napas serta monitoring
hemodinamik dan TIK

c. Menurut aktif tidaknya kelapa


1) Akselerasi
Kepala diam, benda aktif mendekati kepala benda
2) Deselerasi
Kepala aktif mendekati kepala benda

6. Perdarahan yang sering ditemukan


a. Epidural hematoma
Perdarahan di ruang epidural diantara tulang tengkorak dan durameter. Gejala-gejala
yang terjadi :
1) Penurunan kesadaran
2) Nyeri kepala
3) Muntah
4) Hemaparesis
5) Dilatasi pupil ipsilateral
6) Pernapasan dalam cepat kemudian dangkal irregular
7) Penurunan nadi
8) Peningkatan suhu
b. Subdural hematoma
Perdarahan di ruang subdural antara durameter dengan araknoid.
Gejala yang terjadi yaitu :
1) Nyeri kepala
2) Bingung
3) Mengantuk
4) Menarik diri
5) Berpikir lambat
6) Kejang
7) Odem perut
c. Subaraknoid hematoma
Perdarahan di ruang subaraknoid antara araknoid dengan piameter.
Gejala yang terjadi yaitu :
1) Nyeri
2) Penurunan kesadaran
3) Hemiparese
4) Dilatasi pupil ipsilateral
5) Kaku kuduk
d. Hematoma intraserebral
Perdarahan pada jangka otak, ditandai dengan :
1) Nyeri kepala
2) Penurunan kesadaran
3) Perubahan tanda-tanda vital
4) Dilatasi pupil

7. Patofisiologi
Trauma
(tajam & tumpul)

Kerusakan pada neuron
Pembuluh darah, jaringan otak

Rusaknya BBB (Blood Brain Barrier)
Vasodilatasi

Peningkatan tekanan intrakranial ------ > Herniasi otak
ICP ↓
Menekan pusat
pernapasan

Suplai darah ke Penurunan aliran gagal tidak efektifnya


Otak terganggu darah otak nafas pola nafas

kematian
gangguan perfusi
jaringan otak Hipolesia jaringan

Terjadi metabolisme anaerob


(penimbunan asam laktat)

Penurunan suplay darah ke otak


PCO2↑, PO2↓, PH↓

Iskemik Penurunan suplay O2 ke otak



Kematian sel Pompa Na & K
Otak Terganggu Penurunan
kesadaran
↓ ↓
Gangguan Edema
Neurolog koma

Gangguan nutrisi keterbatasan


kurang dari aktifitas
kebutuhan tubuh

Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses
oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak
walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan
kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg
%, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh
kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan
terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen
melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah.
Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat
akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit / 100
gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.Trauma kepala meyebabkan
perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan
vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan
gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia.Akibat adanya
perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan
vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persarafan
simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu
besar.

8. Manifestasi Klinik
a. Gangguan kesadaran
b. Konfusi abnormal tiba-tiba defisit neurologik
c. Abnormal pupil
d. Awitan tiba-tiba defisit neurologik
e. Perubahan tanda-tanda vital
f. Gangguan penglihatan dan pendengaran
g. Gangguan / disfungsi sensori
h. Kejang otot
i. Sakit kepala dan vertigo, Gangguan pergerakan
9. Komplikasi
a. Herniasi otak : akibat dari edema dan peningkatan TIK
b. Hidrosefalus : akibat peningkatan akumulasi cairan serebrospinal
c. Infeksi : terjadi pada cedera kepala terbuka
d. SIADH : terjadi bila lesi mengenai hipotalamus

10. Pemeriksaan penunjang


a. CT-Scan : untuk menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi gangguan strukrutal
b. MRI : mengidentifikasi kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi
c. X-Ray : mendeteksi dan mengidentifikasi fraktur
d. AGP : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan sirkulasi
e. Cerebral Anglography : untuk menyelidiki penyakit vaskular, anevrima, dan
malformasi arterovena
f. Lumbal fungsi : untuk menentukan ada atau tidaknya darah dalam CSS, dalam
memperoleh CSS.

11. Penatalaksanaan
Semua terapi diarahkan untuk mempertahankan hemastatis otak dan mencegah
kerusakan otak sekunder. Tindakan ini mencakup stabilisasi kardiovaskuler dan fungsi
pernafasan untuk mempertahankan perfusi serebral adekuat. Hemoragi terkontrol,
hipovotemia diperbaiki, dan nilai - nilai gas darah dipertahankan pada nilai yang
diinginkan.
a. Pedoman Resusitasi dan Penilaian Awal
1) Menilai jalas nafas : Bersihkan jalas nafas dari debris atau muntahan, lepaskan
gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan memasang kolar
servikal, pasang guedel bila ditolerir, jika pasien cedera orofasial mengganggu
jalan nafas, maka pasien harus diintubasi.

2) Menilai pernafasan : tentukan apakah pasien bernafas spontan atau tidak. Jika
tidak beri oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernafas spontan, selidiki
dan atasi cedera dada berat seperti pneumotorak. Pasang oksimetri nadi jika
tersedia dengan tujuan menjaga saturasi oksigen minimun 95%.
3) Menilai sirkulasi : otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua
perdarahan dengan menekan arterinya, perhatikan secara khusus adanya cedera
intraabdomen atau dada, ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan
darah, pasang alat pemantau dan EKG. Pasang jalur intravena yang besar, ambil
darah vena untuk meperiksaan darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glutosa
dan analisa gas darah arteri.
4) Obati kejang : kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus
diobati. Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan
diulangi sampai tiga kali masih kejang.
5) Menilai tingkat kesadaran :
a) Cedera kepala ringan (GCS13-15)
b) Cedera kepala sedang (GCS 9-12)
c) Cedera kepala berat (GCS 3-8)

b. Mengontrol TIK pada cedera kepala :


1) Tinggikan kepala tempat tidur sampai 30 derajat
2) Pertahankan kepala dan leher pasien dalam kesejajaran sentral (tidak memutar).
3) Memberikan medikasi yang diserarkan untuk menurunkan TIK (misal : diuretik,
kortikosteroid)
4) Mempertahankan suhu tubuh normal
5) Hiperventilasi pasien pada ventilasi mekanik : memberikan O2
6) Mempertahankan pembatasan cairan
7) Memberikan sedasi untuk menurunkan kebutuhan metabolik

c. Glasgow Coma Scale (GCS)


1) Membuka mata (E)
4 : spontan / membuka mata spontan
3 : terhadap rangsang suara / membuka mata bila dipanggil / diperintah
2 : terhadap rangsang nyeri membuka mata bila ada tekanan pada jari
1 : tidak ada / mata tidak membuka terhadap rangsang apapun
2) Respon verbal (V)
5 : orientasi baik : dapat bercakap-cakap, mengetahui siapa dirinya, dimana
berada, bulan dan tahun.
4 : bingung : dapat bercakap-cakap, tetapi ada disorientasi
3 : kata-kata yang diucapkan tidak tepat : percakapan tidak dapat bertahan,
susunan kata-kata kacau / tidak tepat
2 : tidak dapat dimengerti / mengeluarkan suara (msl : merintih) tetapi tidak ada
kata - kata yang dapat dikenal
1 : tidak ada : tidak mengeluarkan kata-kata
3) Respon motorik (M)
6 : mematuhi perintah misal ”angkat tangan”
5 : melokalisasi nyeri : tidak mematuhi perintah tetapi berusaha menunjukkan
nyeri dan menghilangkan nyeri tersebut
4 : reaksi fleksi : lengan fleksi bila diberikan rangsang nyeri dan tanpa posisi
fleksi abnormal
3 : fleksi abnormal terhadap nyeri : lengan fleksi disiku dan pronasi tangan
mengepal (postur dekortitasi)
2 : ekstensi abnormal terhadap nyeri : ekstensi lengan disiku, lengan biasanya
adduksi dan bahu berotasi ke dalam (postur deserebrasi)
1 : tidak ada : tidak ada respon terhadap nyeri : flaksid.

d. Pemeriksaan Fungsi Serebral


1) Status mental
Pengkaji mengobservasi penampilan pasien dan tingkah lakunya, dengan
melihat cara berpakaian pasien, kerapihan, dan kebersihan diri. Observasi postur,
sikap, gerakan – gerakan tubuh, ekspresi wajah dan aktivitas motorik. Gaya bicara
dan tingkat kesadaran juga diobservasi.
2) Fungsi intelektual
Dikaji bila ragu – ragu terhadap kompetensi intelektual pasien pertama,
pengkaji menentukan apakah pasien diorientasi pada waktu, tempat, orang.
Apakah pasien tahu hari ini hari apa, tahun berapa, siapa nama pasien?
3) Daya pikir
Apakah pikiran pasien bersifat spontan, alamiah, jernih, relevan, dan masuk
akal? Apakah pasien mempunyai kesulitan berpikir, khayalan dan keasikan
sendiri ? Apa yang menjadi pikiran pasien? Apakah pasien asyik sendiri dengan
hal kematian, kejadian – kejadian yang tidak masuk akal, hal-hal yang bersifat
halusinasi dan pikiran paranoid.
4) Status emosional
Apakah tingkah laku pasien alamiah dan datar atau peka dan pemarah, cemas,
apatis atau euforia? Apakah alam perasaannya berubah-ubah secara normal atau
iramany tidak dapat diduga dari gembira menjadi sedih selama wawacara?
Apakah tingkah lakunya sesuai dengan kata - kata atau isi dari pikirannya?
Apakah komunikasi verbal sesuai dengan tampilan komunikasi non-verbal.
5) Persepsi / kemampuan bahasa
Orang – orang dengan fungsi neurologik normal mampu mengerti dan
berkomunikasi dalam pembicaraan dan bahasa tulisan. Apakah jawaban pasien
terhadap pertanyaan yang diberikan relevan? Defisiensi bahasa disebut afasia.

e. Pemeriksaan sistem motorik


Mencakup pengkajian pada ukuran otot , tonus atot, kekuatan otot, koordinasi dan
keseimbangan.
Pasien diintruksikan untuk berjalan menyilang di dalam ruangan , sementara
pengkaji mencatat postur dan gaya berjalan. Lihat keadaan ototnya, dan bila perlu
lakukan palpasi untuk melihat ukuran dan keadaan simetris. Keadaan atrofi atau
gerakan tidak beraturan (tremor) perlu dicatat. Tonus otot dievaluasi dengan palpasi
yaitu dengan berbagai variasi pada saat otot istirahat dan selama gerakan pasif.
Pertahankan seuruh gerakan tetap dicatat dan didokumentasikan . keadaan tonus yang
tidak normal mencakup spastisitas (kejang), rigititas (kaku atau fleksiditas).
1) Kekuatan otot
Kekuatan otot diuji melalui pengkajian kemampuan pasien untuk melakukan
fleksi dan ekstremitas sambil dilakukan penahanan.
Beberapa dokter mempunyai lima angka untuk menilai ukuran kekuatan
otot. Nilai 5 adalah indikasi terhadap kekuatan konstraksi maksimal, nilai 4 untuk
kekuatan sedang, nilai 3 indikasi kekuatan hanya cukup untuk mengatasi kekuatan
gravitasi, nilai 2 menunjukkan kemampuan untuk menggerakkan tapi tidak dapat
mengatasi kekuatan gravitasi, nilai 1 mengindikasikan kekuatan
kontraksiminimal, dan 0 mengindikasikan ketidakmampuan sama sekali dalam
melakukan kontraksi.
2) Keseimbangan dan koordinasi
Pengaruh serebelum pada sistem motorik terliaht pada kontrol keseimbangan
dan koordiasi. Koordinasi tangan dan ekstremitas atas dikaji dengan cara meminta
pasien melakukan gerakan cepat, berselang-seling dan ini manunjuk satu titik ke
titik lain. Pertama pasien diminta untuk menepukkan tangan ke paha secepat
mungkin , masing-masing tagan diuji secara terpisah. Kemudian pasien
diinstruksikan untuk membalikkan tangan dari posisi telentang ke posisi
telungkup dengan gerakan cepat. Selanjutnya pasien diperintahkan untuk
menyenyuh masing-masing jari dengan ibu jarisecara berurutan.catat setiap
gerakan cepat, simetris dan derajat kesulitan.
Tes Romberg dilakukan dengan menginstruksikan pasien berdiri dengan
menggunakan satu kali dengan tangan diturunkan pada sisi yang sama, sementara
kaki yang satu diangkat dan tangan yang satunya dinaikkan ke atas.

f. Pemeriksaan saraf kranial


I. Saraf olfaktorius.
Sensasi terhadap bau-bauan.
Pemeriksaan dilakukan dengan mata tertutup, pasien diperintahkan
mengeidentifikasikan bau yang sudah dikenal (kopi, tembakau). Masing-masing
lubang hidung di uji secara terpisah.
II. Saraf optikus
Ketajam penglihatan
Pemeriksaan dengan kartu snellen, lapang pandang, pemeriksaan
oftalmoskopi.
III, IV, VI (Okulomotorius, Traklear, abdusen)
Fungsi saraf kranal III, IV, dan VI dalam pengaturan gerakan-gerakan mata :
Syaraf kranial III turut dalam pengaturan gerakan kelopak mata, kontrol otot
pada pupil dan otot siliaris dengan mengontrol akomodasi pupil.
Pemeriksaan : kaji rotasi akular, mengkonjugasikan gerakan nistagmus, kaji
reflek pupil dan periksa kelopam mata terhadap adanya ptosis

V. (Trigeminal)
1) Sensasi pada wajah
Pemeriksaan : anjurkan pasien menutup kedua mata, sentuhkan kapas pada
dahi, pipi dan dagu, bandingkan kedua sisi yang berlawanan. Sensitivitas
terhadap nyeri daerah permukaan diuji dengan menggunakan benda runcing
dan diakhiri dengan spatel lidah yang tumpul, lakukan pengkajian dengan
benda tajam dan tumpul secara bergantian.
2) Refleks kornea
Pemeriksaan : pada saat pasien melihat ke atas, lakukan sentuhan ringan
dengan sebuah gumpalan kapas kecil di daerah temporal masing – masing
kornea, bila terjadi kedipan mata keluarnya air mata adalah respons yang
normal.
3) Mengunyah
Pegang daerah rahang pasien dan rasakan gerakan dari sisi ke sisi.Palpasi
otot maseter dan temporal, apakah kekuatannya sama atau tidak sama.

VII. (Fasial)
Gerakan otot wajah, ekspresi wajah, sekresi air mata dan ludah.
Observasi simetrisitas gerakan wajah saat : tersenyum, bersiul,
mengangkat alis, mengerutkan dahi, saat menutup mata rapat-rapat.
Rasa kecap : dua pertiga anterior lidah.
Pasien mengekstensikan lidah, kemampuan lidah membedakan rasa gula
dan garam.

VIII. Vestibulokoklear.
Keseimbangan dan pendengaran
Pemeriksaan : uji bisikan suara / bunyi detak jam, uji untuk lateralisasi
(weber), uji untuk konduksi udara dan tulang (Rinne).
IX. Glosofaringeus
Rasa kecap : sepertiga lidah bagian pasterior.
X. Vagus
Konstraksi faring dengan tekan spatel lidah pada lidah posterior, atau
menstimulasi faring posterior untuk menimbulkan refleks menelan.
Gerakan simetris dari pita suara, gerakan simetris palatum mole minta pasien
mengatakan ah, observasi terhadap peninggia ovula simetris dan palatum mole.
XI. Aksesorius spinal
Gerakan otot sternokleidomastoid dan trapezius
Palpasi dan catat kekuatan otot trapezius pada saat pasien mengangkat bahu
sambil dilakukan penekanan.
Palpasi dan catat kekuatan otot sternokleidomastoid pasien saat memutar
kepala sambil dilakukan penahanan dengan tangan penguji ke arah yang
berlawanan.
XII. Hipoglosus
Gerakan lidah
Bila pasien menjulurkan lidah keluar, terdapat devlasi atau tremor.
Kekuatan lidah dikaji dengan cara pasien menjulurkan lidah dan menggerakkan
ke kiri / kanan sambil diberi tahanan.

g. Pemeriksaan Refleks.
Uji reflek ini memungkinkan orang yang menguji dapat mengkaji lengkung
refleks yang tidak disadari, yang bergantung pada adanya reseptor bagian aferen,
snaps spinal, serabut eferen motorik dan adanya beberapa pengaruh perubahan yang
bervariasi pada tingkat yang lebih tinggi.
1) Teknik
Palu reflek digunakan yuntuk menimbulkan refleks tenden profunda (RTP).
Batang palu dipegang longgar antara ibu jari dan jari telunjuk yang memberikan
getaran. Gerakan pergerakan tangan sama seperti pada saat digunakan selama
perkusi.ekstremitas diposisikan sehingga tendon sedikit meregang. Tendon yang
bergerak cepat dan respons sisi tubuh yang berlawanan variasi yang luas dari
respon reflek dapat dianggap normal, namun lebih penting adalah reflek yang
simetris. Bila dibuat perbandingan, kedua sisi sama dalam keadaan rileks dan
masing-masing tendon yang tergerak mempunyai kekuatan yang sama.
2) Derajat refleks
Respon reflek sering dikelaskan dengan nilai antara 0 sampai 4+.
4+ - hiperaktif dengan klonus terus menerus.
3+ - hiperaktif
2+ - normal
1+ - hipoaktif
0 – tidak ada refleks

3) Reflek biseps
Didapat melalui peregangan tendon bisep pada saat siku dalam keadaan fleksi.
Orang yang menguji menyokong lengan bawah dengan satu tangan sambil
menempatkan jari telunjuk dengan menggunakan palu reflek. Respon normal
dalam fleksi pada siku dan kontraksi bisep

4) Reflek trisep
Lengan pasien difleksikan pada siku dan diposisikan di depan dada.
Pemeriksaan menyokong lengan pasien dan mengidentifikasi tendon trisep
dengan mempalpasi 2,5 sampai 5 cm di atas siku. Pemukulan langsung pada
tenson normalnya menyebabkan kontraksi otot trisep dan ekstensi siku.

5) Reflek brakhioradialis
Penguji meletakkan lengan pasien di atas meja laboratorium atau disilangkan
di atas perut. Ketukan palu dengan lembut 2,5 sampai 5 cm di atas siku.
Pengkajian ini dilakukan dengan lengan dalam keadaan fleksi dan supinasi.

6) Refleks patella
Ditimbulkan dengan cara mengetok tendon patella tepat di bawah patella.
Pasien dalam keadaan duduk atau tidur telentang. Jika pasien telentang, pengkaji
menyokong kaki untuk memudahkan relaksasi otak kontraksi qaudriseps dan
ekstsensi lutut adalah respon normal.
7) Refleks angkle
Buat pergelangan kaki dalam keadaan rileks, kaki dalam keadaan dorsi fleksi
pada pergelangan kaki dan palu diketok pada bagian tendon achilles. Reflek
normal yang muncul adalah fleksi pada bagian plantar. Jika penguji tidak dapat
menimbulkan refleks pergelangan kaki dan kemungkinan tidak dapat rileks,
pasien diinstruksikan untuk berlutut pada sebuah kursi atau tingginya sama
dengan penguji. Tempat pergelangan kaki dengan posisi dorsi fleksi dan kurangi
tegangan otot gastroknemeus. Tendon achilles digoresmenurun dan terjadi fleksi
plantas.
8) Refleks kontraksi abdominal
Reflek superfisial yang ada ditimbulkan oleh goresan pada kulit dindin
abdomen atau pada sisi paha untuk pria. Hasil yang didapat adalah kontraksi yang
tidak disadari otot abdomen dan selanjutnya menyebabkan skrutum tertarik.
9) Respons babinski
Reflek yang diketahui jelas sebagai indikasi adanya penyakit SSP yang
mempengaruhi fraktus kortikospinal, disebut respons babinski. Bila bagian latelal
telapak kaki seseorang dengan SSP utuh digores, maka terjadi kontraksi jari kaki
dan menarik bersama-sama pada pasien yang mengalami penyakit SSP pada
sistem motorik, jari-jari kaki menyebar dan menjauh.

h. Pemeriksaan Sensorik
Pengkajian sistem sensori mencakup tes sensasi raba, nyeri superfisial dan posisi
rasa (propriosepsi) keseluruhan pengkajian sensori dilakukan dengan mata pasien
tertutup. Kerja sama pasien dilakukan dengan petunjuk sederhana dan dengan
menenangkan bahwa penguji tidak menyakiti dan mengejutkan pasien.
1) Sensasi Taktil
Dikaji dengan menyentuh lembut gumpalan kapas pada masing-masing sisi
tubuh. Sensitivitas ekstremitas bagian proksimal dibandingkan dengan dengan
bagian distal.
2) Sensasi nyeri dan suhu
Pasien diinstruksikan untuk membedakan antara ujung yang tajam dan tumpul
dengan menggunakan lidi kapas yang dipatahkan atau spatel lidah, untuk
keamanan hindari penggunaan peniti karena dapat merusak integritas kulit. Kedua
sisi objek tajam dan tumpul digunakan dengan intensitas yang sama pada semua
pelaksanaan dan kedua sisi di uji dengan simetris
3) Vibrasi dan propriosepsi
Letakkan garpu tala yang bergetar pada sebuah tulang menonjol dan pasien
ditanya apakah ia merasakan sensasi dan instruksikan untuk memberi tanda pada
penguji bila sensasi dirasakan. Jika pasien tidak merasakan getaran pada tulang
yang menonjol bagian distal, penguji menaikkan getaran garpu tala sampai
dirasakan klien, setelah semua pengukuran sensasi, dibuat perbedaan dari satu sisi
ke sisi yang lain.
4) Merasakan posisi
Ditentukan dengan menanyakan pasien saat pasien tertutup matanya,
kemudian jari kaki digerakkan kearah mana pasien mampu menunjukkan dengan
gerakan.
5) Integrasi sensasi
Dengan membedakan dua titik . jika pasien disentuh dengan 2 objek tajam
bersamaan pada posisi tubuh berlawanan, apakah pasien merasakan dua atau satu
sentuhan. Pasien dengan keadaan ormal melaporkan bahwa sentuhan itu ada pada
dua tempat. Jika satu menunjukkan terjadi kepunahan.

B. ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS


1. Pengkajian
Data pengkajian pasien tergantung pada tipe, lokasi dan keparahan cedera dan
mungkin dipersulit dengan cedera tambahan pada organ-organ vital.
a. Aktivitas / Istirahat
Gejala : lemah, lelah kaku, hilang keseimbangan.
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, cedera ortopedi kehilangan tonus
otot.
b. Sirkulasi
Gejala : perubahan tekanan darah / normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung
(bradikardi, takikardi, distritmia)
c. Integritas ego
Gejala : perubahan tingkah laku / kepribadian
Tanda : cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi, infulsif.
d. Eliminasi
Gejala : inkontinensia kandung kemih / usus atau mengalami gangguan fungsi.
e. Nevosensori
Gejala : kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope,
tinitus, kehilangan pendengaran, perubahan dalam penglihatan, diplopia,
fotofobia dan gangguan pengecapan maupun penciuman.
Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental, perubahan
pupil, kehilangan penginderaan seperti pengecapan, penciuman,
pendengaran, ganggaman lemah, reflek tendon lemah, hemiparese, kejang,
kehilangan sensasi sebagian tubuh.
f. Makanan / cairan
Gejala : mual, muntah dan mengalami perubahan sklera.
Tanda : muntah (mungkin proyektil)
Gangguan menelan (batuk, air liur keluar, disvagia)

g. Pernafasan
Tanda : perubahan pola nafas (abnea yang diselingi oleh hiperventilasi), napas
berbunyi, stridor, tersedak, ronki, mengi positif.
h. Nyeri / kenyamanan
Gejala : sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda
Tanda : wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat,
gelisah, merintih, tidak bisa istirahat.
i. Keamanan
Gejala : trauma baru / trauma pada kecelakaan.
Tanda : fraktur / dislokasi, gangguang penglihatan, kulit, laserasi, abrasi, peruabahan
warna, adanya aliran cairan dari telinga / hidung, gangguan kognitif,
gangguan rentang gerak, demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
j. Interaksi sosial
Tanda : afasia sensorik / motorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang, disatria,
anomia.
k. Pemeriksaan diagnostik
1) CT-Scan : CT-Scan : untuk menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi
gangguan strukrutal
2) MRI : mengidentifikasi kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi
3) X-Ray : mendeteksi dan mengidentifikasi fraktur dan dislokasi
4) GDA : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
5) Cerebral Angiography : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti
pergeseran jaringan otak, akibat edema, perdarahan trauma.
6) EEG : untuk memperlihatkan keberadaan / berkembangnya gelombang patologi.
7) Lumbal pungsi : dapat menduga kemungkinan adanya perubahan subarakhnoid
8) Kimia / elektrolit darah :
Mengetahui ketidak seimbangan yang berperan dalam peningkatan TIK.
9) Pemeriksaan toksiklogi
Mendetekti obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan
kesadaranuk menentukan ada atau tidaknya darah dalam CSS, dalam memperoleh
CSS.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguang perfusi jaringan otak b.d. terhambatnya aliran darah karena adanya
(hematopa, perdarahan) edema otak.
b. Tidak efektifnya pola nafas b.d. depresi pada pusat pernapasan di otak.
c. Gangguan persepsi sensori b.d gangguan penerimaan , transmisi dan atau integritasi
(Trauma neurologist).
d. Keterbatasan aktivitas b.d. penurunan kesadaran.
e. Potensial gangguan integritas kulit b.d. imobilisasi, tidak adekuatnya sirkulasi perifer.
f. Kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang tidak adekuat.

3. Intervensi keperawatan
a. Dx 1 : Gangguan perfusi jaringan otak b.d terhambatnyaaliran darah karena adanya
(hematom, perdarahan), edema otak.
Intervensi
mandiri
1) Tentukan faktor – faktor yang berhubungan dengan keadaan yang menyebabkan
koma / penurunan perfusi jaringan otak dan potensial peningkatan TIK.
R/. Penurunan tanda / gejala neurologis atau kegagalan dalam pemulihannya
setelah serangan awal mungkin menunjukkan bahwa pasien itu perlu dipindahkan
ke perawatan intensif untuk memantau tekanan TIK dan / atau pembedahan.
2) Pantau / catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar
(GCS).
3) Kaji respon verbal : catat apakah klien sadar orientasi terhadap orang, tempat dan
waktu, baik / malah bingung R/. Mengukur kesesuaian dalam berbicara dan
menunjukkan tingkat kesadaran.
4) Kaji respon motorik terhadap perintah yang sederhana, catat gerakan anggota
tubuh dan catat sisi kiri dan kanan secara terpisah.
5) Pantau – TD. Catat adanya hipertensi sistolik secara terus menerus dan tekanan
nadi yang semakin berat.
R/. Peningkatan TD yang sistemik diikuti oleh penurunan TD diastolik (nadi yang
membesar) merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK.
6) Catat ada / tidaknya refleks-refleks tertentu seperti refleks menelan, batuk,
babinski, dsb.
7) Pantau suhu dan atur suhu lingkungan sesuai indikasi
R/ Demam dapat mencerminkan kerusakan pada hipotalamus
8) Perhatikan adanya gelisah, keluhan dan tingkah laku yang tidak sesuai lainnya.
R/ menunjukkan adanya TIK / menandakan adanya nyeri klien tidak
mengugkapkan keluhan secara verbal.
Kolaborasi
1) Berikan obat sesuai indikasi
a) Diuretik contohnya : mminitol (osmitol): Jurosemit (lasix
b) Steroid : aexametaxon
R/ menurunkan inflamasi yang menurunkan edema
c) Sedatif : dipendehidramin
R/ untuk mengendalikan kegelisahan

b. Dx 2 : Tidak efektifnya pola nafas b.d. depresi pada pusat pernafasan di otak.
Intervensi
mandiri
1) Pantau frekuensi irama, kedalaman pernafasan, catat ketidak teraturan pernafasan.
R/. Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal / menandakan
lokasi / luasnya keterlibatan otak
2) Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannyta, posisi miring sesuai indikasi.
R/ untuk memudahkan ekspansi paru / ventilasi paru
3) Anjurkan pasien untuk melakukan nafas dalam yang efektif jika pasien sadar.
R/ mencegah / menurunkan etelektasis
4) Pantau penggunaan obat-obatan depresan pernafasan seperti sedative.
R/ dapat meningkatkan gangguan / komplikasi pernafasan.
Kolaborasi
1) Lakukan rongent toraks langsung
R/ melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda – tanda komplikasi yang
berkembang.
2) Lakukan fisioteraphi dada jika ada indikasi
R/ untuk membersihkan jalan napas

c. Dx 3 : Gangguan persepsi sensori b.d. gangguan penerimaan transmisi dan atau


integritasi (trauma neurologist)
Intervensi
Mandiri
1) Evaluasi / pantau secara teratur perubahan orientasi kemampuan berbicara,
alam perasaan / efektif, sensorik dan proses pikir.
R/. Fungsi serebral bagian atas biasanya terpengaruh lebih dulu oleh adanya
gangguan sirkulasi oksigenisasi.
2) Kaji kesadaran sensorik seperti respon sentuhan, panas / dingin, benda tajam
/ tumpul dan kesadaran terhadap gerakan dan letak tubuh.
R/ semua system sensorik dapat terpengaruh dengan adanya perubahan yang
melibatkan peningkatan atau penurunan aktivitas.

3) Observasi respon perilaku seperti rasa menangis


R/. Respon individu mungkin berubah-ubah namun umumnya emosi labil,
frustasi dan muncul tingkah laku impulsif selama proses penyembuhan dari
trauma kepala
4) Hilangkan suara bising / stimulus yang berlebihan
R/ menurunkan ansietas respon emosi yang berlebihan / bingung yang
berhubungan dengan sensorik yang berlebihan
5) Mengurangi kelelahan, mencegah kejenuhan memberikan kesempatn untuk
tidur.
R/. Memberikan perasaan normal tentang pola perubahan waktu tidur dan
pola bangun tidur
Kolaborasi
1) rujuk pada ahli fisioteraphi, terapi wicara dan kognitif
R/ Pendekatan antar disiplin dapat menciptakan rencana penatalaksanaan
terintegrasi yang didasarkan atas kombinasi kemampuan.

d. Dx 4 : Keterbatasan aktivitas b.d. penurunan kesadaran


Intervensi
Mandiri
1) Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan
yang terjadi.
R/. Mengidentifikasi kemungkinan kerusakan secara fungsional dan
mempengaruhi pilihan intervensi yang akan dilakukan.
2) Kaji derajat imobilisasi pasien dengan menggunakan skala ketergantungan
R/. Pasien mampu berdiri atau memerlukan bantuan
3) Letakkan pasien pada posisi tertentu untuk menghindari kerusakan karena
tekanan.
R/. Perubahan posisi yang teratur menyebabkan penyebaran terhadap berat
badan.
4) Ubah posisi pasien secara teratur dan buat sedikit perubahan posisi antara waktu
perubahan posisi tersebut.
R/. Meningkatkan sirkulasi pada seluruh tubuh.
5) Pertahankan kesejajaran tubuh secara fungsional seperti bokong, kaki dan
tangan.
R/. Membantu mencegah foot drop.
6) Pantau selama penempatan alat dan atau tanda penekanan dari alat tersebut.
R/ membantu mencegah atau menurunkan terjadinya rotasi abnormal pada
bokong.
7) Berikan atau bantu melakukan latihan gerak.
R/ mempertahankan mobilisasi dan fungsi sendi atau posisi normal.

e. Dx 5 : Potensial gangguan integritas kulit b.d. imobilisasi, tidak adkuatnya sirkulasi


perifer.
Intervensi
mandiri
1) Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan tehnik cuci tangan yang
baik.
R/. Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nasokoma
2) observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat
infasi. Catat karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi.
R/. Deteksi perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan
dengan segera dan mencegah komplikasi.
3) pantau suhu tubub secara teratur
R/. Dapat mengidentifikasi perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan
evaluasi atau tindakan dengan segera.
4) Anjurkan untuk melakukan nafas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara
terus menerus, observasi karakteristik sputum.
5) Berikan perawatan perineal, pertahankan integritas dari sistem drainase unire
tertutup jika menggunakannya. Anjurkan untuk minum adekuat.
R/. Menurunkan kemungkinan terjadinya pertumbuhan banteri atau infeksi yang
menambah baik.
6) Observasi warna atau kejernihan urine, catat adanya bau busuk
R/. Sebagai indikator dari perkembangan infeksi pada saluran kemih
Kolaborasi
1) Memberikan antibiotik sesuai indikasi
2) Ambil bahan pemeriksaan (specimel sesuai indikasi)

4. Implementasi Keperawatan
a. Dx : gangguan perfusi jaringan otak b.d. terhambatnya aliran darah karena adanya
(hematom, perdarahan), edema otak. n
1) Menentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan yang menyebabkan
koma / penurunan perfusi jaringan otak dan potensial peningkatan TIK.
2) Memantau / mencatat status neurologis secara teratur dan menbandingkan dengan
nilai standar (GCS)
3) Mengkaji respon verbal : mencatat apakah klien sadar orientasi terhadap orang,
tempat dan waktu, baik / malah bingung
4) Mengkaji respon morotik terhadap perintah yang sederhana, mencatat gerakan
anggota tubuh dan mencatat sisi kiri dan kanan secara terpisah
5) Memantau TD mencatat adanya hipertensi sistolik secara terus menerus dan
tekanan nadi yang semakin berat.
6) Mencatat adanya bradikardi, takikardi atau bentuk disritmia lainnya
7) Mencatat ada / tidaknya reflek – reflek tertentu seperti refleks menelan, batuk,
babinski, dsb.
8) Memantau suhu dan mengatur suhu lingkungan sesuai indikasi
9) Memperhatikan adanya gelisah, keluhan dan tingkah laku yang tidak sesuai
lainnya.
10) Mengkolaborasikan dalam pemberian obat sesuai indikasi
b. Dx : tidak efektifnya pola nafas b.d. depresi pada pusat pernafasan di otak
1) memantau frekuensi irama, kedalaman pernapasan, catat ketidak teraturan
pernapasan
2) Mengangkat kepala tempat tidur sesai aturannya. Posisi miring sesuai indikasi
3) Menganjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif jika pasien
sadar.
4) Memantau penggunaan obat – obatan depresi pernafasan seperti sedative.
5) Mengkolaborasikan dalam melakukan rongent thorak langsung memberikan
oksigen dan melakukan fisioterapi dada
c. Dx : gangguan persepsi sensori b.d. gangguan penerimaan transmisi dan atau
integritasi (trauma neurologist)
1) Mengevaliasi / memantau secara teratur perubahan orientasi kemampuan
berbicara, alam perasaan / efektif, sensorik dan proses pikir
2) Mengkaji kesadaran sensorik seperti respon sentuhan, panas / dingin, benda tajam
/ tumpul dan kesadaran terhadap gerakan dan letak tubuh
3) Mengobservasi respon perilaku seperti rasa menangis
4) Menghilangkan suara bising / stimulus yang berlebihan
5) Mengurangi kelelahan, mencegah kejenuhan memberikan kesempatan untuk tidur
6) Merujuk pada ahli fisioteraphi, terapi wicara dan kognitif

d. Dx : Keterbatasan aktivitas b.d. penurunan kesadaran


1) memeriksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan
yang terjadi
2) Mengkaji derajat imobilisasi pasien dengan menggunakan skala ketergantungan.
3) Meletakkan pasien pada posisi tertentu untuk menghindari kerusakan karena
tekanan
4) Mengubah posisi pasien secara teratur dan membuat sedikit perubahan posisi
antara waktu perubahan posisi tersebut
5) Mempertahankan kesejajaran tubuh secara fungsional seperti batang kaki dan
tangan
6) Memantau selama penempatan alat dan atau tanda penekanan dari alat tersebut
7) Memberikan atau membantu melakukan latihan gerak

e. Dx : Potensial gangguan integritas kulit b.d. imobilisasi, tidak adekuatnya sirkulasi


perifer
1) Memberikan perawatan aseptik dan antiseptik, mempertahankan tehnik cuci
tangan yang baik
2) Mengobservasi daerah kulit yang mengalami kerusakan daerah yang terpasang
alat invasi
3) Memantau suhu tubuh secara teratur
4) Menganjurkan untuk melakukan nafas dalam
5) Memberikan perawatan perinel
6) Memberikan antibiotik sesuai indikasi

5. Evaluasi Keperawatan
a. Dx : Gangguan perfusi jaringan otak b.d. terhambatnya aliran darah karena adnya
(hematom, perdarahan), edema otak
1) Klien mempertahankan tingkat kesadaran biasa / perbaikan, kognisi, dan fungsi
motorik / sensori
2) mendemontrasikan tanda vital stabil dan tak ada tanda – tanda peningkatan TIK
b. Dx : Tidak efektifnya pola nafas b.d. depresi pada pusat pernapasan di otak
Evaluasi : mempertahankan pola pernafasan normal / efektif bebas sianosis, dengan
GDA dalam batas normal pasien
c. Dx : Gangguan persepsi sensori b.d. gangguan penerimaan, transmisi dan atau
integritasi (trauma neurologist)
Evaluasi
1) melakukan kembali / mempertahankan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi
persepsi
2) mengetahui perubahan dalam kemampuan dan adanya keterlibatan resian
3) mendemontrasikan perubahan perilaku / gaya hidup untuk mengkompensasi /
defisit hasil
d. Dx : Keterbatasan aktifitas b.d. penurunan kesadaran
Evaluasi
1) Klien dapat mempertahankan posisi fungsi normal, dibuktikan oleh tidak adanya
kontraktor
2) Klien dapat mempertahankan / meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh
yang sakit dan / atau kompensasi
3) Mendemontrasikan tehnik / perilaku yang memungkinkan dilakukannya kembali
aktivitas.
e. Dx : Potensial gangguan integritas kulit b.d. imobilisasi tidak adekuatnya sirkulasi
pefrifer
Evaluasi
1) mengidentifikasikan faktor resiko individul
2) Mengungkanpan pemahaman tentang kebutuhan tindakan
3) Berpartisipasi pada tingkat kemampuan untuk mencegah kerusakan kulit

Anda mungkin juga menyukai