MANTASIA
17015
CI LAHAN CI INSTITUSI
MANTASIA
17015
CI LAHAN CI INSTITUSI
A. DEFINISI
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, tulang rawan epifisis dan atau
tulang rawan sendi. Fraktur dapat terjadi akibat peristiwa trauma tunggal, tekanan yang
berulang-ulang, atau kelemahan abnormal pada tulang (fraktur patologik). Sebagian besar fraktur
disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan, yang dapat berupa pemukulan,
penghancuran, penekukan, pemuntiran, atau penarikan.
Fraktur dapat disebabkan trauma langsung atau tidak langsung. Trauma langsung berarti
benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur di tempat itu. Trauma tidak langsung bila titik
tumpu benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan. Tekanan yang berulang-ulang dapat
menyebabkan keretakan pada tulang. Keadaan ini paling sering ditemui pada tibia, fibula,
atau metatarsal. Fraktur dapat pula terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang itu lemah
(misalnya oleh tumor) atau kalau tulang itu sangat rapuh (misalnya pada penyakit paget).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai dengan
luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan pembuluh darah, dan luka
organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang dikenai
stress yang lebih besar dari yang besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer, 2014). Fraktur
adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya fraktur terjadi jika
tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan
pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan punter mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem
(Bruner & Sudarth, 2012).
Fraktur adalah diskontiunitas jaringan tulang yang banyak disebabkan karena kekerasan
yang mendadak atau tidak atau kecelakaan.Suddarth (2012:2353). Fraktur adalah terputusnya
hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan yang disebabkan oleh kekerasan. Santoso
Herman (2013:144). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Carpenito 2013:43). Fraktur adalah patahnya
kontinuitas tulang yang terjadi ketika tulang tidak mampu lagi menahan tekanan yang diberikan
kepadanya. (Doenges, 2013:625)
Fraktur tibia adalah terjadinya trauma, akibat pukulan langsung jatuh dengan kaki dalam
posisi fleksio atau gerakan memuntir yang keras dan kebanyakan trauma terjadi pada organ
ektremitas bawah. Penyebabnya bisa karena kekerasan langsung yang terkena pada bagian
trauma, gerakan pintir mendadak, kotraksi otot ektrim.
Open fraktur tibia-fibula (cruris) adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang pada
tulang tibia dan fibula.
B. JENIS FRAKTUR
1. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar.
2. Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragemen tulang
dengan dunia luar karena adanya perlukan di kulit, fraktur terbuka dibagi menjadi tiga
derajat,yaitu:
Derajat I Derajat II Derajat III
1. Luka kurang dari 1 cm 1. Leserasi lebih dari 1cm Terjadi kerusakan jaringan
2. kerusakan jaringan 2. Kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi
lunak sedikit tidak ada lunak,tidak luas,avulse struktur kulit, otot dan
tanda luka remuk 3. Fraktur komuniti neurovaskuler serta
3. fraktur sederhana, sedang. kontaminasi derajat tinggi
tranversal, obliq atau
kumulatif ringan
4. Kontaminasi ringan
3. Fraktur complete Patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami
pergerseran bergeser dari posisi normal.
4. Fraktur incomplete Patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.
5. Jenis khusus fraktur
Bentuk garis patah Jumlah garis patah Bergeser-tidak bergeser
1. Garis patah melintang 1. Fraktur komunitif, 1. Fraktur undisplaced,
2. Garis patah obliq garis patah lebih dari garis fraktur komplit
3. Garis patah spiral satu dan saling tetapi kedua fragmen
4. Fraktur kompresi berhubungan tidak bergeser
5. Fraktur avulasi 2. Fraktur segmental, 2. Fraktur displaced,
garis patah lebih dari terjadi pergeseran
satu tetapi saling fragmen-fragmen
berhubungan fraktur
3. Fraktur multiple, garis
patah lebih dari satu
tetapi pada pada tulang
yang berlainan.
C. ETIOLOGI
Pada dasarnya tulang bersifat relatif rapuh, namun cukup mempunyai kekuatan dan daya
pegas untuk menahan tekanan. Fraktur dapat terjadi akibat :
1. Peristiwa trauma tunggal Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba –
tiba dan berlebihan, yang dapat berupa benturan, pemukulan, penghancuran, penekukan
atau terjatuh dengan posisi miring, pemuntiran, atau penarikan. Bila terkena kekuatan
langsung tulang dapat patah pada tempat yang terkena; jaringan lunak juga pasti rusak.
Pemukulan (pukulan sementara) biasanya menyebabkan fraktur melintang dan
kerusakan pada kulit diatasnya; penghancuran kemungkinan akan menyebabkan fraktur
komunitif disertai kerusakan jaringan lunak yang luas. Bila terkena kekuatan tak
langsung tulang dapat mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang
terkena kekuatan itu; kerusakan jaringan lunak di tempat fraktur mungkin tidak ada.
Kekuatan dapat berupa :
a. Pemuntiran (rotasi), yang menyebabkan fraktur spiral
b. Penekukan (trauma angulasi atau langsung) yang menyebabkan fraktur melintang
c. Penekukan dan Penekanan, yang mengakibatkan fraktur sebagian melintang tetapi
disertai fragmen kupu – kupu berbentuk segitiga yang terpisah
d. Kombinasi dari pemuntiran, penekukan dan penekanan yang menyebabkan fraktur
obliq pendek
e. Penatikan dimana tendon atau ligamen benar – benar menarik tulang sampai
terpisah
2. Tekanan yang berulang – ulang Retak dapat terjadi pada tulang, seperti halnya pada
logam dan benda lain, akibat tekanan berulang – ulang.
3. Kelemahan abnormal pada tulang (fraktur patologik) Fraktur dapat terjadi oleh tekanan
yang normal kalau tulang itu lemah (misalnya oleh tumor) atau kalau tulang itu sangat
rapuh.
D. PATOFISIOLOGI
Trauma langsung dan trauma tidak langsung serta kondisi patologis pada tulang
dapat menyebabkan fraktur pada tulang. Fraktur merupakan diskontinuitas tulang atau
pemisahan tulang. Pemisahan tulang ke dalam beberapa fragmen tulang menyebabkan
perubahan pada jaringan sekitar fraktur meliputi laserasi kulit akibat perlukaan dari
fragmen tulang tersebut, perlukaan jaringan kulit ini memunculkan masalah keperawatan
berupa kerusakan integritas kulit. Perlukaan kulit oleh fragmen tulang dapat
menyebabkan terputusnya pembuluh darah vena dan arteri di area fraktur sehingga
menimbulkan perdarahan. Perdarahan pada vena dan arteri yang berlangsung dalam
jangka waktu tertentu dan cukup lama dapat menimbulkan penurunan volume darah serta
cairan yang mengalir pada pembuluh darah sehingga akan muncul komplikasi berupa
syok hipovolemik jika perdarahan tidak segera dihentikan.
Perubahan jaringan sekitar akibat fragmen tulang dapat menimbulkan deformitas
pada area fraktur karena pergerakan dari fragmen tulang itu sendiri. Deformitas pada area
ekstremitas maupun bagian tubuh yang lain menyebabkan seseorang memiliki
keterbatasan untuk beraktivitas akibat perubahan dan gangguan fungsi pada area
deformitas tersebut sehingga muncul masalah keperawatan berupa gangguan mobilitas
fisik. Pergeseran fragmen tulang sendiri memunculkan masalah keperawatan berupa
nyeri. Beberapa waktu setelah fraktur terjadi, otot-otot pada area fraktur akan melakukan
mekanisme perlindungan pada area fraktur dengan melakukan spasme otot.
Spasme otot merupakan bidai alamiah yang mencegah pergeseran fragmen tulang
ke tingkat yang lebih parah. Spasme otot menyebabkan peningkatan tekanan pembuluh
darah kapiler dan merangsang tubuh untuk melepaskan histamin yang mampu
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah sehingga muncul perpindahan cairan
intravaskuler ke interstitial. Perpindahan cairan intravaskuler ke interstitial turut
membawa protein plasma. Perpindahan cairan intravaskuler ke interstitial yang
berlangsung dalam beberapa waktu akan menimbulkan edema pada jaringan sekitar atau
interstitial oleh karena penumpukan cairan sehingga menimbulkan kompresi atau
penekanan pada pembuluh darah sekitar dan perfusi sekitar jaringan tersebut mengalami
penurunan. Penurunan perfusi jaringan akibat edema memunculkan masalah keperawatan
berupa gangguan perfusi jaringan.
Masalah gangguan perfusi jaringan juga bisa disebabkan oleh kerusakan fragmen
tulang itu sendiri. Diskontinuitas tulang yang merupakan kerusakan fragmen tulang
meningkatkan tekanan sistem tulang yang melebihi tekanan kapiler dan tubuh
melepaskan katekolamin sebagai mekanisme kompensasi stress. Katekolamin berperan
dalam memobilisasi asam lemak dalam pembuluh darah sehingga asam-asam lemak
tersebut bergabung dengan trombosit dan membentuk emboli dalam pembuluh darah
sehingga menyumbat pembuluh darah dan mengganggu perfusi jaringan.
E. PATHWAY
F. MANIFESTASI KLINIS
1. Nyeri dan terus-menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang dimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur yang merupakan bentuk bidai alamiah yang
dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian yang fraktur tidak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap regid seperti
normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan tungkai menyebabkan
deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang dapat diketahui dengan
membandingkan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik
karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur tulang panjang, terjadinya pemendekan tulang yang sebenarnya terjadi
karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4. Saat tempat fraktur di periksa teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus akibat
gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit yang terjadi sebagai akibat trauma
dan pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa terjadi setelah beberapa jam atau
beberapa hari setelah cidera.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk memperjelas dan menegakkan diagnosis pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah:
1. Pemeriksaan rotgen (sinar X) untuk menentukan lokasi atau luasnya fraktur/trauma.
2. Scan tulang, tomogram, scan CT/MRI untuk memperlihatkan fraktur. Pemeriksaan
penunjang ini juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Arteriogram, dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan vaskuler.
4. Hitung darah lengkap Hematokrit (Ht) mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel).
Peningkatan jumlah sel darah putih adalah respons stress normal setelah trauma.
5. Kreatinin Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
6. Profil koagulasi Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multipel, atau
cedera hati
H. PENATALAKSANAAN
Ada empat konsep dasar yang harus dipertimbangkan untuk menangani fraktur, yaitu:
1. Rekoknisi, yaitu menyangkut diagnosis fraktur pada tempat kecelakaan dan selanjutnya
di rumah sakit dengan melakukan pengkajian terhadap riwayat kecelakaan, derajat
keparahan, jenis kekuatan yang berperan pada pristiwa yang terjadi serta menentukan
kemungkinan adanya fraktur melalui pemeriksaan dan keluhan dari klien.
2. Reduksi fraktur (pengembalian posisi tulang ke posisi anatomis)
a. Reduksi terbuka. Dengan pembedahan, memasang alat fiksasi interna (missal pen,
kawat, sekrup, plat, paku dan batang logam)
b. Reduksi tertutup. Ekstremitas dipertahankan dengan gip, traksi, brace, bidai dan
fiksator eksterna
3. Imobilisasi. Setelah direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi atau dipertahankan
dalam posisi dan kesejajaran yang benar hingga terjadi penyatuan. Metode imobilisasi
dilakukan dengan fiksasi eksterna dan interna.
4. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi:
a. Mempertahankan reduksi dan imobilisasi
b. Meninggikan daerah fraktur untuk meminimalkan pembengkakan
c. Memantau status neuromuskuler
d. kecemasan dan nyeri
e. Latihan isometric dan setting otot
f. Kembali ke aktivitas semula secara bertahap
I. KOMPLIKASI
1) Komplikasi awal:
a. Syok : dapat terjadi berakibat fatal dalam beberapa jam setelah edema. Shock
terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler
yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur
b. Emboli lemak : dapat terjadi 24-72 jam. Fat Embolism Syndrom (FES) adalah
komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi
karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah
dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan
gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
c. Sindrom kompartemen : perfusi jaringan dalam otot kurang dari kebutuhan.
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini
disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh
darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu
kuat. Gejala klinis yang terjadi pada sindrom kompartemen dikenal dengan 5P,
yaitu:
1) Pain (nyeri) Nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang
terkena, ketika ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling
penting. Terutama jika munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan
klinik (pada anak-anak tampak semakin gelisah atau memerlukan analgesia
lebih banyak dari biasanya). Otot yang tegang pada kompartemen merupakan
gejala yang spesifik dan sering.
2) Pallor (pucat) Diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daerah tersebut.
3) Pulselessness (berkurang atau hilangnya denyut nadi)
4) Parestesia (rasa kesemutan)
5) Paralysis: Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang
berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena sindrom kompartemen.
d. Infeksi dan tromboemboli : System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada
jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk
ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena
penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Koagulopati intravaskuler diseminata
2) Komplikasi lanjut
a. Malunion : tulang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya.
b. Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjlan tetapi dengan kecepatan
yang lebih lambat dari keadaan normal.
c. Non union : tulang yang tidak menyambung kembali
d. Nekrosis avaskular tulang: Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah
ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali
dengan adanya Volkman’s Ischemia
e. Reaksi terhadap alat fiksasi interna
J. PROSES PENYEMBUHAN TULANG
Penyembuhan fraktur merupakan proses biologis yang sangat luar biasa. Tidak seperti
jaringan lainnya, fraktur dapat sembuh tanpa jaringan parut. Pengertian tentang reaksi tulang
yang hidup dan periosteum pada penyembuhan fraktur merupakan dasar untuk mengobati
fragmen fraktur. Proses penyembuhan pada fraktur mulai terjadi segera setelah tulang
mengalami kerusakan apabila lingkungan untuk penyembuhan memadai sampai terjadi
konsolidasi. Selain factor biologis, faktor mekanis yang penting seperti imobilisasi secara
fisik fragmen fraktur sangat penting dalam penyembuhan.:
1. Fase hematoma : Akibat robekan pembuluh darah kecil yang melewati kanalikuli-
kanalikuli system haversi sehingga terjadi ekstravasasi ke dalam jaringan lunak, yang
menimbulkan suatu daerah cincin avaskuler tulang yang mati pada sisi-sisi fraktur
segera setelah trauma.
2. Fase proliferasi seluler subperiosteal dan andosteal : Terjadi reaksi jaringan lunak
sekitar fraktur sebagai suatu reaksi penyembuhan. Terbentuk kalus eksterna yang belum
mengandung tulang sehingga secara radiology bersifat radiolusen
3. Fase pembentukan kalus : Terbentuk woven bone atau kalus yang telah mengandung
tulang. Fase ini merupakan indikasi radiologik pertama terjadinya penyembuhan fraktur
4. Fase konsolidasi : Woven bone membentuk kalus primer
5. Fase remodeling : Union telah lengkap dan terbentuk tulang kompak yang berisi system
haversi dan terbentuk rongga sumsum.
Faktor – faktor yang mempengaruhi proses pemulihan : Usia klien, Immobilisasi, Komplikasi
atau tidak misalnya infeksi biasa menyebabkan penyembuhan lebih lama. Keganasan lokal,
penyakit tulang metabolik dan kortikosteroid.
K. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Anamnesa
1) Identitas Klien Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa
yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan
darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
2) Keluhan Utama Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa
nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien
digunakan:
a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi
faktor presipitasi nyeri.
b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan
klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien,
bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa
sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk
pada malam hari atau siang hari.
3) Riwayat Penyakit Sekarang Pengumpulan data yang dilakukan untuk
menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat
rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit
tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian
tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya
kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain.
4) Riwayat Penyakit Dahulu Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan
penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan
menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit
paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk
menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko
terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat
proses penyembuhan tulang.
5) Riwayat Penyakit Keluarga Penyakit keluarga yang berhubungan dengan
penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur,
seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan
kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetic.
6) Riwayat Psikososial Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun
dalam masyarakat.
7) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat Pada kasus fraktur akan
timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus
menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan
tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien
seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme
kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.
b) Pola Nutrisi dan Metabolisme Pada klien fraktur harus mengkonsumsi
nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi,
protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang.
Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab
masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang
tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari
yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi
dan mobilitas klien.
c) Pola Eliminasi Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola
eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi,
warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola
eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada
kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
d) Pola Tidur dan Istirahat Semua klien fraktur timbul rasa nyeri,
keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan
kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada
lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur
serta penggunaan obat tidur.
e) Pola Aktivitas Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua
bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu
banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk
aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk
pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain.
f) Pola Hubungan dan Peran Klien akan kehilangan peran dalam keluarga
dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap.
g) Pola Persepsi dan Konsep Diri Dampak yang timbul pada klien fraktur
yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas,
rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image).
h) Pola Sensori dan Kognitif Pada klien fraktur daya rabanya berkurang
terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak
timbul gangguan.begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan.
Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur.
i) Pola Reproduksi Seksual Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa
melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan
keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga,
perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama
perkawinannya.
j) Pola Penanggulangan Stress Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang
keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi
tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
k) Pola Tata Nilai dan Keyakinan Untuk klien fraktur tidak dapat
melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan
konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak
klien.
b. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu
untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi
hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam
1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tandatanda, seperti: -
Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung
pada keadaan klien. - Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan,
sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut. - Tanda-tanda vital tidak
normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin - Sistem Integumen Terdapat
erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
- Kepala Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala. - Leher Tidak ada gangguan yaitu simetris,
tidak ada penonjolan, reflek menelan ada. - Muka Wajah terlihat menahan
sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi,
simetris, tak oedema. - Mata Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak
anemis (karena tidak terjadi perdarahan) - Telinga Tes bisik atau weber masih
dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan. - Hidung Tidak ada
deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung. - Mulut dan Faring Tak ada
pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat. -
Thoraks Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris. - Paru
Inspeksi, pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat
penyakit klien yang berhubungan dengan paru; Palpasi, pergerakan sama atau
simetris, fermitus raba sama; Perkusi, suara ketok sonor, tak ada erdup atau
suara tambahan lainnya; Auskultasi, suara nafas normal, tak ada wheezing,
atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi. - Jantung Inspeksi,
tidak tampak iktus jantung; Palpasi, nadi meningkat, iktus tidak teraba;
Auskultasi, suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur. - Abdomen Inspeksi,
bentuk datar, simetris, tidak ada hernia; Palpasi, tugor baik, tidak ada defands
muskuler, hepar tidak teraba; Perkusi, suara thympani, ada pantulan gelombang
cairan; Auskultasi, peristaltik usus normal 20 kali/menit. - Inguinal-
Genetalia-Anus Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan
BAB.
3) Keadaan Lokal Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal
terutama mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem
muskuloskeletal adalah: Look (inspeksi) Perhatikan apa yang dapat dilihat
antara lain: - Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti
bekas operasi). - Cape au lait spot (birth mark). - Fistulae. - Warna kemerahan
atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi. - Benjolan, pembengkakan, atau
cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal). - Posisi dan bentuk dari
ekstrimitas (deformitas) - Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
Feel (palpasi) Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini
merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa
maupun klien. Yang perlu dicatat adalah: - Perubahan suhu disekitar trauma
(hangat) dan kelembaban kulit. - Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat
fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian. - Nyeri tekan
(tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di
permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status
neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan
permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya,
nyeri atau tidak, dan ukurannya. Move (pergeraka terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada
pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi
keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran
derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam
ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak
(mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
2. Diagnosa Keperawatan
1) Kerusakan integritas kulit
2) Resiko infeksi
3) Nyeri akut
4) Inefektif perfusi jaringan perifer
5) Resiko syok hipovolemik
6) Hambatan mobilitas fisik
7) Ansietas
8) Resiko cidera
3. Rencana keperawatan
Brunner, Suddarth. 2015. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3. EGC. Jakarta
Carpenito, LJ. 2011. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 . Jakarta: EGC
Johnson, M., et all. 2014. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New Jersey:
Upper Saddle River
Mansjoer, A dkk. 2013. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River
Santosa, Budi. 2013. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima
Medika
Smeltzer, S.C., 2013, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta.
Brunner dan Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta
Carpenito (2013), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6, EGC, Jakarta
Herman Santoso, dr., SpBO (2016), Diagnosis dan Terapi Kelainan Sistem Muskuloskeletal, Diktat
Kuliah PSIK, tidak dipublikasikan.
https://www.academia.edu/36265788/LAPORAN_PENDAHULUAN_FRAKTUR_TIBIA_FIB
ULA