Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

DENGAN ACUTE LUNG OEDEM (ALO) + TERAPI OKSIGEN


DI RUANG 05B-IPJT RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
Dr. SAIFUL ANWAR MALANG

oleh:.
Martina Fitria, S.Kep.
NIM 192311101134

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan pada Pasien dengan Kasus Acute Lung Oedem


(ALO) + Terapi Oksigen dan Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan kasus
Coronary Artery Disease (CAD) Pro DAC Adhoc di 05B-IPJT Rumah Sakit
Umum Daerah Dr. Saiful Anwar Malang telah di setujui dan disahkan pada :

Hari :
Tanggal :

Malang, Februari 2020

Mahasiswa

Martina Fitria, S.Kep


NIM 192311101134

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik


Stase Keperawatan Medikal Ruang 05B-IPJT
Fkep Universitas Jember RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

NIP Mohammad Irfan, SST


NIP.19730413 199703 1 005
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA
PASIEN DENGAN ACUTE LUNG OEDEM (ALO) + TERAPI OKSIGEN

I. KONSEP TEORI ACUTE LUNG OEDEM (ALO)


A. Review Anatomi Fisiologi Sitem Pernafasan
Bernafas adalah pergerakan udara dari atmosfer ke sel tubuh dan
pengeluaran CO2 dari sel tubuh sampai ke luar tubuh. Sistem respirasi berperan
untuk menukar udara dari luar ke permukaan dalam paru-paru. Setelah udara
masuk dalam sistem pernapasan, akan dilakukan penyaringan, penghangatan dan
pelembaban udara. Saluran nafas yang dilalui udara adalah hidung, faring, laring,
trakea, bronkus, bronkiolus dan alveoli.

Gambar 1. Proses Pernafasan Manusia


Di dalamnya terdapat suatu sistem yang sedemikian rupa dapat menghangatkan
udara sebelum sampai ke alveoli. Terdapat juga suatu sistem pertahanan yang
memungkinkan kotoran atau benda asing yang masuk dapat dikeluarkan baik
melalui batuk ataupun bersin(Sloane, 2003).

Gambar 2. Paru-Paru Manusia


1) Hidung atau Nares
Nares anterior adalah saluran-saluran di dalam rongga hidung. Saluran-
saluran itu bermuara ke dalam bagian yang dikenal sebagai vestibulum.
Rongga hidung dilapisi sebagai selaput lendir yang sangat kaya akan
pembuluh darah, dan bersambung dengan lapisan farinx dan dengan selaput
lendir sinus yang mempunyai lubang masuk ke dalam rongga hidung. Septum
nasi memisahkan kedua cavum nasi. Struktur ini tipis terdiri dari tulang dan
tulang rawan, sering membengkok kesatu sisi atau sisi yang lain, dan dilapisi
oleh kedua sisinya dengan membran mukosa (Pearce,2006). Sinus paranasalis
adalah ruang dalam tengkorak yang berhubungan melalui lubang kedalam
cavum nasi, sinus ini dilapisi oleh membrana mukosa yang bersambungan
dengan cavum nasi. Lubang yang membuka kedalam cavum nasi :
a) Lubang hidung
b) Sinus Sphenoidalis, diatas concha superior
c) Sinus ethmoidalis, oleh beberapa lubang diantara concha superior dan
media dan diantara concha media dan inferior
d) Sinus frontalis, diantara concha media dan superior

e) Ductus nasolacrimalis, dibawah concha inferior. Pada bagian belakang,


cavum nasi membuka kedalam nasofaring melalui appertura nasalis posterior.
2) Faring (tekak)
Faring adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkoraksampai
persambungannya dengan oesopagus pada ketinggian tulang rawan krikoid.
Maka letaknya di belakang larinx (larinx-faringeal). Orofaring adalah bagian
dari faring merrupakan gabungan sistem respirasi dan pencernaan (Pearce,
2006).
3) Laring (tenggorok)
Terletak pada garis tengah bagian depan leher, sebelah dalam kulit,
glandula tyroidea, dan beberapa otot kecila, dan didepan laringofaring dan
bagian atas esopagus.Laring merupakan struktur yang lengkap terdiri atas:
a) Cartilago yaitu cartilago thyroidea, epiglottis, cartilago cricoidea, dan 2
cartilago arytenoidea
b) Membarana yaitu menghubungkan cartilago satu sama lain dan dengan os.
Hyoideum, membrana mukosa, plika vokalis, dan otot yang bekerja pada
plica vokalis Cartilago tyroidea berbentuk V, dengan V menonjol kedepan
leher sebagai jakun (Pearce, 2006).
4) Epiglottis

Epiglottis ini melekat pada bagian belakang vertebra cartilago thyroideum.


Plica aryepiglottica, berjalan kebelakang dari bagian samping epiglottis menuju
cartilago arytenoidea, membentuk batas jalan masuk laring.

5) Trachea/ batang tenggorok


Tabung fleksibel dengan panjang kira-kira 10 cm dengan lebar 2,5 cm).
Trachea tersusun atas 16 – 20 lingkaran tak- lengkap yang berupan cincin tulang
rawan yang diikat bersama oleh jaringan fibrosa dan yang melengkapi lingkaran
disebelah belakang trachea, selain itu juga membuat beberapa jaringan otot
(Sloane, 2003).
6) Bronchus
Bronchus yang terbentuk dari belahan dua trachea pada ketinggian kira-kira
vertebrata torakalis kelima, mempunyai struktur serupa dengan trachea dan
dilapisi oleh jenis sel yang sama (Sloane, 2003). Sedangkan bronkhiolus tidak
diperkuat oleh cincin tulang rawan. Tetapi dikelilingi oleh otot polos sehingga
ukurannya dapat berubah. Seluruh saluran udara ke bawah sampai tingkat
bronkbiolus terminalis disebut saluran penghantar udara karena fungsi utamanya
adalah sebagai penghantar udara ke tempat pertukaran gas paru-paru (Pearce,
2006).
7) Alveolus
Gambar 3. Alveolus
Alveolus yaitu tempat pertukaran gas assinus terdiri dari bronkhiolus dan
respiratorius yang terkadang memiliki kantong udara kecil atau alveoli pada
dindingnya. Ductus alveolaris seluruhnya dibatasi oleh alveoilis dan sakus
alveolaris terminalis merupakan akhir paru-paru, asinus atau kadang disebut
lobolus primer.
8) Paru-paru

Gambar 4. Paru-Paru
Paru kanan dibagi atas tiga lobus yaitu lobus superior, medius dan inferior.
Paru kiri dibagi dua lobus yaitu lobus superior dan inferior. Tiap lobus dibungkus
oleh jaringan elastik yang mengandung pembuluh limfe, arteriola, venula,
bronchial venula, ductus alveolar, sakkus alveolar dan alveoli. Diperkirakan
bahwa setiap paru-paru mengandung 150 juta alveoli, sehingga mempunyai
permukaan yang cukup luas untuk tempat permukaan/pertukaran gas. Paru-paru
dibungkus oleh pleura. Pleura ada yang menempel langsung ke paru, disebut
sebagai pleura visceral. Sedangkan pleura parietal menempel pada dinding
rongga dada dalam. Diantara pleura visceral dan pleura parietal terdapat cairan
pleura atau cairan surfaktan yang berfungsi sebagai pelumas sehingga
memungkinkan pergerakan dan pengembangan paru secara bebas tanpa ada
gesekan dengan dinding dada (Sloane, 2003).
9) Rongga Dada
Rongga dada diperkuat oleh tulang-tulang yang membentuk rangka dada.
Rangka dada ini terdiri dari costae (iga-iga), sternum (tulang dada) tempat
sebagian iga-iga menempel di depan, dan vertebra torakal (tulang belakang)
tempat menempelnya iga-iga di bagian belakang. Terdapat otot-otot yang
menempel pada rangka dada yang berfungsi penting sebagai otot pernafasan.
Otot-otot yang berfungsi dalam bernafas adalah sebagai berikut :
a) interkostalis eksterrnus (antar iga luar) yangmengangkat masing-masing iga.
b) sternokleidomastoid yang mengangkat sternum(tulang dada).
c) skalenus yang mengangkat 2 iga teratas.
d) interkostalis internus (antar iga dalam) yangmenurunkan iga-iga.
e) otot perut yang menarik iga ke bawah sekaligus membuat isi perut
mendorong diafragma ke atas.
f) otot dalam diafragma yang dapat menurunkan diafragma(Sloane, 2003).
10) Innervasi
a. Parasimpatis melalui nervus vagus
b. Simpatis mellaui truncus simpaticus
11) Sirkulasi Pulmonal

Gambar 5. Sirkulasi Pulmonal


Paru-paru mempunyai 2 sumber suplai darah, dari arteri bronkialis dan arteri
pulmonalis. Darah di atrium kanan mengair keventrikel kanan melalui katup
AV lainnya, yang disebut katup semilunaris (trikuspidalis). Darah keluar dari
ventrikel kanan dan mengalir melewati katup keempat, katup pulmonalis,
kedalam arteri pulmonais. Arteri pulmonais bercabang-cabang menjadi arteri
pulmonalis kanan dan kiri yang masing-masing mengalir keparu kanan dan
kiri. Di paru arteri pulmonalis bercabang-cabang berkali-kali menjadi erteriol
dan kemudian kapiler. Setiap kapiler memberi perfusi kepada saluan
pernapasan, melalui sebuah alveolus, semua kapiler menyatu kembali untuk
menjadi venula, dan venula menjadi vena. Vena-vena menyatu untuk
membentuk vena pulmonalis yang besar.Darah mengalir di dalam vena
pulmonalis kembali keatrium kiri untuk menyelesaikan siklus aliran darah.
Jantung, sirkulasi sistemik, dan sirkulasi paru. Tekanan darah pulmoner
sekitar 15 mmHg. Fungsi sirkulasi paru adalah karbondioksida dikeluarkan
dari darah dan oksigen diserap, melalui siklus darah yang kontinyu
mengelilingi sirkulasi sistemik dan par, maka suplai oksigen dan pengeluaran
zat-zat sisa dapat berlangsung bagi semua sel(Pearce, 2006).

B. Definisi
Edema paru merupakan suatu keadaan terkumpulnya cairan patologi di
ekstravaskuler dalam paru. Kelainan ini disebabkan oleh dua keadaan yaitu
peningkatan tekanan hidrostatis dan peningkatan permeabilitas paru (Muttaqin,
2008). Acute lung oedem (ALO) atau kardiak adalah akumulasi cairan di paru-
paru secara tiba-tiba akibat peninggian tekanan intravascular (Piece dan Wilson,
2006). Edema Paru Akut (Kardiak) adalah edema paru yang disebabkan oleh
meningkatnya tekanan hidrostatik kapiler yang disebabkan karena meningkatnya
tekanan vena pulmonalis. Dalam edema puloner, cairan terkumpul dalam ruang
ekstravaskular paru-paru. Dalam edema paru kardiogenik, akumulasi cairan
disebabkan oleh kenaikan tekanan venosa pulmoner dan hidrostatik kapiler.
Edema pulmuner merupakan komplikasi umum dari gangguan kardiak dan bisa
muncul sebagai kondisi kronis yang berkembang dengan cepat dan berakibat fatal.
Ventrikel kiri yang terganggu membutuhkan kenaikan tekanan pengisian untuk
mempertahankan kecukupan output; tekanan tersebut dihantarkan ke atrium kiri,
vena pulmoner, dan dasar kapiler pulmoner. Peningkatan dorongan hidrostatik
kapiler pulmoner ini menyebabkan cairan intravaskular mengalir ke interstitium
pulmoner, sehingga menurunkan pemenuhan paru-paru dan mengganggu
pertukaran gas (Lippincott Wiiliams & Wilkins, 2008).

C. Etiologi
Edema paru biasanya diakibatkan oleh peningkatan tekanan pembuluh
kapiler paru dan permeabilitas kapiler alveolar yang disebut Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS) (Huldani, 2014). Keadaan normal terdapat
keseimbangan tekanan onkotik (osmotik) dan hidrostatik antara kapiler paru dan
alveoli. Tekanan hidrostatik yang meningkat pada gagal jantung menyebabkan
edema paru, sedangkan pada gagal ginjal terjadi retensi cairan yang menyebabkan
volume overload dan diikuti edema paru. Hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik
atau malnutrisi menyebabkan tekanan onkotik menurun sehingga terjadi edema
paru. Pada tahap awal edema paru terdapat peningkatan kandungan cairan di
jaringan interstisial antara kapiler dan alveoli. Pada edema paru akibat
peningkatan permeabilitas kapiler paru perlu dipikirkan bahwa kaskade inflamasi
timbul beberapa jam kemudian yang berasal dari suatu fokus kerusakan jaringan
tubuh. Neutrofil yang teraktivasi akan beragregasi dan melekat pada sel endotel
yang kemudian menyebabkan pelepasan berbagai toksin, radikal bebas, dan
mediator inflamasi seperti asam arakidonat, kinin, dan histamin. Proses kompleks
ini dapat diinisiasi oleh berbagai macam keadaan atau penyakit dengan hasil akhir
kerusakan endotel yang berakibat peningkatan permeabilitas kapiler alveolar.
Alveoli menjadi terisi penuh dengan eksudat yang kaya protein dan banyak
mengandung neutrofil dan sel-sel inflamasi sehingga terbentuk membran hialin.
Karakteristik edema paru akibat peningkatan permeabilitas kapiler paru ialah tidak
adanya peningkatan tekanan pulmonal atau hipertensi pulmonal (Rampengan,
2014).

D. Klasifikasi
Edema paru menurut penyebabnya diklasifikasikan menjadi 2 yaitu:
1. Edema Paru Kardiogenik
Biasanya ini disebabkan karena gagal jantung kiri kongestif yang akhirnya
menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik dikapiler paru. Sampai >18
mmHg yang disebabkan adanya peningkatan tekanan vena paru.
Fisiologisnya ruang intravascular dan ekstravaskukar dipisahkan oleh barier
endotel. Tekanan yang berpengaruh pada barier adalah tekanan hidrostatik
yng berfungsi untuk mendorong cairan keluarg jaringan dan tekanan onkotik
plasma untuk menjaga atau menarik cairan kedalam ruang vaskular. Edema
paru kardiogenik merefleksikan akumulasi cairan yanhg bersis protein
rendah di intersitium dan alveolus (Glaues dkk, 2010).
2. Edema Paru Non Kardiogenik
Menurut Glaues dkk, (2010) edema paru yang bukan disebabkan karena
keainan pada jantung tetapi paru itu sendiri. Pada non-kardiogenik, ALO
dapat disebabkan oleh beberapa hal:
a. Infeksi pada paru
b. Lung injury, seperti emboli paru, smoke inhalation dan infark paru.
c. Paparan toxic
d. Reaksi alergi
e. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
f. Neurogenik

E. Patofisiologi
Peningkatan tekanan hidrostatik (tekanan yang mendorong cairan keluar sel)
pada kapiler paru terjadi jika kerja pemompaan ventrikel kiri tidak adekuat.
Penyebabnya adalah penurunan kekuatan miokardium atau keadaan yang
menuntut peningkatan kerja miokardium (gagal jantung), stenosis katup mitral
atau regurgitasi. Akibatnya, peningkatan atrium kiri akan dihantarkan ke belakang
pembuluh darah paru.
Gangguan drainase limfatik mempermudah pembentukan edema paru.
Biasanya, kelebihan cairan filtrasi akan dibuang melalui system limfatik. Jika
gagal jantung kanan bersamaan dengan gagal jantung kiri, tekanan vena sistemik
akan meningkat, begitu pula tekanan pada tempat drainase pembuluh limfatik ke
dalam vena sehingga menghambat drainase limfatik.
Tekanan onkotik di kapiler berkurang pada hipoproteinemia, sehingga
mendukung terjadinya edema paru (tidak ada cukup perotein untuk mendorong
cairan ke dalam sel). Pada edema paru interstisial, ruang interstisial di antara
kapiler dan alveolus meningkat. Akibatnya terjadi gangguan difusi yang terutama
mengganggu pengambilan O2. Sehingga pada aktifitas fisik dimana kebutuhan O2
meningkat, konsentrasi O2 dalam darah akan turun (hipoksemia, sianosis).
Tekanan yang terus meningkat dan kerusakan dinding alveolus menyebabkan
filtrasi ke dalam ruang alveolus. Alveolus yang terisi dengan cairan tidak lagi
terlibat dalam proses pertukaran gas, cairan memasuki jalan nafas sehingga
meningkatkan resistensi jalan nafas.
Edema paru memaksa pasien untuk bernafas dalam posisi tegak (ortopneu).
Pada posisi duduk atau berdiri setelah berbaring, aliran balik vena dari bagian
tubuh terbawah akan turun (semakin turun bila dalam posisi tegak) sehingga
tekanan atrium kanan dan curah jantung kanan menurun. Aliran darah ke paru
akan berkurang sehingga menyebabkan penurunan teknan hidrostatik di kapiler
paru dan dalam waktu yang bersamaan, aliran vena pulmonalis dari bagian tubuh
di atas paru akan meningkat. Selain itu, penurunan tekanan vena sentralis
membantu drainase limfatik dari paru. Akibatnya, bendungan paru, serta edema
alveolus dan interstisial akan berkurang.

F. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis Edema Paru secara spesifik juga dibagi dalam 3
stadium(Ingram and Braunwald, 2006):
a. Stadium 1
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan
memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas
difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak
napas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan,
kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya saluran
napas yang tertutup pada saat inspirasi.
b. Stadium 2
Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru
menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa
interlobularis menebal (garis Kerley B). Adanya penumpukan cairan di
jarngan kendor inter-sisial, akan lebih memperkecil saluran napas kecil,
terutama di daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi
refleks bronkhokonstriksi. Sering terdapat takhipnea. Meskipun hal ini
merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea juga
membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan intersisial
diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit perubahan
saja.
c. Stadium 3
Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu,
terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali dengan
batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun
dengan nyata. Terjadi right-to-left intrapulmonary shunt. Penderita biasanya
menderita hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia
dan acute respiratory acidemia. Pada keadaan ini morphin hams digunakan
dengan hati-hati.

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang menurut (Rampengan, 2014) yang dapat dilakukan
untuk menegakkan diagnosis, yaitu:
1. Pemeriksaan Foto Toraks
Menunjukkan kardiomegali (pada pasien dengan CHF) dan adanya edema
alveolar disertai efusi pleura dan infiltrasi bilateral dengan pola butterfly,
gambaran vaskular paru dan hilus yang berkabut serta adanya garis-garis
Kerley b di interlobularis. Gambaran lain yang berhubungan dengan penyakit
jantung berupa pembesaran ventrikel kiri dan Efusi pleura unilateral juga
sering dijumpai dan berhubungan dengan gagal jantung kiri.
2. EKG
Menunjukan gangguan pada jantung seperti pembesaran atrium kiri,
pembesaran ventrikel kiri, aritmia, miokard iskemik maupun infark.

3. Ekokardiografi
Dilakukan untuk mengetahui apakah ada penurunan fungsi dari ventrikel kiri
dan adanya kelainan katup-katup jantung.
4. Pemeriksaan laboratorium
Enzim jantung perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis infark miokard.
Peningkatan kadar brain natriuretic peptide (BNP) di dalam darah sebagai
respon terhadap peningkatan tekanan di ventikel; kadar BNP >500 pg/ml
dapat membantu menegakkan diagnosis edema paru kardiogenik.
5. Kateterisasi jantung kanan
Pengukuran P pw (pulmonary capillary wedge pressure) melalui kateterisasi
jantung kanan merupakan baku emas untuk pasien edema paru kardiogenik
yaitu berkisar 25-35 mmHg sedangkan pada pasien ARDS P pw 0-18
mmHg.3,13
6. Kadar protein cairan edema
Pengukuran rasio konsentrasi protein cairan edema dibandingkan protein
plasma dapat digunakan untuk membedakan edema paru kardiogenik dan
non-kardiogenik. Bahan pemeriksaan diambil dengan pengisapan cairan
edema paru melalui pipa endotrakeal atau bronkoskop dan pengambilan
plasma. Pada edema paru kardiogenik, konsentrasi protein cairan edema
relatif rendah dibanding plasma (rasio <0,6). Pada edema paru non-
kardiogenik konsentrasi protein cairan edema relatif lebih tinggi (rasio >0,7)
karena sawar mikrovaskular berkurang.

H. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan farmakologis pada (ALO) menurut (Rampengan, 2014)
sebagai berikut:
1. Obat yang menurunkan preload
a) Nitrogliserin (NTG) dapat menurun-kan preload secara efektif, cepat,
dan efeknya dapat diprediksi
b) Loop diuretics (furosemide) dapat menurunkan preload melalui 2
mekanisme, yaitu: diuresis dan venodilatasi.
c) Morfin sulfat digunakan untuk menu-runkan preload dengan dosis 3 mg
secara intra vena dan dapat diberikan berulang.
2. Obat yang menurunkan afterload
Angiotensin-Converting Enzyme Inhi-Bitors (ACE inhibitors)
menunurunkan after load, serta memperbaiki volume sekuncup dan curah
jantung.
3. Obat-obatan golongan inotropik
Diberikan pada edema paru kardiogenik yang mengalami hipotensi, yaitu
dobutamin 2-20 μg/kg/menit atau dopamin 3-20 μg/kg/menit.
b. Penatalaksanaan non farmakologis pada (ALO) menurut (Rampengan, 2014)
sebagai berikut:
1. Baringkan pasien tegak dengan tungkai dan kaki di bawah. Lebih baik bila
kaki terjuntai di samping tempat tidur untuk membantu arus balik vena ke
jantung
2. Terapi oksigen
Hipoksemia umum pada edema paru merupakan ancaman utama bagi
susunan saraf pusat, baik berupa turunnya kesadaran sampai koma maupun
terjadinya syok. Oleh karena itu suplementasi oksigen merupakan terapi
intervensi yang penting untuk meningkatkan pertukaran gas dan
menurunkan kerja pernapasan, mengoptimalisasi unit fungsional paru
sebanyak mungkin, serta mengurangi overdistensi alveolar. Pada kasus
ringan oksigen bisa diberikan dengan kanul hidung atau masker muka
(face mask). Continuous positive airway pressure (CPAP) sangat
membantu pada pasien edema paru kardiogenik untuk menurunkan
kebutuhan akan intubasi dan angka mortalitas.
Oksigen yang dierikan mencapai 8L/menit untuk mempertahankan
PaO2 jika perlu dapat diberikan dengan masker. Saturasi oksigen harus
dipertahankan (95-98%) untuk memaksimalkan penghantaran oksigen
kejaringan sehingga tidak terjadi endorgan atau muliple endorgan. Jika
kondisi memburukmuncul sianosis, makin sesak nafas, takipnue, ronchi
bertambah, dan PaO2 tidak bisa dipertahankan >60 mmHg dengan terapi
O2 atau tidak mampu megurangi cairan edema secara adekuat maka perlu
intubasi ed\ndotrakeal, CPAP, NIPPV ataupun dengan menurunkan
tekanan PCWP.
3. Berikan informasi yang sering, sederhana, jelas tentang apa yang sedang di
lakukan untuk mengatasi kondisi dan apa makna respon terhadap
pengobatan

II. KONSEP TEORI TERAPI OKSIGEN


A. Definisi
Terapi oksigen adalah salah satu jenis terapi pernapasan untuk
mempertahankan oksigenasi jaringan di dalam tubuh yang adekuat (Harahap,
2004). Terapi oksigen merupakan proses pemberian oksigen dengan konsentrasi
yang tinggi dari lingkungan (Sudoyo dkk, 2007). Terapi oksigen merupakan salah
satu terapi untuk mempertahankan status oksigenasi seseorang dengan cara
meningkatkan masukan oksigen ke dalam sistem pernapasan seseorang
(Widiyanto&Yasmin, 2014). Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan
bahwa, terapi oksigen adalah suatu intervensi dalam pemberian oksigen untuk
pengobatan dan pencegahan atau perbaikan dari hipoksia jaringan serta
mempertahankan status oksigenasi jaringan agar tetap adekuat dengan cara
memberikan oksigen dengan konsentrasi tinggi ke dalam sistem pernapasan.

B. Indikasi Terapi Oksigen


Beberapa indikasi dalam pemberian terapi oksigen sebagai berikut (Standar
Keperawatan ICU Depkes RI, 2005) :
1. Pasien yang mengalami hipoksia
2. Pasien dengan status oksigenasi kurang, paru normal
3. Pasien dengan status oksigenasi cukup, paru tidak normal
4. Pasien dengan status oksigenasi cukup, paru normal, sedangkan sirkulasi
tidak normal
5. Pasien dengan kebutuhan pemberian oksigen konsentrasi tinggi
6. Pasien dengan kadar oksigen arteri rendah hasil dari analisa gas darah

C. Kontraindikasi Terapi Oksigen


Beberapa kontraindikasi pemberian terapi oksigen diantaranya (Potter,
2005) :
1. Kanul nasal/kateter biasa : jika ada obstruksi nasal
2. Kateter nasofaring/kateter nasal : jika ada fraktur dasar tengkorak kepala,
trauma maksilofacial, dan obstruksi nasal
3. Sungkup muka dengan kantong re-breathing : pasien dengan PaCO2 tinggi
akan lebih meingkatkan kadar PaCO2nya lagi

D. Metode Pemberian Terapi Oksigen


Ada 2 cara pemberian terapi oksigen (Mangku G, 2017) yaitu :
1. Sistem Aliran Rendah
Pemberian O2 sistem aliran rendah ini ditujukan untuk klien yang
memerlukan O2 tetapi masih mampu bernafas dengan pola pernafasan normal,
misalnya klien dengan volume tidal 500 ml dengan kecepatan pernafasan 16 –
20x/menit. Berikut contoh system aliran rendah diantaranya :
a. Kateter nasal
Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan O2 secara
kontinu dengan aliran 1 – 6 L/mnt dengan konsentrasi 24% - 44%.

Gambar 6. Kateter nasal


b. Kanula nasal
Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan O2 kontinu
dengan aliran 1 – 6 L/mnt dengan konsentrasi O2 sama dengan kateter
nasal.

Gambar 7. Nasal Kanul


c. Sungkup muka sederhana
Merupakan alat pemberian O2 kontinu atau selang seling 5 – 8 L/mnt
dengan konsentrasi O2 40 – 60%.

Gambar 8. Sungkup muka sederhana


d. Sungkup muka dengan kantong re-breathing
Suatu tehnik pemberian O2 dengan konsentrasi tinggi yaitu 60 – 80%
dengan aliran 8 – 12 L/mnt
Gambar 9. Sungkup muka dengan kantong re-breathing
e. Sungkup muka dengan kantong non re-breathing
Merupakan tehnik pemberian O2 dengan Konsentrasi O2 mencapai 99%
dengan aliran 8 – 12 L/mnt dimana udara inspirasi tidak bercampur dengan
udara ekspirasi

Gambar 10. Sungkup muka dengan kantong non re-breathing


2. Sistem Aliran Tinggi
Prinsip pemberian O2 dengan alat ini yaitu gas yang dialirkan dari tabung
akan menuju ke sungkup yang kemudian akan dihimpit untuk mengatur suplai O2
sehingga tercipta tekanan negatif, akibatnya udaraluar dapat diisap dan aliran
udara yang dihasilkan lebih banyak. Aliran udara pada alat ini sekitas 4 – 14
L/mnt dengan konsentrasi 30 – 55%. Adapun contoh tehnik system aliran tinggi
yaitu sungkup muka dengan ventury (Mangku G, 2017).
E. Perhatian terkait Terapi Oksigen
Hal-hal yang perlu diperhatikan saat pemberian terapi oksigen (Sudoyo dkk,
2009) yaitu :
1. Perhatikan reaksi klien sebelum dan sesudah pemberian O2
2. Penggunaan nasal kateter hendaknya diganti tiap 8 jam
3. Hindari tindakan yang dapat mengganggu kenyamanan pasien
4. Jauhkan dari hal-hal yang dapat membahayakan
5. Harus selalu menggunakan humidifier untuk menghindari iritasi selaput
lender pernafasan
6. Tidak boleh lebih dari 6 liter
7. Berikan O2 sesuai intruksi dokter
I. Pathway

Akumulasi cairan berlebih

Alveoli terisi
Cardiac output Pemasangan alat bantu nafas
cairan

O2 jaringan Bed rest fisik Area


Co2 dan o2 Area invasi
invasi
tidak dapat Gangguan
bertukar pertukaran Defisit perawatan diri Resiko infeksi
gas Resiko
tinggi
infeksi
B1 B2 B3 B4 B5 B6
breath blood brain bladder bowel bone

Pengambilan Perfusi Penurunan Perfusi Iskemi kelelahan


o2 meningkat jaringan tidak kesadaran ginjal saluran
efektif tidak pencernaan
efektif Intoleransi
Risiko aktivitas
Dispnea Hipoksia, Mual
cedera Retensi natrium
pucat muntah
dan air
Hipertrovi
Pola Nafas Defisit
ventrikel
tidak efektif Gangguan Nutrisi
eliminasi urin

Gangguan
perfusi jaringan
perifer Ansietas

sesak
Gangguan rasa nyaman
III. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengkajian fokus keperawatan yang perlu diperhatikan pada penderita
Acute Lung Oedeme meliputi :
a) Identitas
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan,
pekerjaan, status marital, tanggal masuk, tanggal pengkajian, ruang rawat,
nomor rekam medis, diagnosa medis dan alamat.
b) Keluhan Utama
Adanya keluhan berupa sesak nafas
c) Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada pasien dengan acute lung oedeme biasannya akan diawali
dengan tanda sesak nafas, cyanosis atau batuk-batuk disertai dengan
demam tinggi. Keasadaran kadanga sudah menurun dan dapat terjadi
dengan tiba-tiba pada trauma. Berbagai etiologi yang mendasar
dengan masing-masing tanda klinik mungkin menyertai pasien.
b. Riwayat penyakit dahulu
Penyakit yang dapat menjadi berbagai faktor seperti sepsis,
pancreatitits, penyakit paru, jantung serta kelainan organ vital bawaan
serta penyakit ginjal mungkin ditemui pada klien.
c. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita
penyakit yang dapat menyebabkan acute lung oedeme.
d. Pengkajian Pola-Pola Fungsi Kesehatan Gordon
- Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Bagaimana persepsi dan pendapat klien terkait dengan penyakit yang
dideritanya, serta penanganan pertama dalam mengatasi masalah
kesehatannya. Riwayat merokok, minum alkohol, dan penggunaan
obat-obatan.
- Pola nutrisi dan metabolisme
Bagaimana pola pemenuhan nutrisi setiap harinya. Perawat perlu
melakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk
mengetahui status nutrisi pasien.
- Pola eliminasi
Perawat perlu menanyakan mengenai kebiasaan defekasi sebelum dan
sesudah MRS. Karena keadaan umum pasien yang lemah, pasien akan
lebih banyak bed rest sehingga akan menimbulkan konstipasi yang
akibat dari menurunnya gerakan peristaltik usus.
- Pola aktivitas dan latihan
Perawat perlu untuk terus mengkaji status pernapasan pasien, karena
akibat dari sesak napas akan mengganggu ekspansi paru berkembang
dan pasien merasa malaise untuk beraktivitas dan untuk memenuhi
kebutuhan ADL nya sebagian kebutuhan pasien dibantu oleh perawat
dan keluarganya.
- Pola tidur dan istirahat
Adanya sesak nafas akan berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan
tidur, istitahat dan sering terbangun, selain itu akibat perubahan
kondisi lingkungan seperti keluarga pasien yang menunggu banyak
dan kondisi rumah sakit yang pasiennya banyak.
- Pola hubungan dan peran
Akibat dari sakitnya, secara langsung pasien akan mengalami
perubahan peran, misalkan pasien seorang laki-laki sebagai kepala
rumah tangga, tidak dapat menjalani fungsinya untuk menafkahi istri
dan anaknya. Disamping itu, peran pasien di masyarakat pun juga
mengalami perubahan dan semua itu mempengaruhi hubungan
interpersonal pasien.
- Pola persepsi dan konsep diri
Persepsi pasien terhadap dirinya akan berubah. Pasien yang tadinya
sehat, tiba-tiba mengalami sakit, sesak nafas. Sebagai seorang awam,
pasien akan beranggapan bahwa penyakitnya adalah penyakit
berbahaya dan mematikan. Dalam hal ini pasien mungkin akan
kehilangan gambaran positif terhadap dirinya.
- Pola sensori dan kognitif
Fungsi panca indera pasien tidak mengalami perubahan, demikian
juga dengan proses berpikirnya. Adapun dari pola sensori yang
teganggu tapi jarang yaitu sesak napas yang mengakibakan kelemahan
akan menggangu penglihatan pasien menjadi kabur dan somnolen.
- Pola reproduksi seksual
Kebutuhan seksual pasien akan terganggu untuk sementara waktu
karena pasien berada di rumah sakit dan kondisi fisiknya masih lemah.
- Pola managemen stress dan koping
Pasien yang tidak mengetahui penyabab dan proses dari penyakitnya
akan mengalami stress dan mungkin pasien akan banyak bertanya
pada perawat dan dokter yang merawatnya atau orang yang mungkin
dianggap lebih tahu mengenai penyakitnya.
- Pola tata nilai dan kepercayaan
Sebagai seorang beragama pasien akan lebih mendekatkan dirinya
kepada Tuhan dan menganggap bahwa penyakitnya ini adalah suatu
cobaan dari Tuhan.
d) Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum: Pasien tampak sesak nafas
2. Tingkat kesadaran: Komposmentis
3. TTV
- RR : takipnea
- N : takikardi
- S : jika ada infeksi bisa hipertermi
- TD : bisa hipotensi
4. Keadaan fisik umum lainnya dapat dikaji dengan IPPA, yang meliputi:
- Mata: konjungtiva anemis
- Hidung: sesak nafas, terdapat cuping hidung, alat bantu yang terpasang
pada hidung.
- Leher: peggunaan otot bantu nafas.
- Dada
- Paru-paru
-Inspeksi : terlihat ekspansi dada tidak simetris, tampak sesak nafas,
dan tampak penggunaan otot bantu pernafasan
-Palpasi : vokal fremitus menurun
-Perkusi : pekak, redup
-Auskultasi : ronchii pada lapang paru,
- Jantung : inspeksi iktus qordis, palpasi CRT dan detakan jantung,
perkusi batas jantung, dan auskultasi suara jantung abnormal
- Abdomen:, auskultasi suara bising usus.
- Urogenital: inspeksi bentuk anatomi genital, alat bantu eliminasi yang
terpasang.
- Ekstremitas: inspeksi kelainan bentuk ekremitas baik bawah maupun
atas, fungsi pergerakan dan perubahan bentuk.
- Kulit dan Kuku: Kajian tentang Integritas kulit, kebersihan kulit dan
kuku, serta kaji CRT
- Keadaan Lokal: Gasglow Coma Scale (GCS)
B. Diagnosa
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan alveoli terganggu, proses
pertukaran gas yang terganggu
2. Gangguan pola nafas berhubungan dengan penurunan suplai O2 ke paru
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan
suplai O2.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan.
5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan aktivitas yang intoleran,
sulitnya bergerak untuk ADL
6. Resiko infeksi berhubungan dengan proses invasif
7. Ansietas berhubungan dengan ancaman pada status terkini (sesak nafas)
ditandai dengan ansietas, bloking pikiran, gangguan konsentrasi, gangguan
perhatian, konfusi, menyadari gejala fisiologis, dan penurunan lapang
persepsi.
8. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gejala terkait penyakit
ditandai dengan ansietas, gangguan pola tidur, gelisah, iritabilitas,
ketidakmampuan untuk relaks, merasa kurang senang dengan situasi, dan
merasa tidak nyaman.
9. Defisit nutrisi b.d mual muntah akibat dari iskemi pada saluran pencernaan
10. Gangguan eliminasi urin b.d Retensi natrium dan air
C. Intervensi Keperawatan
No. Masalah SLKI SIKI
Keperawatan
1 Gangguan pertukaran Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pemantauan Respirasi
gas selama 3x24jam, pertukarana gas meningkat Observasi
dengan kriteria hasil : 1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya
napas
No Indikator 1 2 3 4 5
2. Monitor pola napas
1 Dispnea 
3. Monitor kemampuan batuk efektif’
2 Bunyi napas  4. Monitor adanya produksi sputum
tambahan 5. Monitor adanya sumbatan jalan napas
Keterangan : 6. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
1= Meningkat 7. Auskultasi bunyi napas
2= Cukup meningkat 8. Monitor saturasi oksigen
3= Sedang 9. Monitor nilai AGD
4= Cukup menurun 10. Monitpr hasil x-ray thoraks
Terapeutik
5= Menurun
1. Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi
No Indikator 1 2 3 4 5 pasien
1 PCO2  2. Dokumentasikan hasil pemantauan
2 PO2  Edukasi
3 Takikardia  1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
4 pH arteri  2. Informasikan hasil pemantauan (jika perlu)
Keterangan :
1= Memburuk Terapi Oksigen
Observasi
2= Cukup memburuk
1. Monitor kecepatan aliran oksigen
3= Sedang 2. Monitor posisi alat terapi
4= Cukup membaik 3. Monitor aliran oksigen secara periodik dan
5= Membaik pastikan fraksi yang diberikan cukup
4. Monitot efektifitas terapi oksigen
5. Monitor kemampuan melepaskan oksigen saat
makan
6. Monitor tanda-tanda hipoventilasi
7. Monitor tanda dan gejala toksikasi oksigen dan
atelektasis
8. Monitor tingkat kecemasan akibat terapi oksigen
9. Monitor integritas mukosa hidung akibat
pemasangan oksigen
Terapeutik
1. Bersihkan sekret pada mulut, hidung, dan trakea
jika perlu
2. Pertahankan kepatenan jalan napas
3. Siapkan dan atur peralatan pemberian oksigen
4. Berikan oksigen tambahan, jika perlu
5. Tetap berikasn oksigen saat pasien ditransportasi
6. Gunakan perangkat oksigen yang sesuai dengan
tingkat mobilitas pasien
Edukasi
1. Ajarkan pasien dan keluarga cara menggunakan
oksigen di rumah
Kolaborasi
1. Kolaborasi penentuan dosis oksigen
2. Kolaborasi penggunaan oksigen saat aktivitas
dan/atau tidur
2 Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Observasi
1x24 jam, tidak terjadi perubahan pola nafas 1. Monitor pola nafas (frekusensi, kedalaman, usaha
dengan kriteria hasil : napas)
No Indikator 1 2 3 4 5 2. Monitor bunyi nafas tambahan
1 Dispnea  3. Monitor sputum
2 Penggunaan  Terapeutik
1. Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan head-
otot bantu tilt dan chin-lift (jaw-thrust jika curiga trauma
nafas servikal)
Keterangan : 2. Posisikan semi fowler atau fowler
1= Meningkat 3. Berikan minuman hangat]lakukan fisioterapi
2= Cukup meningkat dada, jika perlu
3= Sedang 4. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
4= Cukup menurun 5. Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan
endotrakeal
5= Menurun
6. Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep
No Indikator 1 2 3 4 5 McGill
1 Frekuensi  7. Berikan oksigen, jika perlu
nafas Edukasi
Keterangan : 1. Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari, jika tidak
1= Memburuk kontraindikasi
2= Cukup memburuk 2. Ajarkan teknik batuk efektif
3= Sedang Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran,
4= Cukup membaik
mukolitik, jika perlu
5= Membaik
3 Perfusi perifer tidak Setelah dilakukan tindakan keperawatan Perawatan Sirkulasi
efektif selama 3x24jam, perfusi perifer meningkat Observasi
dengan kriteria hasil : 1. Periksa sirkulasi perifer
No Indikator 1 2 3 4 5 2. Identifikasi faktor risiko gangguan sirkulasi
1 Denyut nadi  3. Monitor panas, kemerahan, nyeri, atau bengkak
perifer pada ekstremitas
Keterangan : Terapeutik
1= Menurun 1. Hindari pemasangan infus atau pengambilan
darah di area keterbatasan perfusi
2= Cukup menurun
2. Hindari pengukuran tekanan darah pada
3= Sedang ekstremitas dengan keterbatasan perifer
4= Cukup meningkat 3. Hindari penekanan dan pemasangan tourniquet
5= Meningkat pada area yang cedera
No Indikator 1 2 3 4 5 4. Lakukan pencegahan infeksi
1 Warna kulit  5. Lakukan perawatan kaki dan kuku
pucat 6. Lakukan hidrasi
Keterangan : Edukasi
1. Anjurkan berhenti merokok
1= Meningkat
2. Anjurkan berolahraga rutin
2= Cukup meningkat 3. Anjurkan mengecek air mandi untuk menghindari
3= Sedang kulit terbakar
4= Cukup menurun 4. Anjurkan menggunakan obat penurun tekanan
5= Menurun darah, antikoagulan, dan penurunan kolesterol,
No Indikator 1 2 3 4 5 jika perlu
1 Pengisian  5. Anjurkan minum obat pengontrol tekanan darah
secara teratur
kapiler
6. Anjurkan menghindari penggunaan obat penyekat
2 Akral 
beta
3 Turgor kulit  7. Anjurkan melakukan perawatan kulit yang tepat
Keterangan : 8. Anjurkan program rehabilitasi vaskuler
1= Memburuk 9. Ajarkan program diet untuk memperbaiki
2= Cukup memburuk sirkulasi
3= Sedang 10. Informasikan tanda dan gejala darurat yang harus
4= Cukup membaik dilaporkan
5= Membaik
4 Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Observasi
2x24 jam pasien dapat meningkatkan aktivitas 1. Identifkasi gangguan fungsi tubuh yang
yang dapat ditoleransi dengan kriteria hasil : mengakibatkan kelelahan
No Indikator 1 2 3 4 5 2. Monitor kelelahan fisik dan emosional
3. Monitor pola dan jam tidur
1 Kemudahan 
4. Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama
dalam melakukan aktivitas
melakukan Terapeutik
aktivitas 1. Sediakan lingkungan yang nyaman dan rendah
sehari-hari stimulus
Keterangan : 2. Lakukan latihan rentang gerak pasif dan/atau aktif
1= Menurun 3. Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
2= Cukup menurun 4. Fasilitasi duduk disisi tempat tidur, jika tidak
dapat berpindah atau berjalan
3= Sedang
Edukasi
4= Cukup meningkat 1. Anjurkan tirah baring
5= Meningkat 2. Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
3. Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan
gejala kelelahan tidak berkurang
4. Ajarkan strategi koping untuk mngurangi
kelelahan
Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara
meningkatkan asupan makanan
5 Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Observasi
3x24 jam risiko infeksi berkurang dengan kriteria 1. Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
hasil : Terapeutik
No Indikator 1 2 3 4 5 1. Berikan perawatan kulit
1 Nyeri menurun  2. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
2 Kerusakan  pasien dan lingkungan pasien
jaringan 3. Peratahankan teknik aseptik pada pasien
3 kemerahan  Edukasi
Keterangan : 1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
2. Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
1= Meningkat
3. Ajarkan cara memeriksa luka operasi
2= Cukup meningkat 4. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi dan cairan
3= Sedang
4= Cukup menurun
5= Menurun
6 Ansietas Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Observasi
1x24 jam, ansietas menurun dengan kriteria 1. Identifikasi saat tingkat ansietas berubah
hasil : 2. Identifikasi kemampuan mengambil keputusan
No Indikator 1 2 3 4 5 3. Monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan non
verbal)
1 Verbalisasi 
Terapeutik
kebingunan 1. Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan
2 Verbalisasi  kepercayaan
khawatir 2. Temani pasien untuk mengurangi kecemasan, jika
akibat kondisi memungkinkan
yang dihadapi 3. Pahami situasi yang membuat ansietas
3 Perilaku  4. Dengarkan dengan penuh perhatian
gelisah 5. Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
4 Perilaku  6. Tempatkan barang pribadiyang memberikan
tegang kenyamanan
Keterangan : 7. Diskusikan perencanaan realistis tentang peristiwa
1= Meningkat yang akan datang
Edukasi
2= Cukup meningkat
1. Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkin
3= Sedang dialami
4= cukup menurun 2. Informasikan secara faktual mengenai diagnosis,
5= menurun pengobatan, prognosis
3. Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien, jika
perlu
4. Anjurkan melakukan kegiatan yang tidak
kompetitif, sesuai kebutuhan
5. Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
6. Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi
ketegangan
7. Laih penggunaan mekanisme pertahanan yang tepat
8. Latih teknik relaksasi
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika perlu
7 Defisit nutrisi Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Observasi
2x24jam, mampu mempertahankan asupan 1. Identifikasi status nutrisi
nutrisi yang adekuat dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
No Indikator 1 2 3 4 5 3. Identifikasi makanan yang disukai
1 Porsi makan  4. Identifikasi jumlah kalori dan jenis nutrien
5. Identifikasi perlunya penggunaan selang
yang nasogastrik
dihabiskan 6. Monitor asupan makanan
Keterangan : 7. Monitor BB
1= Menurun 8. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
2= Cukup menurun Terapeutik
1. Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
3= Sedang
2. Fasilitasi menentukan pedoman diet
4= Cukup meningkat 3. Sajikan makanan yang cukup menarik dan suhu
5= Meningkat yang sesuai
4. Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah
No Indikator 1 2 3 4 5 konstipasi
1 Berat Badan  5. Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
Keterangan : 6. Berikan suplemen makanan, jika perlu
1= Memburuk 7. Hentikan pemberian makanan melalui selang
nasogastrik jika asupan oral dapat ditoleransi
2= Cukup memburuk
Edukasi
3= Sedang 1. Anjurkan posisi duduk, jika mampu
4= Cukup membaik 2. Ajarkan diet yang diprogramkan
5= Membaik Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan
2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis nutrien yang dibutuhakan,
jika perlu
D. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan
perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati dan
tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan (Carpenito, 2009).
Ada 3 jenis evaluasi keperawatan mengenai berhasil/tidaknya suatu tindakan,
antara lain:
1. Teratasi: apabila perilaku pasien sesuai dengan pernyataan tujuan dan waktu
yang sebelumnya sudah ditetapkan.
2. Teratasi sebagian: pasien menunjukkan perilaku tetapi tidak memenuhi semua
kriteria dan tujuan serta waktu yang telah ditetapkan.
3. Belum taratasi: pasien belum menunjukkan perilaku yang dituliskan dalam
tujuan, kriteria hasil dan waktu yang telah ditentukan.

E. Discharge Planning
Discharge planning yang dapat dilakukan pada pasien yaitu :
1. Beri pendidikan tentang kondisi yang spesifik
2. Berikan instruksi spesifik tentang obat dan efek sampingnya
3. Ajarkan tentang teknik memberi makan dan kebutuhan nutrisi
4. Anjurkan pada klien menghentikan aktifitas selama ada serangan dan istirahat
5. Kenali gejala-gejala yang ditimbulkan penyakit.
DAFTAR PUSTAKA

Glaues, T., Schellenberg, S., Lang, J. 2010. Cardiogenic and Non Cardiogenic
Pulmonary Edema: Pathomechannisms and Causes. Schweiz Arch
Tierheilkd, 157:7, 311-317.
Harahap, Ikhsanuddin Akhmad. 2004. Terapi Oksigen Dalam Asuhan
Keperawatan. Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatra
Huldani H. 2014. Edema Paru Akut. Refarat. Universitas Lambung Mangkurat
Fakultas Kedokteran, Banjarmasin. Available from:
eprints.unlam.ac.id/207/
LeMone, Priscilla dan Burke, Karen M. 2000. Surgical Nursing: Critical Thinking
in Client Care (ed.2nd). New Jersey: Prentice Hall Health.
Mangku G., Senapathi. 2017. Buku Ajar ilmu Anestesia dan Reanimasi Edisi II.
Jakarta : Indeks
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Nurarif, A. H, Hardhi Kusuma.2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: Mediactoin
Publishing
PPNI. 2016. Standar DiagnosaKeperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
Price, Sylvia A & Wilson, Lorrain M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis dan
Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC
Rampengan, S.H. 2014. Edema Paru Kardiogenik Akut. Jurnal Biomedik (JBM),
Volume 6 (3): 149-156.
Smeltzer, Suzanne C., dan Bare Brenda G. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah
Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta: EGC
Widiyanto B. & Yasmin LS. 2014. Terapi Oksigen terhadap Perubahan Saturasi
Oksigen melalui Pemeriksaan Oksimetri pada Pasien Infark Miokard
Akut (IM-A). Jawa Tengah : Prosiding Konferensi Nasional II PPNI

Anda mungkin juga menyukai