Anda di halaman 1dari 14

BAB I

TINJAUAN TEORITIS

A. Anatomi Fisiologi Hidung


Hidung terdiri dari bagian internal dan eksternal dan eksternal. Bagian eksternal
menonjol dari wajah dan disangga oleh tulang hidung dan kartilago. Nares anterior
(lubang hidung) merupakan osteum sebelah luar dari rongga hidung.
Bagian internal hidung adalah rongga berlorong yang dipisahkan menjadi rongga
hidung kanan dan kiri oleh pembagi vertical yang sempit yang disebut septum. Masing-
masing rongga hidung dibagi menjadi tiga saluran oleh penonjolan turbinasi (juga disebut
konka) dari dinding lateral. Rongga hidung dilapisi dengan membran mukosa yang sangat
banyak mengandung vaskuler yang disebut mukosa hidung. Lender di sekresi secara terus
menerus oleh sel-sel goblet yang melapisi permukaan mukosa hidung dan bergerak ke
belakang ke nasofaring oleh gerakan silia.
Hidung bervungsi sebagai saluran untuk mengalir ked an dari paru-paru. Jalan napas
ini berfungsi sebagai penyaring kotorana dan melembabkan dan menghangatkan udara
yang dihirup ked al;am paru-paru. Hidung bertanggung jawab terhadap olfaktori
(penghidu) karena reseptor olfaksi terletak dalam mukosa hidung. Fungsi ini berkurang
sejalan dengan perkembangan usia.
Sinus Paranasal
Sinus-sinus paranasal termasuk empat pasang rongga bertulang yang dilapisi oleh
mukosa hidung dan epitel kolumnar bertingkat semu yang bersilia. Rongga-rongga udara
ini dihubungkan oleh serangkaian duktus yang mengalir kerongga hidung. Sinus-sinus
disebut berdasarkan letaknya yaitu sinus frontalis, etmoidalis, sfenoidalis, dan maksilaris.
Fungsi sinus yang menonjol adalah sebagai bilik peresonansi saat berbicara. Sinus
menjadi tempat umum terjadinya infeksi.
Tulang Turbinasi
Tulang turbinansi atau konka (nama yang ditunjukan oleh penampilannya seperti
siput), mengambil bentuk dan posisi sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan
permukaan membrane mukosa saluran hidung dan untuk sedikit menghambat arus udsara
yang mengalir melaluinya.
Arus udara yang memasuki lubang hidung diarahkan ke arah ddepan ke langit-langit
hidung dan mebgikuti rute sirkulasi sebelum udara mencapai nasofaring. Dalam
perjalanannya udara bersentuhan dengan permukaan membrane mukosa yang luas,
lembab dan hangat yang menangkap partikel-partikel debu dan organisme dalam udara
yang diinhalasi.
Faring, Tonsil, dan Adenoid
Faring atau temggorokan adalah stuktur seperti tuba yang menghubungkan hidung
dan rongga mulut ke laring. Faring dibagi menjadi tiga region : nasal, oral, dan laring.
Nasofaring terletak disebelah posterior hidung dan diatas palatum mole. Orofaring
memuat fausial atau palatin, tonsil. Laringofaring memanjang dari tulang hyoid ke
kartilago krikoid. Pintu masuk laring dibentuk oleh epiglottis.
Adenoid atau tonsil faring terletak didalam langit-langit nasofaring. Tenggorokan
dikelilingi oleh tonsil, adenoid dan jaringan limfoid lainnya. Stuktur ini merupakan
penghung penting ke noddus limfe dagu yang menjaga tubuh dari serangan organism
yang memasuki hidung dan tenggorokan. Fungsi faring adalah untuk menyediakan
saluran pada traktus resoiratorius dan digesti.
B. Definisi
Sinusitis adalah radang sinus paranarsal. Bila terjadi pada beberapa sinus, disebut
multisinusitis, sedangkan bila mengenai seluruhnya disebut pansinusitis. Yang sering
terkena adalah sinus maksila kemudian etmoid, frontal, dan sfenoid. Hal ini disebabkan
sinus maksila adalah sinus yang terbesar, letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar,
dasarnya adalah akar gigi sehingga dapat berasal dari infeksi gigi, adan ostiumnya
terletak di meatus medius, di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga sering
tersumbat.
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal yang dapat terjadi akibat faktor alergi,
infeksi virus, bakteri maupun jamur.

http://www.tanyadokteranda.com/artikel/2007/08/serba-serbi-sinusitis

Sinus atau sering pula disebut dengan sinus paranasalis adalah rongga udara yang
terdapat pada bagian padat dari tulang tenggkorak di sekitar wajah, yang berfungsi untuk
memperingan tulang tenggkorak. Rongga ini berjumlah empat pasang kiri dan kanan.
Sinus frontalis terletak di bagian dahi, sedangkan sinus maksilaris terletak di belakang
pipi. Sementara itu, sinus sphenoid dan sinus ethmoid terletak agak lebih dalam di
belakang rongga mata dan di belakang sinus maksilaris.

http://id.88db.com/id/Knowledge/Knowledge_Detail.page?kid=1022

Sinusitis mencakup proporsi yang tinggi dalam infeksi saluran pernapasan atas. Jika
ostium kedalam saluran nasal bersih, infeksi akan hilang dengan cepat.namun demikain
dengan drainase tersumbat oleh septum yang mengalami penyimpangan atau oleh
turbinasi yang mengalami hipertropi, taji, atau polips, maka sinusitis akan menetap
sebagai pencetus infeksi sekunder atau berkembang menjadi suatu proses supurativa akut.

Menurut Adams, berdasarkan perjalanan penyakitnya terbagi atas :


1. Sinusitis akut, bila infeksi beberapa hari sampai beberapa minggu,
2. Sinusitis sub akut, bila infeksi beberapa minggu sampai beberapa bulan,
3. Sinusitis kronik, bila infeksi beberapa bulan sampai beberapa tahun (menurut
Cauwenberge, bila sudah lebih dari 3 bulan).
Berdasarkan gejala disebut akut bila terdapat tanda-tanda radang akut, subakut bila
tanda akut suidah reda dan perubahan histologik mukosa sinus masih reversible, dan
kronik bila perubahan tersebut sudah ireversibel, misalnya menjadi jaringan granulosi
dan polipoid.

C. Etiologi
Penyebabnya dapat virus, bakteri atau jamur. Menurut Glukaman, kuman penyebab
sinusitis akut tersering adalah Streptokokus pneumonia dan Haemopilus insfluenzae yang
ditemukan pada 70% kasus. Pada sinusitis kronik dapat disebabkan oleh polusi bahan
kimia, alergi, dan defisiensi imunologik menyebabkan sillia rusak, sehingga terjadi
perubahan mukosa hidung. Perubahan ini mempermudah terjadinya infeksi. Terjadi
edema konka yang mengganggu drainase sekret, sehingga sillia rusak, dan seterusnya.
Jika pengobatan pada sinusitis akut tidak adekuat, maka akan terjadi infeksi kronik.

D.
E. Manifestasi Klinis
1. Sinusitis Akut
Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernapasan atas terutama
(pada anak kecil), berupa pilek dan batuk yang lama, lebih dari 7 hari.
Gejala subjektif terbagi atas gejala sistemik, yaitu demam dan rasa lesu, serta gejala
local, yaitu hidung tersumbat,ingus kental yang terkadang berbau dan mengalir ke
nasofaring (post nasl drip), halitosis,sakit kepala yang lebih berat pad pagi hari, nyeri
didaerah sinus yang terkena, serta kadang nyeri alih ke tempat lain. Pada sinusitis
maksila, nyeri terasa dibawah kelopak mata dan kadang menyebar ke alvelolus, hingga
terasa di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan depan telinga. Pada sinusitis etmoid, nyeri
dipanggal hidung dan kantus medius, kadang-kadang nyeri di bola mata dan
belakangnya, terutama bila mata digerakkan. Nyeri alih di pelipis. Pada sinusitis frontal,
nyeri terlokalisasi di daerah dahi atau diseluruh kepala. Pada sinusitis stefoid, rasa nyeri
di verteks, oksipital, retro orbital,dan di stefoid.
Gejala objektif, tampak pembengkakan di daerah muka. Pada sinusitis maksila
terlihatdi pipi dan mata bawah, pada sinusitis frontal terlihat di dahi dan kelopak mata
atas, pada sinusitis etmiod jarang bengkak, kecuali bila ada komplikasi.
Pada rinoskopianterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis
maksila, frontal, dan etmoid anterior tampak mukopus di meatus medius. Pada etmoid
posterior dan pada stefoid, tampak nanah keluar dari meatus superior.
Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).
Pada anak dengan demam tinggi (>39⁰C), ingus purulen, dan sebelumnya menderita
infeksi saluran napas atas, patut dicurigai adanya sinusitis akut, terutama jika tampak
edema periorbital yang ringan. Khusus anak-anak, gejala batuk lebih hebat di siang hari
tetapi terasa angat mengganggu pada malam hari, kadang disertai serangan mengi.
Keluhan sinusitis akut pada anak kurang spesifik dibandingkan dewasa. Anak sering
tidak mengeluh sakit kepala dan nyeri muka. Biasanya yang terlibat hanya sinus makdsila
dan etmoid.
2. Sinusitis Subakut
Sama seperti sinusitis akut, hanya tanda-tanda radang akutnya sudah reda.
Pada rinoskopi anterior tampak secret purulen di meatus medius atau superior. Pada
rinoskopi posterior tampak secret purulen di nasofaring.
3. Sinusitis Kronik
Gejala subjektif bervariasi dai ringan sampai berat,seperti:
a. Gejala hidung dan nasofaring, berupa skret di hidung dan nasofaring. Sekret di
nasofaring secara terus-menerus akan menyebabkan batuk kronik.
b. Gejala faring, berupa ras tidak nyaman di tenggorokan.
c. Gejala telinga, berupa gangguan pendengaran akibat sumbatan tuba eustachius.
d. Nyeri kepala, biasanya pada pagi hari dan berkurang di siang hari. Mungkin
akibat penimbunan ingus dalam rongga hidung dan sinus, serta stasis vena pada
malam hari.
e. Gejala mata, akibat penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.
f. Gejala saluran napas,berupa batuk dan kadang komplikasi di paru.
g. Gejala saluran cerna, dapat terjadi gastroenteritisakibat mukopus yang tertelan.
Hasil pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan tidak terdapat pembengkakan
di muka. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret ketal purulen dari meatus
medinus atau meatus superior. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di
nasofaring atau turun ke tenggorok.

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Sinusitis Akut
Transiluminasi adalah pemeriksaan termudah, meskipun kebenarannya diragukan.
Terutama berguna untuk evaluasi penyembuhan, dan pad wanita hamil, untuk
menghindari bahaya radiasi.
Pemeriksaan foto rontgen yang dibuat, yaitu posisi Waters, posteroanterior (PA), dan
lateral. Dengan posisi ini maka sinusitis akan tampak perselubungan atau penebalan
mukosa dan gambaran air fluid level.
Dapat dilakukan kultur kuman dan uji resisitensi dari sekret rongga hidung.
2. Sinusitis Subakut
Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang skit tampak suram dan gelap.
3. Sinusitis Kronik
Pemeriksaan mikrobiologik biasanya menunjukkan infeksi campuran bermacam-
macam bakteri, kuman anaerob atau lebih sering ditemukan campuran dengan aerob.
Untuk membantu menegakkan diagnosisi dapat dilakukan pemeriksaan transiluminasi
untuk sinus maksila dan sinus frontal, radiologi, pungsi sinus maksila, sinuskopi sinus
maksila, pemeriksaan histopatologi,nasoendoskopi meatus medius dan meatus
superior. Tomografi computer diindikasikan untuk evaluasi sinusitis kronik yang tidak
membaik degan terapi, sinusitis dengan komplikasi, evaluasi preoperative, dan jika ad
dugaan keganasaan. Magnetic resonance imaging (MRI) lebih baik daripada
tomografi computer dalam resolusi jaringan lunak dan sangat baik untuk
membedakan sinusitis baik untk membedakan sinusitis karena jamur, neoplasma, dan
perluasan intrakranialnya, namun resolusi tulang tidak tergambar baik dan harganya
mahal.

G. Komplikasi
Denagn penemuan antibiotaik, komplikasi sinusitis menurun dengan nyata. Biasanya
terjadi pada sinusitis akut dan kronik dengan eksaserbasi akut.
Osteomielitis dan abses superiostal paling sering pada sinusitis frontal dan sering pad
anak-anak. Pada sinusitis maksila dapat timbul fistula oroantral.
Kelainan orbita terjadi akibat sinusitis paranasal yang berdekatan dengan orbita. Yang
paling sering sinusitis etmoid. Penyebaran melalui tromboflebitis atau perkontinuitatum.
Kelainan yang dapat timbul adalah edema palpebra, selulitis orbita, abses orbita, dan
thrombosis sinus kavernosus.
Komplikasi berupa kelainan intracranial, seperti meningitis, abses otak, dan
thrombosis sinus kavernosusdapat timbul.
Juga kelainan paru, seperti bronchitis kronik dan bronkiektasis, yang disebut sebagai
sinobronkitis. Dapat juga timbul asma bronchial.
Bila terdapat tanda-tanda komplikasi ini, maka pasien harus dirujuk dengan segera.
Tanda bahaya lain adalah gejala sinusitis frontal dan sinusitis sphenoid akut yang berat.
Bila akut sinusitis tidak reda dengan pengabatan, terutama bila seranga timbul
masalah lain yang mendasarinya maka sebaiknya pasien juga dirujuk, karena mungkin
diperlukan tindakan pembedahan.

H. Penatalaksanaan
1. Sinusitis Akut
Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik selama 10-14 hari, namun dapat
diperpanjang sampaim semua gejala hilang. Jenis amoksisilin, ampisilin, eritromisin,
seflakor monohidrat, asetil sefuroksim, trimetropim sulfametoksazol, amoksilin-asam
klavulanat, dan klaritroisin telah terbukti secara klinis. Jika dalam 48-72 jam tidak
ada perbaikan klinis, digantio dengan antibiotik untuk kuman yang menghasilkan beta
lactase, yaitu amoksilin atau ampisilin dikombinasi dengan asam klavulanat.
Pemberian antihistamin pada sinus akut tidak dianjurkan, karena merupakan penyakit
infeksi dan dapat menyebabkan sekret menjadi kental damn menghambat drainase
sinus.
Bila perlu diberikan analgesik untuk menghilangkan nyeri : mukolitik untuk
mengencerkan secret, meningkatkan kerja saliva dan merangsang pemecahan fibrin.
Dapat dilakukan irigasi nasal dengan Nacl untuk membantu pemindahan sekret kental
dari sinus ke rongga hidung. Jarang dikerjakan pada anak kecuali jika terapi antibiotik
tidak berhasil atau terancam komplikasi sinusitis.
2. Sinusitis Subakut
Mula-mula di berikan terapi medikamentosa berupa antibiotik yang berspektrum luas,
atau yang sesuai dengan resistensi kuman, selama 10-14 hari. Juga obat simtomasis
berupa dekongestan local (obat tetes hidung) untuk memperlancar drainase, selama 5-
10 hari, karena bila terlalu lama dapat menyebabkan rinitis medikamentosa. Dapat
pula diberikan analgesic, antihistaman, dan mukolitik.
Bila perlu dapat dilakukan diatermi dengan sinar gelombang pendek sebanyak 5-6
kali pada daerah yang sakit untuk memperbaiki vaskularisasi sinus. Jaka belum
membaik dilakukan pencucian sinus. Tindakan intranasal lain yang mungkin perlu
dilakukan agar drainase sekret lancar berdasarkan kelainan yang ada pada pasien
adalah operasi koreksi septum, pengangkatan polip adan konkotomi total atau parsial.
3. Sinusitis Kronik
Terpi medikamentosa memiliki peran yang sangat terbatas karena umumnya
disebabkan obstruksi yang persisten. Diberikan terapi obat-obat simtomasis atau
antibiotic selama 2-4 minggu untuk mengatasi infeksi. Antibiotik yang dipilih
mencakup anaerob seperti penisilin V. Klindamisin atau augmentin merupakan
pilihan yang tepat bila penisilin tidak efektif. Steroid nasal topical seperti
beklometosa berguna sebagai antiinflamasi dan antialergi.
Untuk membantu memperbaiki drainase dan pembersihan secret, dapat dilakukan
fungsi atau antrostomi dan irigasi untuk sinusitis maksila, sedangkan sedangkan
untuk sinusitis etmaid ftontal dan sphenoid adapat dilakukan pencucian Proetz.
Dilakukan 2 kali dalam seminggu. Bila setelah 5atau 6 kali tidak ada perbaikan dan
klinis masih tetap banyak secret purulen, berarti mukosa sinus sudah ireversibel
sehingga perlu dilakukan operasi radikal. Sinuskopi juga dapat dipakai untuk
mengetahui apakah telah terjadi perubahan mukosa sinus.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Hidung dan sinus diperiksa dengan menginfeksi dan palpasi. Untuk pemeriksaan
rutin, cukup digunakan sumber cahaya yang sederhana seperti pena cahaya. Pemeriksaan
yang lebih menyeluru diperlukan spekuluim hidung.
Hidung eksternal diinspeksi terhadap lesi, asimetri, atau inflamasi. Pasien kemudian
diintruksikan untuk mendongakkan kepala kebelakang sementara pemeriksa dengan
perlahan mendorong ujung hidung ke atas untuk memeriksa struktur internal hidung.
Mukosa diinspeksi terhadap warna, pembengkakan, eksudat atau perdarahan. Mukosa
hidung normalnya lebih merah dibandingkan mukosa mulut tetapi dapat tampak sdiduga
bila mukosa tampak pucat dan bengkak.
Septum diinspeksi terhadap deviasi, perforasi, atau perdarahan. Deviasi dalam
tingkatan tertentu diperkirkan terjadi pada kebanyakan orang. Perubahan letak kartilago
actual baik kesisi kiri atau kanan hidung dapat menyebabkan obstuksi hidung, tetapi
deviasi ini biasanya asimptomatis.
Dengan kepala pasien didongakkan kebelakang, pemeriksaan berupaya untuk
menampakkan turbinan inferior dan mediana. Pada renitis kronis, polip hidung dapat
terbentuk antara turbinan inferior dan mediana dibedakan melalui penampakannya yang
abu-abu. Tidak seperti halnya turbinate, polip ini adalah berbentuk gelatin dan dapat di
gerakkan dengan mudah.
Sinus prontalis dan maksilaris dipalpasi terhadap nyeri tekan. Menggunakan ibu jari,
pemeriksa menekan dengan lembut gerakan keatas pada tepi supraorbital (sinus
frontalis). Nyeri tekan pada kedua sisi menunjukan inflamasi. Sinus frontalis dan
maksilaris dapat diinspeksi dengan transiluminasi (menembuskan cahaya kuat melalui
struktur tulang seperti sinus untuk menginspeksi rongga)
B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko tidak efektfnya jalan nafas b.d efek anatesi
2. Resiko devisit volume cairan b.d pendarahan
3. Resiko cedera b.d posisi yang tidak tepat selama pembedahan

C. Rencana keperawatan
1. Resiko tidak efektifnya jalan nafas b.d efek anatesi
Tujuanya: bersihan jalan nafas efektif.

Dengan kreteria hasil:

a. Frekwensi dan kedalaman nafas dalam batas normal


b. Pengurangan kapasitas vital, apnu, sianosis, dan pernafasan yang gaduh

Rencana tindakan:

a. Berkolaborasi dengan dokter anatesi dalam pemasangan ETT


b. Berkolaborasi dengan dokter anatesi dalam pemasangan ventilator dalam
menentukan pemberian obat anatesi
c. Auskultasi suara napas. Dengarkan adanya mur-mur, mengi, crow, dan/atau
keheningan setelah intubasi.
d. Observasi frekuensi dan kedalaman pernapasan, pemakaian otot-otot bantu
pernapasan, perluasan rongga dada, retraksi atau pernapasan cuping hidung,
warna kulit, dan aliran udara.
e. Pantau tanda-tanda vital secara terus-menerus.
f. Letakkan pasien pada posisi yang sesuai, tergantung pada kekeuatan pernapasan
dan jenis pembedahan.
g. Observasi pengembalian fungsi otot, terutama otot-otot pernapasan setelah
pemberian obat-obat relaksasi otot selama intraoperatif.
h. Lakukan tindakan pengisapan lendir jika diperlukan.
2. Resiko defisit volume cairan b.d pendarahan
Tujuan: Keseimbangan cairan dan elektrolit yang adekuat

Dengan keteria hasil:

a. Tanda-tanda vital yang stabil


b. Palpasi denyut nadi dengn kualitas yang baik
c. Turgor kulit normal
d. Membrane mukosa lembab
e. Pengeluaran urin individu yang sesuai

Rencana keperawatan:

a. Ukur dan catat pemasukan dan pengeluaran. Tinjau ulang catatan intraoperasi.
b. Kaji pengeluaran urinarius, terutama untuk tipe prosedur operasi yang dilakukan
c. Pantau tanda-tanda vital
d. Periksa pembalut, alat drain pada interval regular. Kaji luka untuk terjadinya
pembengkakan.
e. Pantau suhu kulit, palpasi denyut perifer
f. Kolaborasi dengan dokter anatesi dalam pemberian cairan parenteral, produksi
darah dan /atau plasma ekspander sesuai petunjuk. Tingkatkan kecepatan IV jika
diperlukan.

3. Resiko cedera b.d posisi yang tidak tepat selama pembedahan


Tujuan: pasien tidak mengalami cedera.

Dengan kriteria hasil:

a. Mengidentifikasi faktor-faktor resiko individu.


b. Meningkatnya keamanan pasien.

Rencana keperawatan:

a. Posisikan pasien sesuai dengan jenis kebutuhan pasien.


b. Lepaskan gigi palsu atau kawat gigi sesuai protocol praoperasi.
c. Singkirkan alat buatan pada praoperasi atau setelah induksi, tergantung pada
perubahan sensori/persepsi dan ketidakseimbangan mobilitas.
d. Lepaskan perhiasan pada masa praoperasi
e. Periksa identitas pasien dan jadwalkan prosedur operasi dengan membandingkan
grafik pasien, pita lengan dan jadwal pembedahan. Pastikan secara verbal nama,
peosedur dan dokter yang tepat.
f. Antisipasi gerakan, jalur dan selang yang tidak berhubungan selama melakukan
pemindahan dan mengamankan atau mendukung mereka pada posisi yang tepat.
g. Amankan pasien pada meja operasi dengan sabuk pengaman pada paha sesuai
kebutuhan, menjelaskan perlunya respren
h. Siapkan peralatan dan bantalan untuk posisi yang dibutuhkan sesuai prosedur
operasi dan kebutuhan spesipik pasien
i. Kolaborasi dengan ahli anatesi dan /atau dokter bedah dalam perubahan posisi
sesuai kebutuhan

D. Evaluasi
Evaluasi yang didapatkan berdasarkan diagnosa diatas adlah sebagai berikut:

Diagnosa resiko tidak efektifnya jalan napas berhubungan dengan efek anstesi
pada waktu perioperatif didapatkan hasil jalan napas adekuat dan tidak terjadi
obstruksi jalan napas. Diagnosa resiko deficit volume cairan berhubungan dengan
pendarahan didapatkan hasil klien tidak mengalami pendarahan. Diagnosa resiko
cedera berhubungan dengan posisi yang tidak tepat pada selama pembedahan
didapatkan hasil pasien tidak mengalami cedera.
DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer, Arif.(2000). Kapita Selekta Kedokeran Ed.3. Jakarta: Media Aesculapius

Smeltzer, Suzanne C.(2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddart,
Ed.8, Vol. I. Jakarta: EGC

http://ilmukeperawatan.com/asuhan_keperawatan_sinusitis.html

http://www.tanyadokteranda.com/artikel/2007/08/serba-serbi-sinusitis

http://id.88db.com/id/Knowledge/Knowledge_Detail.page?kid=1022

Anda mungkin juga menyukai