Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

TETANUS

DI RUANG MELATI II RSUD dr. LOEKMONO HADI KUDUS

Disusun oleh:

NINING SAVITRI

NIM : 62019040043

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS

2019/2020
A. Pengertian Tetanus

Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh
Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat. Tetanus ini biasanya
akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin
merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani. Tetanus disebut juga dengan
"Seven day Disease". Dan pada tahun 1890, diketemukan toksin seperti strichnine, kemudian
dikenal dengan tetanospasmin, yang diisolasi dari tanah anaerob yang mengandung bakteri.
lmunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan pencegahan dari tetanus. Spora
Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh karena terpotong,
tertusuk ataupun luka bakar serta pada infeksi tali pusat (Smeltzer, 2010).
Tetanus adalah suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh eksotoxin yang dihasilkan
oleh clostridium tetani yang ditandai dengan peningkatan kekakuan umum dan kejang-kejang
otot rangka (Mahadewa, 2009).
Tetanus merupakan penyakit akut yang menyerang susunan saraf pusat yang disebabkan
oleh racun tetanospasmin yang dihasilkan oleh Clostridium Tetani. Penyakit ini timbul jika
kuman tetanus masuk ke dalam tubuh melalui luka, gigitan serangga, infeksi gigi, infeksi
telinga, bekas suntikan dan pemotongan tali pusat. Dalam tubuh kuman ini akan berkembang
biak dan menghasilkan eksotoksin antara lain tetanospasmin yang secara umum menyebabkan
kekakuan, spasme dari otot bergaris.

A.2 Klasifikasi Tetanus


Tetanus diklasifikasikan berdasarkan pada menjadi:
1. Tetanus local
2. Tetanus cephalic
3. Tetanus umum
4. Tetanus neonatal
Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat sewaktu proses
pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses pertolongan persalinan yang
tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah terkontaminasi spora C. tetani, maupun
penggunaan obat-obatan untuk tali pusat yang telah terkontaminasi. Kebiasaan menggunakan
alat pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak steril, merupakan faktor yang utama
dalam terjadinya neonatal tetanus.

B. Etiologi Tetanus
Kuman penyebab penyakit tetanus yang dikenal sebagai Clostridium tetani; berbentuk
batang yang langsing dengan ukuran panjang 2–5 um dan lebar 0,3–0,5 um, termasuk gram
positif dan bersifat anaerob. Bakteri ini berspora, dijumpai pada tinja binatang terutama kuda,
juga bisa pada manusia dan juga pada tanah yang terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut.
Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka seseorang
atau bersamaan dengan benda daging atau bakteri lain, ia akan memasuki tubuh penderita
tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin.
Clostridium tetani dapat dibedakan dari tipe lain berdasarkan flagella antigen. Kuman
tetanus ini membentuk spora yang berbentuk lonjong dengan ujung yang butat, khas seperti
batang korek api (drum stick) Sifat spora ini tahan dalam air mendidih selama 4 jam, obat
antiseptik tetapi mati dalam autoclaf bila dipanaskan selama 15–20 menit pada suhu 121°C. Bila
tidak kena cahaya, maka spora dapat hidup di tanah berbulan–bulan bahkan sampai tahunan.
Juga dapat merupakanflora usus normal dari kuda, sapi, babi, domba, anjing, kucing, tikus, ayam
dan manusia. Spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif dalam anaerob dan kemudian
berkembang biak. Bentuk vegetatif tidak tahan terhadap panas dan beberapa antiseptic.
Kuman tetanus tumbuh subur pada suhu 17°C dalam media kaldu daging dan media agar
darah. Demikian pula dalam media bebas gula karena kuman tetanus tidak dapat
mengfermentasikan glukosa. Kuman tetanus tidak invasif. tetapi kuman ini memproduksi 2
macam eksotoksin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmis merupakan protein
dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air labil pada panas dan cahaya, rusak dengan
enzim proteolitik. tetapi stabil dalam bentuk murni dan kering. Tetanospasmin disebut juga
neurotoksin karena toksin ini melalui beberapa jalan dapat mencapai susunan saraf pusat dan
menimbulkan gejala berupa kekakuan (rigiditas), spasme otot dan kejang–kejang. Tetanolisin
menyebabkan lisis dari sel–sel darah merah.

C. Tanda dan Gejala Tetanus


Adapun tanda dan gejala dari penyakit tetanus, antara lain:
1. Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5-7 hari.
2. Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekuensinya
3. Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
4. Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari leher. Kemudian
timbul kesukaran membuka mulut (trismus, lockjaw) karena spasme otot masetter.
5. Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk (opistotonus, nuchal rigidity)
6. Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik keatas, sudut
mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat.
7. Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai dengan
eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik.
8. Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin,
bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis (pada anak).
Sebagai tanda-tanda permulaan timbul kejang otot sekitar luka, gelisah, lemah, cemas,
mudah tersinggung dan sakit kepala. Kemudian diikuti nyeri dan kaku rahang, perut dan
punggung yang mengeras dan kesukaran untuk menelan. Gambaran yang spesifik adalah
kekakuan dan kejang otot. Kekakuan mengenai 3 group utama yaitu: masseter, otot-otot perut
dan otot-otot punggung. Penderita selalu sadar penuh. Gejala-gejala sistemik dapat timbul,
seperti panas akibat sepsis dan ini memberi prognosa yang jelek. Tekanan darah menunjukkan
fluktuasi, juga sering takhikardi dan keringat banyak. Untuk menilai gradasi banyak cara bisa
digunakan seperti Phillip`s score dan klasfikasi menurut Owen Smith, MS (Emergency Surgery,
2012).
Tanda-gejala tetanus berdasarkan klasifikasi penyakit tetanus adalah sebagai berikut:
a. Localized tetanus
Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah tempat
dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah merupakan tanda dari tetanus
lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa
progressif dan biasanya menghilang secara bertahap. Lokal tetanus ini bisa berlanjut
menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan
kematian. Bisa juga lokal tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau
dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis
antitoksin.
b. Cephallic tetanus
Cephallic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar 1-2 hari,
yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India), luka pada daerah muka
dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung.
Merupakan salah satu varian tetanus lokal. Terjadinya bentuk ini bila luka mengenai daerah
mata, kulit kepala, muka, telinga, leper, otitis media kronis dan jarang akibat tonsilectomi.
Gejala berupa disfungsi saraf loanial antara lain: N. III, IV, VII, IX, X, XI, dapat berupa
gangguan sendiri-sendiri maupun kombinasi dan menetap dalam beberapa hari bahkan
berbulan-bulan. Tetanus cephalic dapat berkembang menjadi tetanus umum. Pada umumnya
prognosa bentuk tetanus cephalic jelek.
c. Generalized tetanus
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang tidak dikenal
beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam. Trismus merupakan
gejala utama yang sering dijumpai (50 %), yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot
masseter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk
dan kesulitan menelan.
Gejala lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka,
opistotonus (kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-
otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi
disuria dan retensi urine, kompressi fraktur dan pendarahan didalam otot. Kenaikan
temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa mencapai 40 oC. Bila dijumpai
hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan dijumpai takhikardia, penderita
biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis.
Menurut berat ringannya tetanus umum dapat dibagi atas:
1) Tetanus ringan: trismus positif dan lebih dari 3 cm, tidak disertai kejang umum walaupun
dirangsang, masa inkubasi lebih dari 14 hari, period of onset >6 hari, sukar makan dan
minum tetapi disfagia tidak ada, dan lokalisasi kekakuan dekat dengan luka berupa
spasme disekitar luka dan kekakuan umum terjadi beberapa jam atau hari.
2) Tetanus sedang: trismus kurang dari 3 cm dan disertai kejang umum bila dirangsang,
masa inkubasi 10-14 hari, period of onset 3 hari atau kurang, trismus ada dan disfagia
ada, serta kekakuan umum terjadi dalam beberapa hari tetapi dispnoe dan sianosis tidak
ada
3) Tetanus berat: trismus kurang dari 1 cm dan disertai kejang umum yang spontan, masa
inkubasi <10 hari, period of onset 3 hari atau kurang, trismus berat, disfagia berat, dan
kekakuan umum dan gangguan pernapasan asfiksia, ketakutan, keringat banyak dan
takikardi

D. Patofisiologi Tetanus
Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang terkontaminasi
dengan debu, tanah, tinja binatang, pupuk. Cara masuknya spora ini melalui luka yang
terkontaminasi antara lain luka tusuk (oleh besi: kaleng), luka bakar, luka lecet, otitis media,
infeksi gigi, ulkus kulit yang kronis, abortus, tali pusat, kadang–kadang luka tersebut hampir tak
terlihat. Pandi dkk (2010) melaporkan bahwa 70% pada telinga sebagai port d’entree, sedangkan
beberapa peneliti melaporkan bahwa porte d'entree melalui telinga hanya 6,5%. Bila keadaan
menguntungkan di mana tempat luka tersebut menjadi hipaerob sampai anaerob disertai
terdapatnya jaringan nekrotis, lekosit yang mati, benda–benda asing maka spora berubah
menjadi vegetatif yang kemudian berkembang. Kuman ini tidak invasif. Bila dinding sel kuman
lisis maka dilepaskan eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada beberapa level dari
susunan syaraf pusat, dengan cara:
1. Tobin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat pelepasan
acethyl-choline dari terminal nerve di otot.
2. Karakteristik spasme dari tetanus (seperti strichmine) terjadi karena toksin mengganggu
fungsi dari refleks synaptik di spinal cord.
3. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral ganglioside.
4. Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System (ANS) dengan
gejala: berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti takikhardia, aritmia jantung,
peninggian cathecholamine dalam urine. (Smeltzer, 2010)
Kerja dari tetanospamin analog dengan strychninee, dimana ia mengintervensi fungsi dari
arcus refleks yaitu dengan cara menekan neuron spinal dan menginhibisi terhadap batang otak.
Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan meningkatnya
aktifitas dari neuron yang mensarafi otot masetter sehingga terjadi trismus. Oleh karena otot
masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap
afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi
agonis dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas.
Tetanospasmin sangat mudah mudah diikat oleh saraf dan akan mencapai saraf melalui dua
cara.
a. Secara lokal: diabsorbsi melalui mioneural junction pada ujung-ujung saraf perifer atau
motorik melalui axis silindrik kecornu anterior susunan saraf pusat dan susunan saraf perifer.
b. Toksin diabsorbsi melalui pembuluh limfe lalu ke sirkulasi darah untuk seterusnya susunan
saraf pusat.
Aktivitas tetanospamin pada motor end plate akan menghambat pelepasan asetilkolin, tetapi
tidak menghambat alfa dan gamma motor neuron sehingga tonus otot meningkat dan terjadi
kontraksi otot berupa spasme otot. Tetanospamin juga mempengaruhi sistem saraf simpatis pada
kasus yang berat, sehingga terjadi overaktivitas simpatis berupa hipertensi yang labil, takikardi,
keringat yang berlebihan dan meningkatnya ekskresi katekolamin dalam urine. Tetanospamin
yang terikat pada jaringan saraf sudah tidak dapat dinetralisir lagi oleh antitoksin tetanus.
Tetanospasmin yang merupakan zincdependent endopeptidase memecah vesicleassociated
membrane protein II (VAMP II atau synaptobrevin) pada suatu ikatan peptida tunggal. Molekul
ini penting untuk pelepasan neurotransmiter di sinaps, sehingga pemecahan ini mengganggu
transmisi sinaps.
Toksin awalnya mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah pelepasan glisin dan γ-amino
butyric acid (GABA). Pada saat interneuron menghambat motor neuron alpha juga terkena
pengaruhnya, terjadi kegagalan menghambat refleks motorik sehingga muncul aktivitas saraf
motorik tak terkendali, mengakibatkan peningkatan tonus dan rigiditas otot berupa spasme otot
yang tiba-tiba dan potensial merusak. Hal ini merupakan karakteristik tetanus. Otot wajah
terkena paling awal karena jalur axonalnya pendek, sedangkan neuron-neuron simpatis terkena
paling akhir, mungkin akibat aksi toksin di batang otak. Pada tetanus berat, gagalnya
penghambatan aktivitas otonom menyebabkan hilangnya kontrol otonom, aktivitas simpatis
yang berlebihan dan peningkatan kadar katekolamin. Ikatan neuronal toksin sifatnya irreversibel,
pemulihan membutuhkan tumbuhnya terminal saraf yang baru, sehingga memanjangkan durasi
penyakit ini.
Manisfestasi klinis tetanus yang timbul adalah sebagai akibat pengaruh toksin pada susunan
saraf pusat, toksin menghambat synapsis cholinergik perifer, menurunkan pengeluaran
acetilcholin dan mengganggu saraf syimpatis. Bila sembuh tetanus tidak meninggalkan kelainan
neurologis (Mahadewa, 2009).
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium kurang menunjang dalam diagnosis. Pada pemeriksaan darah
rutin tidak ditemukan nilai-nilai yang spesifik; lekosit dapat normal atau dapat meningkat.
2. Pemeriksaan mikrobiologi
Bahan diambil dari luka berupa pus atau jaringan nekrotis kemudian dibiakkan pada kultur
agar darah atau kaldu daging. Tetapi pemeriksaan mikrobiologi hanya pada 30% kasus
ditemukan Clostridium tetani.
3. Pemeriksaan cairan serebrospinalis dalam batas normal, walaupun kadang-kadang
didapatkan tekanan meningkat akibat kontraksi otot.
4. Pemeriksaan elektroensefalogram adalah normal dan pada pemeriksaan elektromiografi
hasilnya tidak spesifik

F. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Farmakologis
a. Pengobatan Umum
1) Isolasi penderita untuk menghindari rangsangan dan ruangan perawatan harus tenang.
2) Perawatan luka dengan Rivanol, Betadin, H202.
3) Bila perlu diberikan oksigen dan kadang-kadang diperlukan tindakan trakeostomi
untuk menghindari obstruksi jalan napas.
4) Jika banyak sekresi pada mulut akibat kejang atau penumpukan saliva maka
dibersihkan dengan pengisap lendir
5) Makanan dan minuman melalui sonde lambung. Bahan makanan yang mudah dicerna
dan cukup mengandung protein dan kalori
b. Pengobatan Khusus
1) Anti-tetanus toksin
Selama infeksi, toksin tetanus beredar dalam 2 bentuk:
a) Toksin bebas dalam darah
b) Toksin yang bergabung dengan jaringan saraf.
Yang dapat dinetralisir oleh antitoksin adalah toksin yang bebas dalam darah.
Sedangkan yang telah bergabung dengan jaringan saraf tidak dapat dinetralisir oleh
antitoksin. Sebelum pemberian antitoksin harus dilakukan:
a) Anamnesa apakah ada riwayat alergi
b) Tes kulit dan mata
c) Harus selalu sedia Adrenalin 1:1.000
Ini dilakukan karena antitoksin berasal dari serum kuda, yang bersifat heterolog
sehingga mungkin terjadi syok anafilaksis.
Tes mata
Pada konjungtiva bagian bawah diteteskan 1 tetes larutan antitoksin tetanus 1:10
dalam larutan garam faali, sedang pada mata yang lain hanya ditetesi garam faali. Positif
bila dalam 20 menit, tampak kemerahan dan bengkak pada konjungtiva.
Tes kulit
Suntikan 0,1 cc larutan 1/1000 antitoksin tetanus dalam larutan faali secara
intrakutan. Reaksi positif bila dalam 20 menit pada tempat suntikan terjadi kemerahan
dan indurasi lebih dari 10 mm.
Bila tes mata dan kulit keduanya positif, maka antitoksin diberikan secara bertahap.
Dosis ATS yang diberikan 50.000–100.000u yang diberikan setengah lewat intravena
dan setengahnya intramuskuler. Pemberian lewat intravena diberikan dengan cara
melarutkannya dalam 100-200 cc glukosa 5% dan diberikan selama 1-2 jam.
2) Antikonvulsan atau sedatif
Obat–obat ini digunakan untuk merelaksasi otot dan mengurangi kepekaan jaringan
saraf terhadap rangsangan. Obat yang ideal dalam penanganan tetanus ialah obat yang
dapat mengontrol kejang dan menurunkan spastisitas tanpa mengganggu pernapasan,
gerakan–gerakan volunter atau kesadaran.
Obat-obat yang lazim digunakan ialah diazepam. Bila penderita datang dalam
keadaan kejang maka diberikan dosis 0,5 mg/kg.bb/kali i.v. perlahan-lahan dengan dosis
optimum 10 mg/kali diulangi setiap kali kejang.
3) Antibiotik
- Penisilin Prokain
Digunakan untuk membasmi bentuk vegetatif Clostridium Tetani. Dosis: 50.000
u/kg.BB/hari i.m selama 10 hari atau 3 hari setelah panas turun. Dosis optimal
600.000 u/hari.
- Tetrasiklin dan Eritromisin Diberikan terutama bila penderita alergi terhadap
penisilin.
Tetrasiklin: 30–50 mg/kg.BB/hari dalam 4 dosis.
Eritromisin: 50 mg/kg.BB/hari dalam 4 dosis, selama 10 hari.
4) Oksigen bila terjadi sianosis
5) Trakeostomi
Dilakukan pada penderita tetanus jika terjadi: spasme berkepanjangan dari otot
respirasi, tidak ada kesanggupan batuk atau menelan, obstruksi larings, dan koma.
2. Penatalaksanaan Nonfarmakologis
Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut
dan menelan. Hila ada trismus, makanan dapat diberikan personde atau parenteral.
Clinical Pathway

MK: Risiko
MK: Ketidaefektifan
ketidaefektifan perfusi
perfusi jaringan
jaringan serebral
MK: MK: perifer
Ketidakseimbanga Ketidaefektifan
pola nafas Suplai oksigen
Penurunan
ke
n nutrisi: kurang
otak berkurang
kesadaran
dari kebutuhan
G. Pengkajian
a. Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan keluarga membawa klien untuk meminta
pertolongan kesehatan adalah panas badan tinggi, kejang, dan penurunan tingkat
kesadaran.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Faktor riwayat penyakit sangat penting di ketahui karena untuk mengetahui predisposisi
penyebab sumber luka. Disini harus di tanya dengan jelas tentang gejala yang timbul
seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Keluhan kejang perlu
mendapat perhatian untuk di lakukan pengkajian lebih mendalam, bagaimana sifat
timbulnya kejang, stimulus apa yang sering menimbulkan kejang, dan tindakan apa yang
telah di berikan dalam upaya menurunkan keluhan kejang tersebut.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran di hubungkan dengan toksin
tetanus yang mengimplamasi jaringan otak. Keluhan perubahan perilaku juga umum
terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsip, dan koma.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah di alami klien yang memungkinkan adanya hubungan
atau  menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernah kah klien mengalami tubuh
terluka dan luka tusuk yang dalam misalnya tertusuk paku, pecahan kaca, terkenaa kaleng,
atau luka yang menjadi kotor; karena terjatuh di tempat yang kotor dan terluka atau
kecelakaan dan timbul luka yang tertutup debu/kotoran juga luka bakar dan patah tulang
terbuka. Adakah porte d’entree lainnya seperti luka gores yang ringan kemudian menjadi
bernanah dan gigi berlubang di koreng dengan benda yang kotor.
d. Pemeriksaan Fisik Body System
1) B1 (Breath)
Inspeksi : klien batuk, produksi sputum bagaimana, pengembangan dada simetris,
penggunaan otot bantu pernafasan (+), pernafasan cuping hidung (-),
irama nafas cepat (takipnea), RR di atas batas normal (>16-20x/menit).
Klien dengan tetanus akan mengalami peningkatan RR akibat suplai O2
ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan tubuh tidak adekuat, sehingga
klien akan melakukan upaya kompensasi dengan meningkatkan
frekuensi pernafasan untuk memenuhi kebutuhan oksigen tubuh.
Palpasi : tidak teraba massa atau benjolah di daerah dada, vocal fremitus teraba
jelas di lapang paru kanan-kiri
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru: ICS ke-1 hingga ICS ke-6 di seluruh lobus
paru
Auskultasi :  Ada bunyi nafas tambahan ronchi di akhir pernapasan sebagai
komplikasi dari tetanus akibat kemampuan batuk klien menurun
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan syok hipovelemik yang sering
terjadi pada klien tetanus. TD biasnya normal, peningkatan heart rate, adanya anemis
karena adanya hancurnya eritrosit.
3) B3 (Brain)
a) Kesadaran klien biasanya kompos mentis. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran
klien tetanus mengalami penurunan pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa.
Apabila klien sudah mengalami koma maka penilaian GCS sangat penting untuk
menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk monitoring pemberian
asuhan.
b) Status mental: obsevasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara
klien dan observasi ekspresi wajah dan aktifitas motorik yang pada klien tetanus
tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan.
c) Pemeriksaan saraf kranial
- Saraf I. Biasanya pada klien tetanus tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak
ada kelainan.
- Saraf II. Tes ketajaman pengelihatan pada kondisi normal
- Saraf III,IV,VI. Dengan alasan yang tidak di ketahui, klien tetanus mengeluh
mengalami fotophobia atau sensitif yang berlebihan terhadap cahaya. Respons
kejang umum akibat stimulus rangsang cahaya perlu di perhatikan perawat untuk
memberikan intervensi menurunkan stimulus cahaya tersebut.
- Saraf V. Refleks masester menigkat. Mulut mencucu seperti mulut ikan (ini adalah
gejala khas pada tetanus).
- Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.
- Saraf VIII. Tidak di temukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
- Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka mulut
(trismus).
- Saraf  XI. Di dapatkan kaku kuduk. Ketegangan otot rahang dan leher (mendadak)
- Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada pasikulasi.
Indra pengecapan normal.
d) Kekuatan otot
Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan kordinasi pada tetanus tahap
lanjut mengalami perubahan.
e) Pemeriksaan reflek
Pemeriksaan reflek dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau periusteum
derajat reflek pada respon normal.
f) Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, Tic dan distonia. Pada keadaan tertentu klien
mengalami kejang umum, terutama pada anak yang tetanus disertai peningkatan
suhu tubuh yang tinggi. Kejang berhubungan sekunder akibat area fokal kortikal
yang peka.
g) Sistem sensori
Pemeriksaan sensorik pada tetanus biasanya di dapatkan perasaan raba normal,
perasaan nyeri normal. Perasaan suhu normal. Tidak ada perasaan abnormal di
permukaan tubuh. Perasaan proprioseftif normal dan perasaan diskriminatif normal.
4) B4 (Bladder)
Penurunan volume haluaran urin berhubungan dengan penurunan perpusi dan
penurunan curah jantung ke ginjal. Adanya retensi urin karena kejang umum. Pada
klien yang sering kejang sebaiknya pengeluaran urine dengan menggunakan kateter.
5) B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung.
Pemenuhan nutrisi pada klien tetanus menurun karena anoreksia dan adanya kejang,
kaku dinding perut (perut papan) merupakan tanda khas dari tetanus. Adanya spasme
otot menyebabkan kesulitan BAB.

6) B6 (Bone)
Adanya kejang umum sehingga mengganggu mobilitas klien dan menurunkan
aktivitas sehari-hari. Perlu dikaji apabila klien mengalami patah tulang terbuka yang
memungkinkan menjadi port de entrée kuman Clostridium tetani, sehingga
memerlukan perawatan luka yang optimal. Adanya kejang memberikan resiko raktur
pertibra pada bayi, ketegangan, dan spasme otot pada abdomen.
H. Masalah Keperawatan
1. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan suplai oksigen ke otak
menurun
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas akibat
peningkatan sekresi mucus
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi
4. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan suplai oksigen ke perifer
inadekuat
Intervensi Keperawatan
No
Masalah Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
.
1 Risiko ketidakefektifan perfusi NOC:
jaringan serebral berhubungan Setelah dilakukan tindakan 1) Monitor TTV
dengan penurunan suplai keperawatan selama ..x 24 jam 2) Monitor AGD, ukuran
oksigen di otak klien mampu mencapai pupil, ketajaman,
keefektifan perfusi jaringan kesimetrisan dan reaksi
serebral dengan kiteria hasil: 3) Monitor adanya diplopia,
1) Tekanan systole dan diastole pandangan kabur, nyeri
dalam rentang yang kepala
diharapkan 4) Monitor level
2) Tidak ada hipertensi ortostati kebingungan dan orientasi
3) Menunjukkan konsentrasi 5) Monitor tonus otot
dan orientasi pergerakan
4) Pupil seimbang dan reaktif 6) Pertahankan parameter
5) Bebas dari aktivitas kejang hemodinamik
6) Tidak mengalami nyeri 7) Tinggikan kepala 0-45
kepala derajat tergantung pada
konsisi pasien dan order
medis.
2 Ketidakefektifan bersihan jalan NOC : 1. Kaji fungsi paru, adanya
nafas berhubungan dengan Respiration status (Ventilation) bunyi napas tambahan,
obstruksi jalan nafas akibat Airway patency perubahan irama dan
peningkatan produksi mukus kedalaman, penggunaan
Setelah dilakukan asuhan otot-otot aksesori, warna,
keperawatan selama ....x24 jam, dan kekentalan sputum
bersihan jalan napas kembali 2. Ajarkan cara batuk efektif
efektif 3. Lakukan fisioterapi dada,
Kriteria hasil: vibrasi dada
1) secara subjektif sesak napas 4. Penuhi hidrasi cairan via
(-), RR 16-20x/ menit oral seperti minum air
2) Tidak menggunakan otot putih dan pertahankan
bantu napas, retraksi intake cairan 2500 ml/hari
ICS(-), ronkhi(-/-), 5. Lakukan pengisapan
mengi(-/) lendir/suction pada jalan
3) Dapat mendemonstrasikan napas
cara batuk efektif. 6. Berikan oksigen sesuai
kebutuhan
3 Ketidakefektifan pola nafas NOC: NIC:
berhubungan dengan Setelah dilakukan tidakan Airway Management
hiperventilasi keperawatan selama 1x24 jam, a. Kaji kepatenan jalan nafas
pola nafas kembali efektif pasien
Kriteria hasil: b. Auskultasi suara nafas,
a. RR dalam batas normal (15- catat adanya suara
20x/menit tambahan
b. Irama nafas normal c. Posisikan pasien untuk
c. Tidak ada tanda sianosis memaksimalkan ventilasi
d. Pengembangan dada simetris d. Monitor respirasi dan
status O2
e. Anjurkan klien untuk
minum air hangat
f. Kolaborasi dalam
pemberian obat
bronkodilator dan
mukolitik
4 Ketidakefektifan perfusi NOC: 1. Monitor frekuensi dan
jaringan perifer berhubungan Setelah dilakukan tindakan irama jantung
dengan suplai oksigen ke perifer keperawatan selama 3x24 jam 2. Observasi perubahan
inadekuat pasien menunjukkan perfusi status mental
jaringan membaik kreiteria 3. Observasi warna dan
hasil: suhu kulit atau
a. Daerah perifer hangat membran mukosa
b. Tidak ada tanda-tanda 4. Ukur haluaran urin dan
sianosis catat berat jenisnya
c. gambaran EKG tak
5. Kolaborasi : Berikan
menunjukan perluasan infark
cairan IV l sesuai
d. RR 16-24 x/ menit
indikasi
e. tak terdapat clubbing finger
f. kapiler refill 3-5 detik
6. Pantau Pemeriksaan
diagnostik atau dan
g. nadi 60-100x / menit
laboratorium mis EKG,
h. TD 100-140 mmHg
elektrolit, GDA ( Pa O2,
Pa CO2 dan saturasi O2).
Dan Pemberian oksigen
7. Ajarkan ROM
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek G.M., Butcher H.K., Dochterman J.M., Wagner C. 2013. Nursing Interventions
Classifications (NIC). 6th edition. Mosby: Elsevier Inc.

Gleadle, J. 2007. At a Glance: Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Herdman, T. H. 2015. Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi 2015-2017. Jakarta: EGC.

Capernito, Lynda Juall. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.

Arif, Mansjoer, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3. Jakarta. Medica Aesculpalus,
FKUI.

Moorhead S., Johnson M., Maas M.L., Swanson E. 2013. Nursing Outcomes Classifications
(NOC): Measurement of Health Outcomes. 5th edition. Mosby: Elsevier Inc.

Price & Wilson. 2012. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC

Smeltzer, S. Bare, B. Hinkle, J. & Cheever, K. 2010. Brunner & Suddarth’s Textbook of
Medical Surgical Nursing. 11th edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Sukandar, E., 2006. Neurologi Klinik. Edisi ketiga. Bandung: Pusat Informasi Ilmiah (PII)
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD.

Waugh, A., Grant A. 2014. Ross and Wilson Anatomy & Physiology in Health and Illness. 12th
edition. Churchill Livingstone: Elseiver (China) Ltd.

Anda mungkin juga menyukai