A. Definisi
B. Etiologi
D. Klasifikasi
E. Pemeriksaan Diagnostik
a. EKG: interval CT memanjang karena segment ST. Bentuk takikardi
ventrikuler (Torsaderde pointters)
b. Sinar X tulang tampak peningkatan denitas foto Rontgen pada jaringan
subkutan atau basas ganglia otak menunjukkan klasifikasi.
c. Pemeriksaan darah
Glukosa : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N < 200 mq/dl)
Darah
BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi
nepro
toksik akibat dari pemberian obat.
Elektroli : K, Na, Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang,
t Kalium (N 3,80 – 5,00 meq/dl), Natrium (N 135 – 144 meq/dl )
EEG : Teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang
utuh untuk mengetahui fokus aktivitas kejang, hasil biasanya normal.
F. Penatalaksanaan
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan
peredaran toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan
sampai pulih. Dan tujuan tersebut dapat diperinci sebagai berikut :
1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa: -membersihkan
luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik),membuang
benda asing dalam luka serta kompres dengan H202 ,dalam hal ini
penatalaksanaan, terhadap luka tersebut dilakukan 1 -2 jam setelah ATS
(anti tetanus) dan pemberian Antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS.
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung
kemampuan membuka mulut dan menelan. Hila ada trismus, makanan
dapat diberikan personde atau parenteral.
3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap
penderita.
4. Oksigen, pernafasan buatan dan trachcostomi bila perlu.
5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
6. Berantas kejang
a. Hindari rangsang, kamar terang/silau, suasana tenang\
b. Preparat anti kejang
c. Barbiturat dan Phenotiazim
- Sekobarbital/Pentobarbital 6-10 mg/kg BB IM jika perlu tiap 2 jam
untuk optimum level, yaitu pasien tenag setengah tidur tetapi berespon
segera bila dirangsang.
- Chlorpromazim efektif terhadap kejang pada tetanus
- Diazepam 0,1-0,2 mg/kg BB/3-6 jam IV kalau perlu 10-15 mg/kg BB/24
jam: mungkin 2-6 minggu
7. Terapi suportif
a. Hindari rangsang suara, cahaya, manipulasi yang merangsang
b. Perawatan umum, oksigen
c. Bebas jalan napas dari lendir, bila perlu trakeostomi
d. Diet TKTP yang tidak merangsang, bila perlu nutrisi parenteral, hindari
dehidrasi. Selama pasase usus baik, nutrisi interal merupakan pilihan
selain berfungsi untuk mencegah atropi saluran cerna.
e. Kebersihan mulut, kulit, hindari obstipasi, retensi urin.
2. PROSES KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Biodata Identitas pasien : nama, umur, tanggal lahir, jenis kelamin, alamat,
tanggal masuk, tanggal pengkajian, diagnosa medik, rencana terapi
Riwayat kesehatan sekarang
Keluhan utama. Keluhan utama yang sering menjadi alasan kien atau orang
tua membawa anaknya untuk meminta pertolongan kesehatan adalah panas
badan tinggi, kejang, dan penurunan tingkat kesadaran.
Faktor riwayat penyakit sangat penting di ketahui karena untuk
mengetahui predisposisi penyebab sumber luka. Disini harus di tanya dengan
jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau
bertambah buruk. Keluhan kejang perlu mendapat perhatian untuk di lakukan
pengkajian lebih mendalam, bagaimana sifat timbulnya kejang, stimulus apa
yang sering menimbulkan kejang, dan tindakan apa yang telah di berikan
dalam upaya menurunkan keluhan kejang tersebut.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran di hubungkan
dengan toksin tetanus yang mengimplamasi jaringan otak. Keluhan perubahan
perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi
letargi, tidak responsip, dan koma.
Riwayat kesehatan Dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah di alami klien yang memungkinkan
adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi perna
klien mengalami tubuh terluka dan luka tusuk yang dalam misalnya tertusuk
paku, pecahan kaca, terkenaa kaleng, atau luka yang menjadi kotor; karena
terjatuh di tempat yang kotor dan terluka atau kecelakaan dan timbul luka
yang tertutup debu/kotoran juga luka bakar dan patah tulang terbuka. Adakah
porte d’entree lainnya seperti luka gores yang ringan kemudian menjadi
bernanah dan gigi berlubang di koreng dengan benda yang kotor.
Riwayat kesehatan keluarga
Kebiasaan perawatan luka dengan menggunakan bahan yang kurang
aseptic dan bersih.
Pengkajian Umum
Setelah melakukan anamesis yang mengarah pada keluhan klien,
pemriksaaan fisik sangat berguna untuk mendukung dari pengkajian
anamesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (B1-B6) dengan
fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan di
hubungkan dengan keluhan keluhan dari klien.
Pada klien tetanus biasanya di dapatkan peningkatan suhu tubuh lebih
dari normal 38-40 0C. Keadaan ini biasanya dihubungkan dengan proses
implamasi dan toksin tetanus yang sudah mengganggu pusat pengatur suhu
tubuh. Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan penurunan perfusi jaringan
otak. Apabila disertai peninhkatan frekuensi pernafasan sering berhubungan
dengan peningkatan laju metabilisme umum. TD biasanya normal.
a. B1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien batuk, prodoksi sputum, sesak nafas,
penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi pernafasan yang
sering didapatkan pada klien tetanus yang disertai adanya ketidak efektifan
bersihan jalan nafas. Palpasi thorak didapatkan taktil premitus seimbang
kanan dan kiri. Auskultasi bunyi nafas tambahan seperti ronkhi pada klien
dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang meurun.
b. B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan syok
hipovelemik yang sering terjadi pada klien tetanus. TD biasnya normal,
peningkatan heart rate, adanya anemis karena adanya hancurnya eritrosit.
c. B3 (brain)
Pengkajian B3 merupakan pemriksaan fokus dan lebih lengkap di
bandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
1. Tingkat kesadaran (GCS) : Kesadaran klien biasanya kompos mentis.
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien tetanus mengalami
penurunan pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Apabila
klien sudah mengalami koma maka penilaian GCS sangat penting
untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk
monitoring pemberian asuhan.
2. Fungsi serebri, Status mental: obsevasi penampilan klien dan tingkah
lakunya, nilai gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah dan
aktifitas motorik yang pada klien tetanus tahap lanjut biasanya status
mental klien mengalami perubahan.
3. Pemeriksaan saraf kranial
Saraf I. Biasanya pada klien tetanus tidak ada kelainan dan fungsi
penciuman tidak ada kelainan.
Saraf II. Tes ketajaman pengelihatan pada kondisi normal
Saraf III,IV,VI. Dengan alasan yang tidak di ketahui, klien tetanus
mengeluh mengalami fotophobia atau sensitif yang berlebihan
terhadap cahaya. Respons kejang umum akibat stimulus rangsang
cahaya perlu di perhatikan perawat untuk memberikan intervensi
menurunkan stimulus cahaya tersebut.
Saraf V. Refleks masester menigkat. Mulut mencucu seperti mulut
ikan (ini adalah gejala khas pada tetanus).
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.
Saraf VIII. Tidak di temukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi
Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran
membuka mulut (trismus).
Saraf XI. Di dapatkan kaku kuduk. Ketegangan otot rahang dan
leher (mendadak)
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak
ada pasikulasi. Indra pengecapan normal.
4. System motorik : Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan
kordinasi pada tetanus tahap lanjut mengalami perubahan.
5. Pemeriksaan reflek :Pemeriksaan reflek dalam, pengetukan pada
tendon, ligamentum, atau periusteum derajat reflek pada respon
normal.
6. Gerakan involunter : Tidak ditemukan adanya tremor, Tic dan
distonia. Pada keadaan tertentu klien mengalami kejang umum,
terutama pada anak yang tetanus disertai peningkatan suhu tubuh yang
tinggi. Kejang berhubungan sekunder akibat area fokal kortikal yang
peka.
7. System sensori : Pemeriksaan sensorik pada tetanus biasanya di
dapatkan perasaan raba normal, perasaan nyeri normal. Perasaan suhu
normal. Tidak ada perasaan abnormal di permukaan tubuh. Perasaan
proprioseftif normal dan perasaan diskriminatif normal.
d. B 4 (BLADER)
Penurunan volume haluaran urin berhubungan dengan penurunan
perpusi dan penurunan curah jantung ke ginjal. Adanya retensi urin karena
kejang umum. Pada klien yang sering kejang sebaiknya pengeluaran urine
dengan menggunakan kateter.
e. B 5 (BOWEL )
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi
asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien tetanus menurun karena
anoreksia dan adanya kejang, kaku dinding perut (perut papan) merupakan
tanda khas dari tetanus. Adanya spasme otot menyebabkan kesulitan BAB.
f. B 6 (BONE)
Adanya kejang umum sehingga mengganggu mobilitas klien dan
menurunkan aktivitas sehari-hari. Perlu dikaji apabila klien mengalami
patah tulang terbuka yang memungkinkan por de entrée kuman
Clostridium tetani , sehingga memerlukan perawatan luka yang optimal.
Adanya kejang memberikan resiko pada praktur pertibra pada bayi,
ketegangan, dan spasme otot pada abdomen.
Spasme otot
-
Kekakuan otot-otot Timbul gejala Otot gerak/ekstremitas
maseter kejang -
-
Kehilangan koordinasi Kekakuan
Susah menelan otot besar dan kecil paru maseter
maseter
Imobilisasi
Masalah keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan tetanus antara lain:
1. Ketidakefektifan termoregulasi berhubungan dengan proses penyakit
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan napas
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri (biologi)
4. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif
5. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan umum
4. RENCANA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan termoregulasi Setelah dilakukan tidakan 1. Atur suhu lingkungan 1. Iklim lingkungan dapat
keperawatan selama proses yang nyaman. mempengaruhi kondisi
berhubungan dengan proses penyakit.
keperawatan diharapkan status 2. Pantau suhu tubuh tiap dan suhu tubuh individu
termoregulasi efektif. Dengan 2 jam sebagai suatu proses
Kriteria hasil: 3. Berikan hidrasi atau adaptasi melalui proses
-Keseimbangan antara produksi minum ysng cukup evaporasi dan konveksi.
panas, panas yang diterima dan adequate 2. Identifikasi
kehilangan panas 4. Lakukan tindakan perkembangan gejala-
- Temperature stabil teknik aseptik dan gajala ke arah syok
- Tidak ada kejang antiseptik pada exhaution
- Tidak ada perubahan warna perawatan luka. 3. Cairan-cairan membantu
kulit. 5. Berikan kompres dingin menyegarkan badan dan
bila tidak terjadi merupakan kompresi
ekternal rangsangan badan dari dalam
kejang. 4. Perawatan lukan
6. Laksanakan program mengeleminasi
pengobatan antibiotik kemungkinan toksin
dan antipieretik yang masih berada
7. Kolaboratif dalam disekitar luka.
pemeriksaan lab 5. Kompres dingin
leukosit. merupakan salah satu
cara untuk menurunkan
suhu tubuh dengan cara
proses konduksi.
6. Obat-obat antibakterial
dapat mempunyai
spektrum lluas untuk
mengobati bakteeerria
gram positif atau
bakteria gram negatif.
Antipieretik bekerja
sebagai proses
termoregulasi untuk
mengantisipasi panas.
7. Hasil pemeriksaan
leukosit yang meningkat
lebih dari 10.000 /mm3
mengindikasikan adanya
infeksi dan atau untuk
mengikuti
perkembangan
pengobatan yang
diprogramkan
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif Setelah dilakukan tidakan 1. Bebaskan jalan nafas 1. Secara anatomi posisi
keperawatan selama proses dengan mengatur posisi kepala ekstensi merupakan
berhubungan dengan obstruksi jalan
diharapkan bersihan jalan nafas kepala ekstensi cara untuk meluruskan
napas efektif. Dengan kriteria hasil : 2. Pemeriksaan fisik rongga pernafasan
- Suara napas bersih dengan cara auskultasi sehingga proses respiransi
- Tidak ada sianosis mendengarkan suara tetap berjalan lancar
- Tidak ada sputum nafas (adakah ronchi) dengan menyingkirkan
- Tidak ada dyspneu tiap 2-4 jam sekali pembuntuan jalan nafas.
- Menunjukan jalan nafas yang 3. Bersihkan mulut dan 2. Ronchi menunjukkan
paten. saluran nafas dari sekret adanya gangguan
dan lendir dengan pernafasan akibat atas
melakukan suction cairan atau sekret yang
4. Oksigenasi menutupi sebagian dari
5. Observasi tanda-tanda saluran pernafasan
vital tiap 2 jam sehingga perlu
6. Observasi timbulnya dikeluarkan untuk
gagal nafas. mengoptimalkan jalan
7. Kolaborasi dalam nafas.
pemberian obat 3. Suction merupakan
pengencer tindakan bantuan untuk
sekresi(mukolitik) mengeluarkan sekret,
sehingga mempermudah
proses respirasi
4. Pemberian oksigen secara
adequat dapat mensuplai
dan memberikan cadangan
oksigen, sehingga
mencegah terjadinya
hipoksia.
5. Dyspneu, sianosis
merupakan tanda
terjadinya gangguan nafas
disertai dengan kerja
jantung yang menurun
timbul takikardia dan
capilary refill time yang
memanjang/lama.
6. Ketidakmampuan tubuh
dalam proses respirasi
diperlukan intervensi yang
kritis dengan
menggunakan alat bantu
pernafasan (mekanical
ventilation)
7. Obat mukolitik dapat
mengencerkan sekret yang
kental sehingga
mempermudah
pengeluaran dan
memcegah kekentalan
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi nyeri yang 1. Berguna dalam
keperawatan selama proses pengawasan keefektifan
injuri (biologi) dirasakan klien (P, Q,
keperawatan diharapkan nyeri obat, kemajuan
berkurang. Dengan Kriteria R, S, T) penyembuhan, perubahan
Hasil: dan karakteristik nyeri.
2. Pantau tanda-tanda
- Klien mengatakan nyeri yang 2. Untuk mengontrol respon
dirasakan berkurang. vital. nyeri yang dirasakan oleh
- Klien dapat mendeskripsikan klien
3. Berikan tindakan
bagaimana mengontrol 3. Memberikan tindakan
nyeri kenyamanan. nyaman berguna untuk
- Klien mengatakan kebutuhan merangsang hormon rileks
4. Ajarkan teknik non
istirahat dapat terpenuhi pada klien dan dapat
- Klien dapat menerapkan farmakologik (relaksasi, mengurangi rasa nyeri
metode non farmakologik 4. Teknik relaksasi dan
fantasi, dll) untuk
untuk mengontrol nyeri distraksi dapat
menurunkan nyeri. menurunkan nyeri dan
5. Berikan analgetik mengurangi kecemasan.
5. Pemberian obat analgetik
sesuai indikasi
yang tepat dapat
membantu pasien untuk
beradaptasi dan mengatasi
nyeri.
4. Resiko infeksi berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi&melaporkan 1. Memantau tanda tanda
prosedur invasif tanda&gejala infeksi,
keperawatan selama proses infeksi terhadap klien dan
spt kemerahan, hangat,
keperawatan diharapkan resiko dan peningkatan suhu adanya peningkatan suhu
badan.
infeksi tidak muncul. Dengan
2. Kaji suhu klien, 2. Adanya infeksi
kriteria hasil : netropeni setiap 4 jam,
meningkatkan suhu tubuh
laporkan jika
- Klien bebas dari tanda-tanda
temperature lebih dari klien
infeksi 38° C
3. Menggunakan 3. Dengan Termometer suhu
- Klien mampu menjelaskan
thermometer untuk dapat di periksa
tanda dan gejala infeksi mengkaji suhu
4. kaji warna kulit, 4. Tanda-tanda infeksi
- Mendemonstrasikan perilaku
kelembaban kulit,
seperti cuci tangan, oral care tekstur dan turgor terhadap kulit dapat
lakukan dokumentasi diamati
dan perineal care.
yang tepat pada setiap
perubahan 5. Konsumsi diet yang sesuai
5. Dukung untuk dengan kondisi klien
konsumsi diet
seimbang, penekanan
pada protein untuk
pembentukan system
imun.
5. Intoleransi aktifitas berhubungan Setelah dilakukan asuhan 1. Pantau asupan nutrisi 1) pemantauan untuk
dengan kelemahan umum keperawatan selama proses untuk memastikan membantu menjaga
keperawatan intoleransi aktifitas keadekuatan sumber kestabilan energi pasien
tidak muncul. Dengan Kriteria energi. 2) mengajarkan teknik
hasil: 2. Ajarkan tentang manajemen waktu agar
- Menyadari keterbatasan pengaturan aktifitas dan klien dapat memilih
energi tehnik manajemen aktivitas dan kegiatan yang
- Menyeimbangkan aktifitas waktu untuk mencegah sesuai
dan istirahat kelelahan. 3) aktivitas fisik yang teratur
- Tingkat daya tahan adekuat 3. Bantu dengan aktifitas dapat membantu klien agar
untuk beraktifitas fisik teratur dapat imobilisasi dengan
4. Rencanakan aktifitas lancar
pada periode pasien 4) menjadwalkan rencana
mempunyai energi sesuai kemampuan klien
paling banyak. 5) membantu klien memilih
5. Bantu pasien untuk aktivitas yang sesuai
mengidentifikasi dengan kondisi
pilihan aktivitas
5. Referensi
Brunner & Suddarth. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta :EGC
Doenges, ME. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3.Jakarta: EGC.
Muttaqin, arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika
Nanda International, 2015, Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi, Edisi 10, EGC, Jakarta.
Smeltzer, Suzane C.2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah,edisi 8 vol 3.Jakarta : EGC