Anda di halaman 1dari 18

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Penyakit Tetanus


1
Tetanus adalah penyakit menular disebabkan oleh kontaminasi luka
dari bakteri yang hidup di tanah. Bakteri Clostridium tetani adalah organisme
penyebab penyakit tetanus yang mampu hidup bertahun-tahun di tanah dalam
bentuk spora. Bakteri ini pertama kali diisolasi pada tahun 1899 oleh S.
Kitasato ketika ia sedang bekerja dengan R. Koch di Jerman. Kitasato juga
menemukan toksin tetanus dan bertanggung jawab untuk mengembangkan
vaksin pelindung pertama melawan penyakit tetanus.
Tetanus terjadi ketika luka menjadi terkontaminasi dengan spora
bakteri. Infeksi akan berlangsung ketika spora menjadi aktif dan berkembang
menjadi bakteri gram positif yang berkembang biak dan menghasilkan toksin
yang sangat kuat (racun) kemudian mempengaruhi otot. Spora tetanus
ditemukan di seluruh lingkungan, biasanya di tanah, debu, dan kotoran hewan.
Lokasi yang biasa bagi bakteri untuk masuk ke tubuh oleh luka tusuk, seperti
yang disebabkan oleh paku berkarat, pecahan, atau gigitan serangga.
Tetanus membuat kejang otot tidak terkendali, kadang-kadang disebut kejang
mulut. Dalam kasus yang berat, otot-otot yang digunakan untuk bernapas bisa
kejang, menyebabkan kekurangan oksigen ke otak dan organ lain yang
mungkin bisa mengakibatkan kematian.
Penyakit pada manusia adalah hasil dari infeksi luka dengan spora
bakteri Clostridium tetani. Bakteri ini menghasilkan toksin tetanospasmin
yang bertanggung jawab untuk menyebabkan tetanus. Tetanospasmin
mengikat saraf motorik yang mengontrol otot, memasuki akson (filamen yang
memanjang dari sel-sel saraf), dan perjalanan dalam akson sampai mencapai
tubuh saraf motorik di sumsum tulang belakang atau otak (proses transportasi
intraneuronal disebut retrograde). Kemudian toksin bermigrasi ke dalam
sinaps (ruang kecil antara sel-sel saraf penting untuk transmisi sinyal di antara
sel saraf) di mana ia mengikat ke terminal saraf presynaptic dan menghambat
atau menghentikan pelepasan neurotransmitter inhibisi tertentu (glisin dan
asam gamma-aminobutyric).

1
Victor Trismanjaya Hulu et al., “Epidemiologi Penyakit Menular: Riwayat, Penularan Dan
Pencegahan,” Paper Knowledge . Toward a Media History of Documents, 2020, 1–170.
Karena saraf motorik tidak memiliki hambat sinyal dari saraf lainnya,
sinyal kimia pada saraf motorik dari otot semakin intensif, menyebabkan otot
untuk memperketat kontraksi terus-menerus atau kejang. Jika tetanospasmin
mencapai aliran darah atau pembuluh limfatik dari situs luka, dapat disimpan
di banyak terminal presynaptic berbeda sehingga efek yang sama pada otot
lain.
Tetanus adalah penyakit infeksi akut disebabkan eksotoksin yang dihasilkan
oleh Clostridium tetani, ditandai dengan peningkatan kekakuan umum dan
kejangkejang otot rangka.2(Laksmi, 2014)

B. Tanda dan Gejala Penyakit Tetanus

Masa tunas biasanya 5 – 14 hari, tetapi kadang-kadang sampai beberapa


minggu pada infeksi ringan atau kalau terjadi modifikasi penyakit oleh
antiserum. Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot
yang makin bertambah terutama pada rahang dan leher.

Ada tiga bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni;

a.Localited tetanus ( Tetanus Lokal )


b. Cephalic Tetanus
c.Generalized tetanus (Tctanus umum)

Selain itu ada lagi pembagian berupa neonatal tetanus

Kharekteristik dari tetanus:

 Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5


-7 hari.
 Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekwensinya.
 Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
 Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang
dari leher.
 Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus, lockjaw )
karena spasme Otot masetter.
 Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( opistotonus , nuchal rigidity )

2
Ni Komang Saraswita Laksmi, “Penatalaksanaan Tetanus,” Cermin Dunia Kedokteran 41, no. 11
(November 1, 2014): 283–87, http://cdkjournal.com/index.php/CDK/article/view/1073.
- Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis
tertarik keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat .

o Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus,


tungkai dengan Eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya
kesadaran tetap baik.
o Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan
sianosis, retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis (
pada anak).

Ada 4 bentuk klinik atau jenis dari penyakit tetanus, yaitu:

1. tetanus lokal (lokalited Tetanus)

Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah
tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah
merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan,
bias bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang
secara bertahap. Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus,
tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga
lokal tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai
secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis
antitoksin.

2. Cephalic tetanus

Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi
berkisar 1 –2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di
India ), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing
dalam rongga hidung.

3 Generalized Tetanus

Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang
tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-
diam. Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai ( 50 %), yang
disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan
otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan.
Gejala lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot
muka, opistotonus ( kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme
dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran
nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi disuria dan retensi urine,kompressi frak tur
dan pendarahan didalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit,
tetapi begitupun bisa mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi ataupun
hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan dijumpai takhikardia, penderita
biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis.

4. Neotal tetanus

Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat


sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh
proses pertolongan persalinan yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat
yang telah terkontaminasi spora C.tetani, maupun penggunaan obat obatan
Wltuk tali pusat yang telah terkontaminasi. Kebiasaan menggunakan alat
pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak steril,merupakan faktor
yang utama dalam terjadinya neonatal tetanus.

Gram-positif, batang aerobik yang disebut Clostridium tetani, yang


menyebabkan tetanus, mampu menghasilkan spora terminal. sensitif terhadap
panas dan tidak mampu bertahan hidup di lingkungan yang kaya oksigen.
Sebaliknya, spora sangat panas dan resisten terhadap antiseptik. Mereka dapat
bertahan dalam autoklaf pada suhu 249,8°F (121°C) selama sepuluh hingga
lima belas menit. Selain itu, spora tidak terlalu sensitif terhadap fenol atau
polutan lainnya. Spora ditemukan dalam jumlah besar di tanah serta di usus,
kotoran, dan urin hewan seperti anjing, kucing, tikus, marmut, dan ayam.
Sejumlah besar spora mungkin ada di tanah yang diberi pupuk kandang.
Populasi besar orang dewasa dapat menampung organisme di lingkungan
pertanian. Di atas kulit dan heroin yang tercemar, spora juga bisa terlihat.

Tetanolysin dan Tetanospasmin adalah dua eksotoksin yang diproduksi oleh


Clostridium tetani. Peran pasti Tetanolysin dalam tubuh tidak diketahui.
Tanda dan gejala klinis tetanus disebabkan oleh neurotoksin tetanospasmin.
Tetanospasmin adalah salah satu racun terkuat yang diketahui berdasarkan
berat badan. 2,5 nanogram per kilogram berat badan, atau 175 nanogram
untuk orang dengan berat badan 70 kg (154 lb), adalah perkiraan dosis fatal
terendah bagi manusia.
Durasi variabel memiliki rata-rata 8 hari dan berkisar antara 3 hingga 21 hari.
Masa inkubasi meningkat dengan jarak antara sayatan dan SSP. Periode
pengakuan terkait dengan kemungkinan kematian yang lebih tinggi. Setelah 7
hari kelahiran kembali, tanda-tanda tetanus neonatorum biasanya mulai
terlihat pada hari ke 4 sampai 14. 5 Otot rangka menjadi tegang dan kejang
saat terkena toksin tetanus. Kekakuan adalah kontraksi tonik yang tidak
disengaja dari otot, sedangkan spasme adalah kontraksi singkat otot yang
dapat diinduksi dengan meregangkan otot atau dengan stimulus sensorik, oleh
karena itu dinamakan spasme refleks. (Surya, 2016).

C. Trias Epidemiologi (Host Agen dan Environment)

Tetanus tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah resiko tinggi


dengan cakupan imunisasi DPT (Diphtheria, Pertussis and Tetanus) yang
rendah. Reservoir utama kuman ini adalah tanah yang mengandung kotoran
ternak sehingga resiko penyakit ini di daerah peternakan sangat tinggi. Spora
kuman Clostridium tetani yang tahan kering dapat bertebaran di mana-mana.
Port of entry tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun dapat diduga
melalui :
1. Luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar
2. Luka operasi yang tidak dirawat dan dibersihkan dengan baik
3. OMP, caries gigi
4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril
5. Penjahitan luka robek yang tidak steril
6. Luka bekas suntikan narkoba.

1. Agent (penyebab penyakit)


3
Gram-positif, batang aerobik yang disebut Clostridium tetani, yang dapat
menghasilkan spora terminal, adalah bakteri penyebab tetanus. Peka
terhadap panas, tidak mampu bertahan hidup dengan adanya oksigen.
Sebaliknya, spora sangat tahan terhadap panas dan antiseptik
konvensional. Mereka dapat bertahan dalam autoklaf 10-15 menit pada
249,8°F (121°C). Selain itu, fenol dan senyawa lain tampaknya tidak
terlalu merusak spora. Spora dapat ditemukan dalam jumlah besar di tanah
maupun di usus, feses, dan urin hewan seperti tikus, marmut, ayam,
3
Victor Trismanjaya Hulu et al., “Epidemiologi Penyakit Menular: Riwayat, Penularan Dan
Pencegahan.”
domba, anjing, dan kucing. Sejumlah besar spora mungkin ada di tanah
yang diolah dengan pupuk kandang.

Populasi besar orang dewasa dapat menampung organisme di lingkungan


pertanian. Di atas kulit dan heroin yang tercemar, spora juga bisa terlihat.
Tetanolysin dan Tetanospasmin adalah dua eksotoksin yang diproduksi
oleh Clostricam tetani. Peran pasti Tetanolysin dalam tubuh tidak
diketahui. Tanda dan gejala klinis tetanus disebabkan oleh neurotoksin
tetanospasmin. Tetanospasmin adalah salah satu racun terkuat yang
diketahui berdasarkan berat badan. 2,5 nanogram per kilogram berat
badan, atau 175 nanogram untuk orang dengan berat badan 70 kg,
dianggap sebagai dosis fatal minimal bagi manusia.

Tetanus disebabkan oleh infeksi bakteri Clostridium tetani. Clostridium


tetani marupakan bakteri berbentuk batang lurus, langsing, berukuran
panjang 2-5 mikron dan lebar 0,4-0,5 mikron. Bakteri ini membentuk
eksotoksin yang disebut tetanospasmin. Kuman ini terdapat di tanah
terutama tanah yang tercemar tinja manusia dan binatang, seperti kotoran
kuda, domba, sapi, anjing, kucing, tikus, dan babi.

Clostridium tetani termasuk bakteri gram positif, anaerobic (tidak dapat


bertahan hidup dalam kehadiran oksigen), berspora, dan mengeluarkan
eksotoksin. Costridium tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu
tetanospamin dan tetanolisin. Tetanospamin-lah yang dapat menyebabkan
penyakit tetanus, sedangkan untuk tetanolisin belum diketahui dengan
jelas fungsinya. Perkiraan dosis mematikan minimal dari kadar toksin
(tenospamin) adalah 2,5 nanogram per kilogram berat badan atau 175
nanogram untuk 70 kilogram (154lb) manusia.

Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak


memecah protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga
tidak menghasilkan gas H2S. Menghasilkan gelatinase, dan indol positif.
Spora dari Clostridium tetani resisten terhadap panas dan bahan kimia,
seperti etanol, phenol, dan formalin. Sporanya juga dapat bertahan pada
autoclave pada suhu 249.8°F (121°C) selama 10–15 menit, juga resisten
terhadap phenol dan agen kimia yang lainnya. Spora ini bisa tahan
beberapa bulan bahkan beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka seseorang
atau bersamaan dengan benda daging atau bakteri lain, ia akan memasuki
tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama
tetanospasmin.

2. Host
Host penyakit tetanus adalah manusia dan hewan, khususnya hewan
vertebrata, seperti kucing, anjing, dan kambing. Tetanus Organisme
ditemukan terutama di saluran tanah dan usus hewan dan manusia.

3. Lingkungan (environment)

Lingkungan Aspek utama dalam pencegahan penularan DPT adalah


lingkungan yang bersih dan sehat. Tetanus dapat dihindari dengan
membuang benda tajam dan berkarat dari area bermain anak. Profesional
kesehatan yang dilengkapi dengan peralatan yang diperlukan harus
memberikan layanan untuk wanita hamil. Paparan sinar matahari langsung
dan sirkulasi udara bersih yang cukup di rumah dan sekolah dapat
menurunkan risiko penularan Difteri dan Pertusis. Anak-anak terbiasa
membersihkan tangan sebelum menggunakan peralatan makan dan minum
(Najmah, 2016).
Tetanus merupakan penyakit infeksi yang prevalensi dan angka
kematiannya masih tinggi. Tetanus terjadi di seluruh dunia, terutama di
daerah tropis, daerah dengan cakupan imunisasi DPT (Diphtheria,
Pertussis and Tetanus) yang rendah dan di daerah peternakan.

Tetanus merupakan infeksi berbahaya yang bisa mengakibatkan kematian


yang disebabkan oleh infeksi bakteri Clostridium tetani. Bakteri ini
ditemukan di tanah dan feses manusia dan binatang. Karena itulah, daerah
peternakan merupakan daerah yang rentan untuk terjadinya kasus tetanus.
Pada tahun 2001, diperkirakan 282.000 orang di seluruh dunia meninggal
karena tetanus, yang terbesar terjadi di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan,
yang merupakan daerah tropis.

D. Riwayat Alamiah Penyakit Tetanus


4
1. Tahap Propatogenesis
4
“Epidemiologi Penyakit Menular: Riwayat, Penularan Dan Pencegahan - Google Books,” accessed
October 18, 2022,
Terjadi Interaksi antara pejamu (Host) dan Agent (penyebab) bakteri
clostridium tetani, Jika imunitas host sedang lemah agent lebih ganas dan
kondidsi lingkungan tidak menguntungkan bagi Host maka penyakit
tetanus akan melanjutkan riwayat alamiahnya ke tahap Patogenesis.

2. Tahap Patogenesis
Tetanus Masa inkubasi berkisar antara 3 sampai 21 hari, biasanya sekitar 8
hari. Semakin pendek masa inkubasi, semakin tinggi kemungkinan
kematian. Clostridiumtetani biasanyamasuk ke dalam tubuhmelaluiluka.
Di hadapananaerob (oksigen rendah), spora berkecambah. Toksin
diproduksi dan disebarkan melalui darah dan limfatik. Racun bertindak di
beberapa situs dalam sistem saraf pusat, termasuk akhir saraf motorik
perifer, sumsum tulang belakang, dan otak, dan sistem saraf simpatik.
Manifestasi klinis yang khas dari tetanus disebabkan ketika toksin tetanus
mengganggu pelepasan neurotransmiter, menghambat impuls inhibitor.
Hal ini menyebabkan kontraksi otot dilawan dan kejang 5(Najmah, 2016).

Tetanus memiliki empat gambaran klinis umum:


Tetanus lokal hanya melibatkan lokasi cedera tetapi seringkali tidak
dikenali sampai menjadi umum. Tetanus cephalic adalah salah satu bentuk
tetanus lokal yang berasal dari cedera kepala atau infeksi, seperti otitis
media. Tetanus umum adalah bentuk yang paling umum dan mewakili
80% kasus. Tetanus neonatus adalah bentuk tetanus umum vano hiasanya
teriadi dalam 28 hari

a. lokal,
b. umum,
c. Neonatal.
d. Sefalika

Tetanus lokal hanya melibatkan lokasi cedera tetapi seringkali tidak dikenali
sampai menjadi umum. Tetanus cephalic adalah salah satu bentuk tetanus

https://www.google.co.id/books/edition/Epidemiologi_Penyakit_Menular_Riwayat_Pe/
tBoIEAAAQBAJ?hl=id&gbpv=1&dq=Najmah,+N.+(2016).
+Epidemiologi+Penyakit+Menular.&pg=PA141&printsec=frontcover.
5
Najmah, “EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR.”
lokal yang berasal dari cedera kepala atau infeksi, seperti otitis media. Tetanus
umum adalah bentuk yang paling umum dan mewakili 80% kasus. Tetanus
neonatus adalah bentuk tetanus umum yang biasanya terjadi dalam 28 hari
setelah lahir. Ini juga membawa mortalitas yang sangat tinggi dan
menyebabkan 50% kematian akibat tetanus. Tetanus neonatal diperoleh dari
kontaminasi tunggul pusar, dan perlindungan diberikan melalui transfer
antibodi ibu ke janin 6(Roper, Vandelaer and Gasse, 2007).

Perjalanan alami penyakit biasanya dimulai dengan luka yang terkontaminasi


oleh tanah, kotoran, atau logam berkarat. Cedera tusuk adalah metode masuk
yang paling umum, tetapi tetanus telah dilaporkan setelah patah tulang, luka
bakar, cakaran hewan, otitis media, luka bedah yang terkontaminasi yang
melibatkan saluran pencernaan atau aborsi, serta kontaminasi tali pusat. 20%
kasus, tidak ada tempat masuk yang dapat ditemukan.(Bleck, 1986). Masa
inkubasi, yang didefinisikan sebagai waktu dari cedera hingga gejala pertama,
dapat berkisar dari satu hingga 60 hari. Ini diikuti oleh periode onset (waktu
hingga kejang pertama), yang berkisar dari 1 hingga 7 hari.(Vandelaer et al.,
2003).

Gejala pertama biasanya leher dan rahang kaku. Kejang dominan pada
minggu pertama penyakit dan berlanjut hingga 3 minggu, sementara kekakuan
dapat bertahan hingga sementara kekakuan bisa bertahan hingga 4-8 minggu.
Ketidakstabilan otonom memuncak pada minggu kedua dan biasanya mereda
setelah minggu ketiga jika pasien selamat dari gejala sisa gangguan
hemodinamik (Bleck, 1986) Awal gejala menandai penyebaran luas toksin
tetanus ke seluruh sistem saraf. Perkembangan penyakit bergerak seperti
candad sampai penyakit digeneralisasikan. Keterlibatan awal kepala dan leher
bermanifestasi sebagai trismus dari spasme masseter, dan " risus sardonicus,"
fasies tetanus yang terkenal, berasal dari spasme otot wajah. Kekakuan
dinding dada dan otot perut serta paralisis atau spasme diafragma dapat
menyebabkan gagal nafas akibat hipoventilasi. Paroksisma yang melibatkan
faring dan laring dapat menyebabkan obstruksi saluran nafas akut.

Paroksisma umum tampak mirip dengan kejang epilepsi, tetapi tanpa


kehilangan kesadaran, dan pernah dilaporkan terjadi patah tulang panjang dan
ruptur tendon. Spasme trunkus mengunci pasien pada posisi klasik

6
Martha H. Roper, Jos H. Vandelaer, and François L. Gasse, “Maternal and Neonatal Tetanus,” The
Lancet 370, no. 9603 (December 8, 2007): 1947–59, https://doi.org/10.1016/S0140-6736(07)61261-6.
opisthotomus. Gagal ginjal dari rhabdomyolysis telah dilaporkan dari
kekakuan otot yang sedang berlangsung. (Taylor, 2006).

Tetanus parah ditandai dengan ketidakstabilan otonom yang signifikan secara


klinis yang telah dibandingkan dengan perubahan hemodinamik dari
pheochromocytoma.1.7 Periode ini sangat labil dan ditandai dengan hipertensi
dan takikardia tingkat ganas, diikuti oleh hipotensi berat dan bradikardia.
Dulu, gagal nafas akut merupakan penyebab utama kematian akibat tetanus.
Dengan perbaikan manajemen ventilasi dan perawatan intensif, serangan
jantung mendadak sering didahului dengan bradikardia, sekarang menjadi
penyebab utama kematian akibat tetanus. Disfungsi otonom juga termasuk
stasis lambung, ileus, diare, sekresi bronkus, salivasi, pireksia, dan
diaphoresis. Gejala sisa serius lainnya dari tetanus berat termasuk edema paru,
disfungsi miokard, sindrom gangguan pernafasan akut, pneumonia, sepsis,
emboli i paru, gastrointestinal, perdarahan, dan status gizi buruk.

E. Penularan/ Transmisi

Penularan terutama terjadi oleh luka yang terkontaminasi (jelas dan tanpa
gejala). Luka mungkin besar atau kecil. Berdasarkan temuan medis, terdapat
tiga perbedaan tetanus yaitu :

1. Tetanus lokal adalah bentuk jarang dari penyakit, di mana pasien


mengalami kontraksi terus-menerus dari otot-otot di daerah anatomi yang
sama dengan cedera. Kontraksi ini dapat bertahan selama bermingguminggu
sebelum secara bertahap mereda. Tetanus lokal mungkin mendahului
timbulnya umum tetanus tetapi pada umumnya lebih ringan. Hanya sekitar1%
dari kasus yang fatal.

2. Tetanus cephalic adalah bentuk yang jarang dari penyakit, kadang-kadang


terjadi dengan otitis media (infeksi telinga) di mana C.tetani hadir dalam flora
telinga tengah, atau mengikuti cedera di kepala. Ada keterlibatan saraf kranial,
terutama di daerah wajah.

3. Jenis yang paling umum (sekitar 80%) dari yang dilaporkan tetanus umum
tetanus. Penyakit ini biasanya menyajikan dengan pola turun. Tanda pertama
adalah trismus atau kejang mulut, diikuti dengan kekakuan leher, kesulitan
menelan, dan kekakuan otot perut. Gejala lain termasuk suhu tinggi,
berkeringat, tekanan darah tinggi, dan episodik detak jantung yang cepat.
Spasme dapat terjadi sering dan berlangsung selama beberapa menit. Kejang
berlanjut selama 3-4 minggu. Pemulihan lengkap dapat mengambil bulan

Cara penularan khusus melalui mode of transmission Unsur Penyebab

1. Kelompok arthropoda (serangga) seperti scabies, pediculosis, dll.


2. Kelompok cacing/helminth baik cacing darah maupun cacing perut.
3. kelompok protozoa seperti plasmodium, amuba dll
4. fungus atau jamur baik uni maupun multiseluler
5. bakteri termasuk sprichaeta maupun ricketsia
6. virus sebagai kelompok penyebab yang paling sederhana

Sumber penularan :

1. Penderita
2. Pembawa kuman
3. Binatang sakit
4. Tumbuhan/benda

Cara penularan :

1. Kontak langsung
2. Malaui udara
3. Melalui makanan atau minuman
4. Melalui vector

Keadaan Pejamu :

1. Keadaan umum
2. Kekebalan
3. Status gizi
4. Keturunan

Cara keluar dari sumber dan cara masuk ke pejamu melalui :

1. Mukosa atau kulit


2. Saluran pencernaan
3. Saluran pernafasan
4. Saluran urogenitalia
5. Gigitan, suntikan, luka. 7(Darmawan,2016).

F. Masa Inkubasi

Masa inkubasi berkisar dari 2 hari sampai sebulan, dengan sebagian besar
(rata-rata) kasus terjadi dalam 14 hari. Pada neonatus, masa inkubasi biasanya
5-14 hari. Secara umum, periode inkubasi pendek berhubungan dengan
terkontaminasi luka, penyakit lebih parah, dan prognosis yang buruk.
Masa inkubasi berkisar antara 3 sampai 21 hari, biasanya sekitar 8 hari.
Semakin pendek masa inkubasi, semakin tinggi peluang kematian, biasanya
kurang dari 72 jam. Dalam gejala tetanus neonatorum, biasanya muncul 4-14
hari setelah kelahiran, rata-rata sekitar 7 hari.
Karakteristik/gejalan klinis tetanus:
a. Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -
7 hari.
b. Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekwensinya
c. Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
d. Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari
leher.

Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus, lockjaw ) karena


spasme otot masetter.
a. Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( opistotonus , nuchal rigidity )
b. Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis
tertarik keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan
kuat .
c. Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus,
tungkai dengan
d. Eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap
baik.

7
M.Epid dr. Armaidi Darmawan, “EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR DAN PENYAKIT TIDAK
MENULAR,” JAMBI MEDICAL JOURNAL “Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan” 4, no. 2 (2016),
https://doi.org/10.22437/JMJ.V4I2.3593.
e. Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan
sianosis, retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis
(pada anak).

8
Tetanus tidak bisa segera terdeteksi karena masa inkubasi penyakit ini
berlangsung hingga 21 hari setelah masuknya kuman tetanus ke dalam tubuh.
Pada masa inkubasi inilah baru timbul gejala awalnya. Gejala penyakit tetanus
bisa dibagi dalam tiga tahap, yaitu:

1. Tahap pertama
Rasa nyeri punggung dan perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh
merupakan gejala awal penyakit ini. Satu hari kemudian baru terjadi
kekakuan otot. Beberapa penderita juga mengalami kesulitan menelan.
Gangguan terus dialami penderita selama infeksi tetanus masih
berlangsung.

2. Tahap kedua
Gejala awal berlanjut dengan kejang yang disertai nyeri otot
pengunyah (Trismus). Gejala tahap kedua ini disertai sedikit rasa kaku
di rahang, yang meningkat sampai gigi mengatup dengan ketat, dan
mulut tidak bisa dibuka sama sekali. Kekakuan ini bisa menjalar ke
otot-otot wajah, sehingga wajah penderita akan terlihat menyeringai
( Risus Sardonisus), karena tarikan dari otot-otot di sudut mulut.Selain
itu, otot-otot perut pun menjadi kaku tanpa disertai rasa nyeri.
Kekakuan tersebut akan semakin meningkat hingga kepala penderita
akan tertarik ke belakang (Ophistotonus). Keadaan ini dapat terjadi 48
jam setelah mengalami luka.
Pada tahap ini, gejala lain yang sering timbul yaitu penderita menjadi
lambat dan sulit bergerak, termasuk bernafas dan menelan makanan.
Penderita mengalami tekanan di daerah dada, suara berubah karena
berbicara melalui mulut atau gigi yang terkatu berat, dan gerakan dari
langit-langit mulut menjadi terbatas.

3. Tahap ketiga

8
Victor Trismanjaya Hulu et al., “Epidemiologi Penyakit Menular: Riwayat, Penularan Dan
Pencegahan.”
Daya rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat, maka
terjadilah kejang refleks. Biasanya hal ini terjasi beberapa jam setelah
adanya kekakuan otot. Kejang otot ini bisa terjadi spontan tanpa
rangsangan dari luar, bisa juga karena adanya rangsangan dari luar,
misalnya cahaya, sentuhan, bunyi-bunyian dan sebagainya. Pada
awalnya, kejang ini hanya berlangsung singkat, tapi semakin lama
akan berlangsung lebih lama dan dengan frekuensi yang lebih sering.
Selain dapat menyebabkan radang otot jantung (mycarditis), tetanus
dapat menyebabkan sulit buang air kecil dan sembelit. Pelukaan lidah,
bahkan patah tulang belakang dapat terjadi akibat adanya kejang otot
hebat. Pernafasan juga dapat terhenti karena kejang otot, sehingga
beresiko menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan karena sumbatan
saluran nafas, akibat kolapsnya saluran nafas, sehingga refleks batuk
tidak memadai, dan penderita tidak dapat menelan.

4. Masa laten dan periode infeksi


Tetanus tidak menular dari orang ke orang. Tetanus dicegah
dengan vaksin penyakit yang menular, DTP (difteri, tetanus, and
pertusis), tapi tidak menular. Luka, baik besar maupun kecil, adalah
jalan bakteri Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh. Tetanus dapat
disebabkan oleh luka bakar, luka tusuk yang dalam, otitis media,
infeksi gigi, gigitan hewan, aborsi, dan persalinan yang tidak steril.
Tetanus tidak mempunyai periode infeksius karena tetanus tidak
menular dari orang ke orang. Tetanus merupakan penyakit yang dapat
dicegah dengan vaksin, tapi tidak menular.

G. Upaya Pencegahan
9
Seorang penderita yang terkena tetanus tidak imun terhadap serangan
ulangan artinya dia mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapat
tetanus bila terjadi luka sama seperti orang lainnya yang tidak pernah di
imunisasi. Tidak terbentuknya kekebalan pada penderita setelah ia sembuh
dikarenakan toksin yang masuk ke dalam tubuh tidak sanggup untuk
merangsang pembentukkan antitoksin ( kaena tetanospamin sangat poten dan
9
“Epidemiologi Penyakit Menular: Riwayat, Penularan Dan Pencegahan - Google Books.”
toksisitasnya bisa sangat cepat, walaupun dalam konsentrasi yang minimal,
yang mana hal ini tidak dalam konsentrasi yang adekuat untuk merangsang
pembentukan kekebalan).
Vaksinasi adalah cara pencegahan terbaik terhadap tetanus. Komite
Penasehat untuk Praktik Imunisasi (ACIP) merekomendasikan bahwa semua
anak menerima serangkaian rutin dari 5 dosis difteri dan vaksin tetanus pada
usia 2, 4, 6, 15-18 bulan, dan 4-6 tahun. Dosis booster difteri dan tetanus
toxoid harus diberikan dimulai pada usia 11-12 tahun (minimal 5 tahun sejak
dosis terakhir) dan diulangi setiap 10 tahun sesudahnya. Saat ini, DTaP dan
DT harus digunakan pada orang kurang dari tujuh tahun, sedangkan Td
diberikan kepada mereka yang berusia tujuh tahun atau lebih. Jadwal catch-up
imunisasi Td bagi mereka dimulai pada usia tujuh tahun atau lebih terdiri dari
tiga dosis.

Dosis kedua biasanya diberikan 1-2 bulan setelah dosis pertama, dan dosis
ketiga diberikan 6 bulan setelah dosis kedua. Aselular formulasi vaksin
pertusis bagi remaja dan orang dewasa yang berlisensi dan dikombinasikan
dengan difteri dan tetanus-toxoid. Jadwal yang disarankan untuk Tdap belum
ditentukan, tetapi vaksin ini harus diterima dalam kondisi yang tepat.

Untuk pencegahan tetanus neonatorum, langkah-langkah pencegahan,


selain imunisasi ibu, adalah program imunisasi untuk gadis remaja dan wanita
usia subur serta pelatihan yang tepat bidan dalam rekomendasi untuk
imunisasi dan teknik aseptik dan pengendalian infeksi. Maternal and Neonatal
Tetanus Elimination (MNTE) merupakan program eliminasi tetanus pada
neonatal dan wanita usia subur termasuk ibu hamil. Strategi yang dilakukan
untuk mengeliminasi tetanus neonatorum dan maternal adalah 1) pertolongan
persalinan yang aman dan bersih; 2) cakupan imunisasi rutin TT yang tinggi
dan merata; dan 3) penyelenggaraan surveilans. Beberapa permasalahan
imunisasi Tetanus Toksoid (TT) pada wanita usia subur yaitu pelaksanaan
skrining yang belum optimal, pencatatan yang dimulai dari kohort WUS (baik
kohort ibu maupun WUS tidak hamil) belum seragam, dan cakupan imunisasi
TT2 bumil jauh lebih rendah dari cakupan K4. Cakupan imunisasi TT2
selama tahun 2003-2007 tidak mengalami perkembangan, bahkan cenderung
menurun. Namun sejak dua tahun terakhir terjadi peningkatan cakupan
imunisasi TT2+, dari 26% pada tahun 2007 menjadi 42,9% pada tahun 2008,
kemudian meningkat lagi menjadi 62,52% pada tahun 2009 (Kemenkes RI.
2009).
Data dari WHO menunjukkan bahwa, dari tahun ke tahun cakupan
imunisasi DTP3 mengalami kenaikan. Semakin tingginya cakupan imunisasi,
baik imunisasi DTP3 maupun TT2, menunjukkan penurunan pada terjadinya
kasus tetanus, tetanus neonatorum.

Jadwal Pemberian Imunisasi:


1. Bayi dan Anak Normal
Imunisasi harus dimulai pada awal masa bayi dan memerlukan empat
suntikan DTaP diberikan pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, dan 15-18
bulan. Dosis pertama diberikan pada usia 4-6 tahun. Sepuluh tahun
setelah dosis pertama (usia 14-16 tahun), suntikan Td, yang berisi dosis
yang sama tetanus toksoid sebagai DTP dan dosis difteri toxoid yang
dikurangi, harus diberikan dan diulang setiap 10 tahun sepanjang hidup
individu dalam peristiwa yang tidak ada reaksi signifikan untuk DTP atau
Td.

2. Bayi dan Anak Normal Usia Tujuh Bulan yang tidak Mendapat Imunisasi
di Awal
DTP harus diberikan pada kunjungan pertama dan 2 dan 4 bulan
setelah injeksi pertama. Dosis keempat harus diberikan 6-12 bulan setelah
terlebih dulu injeksi pertama. Dosis pertama diberikan antara 4 dan 6
tahun. Sepuluh tahun setelah dosis pertama (14-16 tahun), suntikan Td
harus diberikan dan diulang setiap 10 tahun di seluruh. Prasekolah dosis
tidak diperlukan jika dosis keempat dari DTP merupakan diberikan setelah
ulang tahun keempat

3. Anak Usia Tujuh Tahun atau Lebih yang Belum diimunisasi


Imunisasi memerlukan setidaknya tiga suntikan Td. Suntikan harus
diberikan pada kunjungan pertama , 4-8 minggu setelah bulan pertama
Td, dan 6-12 setelah Td kedua. Td suntikan harus berulang setiap 10 tahun
sepanjang hidup dalam hal bahwa tidak ada reaksi yang signifikan untuk
Td.

4. Wanita hamil yang belum Diimunisasi


Neonatal tetanus dapat dicegah dengan imunisasi aktif dari ibu hamil.
Wanita hamil yang belum diimunisasi harus menerima dua dosis Td
sebelum persalinan, sebaiknya selama dua trimester terakhir, diberikan 2
bulan terpisah. Sebelum ada bukti bahwa tetanus dan difteri toxoid yang
teratogenik. Setelah melahirkan, sang ibu harus diberi dosis ketiga Td 6
bulan setelah dosis kedua untuk melengkapi imunisasi aktif. Td suntikan
harus diulang setiap 10 tahun sepanjang hidup dalam hal bahwa tidak ada
reaksi signifikan terhadap Td. Jika neonatus yang ditanggung oleh
seorang ibu yang belum diimunisasi tanpa perawatan kebidanan, bayi
harus menerima 250 unit TIG manusia. TIG adalah solusi dari gamma
globulin disiapkan dari darah vena manusia, hyperimmunized dengan
tetanus toksoid.

5. Anak di bawah Tujuh Bulan dengan Kontraindikasi untuk Vaksinasi


Pertusis
DT (untuk penggunaan pediatrik) lebih baik digunakan daripada
DTaP. Anak di bawah 1 tahun menerima imunisasi DT sebanyak 4 kali.
Tiga dosis pertama diberikan dengan interval 4-8 minggu dan dosis
keempat 6-12 bulan kemudian. Jika dosis vaksin pertusis menjadi
kontraindikasi setelah mulai DTaP di tahun pertama kehidupan anak, DT
harus diganti dengan DTaP di jadwal yang tersisa.
6. Bayi dengan Penyakit Neurologis
Bayi yang memiliki atau diduga memiliki penyakit neurologis,
pemberian imunisasi DTaP atau DT ditunda sampai observasi lebih lanjut
dan status neurologis anak telah jelas. Tapi, imunisasi DTaP atau DT
dilakukan selambat-lambatnya anak berusia satu tahun.
7. Bayi Dengan Gangguan Neurologis sementara Berkaitan dengan DTaP
Vaksinasi
Bayi dan anak-anak yang mengalami kejang dalam waktu 3 hari sejak
diterimanya DTaP atau ensefalopati dalam 7 hari tidak boleh menerima
vaksin pertusis, bahkan meskipun penyebab dan akibat mungkin tidak bisa
dimunculkan.

8. Anak-anak dengan Gangguan Neurologis tidak Diimunisasi dengan


Lengkap
Jika kejang atau gangguan lainnya terjadi sebelum ulang tahun
pertama dan penyelesaian terlebih dulu tiga dosis utama serangkaian
DTaP, dosis lebih lanjut DTaP atau DT dianjurkan sampai status bayi
telah jelas.

9. Bayi dan Anak-anak dengan Kondisi Neurologis Stabil


Bayi dan anak-anak dengan kondisi neurologis yang stabil, termasuk
kejang terkendali dengan baik, dapat divaksinasi. Terjadinya kejang
tunggal (terkait dengan DTaP) pada bayi dan anak kecil, sementara yang
memerlukan evaluasi, tidak perlu imunisasi DTaP, terutama jika kejang
dapat dijelaskan secara memuaskan. Antikonvulsan profilaksis harus
dipertimbangkan ketika
memberikan DTaP ke anak-anak tersebut.

10. Anak-anak dengan Gangguan neurologis yang Terselesaikan


Imunisasi DTaP dianjurkan untuk bayi dengan masalah neurologis
tertentu yang telah jelas mereda atau telah diperbaiki, seperti neona-
hypocalcemic tetani atau hidrosefalus (berikut penempatan shunt dan
tanpa kejang).

Anda mungkin juga menyukai