Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

TETANUS NEONATORUM
1. DEFINISI

Tetanus adalah penyakit akut yang disebabkan oleh clostridium tetani yang dihasilkan

oleh exotoksin (Ns. Haryanto,S.Kep).

       Tetanus adalah penyakit infeksi yang akut dan kadang fatal yang  disebabkan oleh

neurotoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh clostridium tetani, yang sporanya masuk

melalui luka.(kamus kedokteran Dorlan)

       Tetanus adalah penyakit akibat infeksi luka oleh bakteri clostridium tetani dengan gejala

kejang-kejang. (Ahmad A. K. Miuda, kamus kedokteran)

       Tetanus adalah suatu penyakit toksemik akut yang disebabkan oleh infeksi Clostridium

tetani, pada kulit/ luka. Tetanus merupakan manifes dari intoksikasi terutama pada disfungsi

neuromuscular, yang disebabkan oleh tetanospasmin, toksin yang dilepaskan oleh

Clostridium tetani. Keadaan sakit diawali dengan terjadinya spasme yang kuat pada otot

rangka dan diikuti adanya kontraksi paroksismal. Kekakuan otot terjadi pada rahang

(lockjaw) dan leher pada awalnya, setelah itu akan merata ke seluruh tubuh.(Brook I., 2002). 

       Penyakit tetanus merupakan salah satu infeksi yang berbahaya karena mempengaruhi

sistem saraf dan otot. Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani yaitu tetanos dari teinein yang

berarti menegang. Penyakit ini adalah penyakit infeksi di mana spasme otot tonik dan

hiperrefleksia menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum, melengkungnya

punggung (opistotonus), spasme glotal, kejang dan spasme dan paralisis pernapasan.

Tetanus Neonatorum adalah penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan tanda

klinik yang khas, setelah 2 hari pertama bayi baru hidup, menangis dan menyusu secara
normal, pada hari ketiga atau lebiih timbul kekakuan seluruh tubuh dengan kesulitan

membuka mulut dan menetek di susul dengan kejang-kejang (WHO, 1989 )

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa, Tetanus adalah penyakit

infeksi dan gangguan neorologis yang di akibatkan toksin protein tetoonospasmin dari kuman

Clostridium Tetani, yang ditandai dengan manisfestasi kliniknya meningkatnya tonus otot

dan spasme.

2. ETIOLOGI

Penyakit tetanus disebabkan oleh kuman klostridium tetani. Kuman ini banyak terdapat

dalam kotoran hewan memamah biak seperti sapi, kuda, dan lain-lain sehingga luka  yang

tercemar dengan kotoran hewan sangat berbahaya bila kemasukan kuman tetanus. Tusukan

paku yang berkarat sering juga membawa clostridium tetani kedalam luka lalu berkembang

biak. Bayi yang baru lahir ketika tali pusarnya dipotong bila alat pemotong yang kurang

bersih dapat juga kemasukan kuman tetanus.

Clostiridium tetani adalah kuman yang berbentuk batang seperti penabuh genderang

berspora, golongan gram positif, hidup anaerob. Kuman ini mengeluarkan toksin yang

bersifat neurotoksik (tetanus spasmin), yang mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan

saraf perifer setempat. Timbulnya tetanus ini terutama oleh clostiridium tetani yang didukung

oleh adanya luka yang dalam dengan perawatan yang salah.

Penyakit ini tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah resiko tinggi dengan

cakupan imunisasi DPT yang rendah. Reservoir utama kuman ini adalah tanah yang

mengandung kotoran ternak sehingga resiko penyakit ini di daerah peternakan sangat tinggi.

Spora kuman Clostridium tetani yang tahan kering dapat bertebaran di mana-mana. Masa
inkubasi penyakit ini adalah antara 5-14 hari. Pada umumnya tetanus neonatorum

berlangsung lebih berat daripada tetanus pada anak.(Ngastiyah, 2002).

Selain disebabkan oleh clostridium tetani, tetanus neonatorum juga dapat disebabkan

oleh:

1.     Luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar.

2.     Luka operasi yang tidak dirawat dan dibersihkan dengan baik.

3.     caries gigi.

4.     Pemotongan tali pusat yang tidak steril.

5.    Penjahitan luka robek yang tidak steril

6.    S e r t a p e m a k a i a n o b a t , bubuk, atau daun-daunan yang digunakan dalam perawatan

tali pusat

3. PATOFISIOLOGI

Biasanya penyakit ini terjdi setelah luka tusuk yang dalam misalya luka yang

disebabkan tertusuk paku, pecahan kaca, kaleng atau luka tembak, karena luka tersebut

menimbulkan keadaan anaerob yang ideal. Selain itu luka laserasi yang kotor luka bakar dan

patah tulang yang terbuka juga akan mngakibatkan keadaan anaerob yang ideal untuk

pertumbuhan clostridium tetani.

Tetanus terjadi sesudah pemasukan spora yang sedang tumbuh, mempaebanyak diri

dan mneghasilkan toksin tetanus pada potensial oksidasi-reduksi rendah (Eh) tempat jejas

yang terinfeksi. Plasmid membawa gena toksin. Toksin yang dilepas bersama sel bakteri sel

vegetative yang mati dan selanjutnya lisis. Toksin tetanus (dan toksin batolinium) di gabung
oleh ikatan disulfit. Toksin tetanus melekat pada sambungan neuromuscular dan kemudian

diendositosis oleh saraf motoris,sesudah ia mengalami ia mengalami pengangkutan akson

retrograt kesitoplasminmotoneuron-alfa. Toksin keluar motoneuron dalam medulla spinalis

dan selanjutnya masuk interneuron penghambat spinal. Dimana toksi ini menghalangi

pelepasan neurotransmitter . toksin tetanus dengan demikian meblokade hambatan normal

otot antagonis yang merupakan dasar gerakan yang disengaja yang di koordinasi, akibatnya

otot yang terkena mempertahankan kontraksi maksimalnya, system saraf otonom juga dibuat

tidak stabil pada tetanus.

Spora yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerobic berubah menjadi bentuk

vegetatif dan berkembang biak sambil menghasilkan toxin. Dalam jaringan yang anaerobic

ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan oxigen

jaringan akibat adanya nanah, nekrosis jaringan, garam kalsium yang dapat diionisasi. Secara

intra axonal toxin disalurkan ke sel saraf (cel body) yang memakan waktu sesuai dengan

panjang axonnya dan aktifitas serabutnya. Belum terdapat perubahan elektrik dan fungsi sel

saraf walaupun toksin telah terkumpul dalam sel. Dalam sungsum belakang toksin menjalar

dari sel saraf lower motorneuron ke lekuk sinaps dan diteruskan ke ujung presinaps dari

spinal inhibitory neurin. Pada daerah inilah toksin menimbulkan gangguan pada inhibitory

transmitter dan menimbulkan kekakuan.

4. MANIFESTASI KLINIS

Tetanus biasanya terjadi setelah suatu trauma, kontaminasi luka dengan tanah, kotoran
binatang atau logam berkarat dapat menyebabkan tetanus. Tetanus juga dapat terjadi sebagai
komplikasi dari luka bakar, ulkus gangren, luka gigitan ular yang mngalami nekrosis, infeksi
telinga tengah, aborsi septik, persalinan, injeksi intramuscular, dan pembedahan.
Masa tunas biasanya 5 – 14 hari, tetapi kadang-kadang sampai beberapa minggu pada infeksi
ringan atau kalau terjadi modifikasi penyakit oleh anti serum. Penyakit ini biasanya terjadi
mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama pada rahang dan leher.
Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan :
a.       Trismus ( kesukaran membuka mulut ) karena spasme otot-otot mastikatoris.
b.      Kaku kuduk sampai opistotonus ( karena ketegangan otot-otot erector trunki ).
c.       Ketegangan otot dinding perut ( harus dibedakan dengan abdomen akut ).
d.      Kejang tonik apabila dirangsang karena toksin yang terdapat di kornus anterior.
e.       Rikus sardonikus karena spasme otot muka ( alis tertarik keatas ), sudut mulut tertarik
keluar dan kebawah, bibir tertekan kuat pada gigi.
f.       Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri kepala, nyeri anggota badan sering
merupakan gejala dini.
g.      Spasme yang khas, yaitu badan kaku dengan opistotonus, ekstermitas inferior dalam
keadaan ekstensi, lengan kaku dan mengepal kuat. Anak tetap sadar. Spasme mula-mula
intermiten diselingi dengan periode relaksasi. Kemudian tidak jelas lagi dan serangan
tersebut disertai dengan rasa nyeri. Kadang-kadang di sertai perdarahan intramuscular karena
kontraksi yang kuat.
h.      Asfiksia dan sianosis terjadi akobat serangan pada otot pernafasan dan laring. Retensi
urin dapat terjadi karena spasme otot uretra. Fraktur kolumna vetebralis dapat pula terjadi
karena kontraksi otot yang sangat kuat.
i.        Panas biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir.
j.        Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang terjadi tekanan cairan di otak.

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1)      Pemeriksaan laboratorium :


a.       Liquor Cerebri normal
b.      hitung leukosit normal atau sedikit meningkat.
c.       Pemeriksaan kadar elektrolit darah terutama kalsium dan magnesium
d.      Analisa gas darah dan gula darah sewaktu penting untuk dilakukan.
2)      Pemeriksaan radiologi : Foto rontgen thorax setelah hari ke-5.

6. KOMPLIKASI
Komplikasi tetanus terjdi akibat penyakitnya seperti :
a.      Spasme otot faring yang menyebabkan terkumpulnya air liur (saliva) didalam rongga
mulut dan hal ini memungkinkan terjadinya aspirasi sehingga dapat terjadi pnemonia
aspirasi.
b.      Asfiksia ini terjadi karena adanya kekakuaan otot-otot pernafasan sehingga
pengembangan paru tidak dapat maksimal
c.       Atelektasis karena obstruksi oleh secret hal ini karena seseorang dengan tetanus akan
mengalami trismus (mult terkunci) sehingga klien tidak dapat mengeluarkan sekret yang
menumpuk di tenggorokan, atau pun menelanya.
d.      Fraktura kompresi ini dapat terjadi bila saat kejang klien difiksasi kuat sehingga tubuh
tidak dapat menahan kekuatan luar.
7. PENATALAKSANAAN MEDIS

1)      Penatalaksanaan medis


Empat pokok dasar tata laksana medik : debridement, pemberian antibiotik,
menghentikan kejang, serta imunisasi pasif dan aktif, yang dapat dijabarkan sebagai
berikut :
a.       Diberikan cairan intravena dengan larutan glukosa 5% dan NaCl fisiologis dalam
perbandingan 4 : 1 selama 48-72 jam selanjutnya IVFD hanya untuk memasukan
obat. Jika pasien telah dirawat lebih dari 24 jam atau pasien sering kejang atau
apnea, diberikan larutan glukosa 10% dan natrium bikarbonat 1,5% dalam
perbandingan 4 : 1 (jika fasilitas ada lebih baik periksa analisa gas darah dahulu).
Bila setelah 72 jam bayi belum mungkin diberi minum peroral/sonde, melalui infus
diberikan tambahan protein dan kalium.
b.      Diazepam dosis awal 2,5 mg intravena perlahan-lahan selama 2-3 menit, kemudian
diberikan dosis rumat 8-10 mg/kgBB/hari melalui IVFD (diazepam dimasukan ke
dalam cairan infus dan diganti setiap 6 jam). Bila kejang masih sering timbul, boleh
ditambah diazepam lagi 2,5 mg secara intravena perlahan-lahan dan dalam 24 jam
berikutnya boleh diberikan tembahan diazepam 5 mg/kgBB/hari sehingga dosis
diazepam keseluruhannya menjadi 15 mg/kgBB/hari. Setelah keadaan klinis
membaik, diazepam diberikan peroral dan diurunkan secara bertahap. Pada pasien
dengan hiperbilirubinemia berat atau bila makin berat, diazepam diberikan per oral
dan setelah bilirubin turun boleh diberikan secara intravena.
c.       ATS 10.000 U/hari, diberikan selama 2 hari berturut-turut dengan IM. Perinfus
diberikan 20.000 U sekaligus.
d.      Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis, intravena selama 10 hari. Bila
pasien menjadi sepsis pengobatan seperti pasien lainnya. Bila pungsi lumbal tidak
dapat dilakukan pengobatan seperti yang diberikan pada pasien meningitis bakterialis.
e.       Tali pusat dibersihkan/kompres dengan alcohol 70%/Betadine 10%.
f.       Perhatikan jalan napas, diuresis, dan tanda vital. Lendir sering dihisap.

2)      Penatalaksanaan keperawatan


Pasien tetanus neonatorum dalah pasien yang gawat, mudah terangsang kejang
dan bila kejang selalu disertai sianosis. Spasme pada otot pernafasan sering menyebabkan
pasien apneu. Spasme otot telan akan menyebabkan liur sering terkumpul didalam mulut
dan dapat menyebabkan aspirasi. Oleh karena itu, pasien perlu dirawat dikamar yang
tenang tetapi harus terang (untuk memudahkan pengawasan pada bayi, dan bila terjadi
apneu agar segera dapat dilakukan tindakan. Dahulu kamar tetanus selalu gelap). Masalah
pasien yang perlu diperhatikan adalah bahaya terjadi gangguan pernafasan, kebutuhan
nutrisi/cairan, dan kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit.
Tiindakan pada pasien tetanus neonatorum pada saat kejang.
Baringkan bayi dalam sikap kepala ekstensi dengan memberikan ganjal dibawah
bahunya.
Berikan O2 secara rumat karena bayi selalu sianosis (1-2 L/menit jika sedang
terjadi kejang karena sianosis bertambah berat O2 berikan lebih tinggi dapat samapi
4L/menit ( jika kejang telah berhenti turunkan lagi).
Pada saat kejang, pasangkan sudip lidah untuk mencegah lidah jatuh lebih baik dipasang
terus.
Sering isap lender, yakni pada saat kejang, jika akan melakukan napas buatan
pada saat apneu dan sewaktu – waktu terlihat lender pada mulut bayi.
Observasi tanda vital secara kontinu setiap 1⁄2 jam dan catat secara cermat. Pasien tetanus
neonatorum karena mendapatkan antikonvulsan terus kemungkinan sewaktu – waktu
dapat terjadi apneu.
Usahakan agar tempat tidur bayi dalam keadaan hangat (pasang selubung tempat
tidur/kain disekeliling tempat tidur karena selama payah bayi sering dalam keadaan
telanjang, maksudnya agar memudahkan pengawasan pernafasannya). Bil bayi
kedinginan juga dapat menyebabkan apneu.

Tindakan pada bayi apneu.


Isap lendirnya sampai bersih (dari mulut juga hidung)
O2 dberikan lebih besar (dapat sampai 4L/menit)
Letakkan bayi diatas tempat tidurnya/telapak tangan kiri penolong, tekan – tekan bagian
iktus jantung ditengah – tengah tulang dada dengan dapat juga dilakukan dengan kedua
ibu jari diatas dada bayi dan delapan jari dibawah punggungnya dengan frekuensi sama.
Bahaya terjadinya gangguan pernafasan . gangguan pernafasan yang sering terjadi adalah
apneu, yang disebabkan adanya tetanospasmin yang menyerang otot – otot pernafasan
sehingga otot tersebut tidak berfungsi . adanya spasme pada otot faring menyebabkan
terkumpulnya liur didalam rongga mulut sehingga memudahkan terjadinya pneumonia
aspirasi. Adanya lender di tenggorok juga menghalangi kelancaran lalu – lintas udara
(pernafasan). Pasien tetanus neonaorum setiap kejang selalu disertai sianosis dan
frekuensi kejang biasanya sering sehingga pasien akan terlihat sianosis terus – menerus.
Tindakan yang perlu dilakukan.
Dewasa ini, di subbagian anak RSCM Jakarta pemberian diazepam pada bayi dengan
tetanus neonatorum diberikan melalui drip dengan menggunakan mikrodrip (mikrodrip
ialah tabung yang hanya berisi 100 ml dan setiap ml berisi 60 tetes). Pada bayi tetanus
yang payah biasanya dipasang 2 tabung mikrodrip untuk pemberian cairan biasa dan yang
lain khusus untuk diazepam. Cairan yang diberikan adalah glukosa 10% dan bikarbonas
natrikus 11⁄2%). Jika tidak menggunakan mikrodrip tetesan harus pelan sekali. Dalam
keadaan bayi tidak banyak kejang, diazepam dimasukkan kedalam 100 ml cairan
sebanyak dosis yang diperlukan dan diharapkan dapat habis dalam 24 jam seterusnya
diganti lagi. Tetapi jika bayi banyak kejang (frekuensinya sering sekali) diazepam
dimasukkan kedalam 50 ml cairan tetesannya lebih dipercepat dan diganti setiap 6 jam
(tetesan kira – kira 8 tetes permenit).
Kebutuhan nutrisi/cairan. Akibat bayi tidak dapat menetek dan keadannya payah, untuk
memenuhi kebutuhan makanannya perlu diberi infuse dengan cairan glukosa 10%. Tetapi
karena bayi juga sering sianosis maka cairan ditambahkan bikarbonas natrikus 11⁄2%
dengan perbandingan 4:1. Bila keadaan membaik, kejang sudah berkurang pemberian
makanan dapat diberikan melalui sonde dan selanjutnya sejalan dengan perbaikan bayi
dapat diubah memakai dot secara bertahap.
8. ASUHAN KEPERAWATAN

A.  PENGAKAJIAN
1.      Pengkajian umum : Riwayat penyakit sekarang : adanya luka parah dan luka bakar
dan imunisasi yang tidak adekuat.
2.      Pengkajian khusus:
a.       Sistem pernafasan : dyspnea asfiksia dan sianosis akibat kontraksi oto
pernafasan.
b.      Sistem cardiovascular : disritmia, takicardi, hipertensi dan perdarahan, suhu
tubuh awalnya 38 - 40°Catau febris sampai ke terminal 43 - 44°C.
c.       Sistem neurologis: irritability (awal), kelemahan, konvulsi (akhir), kelumpuhan
satu atau beberapa saraf otak.
d.      Sistem perkemihan : retensi urine (distensi kandung kemih dan urine output tidak
ada/oliguria)
e.       Sistem pencernaan : konstipasi akibat tidak ada pergerakan usus.
f.       Sistem integument dan muskuloskletal : nyeri kesemutan pada tempat luka,
berkeringatan (hiperhidrasi), pada awalnya didahului trismus, spasme otot muka
dengan peningkatan kontraksi alis mata, risus sardonicus, otot kaku dan kesulitan
menelan. Apabila hal ini berlanjut terus maka akan terjadi status konvulsi dan
kejang umum.
( Marlyn Doengoes, Nursing care Plan, 1993)

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.     Ketidak efektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan sputum
pada trakea dan spasme otot pernafasan.
2.      Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme
otot-otot pernafasan
3.     Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efek toksin
( bakterimia )
4.     Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan otot
pengunyah yang ditandai dengan intake kurang, makan dan minuman yang masuk
lewat mulut kembali lagi dapat melalui hidung dan berat badan menurun disertai
hasil pemeriksaan protein atau albumin kurang dari 3,5 mg%.

C. RENCANA KEPERAWATAN
1.    Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan sputum
pada trakea dan spasme otot pernafasan, ditandai dengan : ronchi, sianosis, dyspnea,
batuk tidak efektif disertai dengan sputum atau lender, hasil pemeriksaan laboratorium
menunjukan : AGD abnormal (asidosis respiratotik)
Tujuan: jalan nafas efektif
Kriteria:
         Klien tidak sesak, lender atau sleam tidak ada
         Pernafasan 16 – 18 kali/menit
         Tidak ada pernafasan cuping hidung
         Tidak ada tambahan otot pernafasan
         Hasil pemeriksaan laboratorium darah AGD dalam batas normal ( pH=7,35 – 7,45
; PCO2= 35 – 45 mmHg, PO2 = 80 – 100 mmHg )
Intervensi dan rasional :
1)     Bebaskan jalan nafas dengan mengatur posisi kepala ekstensi
Rasional : secara anatomi posisi kepala ekstensi merupakan cara untuk meluruskan
rongga pernafasan sehingga proses respirasi tetap berjalan lancar dengan
menyingkirkan pembuntuan jalan nafas.
2)     Pemeriksaan fisik dengan cara auskultasi mendengar suara nafas (adakah ronchi)
tiap 2 – 4 jam sekali
Rasional : ronchi menunjukan adanya gangguan pernafasan akibat atas cairan atau
secret yang menutupi sebagian dari saluran pernafasan sehingga perlu dikeluarkan
untuk mengoptimalkan jalan nafas.
3)     Bersihkan mulut dan saluran nafas dari secret dan lendir dengan melakukan
section.
Rasional : section merupakan tindakan bantuan untuk mengeluarkan secret,
sehingga mempermudah proses respirasi.
4)     Oksigenisasi sesuai intruksi dokter
Rasional : pemberian oksigen secara adekuat dapat mensuplai dan memberikan
cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadi hipoksia
5)     Observasi tanda-tanda vital setiap 2 jam
Rasional : dyspnea, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai
dengan kerja jantung yang menurun timbul tacikardi dan capillary reffil time yang
memanjang/lama.
6)     Observasi timbulnay gagal nafas/apnea
Rasional : ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi
yang kritis dengan menggunakan alat bantu pernafasan (mechanical ventilation)
7)     Kolaborasi dalam pemberian obat pengencer secret (mukolotik)
Rasional : obat mukolitik dapat mengencerkan secret yang kental sehingga mudah
mengeluarkan dan mencegah kekentalan.

2.   Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot-
otot pernafasan, yang ditandai dengan kejang rangsangan, kontraksi otot-otot
pernafasan, adanya lender dan secret yang menumpuk.
Tujuan : pola nafas teratur dan normal
Kriteria :
         Hipoksemia teratasi, mengalami perbaikan pemenuhan kebutuhan oksigen
         Tidak sesak, pernafasan normal 16 – 18 kali/menit
         Tidak sianosis
Intervensi dan rasional :
1)     Monitor irama pernafasan dan respirasi rate
Rasional : indikasi adanya penyimpangan atau kelainan dari pernafasan dapat
dilihat dari frekuensi, jenis pernafasan, kemampuan dan irama nafas.
2)     Atur posisi luruskan jalan nafas
Rasional : jalan nafas yang longgar tidak ada sumbatan proses respirasi dapat
berjalan dengan lancar.
3)     Observasi tanda dan gejala sianosis
Rasional : sianosis merupakan salah satu tanda manifestasi klinik ketidakadekuatan
suplai O2 pada jaringan tubuh perifer.
4)     Berikan oksigenasi sesuai dengan intruksi dokter
Rasional : pemberian oksigen secara adekuat dapat mensuplai dan memberikan
cadangan oksigen, sehingga mncegah terjadinya hipoksia.
5)     Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam
Rasional : dyspnea, sianosis merupan tanda terjadinya gangguan nafas disertai
dengan kerja jantung yang menurun timbul tacikardi dan capillary reffil time yang
memanjang/lama.
6)     Observasi timbulnya gagal nafas
Rasional : ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi
yang kritis dengan menggunakan alat bantu pernafasan (mechanical ventilato)
7)     Kolaborasi dalam pemeriksaan analisa gas darah
Rasional : kompensasi tubuh terhadap gangguan proses difusi dan perfusi jaringan
dapat mengakibatkan terjadinya asidosis respiratory.
3.    Peningkatan suhu tubuh (hipertermi) berhubungan dengan efek toksin (bakterimia),
yang ditandai dengan : suhu tubuh meningkat menjadi 38 – 40 °C, hiperhidrasi, sel
darah putih lebih dari 10.000/mm3
Tujuan : suhu tubuh normal
kriteria :
         Suhu kembali normal 36 – 37 °C
         Hasil laboratorium sel darah putih (leukosit) antara 5.000 – 10.000/mm3
Intervensi dan rasional :
1)     Atur suhu lingkungan yang nyaman
Rasional : iklim lingkungan dapat mempengaruhi kondisi dan suhu tubuh individu
sebagai suatu proses adaptasi melalui proses evaporasi dan konveksi
2)     Pantau suhu tubuh tiap 2 jam
Rasional : identifikasi perkembangan gejala-gejala kearah syok exhaustion
3)     Berikan hidrasi atau minum yang adekuat
Rasional : cairan-cairan membantu menyegarkan badan dan merupakan kompresi
badan dari demam.
4)     Lakukan tindakan teknik aseptic dan antiseptic pada perawatan luka
Rasional: perawatan luka mengeleminasi kemungkinan toksin yang masih berada
disekitar luka.
5)     Berikan kompres dingin bila tidak terjadi eksternal rangsangan kejang
Rasional : kompres dingin merupakan salah satu cara untuk menurunkan suhu
tubuh dengan cara proses konduksi.
6)     Laksanakan program pengobatan antibiotic dan antipiretik
Rasional : obat-obatan antibacterial dapat mempunyai spectrum untuk mengobati
bakteri gram positif, atau bakteri gram negative, antipiretik bekerja sebagai proses
termoregulasi untuk mengantisipasi panas.
7)     Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium leukosit
Rasional : hasil pemeriksaan leukosit yang meningkat lebih dari 100.000/mm3
mengidentifikasikan adanya infeksi dan atau untuk mengikuti perkembangan
pengobatan yang diprogramkan.

4.   Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan otot


pengunyah yang ditandai dengan intake kurang, makan dan minuman yang masuk
lewat mulut kembali lagi dapat melalui hidung dan berat badan menurun disertai hasil
pemeriksaan protein atau albumin kurang dari 3,5 mg%
Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria :
         Berat badan optimal
         Intake adekuat
         Hasil pemeriksaan albumin 3,5 – 5 mg%

Intervensi dan rasional :


1)     Jelaskan faktor yang mempengaruhi kesuliatan dalam makan dan pentingnya
makanan bagi tubuh
Rasional : dampak dari tetanus adalah adanya kekakuan dari otot pengunyah
sehingga klien mengalami kesuliatan menelan dan kadang timbul reflex balik atau
kesedak. Dengan tingkat pengetahuan yang adekuat diharapkan klien dapat
berpartisipasi dan kooperatif dalam program diet.
2)     Kolaborasi dengan tim gizi untuk pemberian diet TKTP cair, lunak, dan bubur
kasar.
Rasional : diet yang diberikan sesuai dengan keadaan klien dari tingkat membuka
mulut dan proses mengunyah
3)     Kolaborasi untuk memberikan caiaran IV line
Rasioanal : pemberian cairan perinfus diberikan pada klien dengan
ketidakmampuan mengunyah atau tidak bisa makan lewat mulut sehingga
kebutuhan nutrisi terpenuhi.
4)     Kolaborasikan untuk pemasangan NGT bila perlu
Rasional : NGT dapat berfungsi sebagai masuknya makanan juga untuk
memberikan obat
DAFTAR PUSTAKA

Buku Kuliah ilmu Kesehatan Anak Bagian 2, Infeksi Virus, oleh Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi 4.Jakarta 1985.
Dubcombe, Margaret dan Weller, Barbara. Pediatric Nursing, The Prncipal Commicable

Disease. Fourth Edition, 1974. London.


Sumarmo S. Poerwo Soedarmo, Penatalaksanaan DBD: Medika No. 2, tahun ke -15, Februari

1989.
Perawatan anak sakit / Ngastiyah ; editor, Monica Ester. Ed.2.Jakarta : EGC, 2005

Diposkan oleh Enggo AFR di 2:52 AM No comments:

Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to Pinterest

Anda mungkin juga menyukai