OLEH:
P07120018107
2.3
KEMENTRIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
2020
LAPORAN PENDAHALUAN TETANUS
B. ETIOLOGI
Agen penyebab tetanus adalah Clostridium tetani yaitu
bakteri gram positif yang bersifat anaerob, berbentuk batang,
ramping, berukuran 2-5 x 0,4-0,5 milimikro. Di luar tubuh
bakteri ini berbentuk spora. Spora ini mampu bertahan dalam
lingkungan panas antiseptic, dan jaringan tubuh hingga
berbulan-bulan. Spora tetanus dapat bertahan hidup dalam air
mendidih tetapi tidak di dalam autoklaf, tetapi sel vegetatif
terbunuh oleh antibiotik, panas dan desinfektan baku. Tidak
seperti banyak klostridia, Clostridium Tetani bukan organisme
yang menginvasi jaringan, malahan menyebabkan penyakit
melalui toksin tunggal yang dihasilkannya, yaitu
tetanospasmin yang lebih sering disebut sebagai toksin
tetanus. Toksin tetanus adalah bahan kedua yang paling
beracun yang diketahui setelah toksin botulinum. Jika dalam
kondisi yang baik, kuman ini akan mengeluarkan toksin
(eksotoksin) yaitu “tetanuspasmin” yang bersifat neurotoksik.
Mula-mula toksin akan menyebabkan kejang otot dan saraf
perifer setempat (Vanessa, 2007).
FAKTOR RESIKO
1. Penggunaan alat-alat invasif yang tidak steril.
2. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin DPT.
3. Penduduk yang bertempat tinggal di daerah
peternakan.
4. Luka terbuka yang tidak dirawat dengan adekuat
(Ngastiy, 2009).
C. PATOFISIOLOGI
Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari
bakteri Gram positif anaerob, Clostridium tetani, dengan mula-
mula 1 hingga 2 minggu setelah inokulasi bentuk spora ke
dalam darah tubuh yang mengalami cedera (periode
inkubasi). Penyakit ini merupakan 1 dari 4 penyakit penting
yang manifestasi klinis utamanya adalah hasil dari pengaruh
kekuatan eksotoksin (tetanus, gas ganggren, dipteri,
botulisme).Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa
luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan
jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan
kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka
geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan
atau jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan
luka pada pembedahan.
Pada keadaan anaerobik, spora bakteri ini akan
bergerminasi menjadi sel vegetatif.Selanjutnya, toksin akan
diproduksi dan menyebar ke seluruh bagian tubuh melalui
peredaran darah dan sistem limpa. Toksin tersebut akan
beraktivitas pada tempat-tempat tertentu seperti pusat sistem
saraf termasuk otak. Gejala klonis yang ditimbulakan dari
toksin tersebut adalah dengan memblok pelepasan dari
neurotransmiter sehingga terjadi kontraksi otot yang tidak
terkontrol. Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis
(kehilangan kemampuan untuk bergerak) pada voluntary
muscles (otot yang geraknya dapat dikontrol), sering disebut
lockjaw karena biasanya pertama kali muncul pada otot
rahang dan wajah. Kematian biasanya disebabkan oleh
kegagalan pernafasan dan rasio kematian sangatlah tinggi.
D. MANIFESTASI KLINIS
Tetanus neonatorum merupakan salah satu bentuk klinis
dari tetanus, selain tetanus neonatorum bentuk klinis lain
tetanus antara lain generalized tetanus, localized tetanus dan
cephalic tetanus. Tetanus neonatorum merupakan bentuk
infantil dari tetanus generalisata.
Manifestasi awal yang ditemukan pada tetanus
neonatorum dapat dilihat ketika bayi malas minum dan
menangis yang terus menerus, suhu tubuh bayi normal atau
bisa meningkat atau subfebris. Bayi kemudian akan kesulitan
hingga tidak sanggup menghisap dan akhirnya mengalami
gangguan menyusu. Hal tersebut menjadi tanda khas onset
penyakit ini. Kekakuan rahang atau trismus mulai terjadi, dan
mengakibatkan tangisan bayi berkurang dan akhirnya
berhenti. Trismus pada tetanus neonatorum tidak sejelas pada
penderita anak atau dewasa, karena kekakuan otot leher lebih
kuat dari otot masseter, sehingga rahang bawah tertarik dan
mulut justru agak membuka dan kaku sehingga bentukan
mulut menjadi mecucu seperti mulut ikan karper. Kemudian
terjadi kekakuan pada wajah dimana bibir tertarik kearah
lateral, dan alis tertarik ke atas yang disebut risus sardonicus.
Kaku kuduk, disfagia, dinding abdomen kaku dan mengeras
serta kekakuan pada seluruh tubuh akan menyusul dalam
beberapa jam berikutnya.
Awalnya kekakuan tubuh yang terjadi bersifat periodik,
dan dipicu oleh rangsanganrangsangan sensoris seperti suara,
cahaya atau sentuhan. Kemudian kejang akan terjadi secara
spontan dan akhirnya terus menerus. Kesadaran bayi masih
baik namun spasme dan kejang berulang atau terus menerus
yang terjadi akan mempengaruhi sistem saraf simpatik
sehingga terjadi vasokonstriksi pada saluran napas dan akan
terjadi apneu dan bayi menjadi sianosis. Hal ini merupakan
penyebab kematian terbesar pada kasus tetanus neonatorum.
Pada saat spasme dan kejang berlangsung, kedua
lengan biasanya akan fleksi pada siku dan tertarik ke arah
badan, sedangkan kedua tungkai dorsofleksi dan kaki akan
mengalami hiperfleksi. Spasme pada otot punggung
menyebabkan punggung tertarik menyerupai busur panah
atau disebut opisthotonos.
Jarak antara gejala pertama muncul sampai munculnya
gejala berikutnya pada kasus tetanus neonatorum disebut
periode onset. Periode onset ini berperan penting dalam
menentukan prognosis penyakit ini. Semakin pendek periode
onset ini, semakin buruk prognosisnya. Periode onset pada
neonatus lebih pendek dibandingkan dengan pada anak atau
dewasa dimana lebih ke arah beberapa jam dari pada
beberapa hari seperti pada dewasa, hal ini mungkin
disebabkan jarak akson yang lebih pendek sehingga infeksi
lebih cepat mencapai sistem saraf pusat.
Masa inkubasi tetanus pada bayi (tetanus neonatorum)
lebih cepat dibanding tetanus tipe lain yaitu berkisar antara 3-
10 hari, dan biasanya bermanifestasi pada akhir minggu
pertama atau awal minggu ke dua pasca persalinan sehingga
sering kali disebut sebagai penyakit hari ke tujuh (disease of
the seventh day).
Berdasarkan onset, masa inkubasi dan manifestasi klinis
yang dijumpai pada bayi, dapat ditentukan berat ringannya
tetanus neonatorum, seperti pada table dibawah ini:
E. FAKTOR RESIKO
Terdapat 5 faktor risiko utama terjadinya tetanus neonatorum,
yaitu:
a. Faktor Risiko Pencemaran Lingkungan Fisik dan Biologik
Lingkungan yang mempunyai sanitasi yang buruk akan
memyebabkan Clostridium tetani lebih mudah berkembang
biak. Kebanyakan penderita dengan gejala tetanus sering
mempunyai riwayat tinggal di lingkungan yang kotor.
Penjagaan kebersihan diri dan lingkungan adalah amat
penting bukan sahaja dapat mencegah tetanus, malah
pelbagai penyakit lain.
b.Faktor Alat Pemotongan Tali Pusat
Penggunaan alat yang tidak steril untuk memotong tali
pusat meningkatkan risiko penularan penyakit tetanus
neonatorum. Kejadian ini masih lagi berlaku di negara-
negara berkembang dimana bidan-bidan yang melakukan
pertolongan persalinan masih menggunakan peralatan
seperti pisau dapur atau sembilu untuk memotong tali pusat
bayi baru lahir (WHO, 2008).
c. Faktor Cara Perawatan Tali Pusat
Terdapat sebagian masyarakat di negara-negara
berkembang masih menggunakan ramuan untuk menutup
luka tali pusat seperti kunyit dan abu dapur. Seterusnya, tali
pusat tersebut akan dibalut dengan menggunakan kain
pembalut yang tidak steril sebagai salah satu ritual untuk
menyambut bayi yang baru lahir. Cara perawatan tali pusat
yang tidak benar ini akan meningkatkan lagi risiko
terjadinya kejadian tetanus neonatorum (Chin, 2000).
d.Faktor Kebersihan Tempat Pelayanan Persalinan
Kebersihan suatu tempat pelayanan persalinan adalah
sangat penting. Tempat pelayanan persalinan yang tidak
bersih bukan sahaja berisiko untuk menimbulkan penyakit
pada bayi yang akan dilahirkan, malah pada ibu yang
melahirkan. Tempat pelayanan persalinan yang ideal
sebaiknya dalam keadaan bersih dan steril (Abrutyn, 2008).
e. Faktor Kekebalan Ibu Hamil
Ibu hamil yang mempunyai faktor kekebalan terhadap
tetanus dapat membantu mencegah kejadian tetanus
neonatorum pada bayi baru lahir. Antibodi terhadap tetanus
dari ibu hamil dapat disalurkan pada bayi melalui darah,
seterusnya menurunkan risiko infeksi Clostridium tetani.
Sebagian besar bayi yang terkena tetanus neonatorum
biasanya lahir dari ibu yang tidak pernah mendapatkan
imunisasi TT (Chin, 2000).
F. KLASIFIKASI
a. Klasifikasi tetanus berdasarkan bentuk klinis yaitu: (Sudoyo
Aru, 2009)
1. Tetanus local : Biasanya ditandai dengan otot terasa
sakit, lalu timbul rebiditas dan spasme pada bagian
proksimal luar. Gejala itu dapat menetap dalam beberapa
minggu dan menghilang.
2. Tetanus sefalik : Varian tetanus local yang jarang terjadi.
Masa inkubasi 1-2 hari terjadi sesudah otitis media atau
luka kepala dan muka. Paling menonjol adalah disfungsi
saraf III, IV, VII, IX, dan XI tersering saraf otak VII diikuti
tetanus umum.
3. Tetanus general : yang merupakan bentuk paling sering.
Spasme otot, kaku kuduk, nyeri tenggorokan, kesulitan
membuka mulut, rahang terkunci (trismus), disfagia.
Timbul kejang menimbulkan aduksi lengan dan ekstensi
ekstremitas bagian bawah. Pada mulanya, spasme
berlangsung beberapa detik sampai beberapa menit dan
terpisah oleh periode relaksasi.
4. Tetanus neonatorum : biasa terjadi dalam bentuk general
dan fatal apabila tidak ditanggani, terjadi pada anak-anak
yang dilahirkan dari ibu yang tidak imunisasi secara
adekuat, rigiditas, sulit menelan ASI, iritabilitas, spasme.
b. Klasifikasi beratnya tetanus oleh albert (Sudoyo Aru, 2009) :
1. Derajat I (ringan): trismus (kekakuan otot mengunyah)
ringan sampai sedang, spasitas general, tanpa
gangguan pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa
disfagia
2. Derajat II (sedang): trismus sedang, rigiditas yang
nampak jelas, spasme singkat ringan sampai sedang,
gangguan pernapasan sedang RR ≥ 30x/ menit, disfagia
ringan.
3. Derajat III (berat): trismus berat, spastisitas generaisata,
spasme reflek berkepanjangan, RR ≥ 40x/ menit,
serangan apnea, disfagia berat, takikardia ≥ 120.
4. Derajat IV (sangat berat): derajat tiga dengan otomik
berat melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipotensi berat
dan takikardia terjadi perselingan dengan hipotensi dan
bradikardia, salah satunya dapat menetap.
G. PATHWAY
Hambatan
Komunikasi Verbal
H. TANDA DAN GEJALA
Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan
gejala pertama) rata-rata 7-10 hari dengan rentang 1-60 hari.
Onset (rentang waktu antara gejala pertama dengan spasme
pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Minggu pertama:
regiditas, spasme otot. Gangguan ototnomik biasanya dimulai
beberapa hari setelah spasme dan bertahan sampai 1-2
minggu tetapi kekakuan tetap bertahan lebih lama. Pemulihan
bisa memerlukan waktu 4 minggu. (Sudoyo, Aru 2009)
Tetanus biasanya terjadi setelah suatu trauma,
kontaminasi luka dengan tanah, kotoran binatang atau logam
berkarat dapat menyebabkan tetanus. Tetanus juga dapat
terjadi sebagai komplikasi dari luka bakar, ulkus gangren, luka
gigitan ular yang mengalami nekrosis, infeksi telinga tengah,
aborsi septik, persalinan, injeksi intramuscular, dan
pembedahan.
Masa tunas biasanya 5 – 14 hari, tetapi kadang-kadang
sampai beberapa minggu pada infeksi ringan atau kalau
terjadi modifikasi penyakit oleh anti serum. Penyakit ini
biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang
makin bertambah terutama pada rahang dan leher. Dalam
waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan :
1. Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-
otot mastikatoris.
2. Kaku kuduk sampai opistotonus (karena ketegangan otot-
otot erector trunki).
3. Ketegangan otot dinding perut (harus dibedakan dengan
abdomen akut).
4. Kejang tonik apabila dirangsang karena toksin yang
terdapat di kornus anterior.
5. Rikus sardonikus karena spasme otot muka (alis tertarik
keatas), sudut mulut tertarik keluar dan kebawah, bibir
tertekan kuat pada gigi.
6. Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri
kepala, nyeri anggota badan sering merupakan gejala dini.
7. Spasme yang khas, yaitu badan kaku dengan opistotonus,
ekstermitas inferior dalam keadaan ekstensi, lengan kaku
dan mengepal kuat. Pasien tetap sadar. Spasme mula-
mula intermiten diselingi dengan periode relaksasi.
Kemudian tidak jelas lagi dan serangan tersebut disertai
dengan rasa nyeri. Kadang-kadang di sertai perdarahan
intramuscular karena kontraksi yang kuat.
8. Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot
pernafasan dan laring. Retensi urin dapat terjadi karena
spasme otot uretra. Fraktur kolumna vetebralis dapat pula
terjadi karena kontraksi otot yang sangat kuat.
9. Panas biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium
akhir.
10. Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang
terjadi tekanan cairan di otak.
I. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Untuk mendiagnosa tetanus neonatorum adalah
dengan melihat tanda dan gejala klinis yang ada
sebagaimana yang telah dibahas pada bagian manifestasi
klinis. Tali pusat bayi dapat ditemui dalam kondisi kotor dan
berbau merupakan tanda port d’entree clostridium tetani.
Pemeriksaan dengan spatula lidah dapat digunakan untuk
mendeteksi dini penyakit ini. Hasil positif ditunjukan ketika
spatula disentuhkan ke orofaring lalu terjadi spasme pada
otot maseter dan bayi menggigit spatula lidah. Uji spatula
memiliki spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi (94%).
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk
tetanus, beberapa hasil pemeriksaan penunjang dibawah ini
dapat ditemui pada kasus tetanus, antara lain:
1. Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada
kasus tersangka tetanus, namun demikian, kuman
Clostridium tetani dapat ditemukan di luka pada orang
yang tidak mengalami tetanus dan seringkali tidak dapat
dikultur pada pasien tetanus.
2. Nilai hitung leukosit dapat tinggi.
3. Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan
hasil yang normal.
4. Kadar antitoksin didalam darah 0,01 U/mL atau lebih,
dianggap sebagai imunisasi bukan tetanus.
5. Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam
darah dapat meningkat.
6. EMG dapat menunjukkan pelepasan subunit motorik yang
terus menerus dan pemendekan atau tidak adanya
interval tenang yang normal yang diamati setelah
potensial aksi.
7. Dapat ditemukan perubahan yang tidak spesifik pada
EKG.
8. Pada tetanus kadar serum 5-6 mg/al atau 1,2-1,5 mmol/L
atau lebih rendah kadar fosfat dalam serum meningkat.
9. Sinar X tulang tampak peningkatan denitas foto Rontgen
pada jaringan subkutan atau basas ganglia otak
menunjukkan klasifikasi.
J. PENATALAKSANAAN MEDIS
a. Penatalaksanaan Umum
1) Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi.
Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara
intravena, sekaligus memberikan obat-obatan, bila
sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya
dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral.
Setelah kejang mereda dapat dipasang sonde
lambung untuk makanan dan obat-obatan dengan
perhatian khusus pada kemungkinan aspirasi.
2) Menjaga saluran nafas tetap bebas.
Memberikan tambahan O2 dengan sungkup (masker).
Pada kasus yang berat perlu dilakukan trakeostomi.
3) Mengurangi spasme dan mengatasi kejang.
Kejang harus segera dihentikan dengan diazepam
dengan dosis yang bervariasi berdasarkan usia :
bayi > 30 hari : 1 to 2 mg IV berikan secara
perlahan, repeated q 3 to 4 jam jika perlu
balita : 0.1 to 0.8 mg/kg/hari up to 0.1 to 0.3 mg/kg
IV q 4 to 8 jam
anak > 5 tahun : 5 to 10 mg IV q 3 to 4 jam
dewasa : 5 to 10 mg po q 4 to 6 h or up to 40
mg/jam IV drip
Setelah kejang berhenti, pemberian dilanjutkan
dengan dosis rumatan sesuai klinis pasien. Bila dosis
diazepam maksimal telah tercapai namun pasien masih
kejang atau mengalami spasme laring, dipertimbangkan
untuk dirawat di ruang perawatan intensif sehingga otot
dapat dilumpuhkan dan mendapat bantuan pernafasan
mekanik. Apabila dengan terapi antikonvulsan dengan
dosis rumatan memberi respon klinis yang diharapkan,
dosis dipertahankan 3-5 hari. Selanjutnya pengurangan
dosis dilakukan bertahap (berkisar antara 20 % dari dosis
setiap dua hari). Bila pipa nasogastrik telah dapat
dipasang, obat anti kejang dibarikan secara oral. Pada
tetanus sedang, dosis anti konvulsan dimulai dengan 1/2-
2/3 dari dosis maksimal dan 2/5 dosis maksimal untuk
tetanus ringan. Mengingat tetanus sedang/ringan dapat
berubah menjadi tetanus berat secara cepat, maka setiap
saat dosis harus disesuaikan dengan perubahan gejala
klinis dengan pemberian dosis antikonvulsan yang
maksimal. Pada tetanus berat, setelah pemberian
diazepam 10 mg iv perlahan-lahan dilanjutkan dengan
dosis 100-200 mg/24 jam dengan pompa semprit atau
tiap 2 jam atau 12 kali perhari.
4) Perawatan Luka.
Yaitu dilakukan eksisi jaringan yang cukup luas guna
membersihkan jaringan anaerob, terutama bila ada
benda asing (debridement). Perawatan luka dilakukan
setiap hari.
5) Ruang Khusus
Isolasi untuk menghindari rangsangan (suara,
tindakan terhadap penderita). Ruangan harus tenang.
Pasien dianjurkan untuk dirawat di Unit Perawatan
Khusus bila didapatkan keadaan kejang-kejang yang
sukar diatasi obat-obatan antikonvulsan biasa.
Spasme laring merupakan komplikasi yang
memerlukan perawatan intensif seperti sumbatan
jalan nafas, kegagalan pernafasan, hipertermi dan
sebagainya. Jika karies dentis atau OMSK dicurigai
sebagai port de enty maka konsultasi ke dokter
gigi/THT (Ngastiy, 2009; Subhan, 2002).
b. Penatalaksanaan Khusus
1) Antibiotik
Untuk membunuh kuman C. Tetani (vegetatif) diberikan
penisilin prokain 50.000-100.000/kgBB/hari selama 7-
10 hari. Metronidazol tampak sama efektifnya.
Tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari dan eritromisin (untuk
anak berumur = 9 tahun) untuk penderita alergi
penisilin. Untuk penyulit sepsis atau bronkopneumonia
diberikan antibiotik yang sesuai.
2) Anti serum.
Ada berbagai pendapat : Pengobatan spesifik dengan
ATS 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut secara
intramuskulus dengan didahului oleh uji kulit dan mata.
Bila hasilnya positif, maka pemberian ATS harus
dilakukan dengan desensitisasi cara Besredka. Dosis
ATT biasanya 50.000-100.000 U, setengahnya
diberikan secara intravena dan setengahnya
intramuskuler, tetapi mungkin diperlukan sedikit yaitu
10.000 U saja sudah cukup. Dapat digunakan ATS 5000
unit intramuskular, tetapi pusat rujukan lain
mempergunakan dosis 40.000 unit diberikan separuh
intravena dan separuhnya intramuskular atau bila
fasilitas tersedia dapat diberikan HTIG (Human Tetanus
Immune Globulin) 500-3000 IU (Ngastiy, 2009; Subhan,
2002).
c. Pencegahan
1) Perawatan luka.
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada
luka tusuk, luka kotor atau luka yang diduga tercemar
dengan spora tetanus. Terutama perawatan luka guna
mencegah timbulnya jaringan anaerob.
2) ATS profilaksis.
Hanya efektif pada luka baru (kurang dari 6 jam)
memberikan kekebalan pasif, sehingga dapat dicegah
terjadinya tetanus atau masa inkubasi diperpanjang
atau bila terjadi tetanus gejalanya ringan. Umumnya
1500 U im dengan didahului uji kulit dan mata. Harus
segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif.
3) Imunisasi aktif
Vaksin gabungan toksoid difteri, tetanus dan pertusis
(DTP) pada usia 2, 4, dan 6 bulan, dengan booster pada
usia 4-6 tahun dan pada interval 10 tahun sesudahnya
sampai dewasa dengan toksoid tetanus-difteri (Td).
Toksoid Tetanus (TT) diberikan pada setiap wanita usia
subur, gadis mulai umur 12 tahun dan ibu hamil. Untuk
orang-orang umur 7 tahun atau lebih yang belum
diimunisasi, seri imunisasi primer terdiri dari 3 dosis Td
yang diberikan intramuskular, yang kedua 4-6 minggu
sesudah yang pertama dan yang ketiga 6-12 bulan
sesudah yang kedua. Booster toksoid tetanus (lebih
baik Td) diberikan pada orang yang terjejas yang telah
menyelesaikan seri imunisasi primernya jika:luka bersih
dan kecil tetapi telah mencapai 10 tahun sejak booster
yang terakhir, atau luka lebih serius dan telah
mencapai 5 tahun sejak booster terakhir atau pada
pemberian penisilin prokain selama 2-3 hari setelah
mendapat luka berat (dosis 50.000 U/kgBB/hari) (Davis,
2010; Joseph, 2009).
K. KOMPLIKASI
g) Sistem sensori
Pemeriksaan sensorik pada tetanus biasanya di
dapatkan perasaan raba normal, perasaan nyeri
normal. Perasaan suhu normal. Tidak ada
perasaan abnormal di permukaan tubuh. Perasaan
proprioseftif normal dan perasaan diskriminatif
normal.
4) B4 (Bladder)
Penurunan volume haluaran urin berhubungan
dengan penurunan perpusi dan penurunan curah
jantung ke ginjal. Adanya retensi urin karena kejang
umum. Pada klien yang sering kejang sebaiknya
pengeluaran urine dengan menggunakan kateter.
5) B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan
peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan
nutrisi pada klien tetanus menurun karena anoreksia
dan adanya kejang, kaku dinding perut (perut papan)
merupakan tanda khas dari tetanus. Adanya spasme
otot menyebabkan kesulitan BAB.
6) B6 (Bone)
Adanya kejang umum sehingga mengganggu
mobilitas klien dan menurunkan aktivitas sehari-hari.
Perlu dikaji apabila klien mengalami patah tulang
terbuka yang memungkinkan menjadi port de
entrée kuman Clostridium tetani, sehingga
memerlukan perawatan luka yang optimal. Adanya
kejang memberikan resiko raktur pertibra pada bayi,
ketegangan, dan spasme otot pada abdomen.
2. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
2. Nyeri akut berhubungan dengan infeksi
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan neourologis
4. Risiko infeksi berhubungan dengan proses penyakit
3. INTERVENSI KEPERAWATAN
Intervensi Pendukung
Intervensi Pendukung
8. Berikan kesempatan
pasien dan keluarga 8.Memberikan
bertanya kesempatan pada klien
untuk menanyakan hal
yang belum dipahami
9.jelaskan tanda dan
9.Memberitahu tanda
gejala dehidrasi
dan gejala dari
dehidrasi sehingga
4. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Dilakukan sesuai intervensi yang diberikan
5. EVALUASI KEPERAWATAN
1. Evaluasi formatif (proses)
Fokus pada evaluasi proses (formatif) adalah aktivitas dari proses
keperawatan dan hasil kualitas peayanan asuhan keperawatan. Evaluasi proses
harus dilaksanakan segera setelah perencanaan keperawatan
diimplementasikan untuk membantu menilai efektivitas intervensi tersebut.
Evaluasi proses harus terus menerus dilaksanakan hingga tujuan yang telah
ditentukan tercapai. Metode pengumpulan data dalam evaluasi proses terdiri
atas analisis rencana asuhan keperawatan, pertemuan kelompok, wawancara,
observasi klien, dan menggunakan form evaluasi. Ditulis pada catatan
perawatan. Contoh: membantu pasien duduk semifowler, pasien dapat duduk
selama 30 menit tanpa pusing.
2. Evaluasi Sumatif (hasil)
Rekapitulasi dan kesimpulan dari observasi dan analisa status kesehatan sesuai
waktu pada tujuan. Ditulis pada catatan perkembangan. Focus evaluasi hasil
(sumatif) adalah perubahan perilaku atau status kesehatan klien pada akhir
asuhan keperawatan.
M. PENGKAJIAN
A. IDENTITAS
1. Anak
Nama : An.K
Umur :5 th
2. Orang Tua
B. KELUHAN UTAMA
Ny.Y mengatakan bahwa anaknya panas, kejang dan sesak .
C. RIWAYAT KESEHATAN
a. Riwayat kesehatan sekarang
Ibu mengatakan anaknya panas, kejang dan sesak
b. Riwayat kesehatan lalu
Ibu mengatakan anaknya tidak pernah masuk rumah sakit
c. Imunisasi
Ibu mengatakan anaknya telah diimunisasi pada hari ke-2 setelah
persalinan
d. Aktivitas
Aktivitas melemah, terus menangis
e. Riwayat kesehatan keluarga
Ayah dan ibu mengaku tidak pernah menderita penyakit menular
ataupun penyakit keturunan.
D. Riwayat Anak
A. Perawatan dalam masa kandungan :
1. Dilakukan pemeriksaan kehamilan/tidak : Ya
2. Berapa kali : 6 kali
3. Kapan : pada saat trimester I (0 -12 minggu) 2 kali, trimester
II (12-24 minggu) 2 kali, trimester III (24-40 minggu) 2 kali
4. Tempat di : Puskesmas
5. Kesan pemeriksaan tentang kehamilan : Janin sehat
6. Imunisasi : lengkap
7. Pemeriksaan lain : USG
8. Penyakit yang pernah diderita ibu : Tidak ada
9. Penyakit dalam keluarga : Tidak ada
B. Perawatan pada waktu kelahiran :
1. Umur kehamilan : 39 minggu dilahirkan di Puskesmas
2. Ditolong oleh : Bidan
3. Berlangsungnya kelahiran : Normal
4. Keadaan bayi setelah lahir : Sehat
5. BB lahir : 2800 gram, PBL : 48 cm, LK/LD : 35cm
C. Eliminasi (BAB/BAK)
Ibu pasien mengatakan pasien biasa memberitahukan keinginan untuk
BAB/BAK, pasien tidak pernah kesulitan dalam BAB/BAK. Dengan
BAB => frekuensi 2 kali sehari , warna kuning khas feses, bau khas feses,
konsistensi lembek.
BAK => frekuensi lebih dari 3 kali sehari, warna kuning khas, bau khas
urine.
D. Aktifitas
Ibu pasien mengatakan pasien suka bermain, permainan yang disukai yaitu
mobil-mobilan. Mainan yang dimiliki kebanyakan permainan mobil-mobilan
dan robot mainan.
E. Rekreasi
Ibu pasien mengatakan terkadang mengajak anaknya ke kolam berenang
untuk rekreasi
F. Istirahat dan tidur
Ibu pasien mengatakan mengajarkan pasien untuk kencing sebelum tidur,
sikat gigi. Pasien tidur malam mulai pukul 20.30, dan bangun pikul 06.00
dengan tidur yang masih ditemani orang tua. Pasien terkadang suka tidur
siang dengan lama sekitar 1 jam.
G. Kebersihan diri
Pasien mandi 2x sehari tanpa bantuan orang tuanya.
H. Pengaturan suhu
Suhu tubuh pasien panas
I. Rasa nyaman
Pasien terlihat tidak merasa nyaman dengan kondisinya, dilihat dari pasien
terus menangis, dan terus menerus menggaruk kulitnya.
J. Rasa aman
Ibu pasien merasa khawatir melihat rush pada hampir sekujur tubuh anaknya
K. Melaksanakan ibadah
Ibu pasien mengatakan anaknya jarang bersembahyang, tetapi anaknya
sering mengikutinya kalau akan sembahyang di rumah, dan ia bisa
melakukan persembahyangan, tetapi masih dengan bimbingan orang tuanya.
F. Pengawasan Kesehatan
1. Bila sehat di awasi di puskemas
2. Bila sakit minta pertolongan kepada : Bidan, perawat dan dokter
3. Kunjungan ke Posyandu : Ya, satu bulan sekali
4. Pengawasan anak dirumah : Baik
Imunisasi ( 1 – 5 tahun)
H. KESEHATAN LINGKUNGAN
Keadaan rumah lembab, ventilasi kurang, lingkungan padat
I. PERKEMBANGAN ANAK
J. PEMERIKSAAN UMUM
Suhu : 38.5ºC
Pernafasan : 30 x/menit
K. PEMERIKSAAN FISIK
1. Kepala : Kepala normal, simetris, rambut tipis
2. Wajah : Simetris, bentuk oval,
3. Mata : Lengkap, simetris, tidak ada kelainan mata, skelera
tidak kuning, konjungtiva tida pucat, tidak ada perdarahan pada mata, tidak
ada tanda – tanda infeksi
4. Hidung : Simetris, hidung berlubang kanan dan kiri, tidak ada
pernafasan cuping hidung
5. Mulut : Bersih, bibir warna merah, reflek menelan dan
menghisap kuat,
6. Telinga : Simetris, tidak ada kelainan
7. Leher : Simetris, tidak ada bendungan vena jugularis
8. Ketiak : Tidak ada benjolan, tidak ada pembesaran kelenjar
limfe
9. Dada : Simetris, tidak ada retraksi dinding dada, pernafasan
kombinasi dada dan perut
10. Abdomen : Simetris,
11. Genetalia : Tidak ada kelainan, labia mayora sudah menutupi
labia minora
12. Anus : Tidak ada kelainan, anus berlubang
13. Ekstremitas : Simetris,
L. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Periksa lab : leukosit 5400 ul
N. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit dibuktikan dengan Ny. D
mengatakan bahwa anaknya panas, kejang dan sering menangis anak tampak
gelisah dan lemah , Suhu 38.5ºC, Pernafasan 30 x/menit, Nadi 120 x/menit.
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas dibuktikan
dengan Ny. M mengatakan bahwa anaknya sesak, sering menangis anak tampak
gelisah dan lemah , Suhu 38.5ºC, Pernafasan 29 x/menit, Nadi 120 x/menit.
O. INTERVENSI KEPERAWATAN
- Pernapasan 3.Edukasi
3.Edukasi
cuping - anjurkan asupan
hidung cairan 2000 ml - agar pasien tidak
menurun perhari, jika tidak kekurangan cairan
- Frekuensi kontra indikasi
nafas napas
4.Kolaborasi 4.Kolaborasi
membaik
10.00 - melakukan DS : -
pendinginan DO :suhu tubuh
eksternal(kompres pasien menurun
hangat) setelah dilakukan
kompres hangat
10.20 - mengkolaborasi DS : -
pemberian cairan DO :berkolaborasi
dan elektrolit dengan tim medis
intravena, jika lainnya
perlu
- memberikanbronko
10.00 DS:
dilator,
DO: pasien tampak
ekspektoran,
mukolitik, terpasang alat
bronkodilator
- menempatkan bel
10.30 ataulampupanggilan DS:
dalamjangkuan DO: di tempat
tidur pasien sudah
terpasang bel
12
Maret
2020
08.00 - memposisikan semi DS: pasien
fowler atau fowler mengatakan
nyaman dengan
posisi setengah
duduk
DO: pasien tampak
nyman dengan
posisi setengah
duduk
- memberikan
09.30 DS:
oksigen,
DO: pasien masih
terpasang oksigen
3 Lpm
- memberikanbronko
10.00 DS:
dilator,
DO: pasien sudah
ekspektoran,
tidak
mukolitik,
menggunakan
bronkodilator
Q. EVALUASI KEPERAWATAN