Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT


DENGAN CIDERA KEPALA SEDANG (CKS)

Oleh :
MUHAMMAD RAFI RAUF ( P17210171021 )
KELOMPOK 6A D3 KEPMA 3A

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN MALANG


JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI D3 KEPERAWATAN MALANG
APRIL 2020
LAPORAN PENDAHULUAN

CEDERA KEPALA SEDANG

A. Definisi
Cedera kepala (trauma kepala) adalah kondisi dimana struktur kepala
mengalami benturan dari luar dan berpotensi menimbulkan gangguan pada fungsi
otak. Beberapa kondisi pada cedera kepala meliputi luka ringan, memar di kulit
kepala, bengkak, perdarahan, dislokasi, patah tulang tengkorak dan gegar otak,
tergantung dari mekanisme benturan dan parahnya cedera yang dialami. Berdasarkan
patofisiologinya, cedera kepala, dibagi menjadi cedera kepala primer dan cedera
kepala sekunder. Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau
bersamaan dengan kejadian cedera. Cedera ini umumnya menimbulkan kerusakan
pada tengkorak, otak, pembuluh darah, dan struktur pendukungnya (Cunning &
Houdek, 1998). Cedera kepala sekunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer
dan lebih merupakan fenomena metabolik. Pada cedera kepala sekunder pasien
mengalami hipoksia, hipotensi, asidosis dan penurunan suplay oksigen otak (LeJeune
& Tamara, 2002). Lebih lanjut keadaan ini menimbulkan edema serebri dan
peningkatan tekanan intrakranial yang ditandai adanya penurunan kesadaran, muntah
proyektil, papilla edema, dan nyeri kepala. Masalah utama yang sering terjadi pada
cedera kepala adalah adanya perdarahan, edema serebri, dan peningkatan tekanan
intrakranial.
 Perdarahan serebral
Cedera kepala dapat menimbulkan pecahnya pembuluh darah otak yang
menimbulkan perdarahan serebral. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematoma
seperti pada epidural hematoma yaitu berkumpulnya darah di antara lapisan
periosteum tengkorak dengan duramater akibat pecahnya pembuluh darah yang paling
sering adalah arteri media meningial. Subdural hematoma adalah berkumpulnya darah
di ruang antara duramater dengan subarahnoid. Sementara intracereberal hematoma
adalah berkumpulnya darah pada jaringan serebral (Black & Hawks, 2009).
Perdarahan serebral pada jumlah yang relatif sedikit akan dapat diabsorpsi, akan tetapi
apabila perdarahan lebih dari 50 cc akan sulit diabsorpsi dan menyebabkan gangguan
perfusi jaringan otak.
 Edema Serebri
Edema merupakan keadaan abnormal saat terjadi penimbunan cairan dalam
ruang intraseluler, ekstraseluler atau keduanya. Edema dapat terjadi pada 2 sampai 4
hari setelah trauma kepala. Edema serebral merupakan keadaan yang serius karena
dapat menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial dan perfusi jaringan serebral
yang kemudian dapat berkembang menjadi herniasi dan infark serebral. Ada 3 tipe
edema serebral, yaitu: edema vasogenik, sitogenik dan interstisial. Edema vasogenik
merupakan edema serebral yang terjadi karena adanya peningkatan permeabilitas
pembuluh darah sehingga plasma dapat dengan mudah keluar ke ekstravaskuler.
Edema sitogenik yaitu adanya peningkatan cairan yang terjadi pada sel saraf, sel glia
dan endotel. Edema ini terjadi karena kegagalan pompa sodium-potasium, natrium-
kalium yang biasanya terjadi bersamaan dengan episode hipoksia dan anoksia.
Sedangkan edema interstitial terjadi saat cairan banyak terdapat pada periventrikular
yang terjadi akibat peningkatan tekanan yang besar sehingga tekanan cairan yang ada
jaringan ependimal akan masuk ke periventrikuler white matter (Hickey, 2003).
 Peningkatan tekanan intrakranial
Tekanan intrakranial (TIK) adalah tekanan yang terjadi dalam ruang atau
rongga tengkorak. Rongga otak merupakan ruang tertutup yang terdiri atas darah dan
pembuluh darah, cairan cerebrospinalis, dan jaringan otak dengan komposisi volume
yang relatif konstan. Jika terjadi peningkatan salah satu atau lebih dari komponen
tersebut, maka secara fisiologis akan terjadi proses kompensasi agar volume otak
tetap konstan (Brunner & Suddarth’s, 2004; Little, 2008). Pasien dengan cedera
kepala dapat mengalami edema serebri atau perdarahan cerebral. Hal ini berarti akan
terjadi penambahan volume otak yang apabila melebihi ambang kompensasi, maka
akan menimbulkan desakan atau herniasi dan gangguan perfusi jaringan serebral.
Keadaan herniasi serebral merupakan kondisi yang mengancam kehidupan karena
dapat menekan organ-organ vital otak, seperti batang otak yang mengatur kesadaran,
pengaturan pernapasan maupun kardiovaskuler (Amminoff et al, 2005).
Klasifikasi cedera kepala dapat dilakukan dengan berbagai cara pembagian,
namun yang sering digunakan adalah berdasarkan keadaan klinis dan patologis
(primer atau sekunder seperti dijelaskan di atas). Untuk klasifikasi berdasarkan
keadaan klinis didasarkan pada kesadaran pasien yang dalam hal ini menggunakan
Glasgow coma scale (GCS) sebagai patokannya. Terdapat tiga kategori yaitu CKR
(GCS: 14-15), CKS (GCS: 9-13), dan CKB (GCS ≤ 8) (Greenberg, 2001). Tujuan
klasifikasi tersebut adalah untuk pedoman triase di gawat darurat.
Cedera kepala ringan dapat menyebabkan gangguan sementara pada fungsi
otak. Penderita dapat merasa mual, pusing, linglung, atau kesulitan mengingat untuk
beberapa saat. Penderita cedera kepala sedang juga dapat mengalami kondisi yang
sama, namun dalam waktu yang leb)ih lama. Bagi penderita cedera kepala berat,
potensi komplikasi jangka panjang hingga kematian dapat terjadi jika tidak ditangani
dengan tepat. Perubahan perilaku dan kelumpuhan adalah beberapa efek yang dapat
dialami penderita dikarenakan otak mengalami kerusakan, baik fungsi fisiologisnya
maupun struktur anatomisnya.
Adapun pembagian cedera kepala menurut Perdossi (2006) adalah sebagai
berikut :

Minimal ( Simple Head Injury )  Tidak ada penurunan kesadaran


 Tidak ada amnesia post trauma
 Tidak ada defisit neurologi
 GCS = 15
Ringan ( Mild Head Injury )  Kehilangan kesadaran <10 menit
 Tidak terdapat fraktur tengkorak,
kontusio atau hematom
 Amnesia post trauma < 1 jam.
 GCS = 13-15
Sedang ( Moderate Head Injury )  Kehilangan kesadaran antara >10
menit sampai 6 jam
 Terdapat lesi operatif intrakranial
atau abnormal CT Scan
 Dapat disertai fraktur tengkorak
 Amnesia post trauma 1 – 24 jam.
 GCS = 9-12
Berat ( Severe Head Injury )  Kehilangan kesadaran lebih dari 6
jam
 Terdapat kontusio, laserasi,
hematom, edema serebral
 Abnormal CT Scan
 Amnesia post trauma > 7 hari
 GCS = 3-8

B. Gejala Cedera Kepala


Gejala yang dialami penderita cedera kepala berbeda-beda sesuai dengan
keparahan kondisi. Tidak semua gejala akan langsung dirasakan sesaat setelah cedera
terjadi. Terkadang gejala baru muncul setelah beberapa hari hingga beberapa minggu
kemudian.
Berikut ini adalah beberapa gejala yang dapat dialami oleh penderita cedera kepala
ringan:
 Kehilangan kesadaran untuk beberapa saat.
 Terlihat linglung atau memiliki pandangan kosong.
 Pusing.
 Kehilangan keseimbangan.
 Mual atau muntah.
 Mudah merasa lelah.
 Mudah mengantuk dan tidur melebihi biasanya.
 Sulit tidur.
 Sensitif terhadap cahaya atau suara.
 Penglihatan kabur.
 Telinga berdenging.
 Kemampuan mencium berubah.
 Mulut terasa pahit.
 Kesulitan mengingat atau berkonsentrasi.
 Merasa depresi.
 Perubahan suasana hati.
Sedangkan pada penderita cedera kepala sedang hingga berat, berikut ini adalah gejala
yang dapat dialami:
 Kehilangan kesadaran selama hitungan menit hingga jam.
 Pusing hebat secara berkelanjutan.
 Mual atau muntah secara berkelanjutan.
 Kehilangan koordinasi tubuh.
 Kejang.
 Pelebaran pupil
 Terdapat cairan yang keluar melalui hidung atau telinga.
 Tidak mudah bangun saat tidur.
 Jari-jari tangan dan kaki melemah atau kaku.
 Merasa sangat bingung.
 Perubahan perilaku secara intens.
 Cadel saat berbicara.
 Koma.
Pada anak-anak, berikut ini adalah beberapa gejala yang dapat menunjukkan
kemungkinan terjadinya cedera kepala:
 Menangis secara terus-menerus.
 Mudah merasa jengkel.
 Perubahan dalam nafsu makan.
 Tidak mudah berkonsentrasi.
 Pola tidur berubah.
 Sering merasa sedih atau depresi.
 Tidak ingin bermain, meskipun itu permainan kesukaannya.
Gejala cedera kepala tidak dapat diprediksi keparahannya hanya melalui pengamatan
secara fisik. Periksakan ke dokter untuk mengetahuinya.
C. Diagnosis
Jika Anda merasakan gejala-gejala cedera kepala atau melihat seseorang
mengalaminya, segera temui dokter agar dapat segera ditangani. Dokter akan
melakukan pemeriksaan fisik, seperti mencari tanda-tanda perdarahan,
pembengkakan, atau memar, setelah menanyakan bagaimana cedera terjadi.
Pemeriksaan neurologis akan dilakukan untuk mengevaluasi fungsi saraf, dengan cara
mengukur kekuatan otot, kemampuan pasien dalam mengontrol pergerakan otot,
tingkat keleluasaan pergerakan mata, kemampuan dalam merasakan sensasi, dan
sebagainya.
Tingkat kesadaran pasien dapat dinilai dengan pemeriksaan Glasgow Coma
Scale (GCS) melalui penilaian kemampuan pasien untuk mengikuti instruksi atau
merespon suatu rangsangan fisik yang diberikan. Nilai GCS normal adalah 15, yang
merupakan nilai maksimal untuk pemeriksaan ini. Semakin rendah nilai yang didapat,
maka kondisi yang dialami pasien semakin buruk. Jika diperlukan, dapat dilakukan
pemindaian, seperti foto Rontgen, CT scan, dan MRI untuk melihat potensi patah
tulang, perdarahan, darah beku, pembengkakan jaringan otak, dan aliran darah dalam
otak. Dokter juga akan meminta keluarga atau kerabat untuk memantau kondisi pasien
selama beberapa hari untuk melihat perkembangan gejala yang dialami dan
menyesuaikan hasil diagnsosis, seperti pola makan, pola tidur, cara berbicara, suasana
hati, dan sebagainya.
D. Pengobatan
Pengobatan akan disesuaikan dengan tingkat cedera yang dialami pasien.
Secara umum, dokter akan membantu dengan pemberian obat-obatan, terapi, atau
melakukan tindakan operasi jika diperlukan.
 Obat-obatan
Penderita cedera kepala ringan biasanya tidak memerlukan tindakan
medis khusus dikarenakan kondisinya dapat membaik dengan beristirahat.
Untuk meredakan rasa nyeri, penderita dianjurkan untuk mengonsumsi
paracetamol. Disarankan untuk tidak mengonsumsi obat antiinfalamasi, seperti
ibuprofen atau aspirin, tanpa instruksi dokter karena dikhawatirkan dapat
meningkatkan potensi perdarahan dalam otak.
Jika cedera kepala tergolong sedang atau berat, dokter akan
memberikan obat antikejang untuk menekan risiko kejang yang biasa terjadi
seminggu setelah trauma, atau diuretik untuk meredakan tekanan dalam otak
dengan mengeluarkan cairan dari tubuh.
Dalam kasus yang tergolong parah, seperti kerusakan pada pembuluh
darah, dokter mungkin akan memberikan obat penenang yang dapat membuat
pasien masuk dalam kondisi koma sementara (induced coma). Hal ini
dilakukan untuk meredakan tekanan dan beban kerja otak yang tidak dapat
menerima oksigen dan nutrisi seperti biasanya.
 Terapi
Bagi pasien cedera kepala tingkat sedang hingga berat, terapi atau
rehabilitasi mungkin diperlukan untuk memperbaiki dan mengembalikan
kondisi fisik dan fungsi saraf. Serangkaian terapi yang biasa disarankan
meliputi:
1. Fisioterapi untuk mengembalikan fungsi tubuh pasca trauma.
2. Terapi saraf untuk membantu memperbaiki disfungsi kognitif
pasien dan melatih pasien dalam mengontrol emosi serta perilaku.
3. Terapi okupasi untuk membantu pasien kembali menyesuaikan diri
dalam menjalankan pekerjaan sehari-hari.
4. Terapi wicara untuk membantu memperbaiki kemampuan
berbicara dan berkomunikasi.
5. Terapi rekreasi untuk melatih pasien menikmati waktu
senggangnya dan mengembangkan kemampuan hubungan sosial
melalui kegiatan-kegiatan yang menyenangkan.
Dokter biasanya akan mengedukasi keluarga dan kerabat pasien
mengenai terapi lanjutan yang dapat dilakukan di rumah setelah pasien keluar
dari rumah sakit.
 Operasi
Tindakan operasi umumnya disarankan dalam kondisi darurat untuk
menghindari kerusakan lebih lanjut pada jaringan otak pasien. Beberapa
tindakan yang biasa dilakukan adalah:
1. Membuka tulang tengkorak. Tindakan ini dilakukan untuk
meredakan tekanan pada otak selain juga dengan mengeluarkan
cairan tulang belakang otak (CSF), sehingga memberikan ruang
untuk pembengkakan pada jaringan otak.
2. Mengangkat bekuan darah (hematoma). Tindakan ini dilakukan
untuk menangani penekanan pada otak oleh gumpalan darah.
3. Memperbaiki tulang tengkorak yang patah. Tindakan ini dilakukan
untuk memperbaiki kerusakan patah tulang yang parah.
E. Komplikasi
Penderita cedera sedang hingga kepala berat sangat rentan mengalami
komplikasi, baik sesaat setelah trauma atau beberapa minggu setelahnya jika tidak
ditangani dengan baik. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi adalah:
1. Penurunan kesadaran, seperti penurunan kesadaran hingga koma,
kematian sel otak (brain death), locked-in syndrome, dan kondisi
2. Kejang-kejang berulang atau disebut juga dengan epilepsi pasca-trauma.
3. Kerusakan saraf yang dapat memicu masalah lainnya seperti
kelumpuhan otot wajah, penglihatan ganda hingga kehilangan
kemampuan melihat, gangguan bicara (afasia), sulit menelan, dan
kerusakan pada indra penciuman.
4. Kerusakan pembuluh darah yang berpotensi memicu stroke dan
pembekuan darah.
5. Infeksi akibat bakteri yang masuk diantara luka atau tulang yang patah.
Jika tidak diobati, kondisi ini dapat menyerang sistem saraf lainnya dan
menyebabkan penyakit meningitis.
6. Pembendungan cairan otak di mana cairan serebrospinal terkumpul pada
ruang ventrikel otak dan menimbulkan peningkatan tekanan otak.
7. Penyakit degenerasi otak, meliputi demensia pugilistika, penyakit
Alzheimer, dan penyakit Parkinson.
F. Patofisiologi Keperawatan
Trauma kepala dapat terjadi pada ekstrakranial, tulang kranial, dan
intrakranial, trauma yang terjadi pada ekstrakranial akan mengakibatkan terputusnya
kontinuitas jaringan kulit, otot dan vaskuler sehingga berkibat terjadinya perdarahan,
hematoma, gangguan suplai darah, resiko infeksi dan timbulnya nyeri serta kerusakan
integritas kulit. Perdarahan dan hematoma akan mempengaruhi perubahan sirkulasi
cairan serebrospinal yang mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan intracranial.
Pada keadaan ini akan mengakibatkan girus medialis lobus temporalis tergeser
melalui tepi bawah tentorium serebri.
Kompresi pada korteks serebri batang otak mengakibatkangangguan
kesadaran, dan hilangnya reflek batuk. Karena terjadi gangguan kesadaran maka
klien megalami penumpukan sekret akibat sekret yang statik, hal ini menyebabkan
terjadinya bersihan jalan nafas inefektif. Trauma kepala yang terjadi pada tulang
kranial akan menyebabkan terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan hal ini akan
merangsang timbulnya rasa nyeri, sedangkan trauma kepala yang terjadi pada
intrakranial, akan merusak jaringan otak atau sering disebut kontusio, atau terjadi
laserasi pada jaringan otak, keadaan tersebut menyebabkan terjadinya perubahan
outoregulasi, dan suplai O2 ke otak terganggu, maka terjadi edema serebral, sehingga
terjadi gangguan perfusi jaringan.
Kerusakan yang terjadi juga menyebabkan rangsang simpatis meningkat,
sehingga tahanan vasikuler, TD, tekanan hidrostatik meningkat. Sehingga terjadi
kebocoran pada pembuluh kapiler, dan menyebabkan edema paru yang menyebabkan
penurunan curah jantung dan difusi O2 di alveoli terhambat dan menyebabkan tidak
efektifnya pola nafas. Cidera kepala juga dapat menimbulkan stres bagi klien. Hal ini
direspon juga oleh saraf otonom untuk meningkatkan sekresi hormon. seperti
katekolamin yang menyebabkan asam lambung meningkat dan membuat mual,
muntah, dan anoreksia. Hal ini menyebabkan resiko pemenuhan nutrisi tidak sesuai
kebutuhan.

G. Penatalaksanaan
 Riwayat kesehatan :
o Tinggikan kepala 300
o Istirahatkan klien (tirah baring)
 Penatalaksanaan medis :
o Mempertahankan A,B,C (Airway, Breathing, Cirkulation).
o Menilai status neurologis (Disability dan exposure).
 Penatalaksanaan konservatif meliputi :
o Bedrest total.
o Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran).
 Pemberian obat-obatan:
o Dexametason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral,
dosis sesuai dengan berat ringanya trauma.
o Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi
vasodilatasi.
o Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu: manitol 20%,
atau glukosa 40%, atau gliserol 10%.
o Antibiotika yang mengandung barier darah otak (Penisilin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidazol.
 Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat
diberikan apa-apa hanya cairan infus dextrose 5%, Aminofusin, Aminofel (18
jam pertama dari terjadinya kecelakaan).
 Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapatkan klien mengalami
penurunan kesadarandan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit.
 Observasi status neurologis. (Smeltzer & Bare, 2002 : 2214-2216).

Anda mungkin juga menyukai