Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami gangguan

tumbuh kembang fisik dan mental (WHO dalam Menkes RI, 2010). Menurut

The American Psychiatric Association’s Diagnostic and Statistical Manual of

Mental Disorder (DSM-IV-TR, 2000) mendefenisikan retardasi mental sebagai

disfungsi atau gangguan yang terjadi pada susunan saraf pusat yang

mengakibatkan kecerdasan intelektual (Intellectual Quotient) seseorang terukur

di bawah 70, sehingga berdampak pada kemampuan untuk memenuhi

kebutuhan dasarnyaseperti keterampilan berkomunikasi, sosial,

pendidikan/belajar, kesehatan dan pekerjaan (Greydanus dan Pratt, 2005).

Anak tunagrahita atau disebut juga retardasi mental (RM) mempunyai fungsi

kecerdasan umumnya berada di bawah rata-rata (IQ yang dimiliki di bawah

70). Selain itu juga diikuti dengan berkurangnya kemampuan untuk

menyesuaikan diri (berprilaku adaptif). Biasanya hal ini terjadi pada anak

sebelum memasuki usia 18 tahun (Subini, 2012, p.45).

Anak dengan intelektual di bawah rata-rata (retardasi mental) atau anak

tunagrahita adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan dan

keterbelakangan perkembangan mental intelektual jauh di bawah rata-rata

sedemikian rupa sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik,

1
komunikasi maupun sosial, mengurus diri sendiri dan karenanya memerlukan

layanan pendidikan kebutuhan khusus (Apriyanto, 2012, p.26).

Prevalensi retardasi mental di seluruh dunia diperkirakan 2-3 % dari

seluruh populasi. Berdasarkan data RISKESDAS (2013) menyebutkan jumlah

penduduk Indonesia yang mengalami disabilitas sedang sampai sangat berat

sebesar 11 persen dari total populasi. Menurut hasil Survey Sosial Ekonomi

Nasional (SUSENAS) yang dilaksanakan Biro Pusat Statistik (BPS) tahun

2012, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sebanyak 6.008.661 orang.

Dari jumlah tersebut sekitar 402.817 orang penyandang tunagrahita/retardasi

mental. Dan Sensus Penduduk yang dilaksanakan BPS tahun 2010, di

Sumatera Barat mencatat 55.380 orang penyandang tunagrahita (Menkes RI,

2014).

Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) merupakan salah satu upaya

dalam mewujudkan masyarakat dengan derajat kesehatan setinggi-tingginya.

PHBS adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar kesadaran

sebagai hasil pembelajaran, yang menjadikan seseorang, keluarga, kelompok

dan masyarakat mampu menolong dirinya sendiri dibidang kesehatan dan

berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat. PHBS merupakan

suatu tindakan pencegahan agar masyarakat terhidar dari penyakit dan

ganggguan kesehatan (Menkes RI, 2015).

Perilaku hidup bersih dan sehat di sekolah adalah sekumpulan perilaku

yang dipraktikkan oleh peserta didik, guru dan masyarakat lingkungan sekolah

atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran, sehingga secara mandiri

2
mampu mencegah penyakit, meningkatkan kesehatannya, serta berperan aktif

dalam mewujudkan lingkungan yang sehat. Permasalahan perilaku kesehatan

pada anak usia sekolah dasar biasanya berkaitan dengan kebersihan

perorangan, lingkungan, dan munculnya berbagai penyakit yang sering

menyerang anak sekolah, ternyata umumnya berkaitan dengan Perilaku Hidup

Bersih dan Sehat (PHBS), salah satunya adalah kebiasaan mencuci tangan

dimana mencuci tangan merupakan salah satu indikator perilaku hidup bersih

dan sehat yang penting di tatanan sekolah (Setiawan, 2014).

Cuci tangan merupakan kegiatan yang sering dilakukan setiap hari dan

juga merupakan dasar menjaga kesehatan diri dari berbagai macam penyakit

yang ditimbulkan dari tangan yang kotor. Waktu yang tepat untuk mencuci

tangan yaitu saat setelah dari jamban, setelah bermain, setelah membersihkan

anak yang buang air besar (BAB), sebelum menyiapkan makanan, sebelum

makan, setelah menyentuh hewan, setelah membuang sampah, setelah batuk

dan bersin (Kemenkes RI, 2010). Cuci tangan pakai sabun (CTPS) merupakan

cara mudah dan tidak perlu biaya mahal sebab CTPS sama dengan

mengajarkan anak-anak dan seluruh keluarga hidup sehat sejak dini. Dengan

demikian pola hidup bersih dan sehat (PHBS) tertanam kuat pada diri pribadi

anak-anak dan anggota keluarga lainnya. Cuci tangan pakai sabun dapat

membersihkan kotoran dan membunuh kuman, karena tanpa sabun, maka

kotoran dan kuman masih tertinggal di tangan. Mencuci tangan menggunakan

air dan sabun dapat lebih efektif membersihkan kotoran dan telur cacing yang

menempel pada permukaan kulit, kuku dan jari-jari pada kedua tangan

(Proverawati. 2012, p.73).

3
Data Riskesdas tahun 2013 menunjukkan presentase indikator cuci

tangan dengan benar masih dibawah 50 % yaitu sebesar 47,0 %, dan lima

provinsi dengan perilaku cuci tangan dengan benarnya rendah adalah Sumatera

Barat (29,0 %), Papua (29,5 %), Kalimantan selatan (32,3 %), Sumatera Utara

(32,9 %), dan Aceh (33,6 %) (Menkes RI, 2014). Cuci tangan sering dianggap

sepele di masyarakat, padahal cuci tangan bisa memberi kontribusi pada

peningkatan status kesehatan masyarakat (Purwandari dan Wantiyah, 2013).

Berdasarkan hasil dari wawancara saat pengambilan data awal yang

dilaksanakan di SLB Al-Azhar Bukittinggi diperoleh informasi bahwa terdapat

jumlah siswa disabilitas 62 anak, dengan jumlah siswa tunagrahita 46 anak,

dimana dari 46 anak terdapat anak tunagrahita ringan sebanyak 33 anak dan

anak tunagrahita sedang sebanyak 13 anak dan juga diperoleh informasi bahwa

siswa tunagrahita masih memiliki hambatan dalam melakukan cuci tangan

yang benar. Hambatan yang dimiliki siswa tunagrahita yaitu belum memiliki

pengetahuan tentang cara mencuci tangan dengan benar. Siswa tunagrahita

kategori sedang masih merasa kesulitan dalam mencuci tangan dengan benar,

dan terkadang hanya mencuci dengan air mengalir saja tanpa menggunakan

sabun, itupun masih jarang dilakukan. Hal ini dikarenakan belum adanya

kegiatan rutin mencuci tangan pakai sabun di sekolah.

Kegiatan pembelajaran bina diri pada siswa tunagrahita di SLB Al-

Azhar Bukittinggi belum efektif. Guru masih menggunakan metode ceramah

yang membuat anak merasa cepat bosan dan tahapan yang diajarkan tidak

tersampaikan secara sempurna. Hal ini dikarenakan guru belum mencoba

menggunakan media lain sebagai pelengkap. Maka dari itu, anak tunagrahita

4
kategori sedang membutuhkan media dan metode pembelajaran bina diri

mencuci tangan pakai sabun yang sesuai dengan kemampuan siswa.

Berdasarkan kondisi di atas, maka perlu adanya suatu upaya untuk

mengatasi permasalahan dalam memahami dan melaksanakan cara cuci tangan

pakai sabun yang benar. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan

pemberian alat atau media. Penggunaan media pada pembelajaran ini dapat

memvisualisasikan materi yang abstrak menjadi konkret. Hal tersebut dapat

memudahkan anak tunagrahita kategori sedang dalam memahami cara-cara

mencuci tangan menggunakan sabun dengan benar.

Media pembelajaran merupakan alat yang dapat membantu proses

belajar mengajar dan berfungsi untuk memperjelas makna pesan yang

disampaikan, sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran dengan lebih baik

dan sempurna (Sutandi dan Sutjipto, 2013, p.8). Sehingga dapat disarankan

bagi pembelajaran anak tunagrahita kategori sedang, mengingat kondisi anak

tunagrahita yaitu kesulitan dalam berfikir. Hal tersebut dikarenakan

penggunaan metode ceramah belum secara maksimal dan hasil yang diperoleh

siswa belum mencapai KKM, maka dapat dilengkapi dengan penggunaan

video animasi yang bersifat dapat memudahkan pembelajaran anak dalam

mengetahui cara cuci tangan pakai sabun. Media pembelajaran yang dapat

digunakan pada pengajaran cuci tangan pakai sabun adalah dengan

menggunakan video animasi. Melalui media video animasi anak tidak merasa

bosan dengan pembelajaran yang diajarkan mengenai cuci tangan pakai sabun.

Melalui media video dapat menggambarkan suatu objek yang bergerak

bersama-sama dengan suara alamiah atau suara yang sesuai. Video dapat

5
menyajikan informasi, memaparkan proses, mengajarkan keterampilan, dan

mempengaruhi sikap (Sutandi dan Sutjipto, 2013, p.64).

Pemilihan media video ini terdapat beberapa kelebihan. Kelebihan dari

media video ini adalah dapat diulangi bila perlu untuk menambah

kejelasan,serta mampu menunjukkan rangsangan yang sesuai dengan tujuan

dan respon yang diharapkan anak. Selain itu, video dapat digunakan untuk

menjelaskan alur suatu kegiatan dan proses yang berkaitan (Munadi, 2013,

p.127).

Dilihat dari kelebihan-kelebihan yang terdapat pada media tersebut dan

mengingat kurangnya pemahaman dan kurangnya pelatihan yang dimiliki anak

tunagrahita kategori sedang terhadap pembelajaran bina diri cuci tangan pakai

sabun, oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terhadap

efektivitas video animasi cuci tangan pakai sabun sebagai salah satu alternatif

perilaku hidup bersih dan sehat untuk anak tunagrahita di SLB Al-Azhar

Bukittinggi tahun 2018.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini

adalah apakah penggunaan metode video animasi cuci tangan pakai sabun

efektif sebagai salah satu alternatif perilaku hidup bersih dan sehat untuk anak

tunagrahita di SLB Al-Azhar Bukittinggi tahun 2018 ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

6
Mengetahui efektivitas video animasi cuci tangan pakai sabun sebagai

salah satu alternatif perilaku hidup bersih dan sehat untuk anak tunagrahita

di SLB Al-Azhar Bukittinggi tahun 2018.

2. Tujuan khusus

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Mengetahui rata-rata tingkat kemampuan cuci tangan anak tunagrahita

sedang sebelum dilakukan pelatihan cuci tangan pakai sabun dengan

media video animasi.

b. Mengetahui rata-rata tingkat kemampuan cuci tangan anak tunagrahita

sedang setelah dilakukan pelatihan cucitangan pakai sabun dengan

media video animasi.

c. Mengetahui efektivitas video animasi cuci tangan pakai sabun sebagai

salah satu alternatif perilaku hidup bersih dan sehat untuk anak

tunagrahita.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :

1. Bagi Anak SLB

Penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk melatih serta kemandirian anak

dalam salah satu aktivitas perawatan diri, yaitu mencuci tangan pakai

sabun.

2. Bagi Praktek Keperawatan

7
Menambah pengetahuan mengenai efektivitas video animasi cuci tangan

pakai sabun sebagai salah satu alternatif perilaku hidup bersih dan sehat

untuk anak tunagrahita di SLB Al-Azhar Bukittinggi tahun 2018.

3. Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai bahan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan untuk guru dan

bagi peserta didik tentang efektivitas video animasi cuci tangan pakai

sabun sebagai salah satu alternatif perilaku hidup bersih dan sehat untuk

anak tunagrahita di SLB Al-Azhar Bukittinggi tahun 2018.

4. Bagi Peneliti Selanjutnya

Sebagai bahan masukan tentang tunagrahita sehingga kedepannya

diharapkan dapat dilakukan penelitian lebih lanjut dengan variabel yang

berbeda

E. Ruang Lingkup

Penelitian ini membahas tentang efektivitas video animasi cuci tangan

pakai sabun sebagai salah satu alternatif perilaku hidup bersih dan sehat untuk

anak tunagrahita di SLB Al-Azhar Bukittinggi pada tahun 2018. Pemilihan

SLB Al-Azhar Bukittinggi didasari karena di SLB Al-Azhar Bukittinggi lebih

dari 50% siswanya, adalah anak tunagrahita, dan siswa tunagrahita di SLB Al-

Azhar Bukittinggi masih belum tahu bagaimana pelaksanaan mencuci tangan

pakai sabun yang benar. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak

tunagrahita sedang yang ada di SLB Al-Azhar Bukittinggi sebanyak 13 orang.

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tunagrahita

1. Defenisi

Anak dengan intelektual di bawah rata-rata (retardasi mental) atau

anak tunagrahita adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan dan

keterbelakangan perkembangan mental intelektual jauh di bawah rata-rata

sedemikian rupa sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas

akademik, komunikasi maupun sosial, mengurus diri sendiri dan karenanya

memerlukan layanan pendidikan kebutuhan khusus (Apriyanto, 2012, p.26).

Anak tunagrahita atau disebut juga retardasi mental (RM) mempunyai

fungsi kecerdasan umumnya berada di bawah rata-rata (IQ yang dimiliki di

bawah 70). Selain itu juga diikuti dengan berkurangnya kemampuan untuk

menyesuaikan diri (berprilaku adaptif). Biasanya hal ini terjadi pada anak

sebelum memasuki usia 18 tahun (Subini, 2012, p.45).

Gangguan retardasi mental atau anak tunagrahita muncul sebelum

usia 18 tahun dan dicirikan dengan keterbatasan substandar dan berfungsi,

yang dimanifestasikan dengan fungsi intelektual secara signifikan berada

dibawah rata-rata (misalnya IQ dibawah 70) dan keterbatasan terkait dalam

dua bidang keterampilan adaptasi atau lebih misalnya : komunikasi

perawatan diri, aktivitas hidup sehari-hari, keterampilan sosial, fungsi dalam

9
masyarakat, pengarahan diri, kesehatan dan keselamatan, fungsi akademis

dan bekerja (Wood, 2012, p.20).

2. Klasifikasi Anak Tunagrahita

Klasifikasi anak dengan tunagrahita dapat dibedakan dari tingkat

intelegensinya, beberapa klasifikasi anak tunagrahita (Subini, 2012, p.53) :

a. Tunagrahita Ringan

Tunagrahita ringan disebut juga moron dan debil. Kelompok ini

memiliki IQ antara 50-70. Dalam penyesuaian sosial mereka dapat

bergaul, dapat menyesuaikan diri dalam lingkungan sosial tidak saja pada

lingkungan yang terbatas tetapi juga pada lingkungan yang lebih luas,

bahkan kebanyakan dari mereka dapat mandiri dalam masyarakat.

Mereka tidak dapat mengikuti program sekolah biasa, tetapi

masih memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan melalui kegiatan

pendidikan meskipun hasilnya tidak maksimal. Mereka masih dapat

belajar membaca, menulis, mengeja, dan berhitung sedehana. Mereka

juga dapat memiliki keterampilan yang sederhana untuk kepentingan

kerja dikemudian hari. Jadi anak dengan retardasi mental yang mampu

didik berarti anak yang dapat dididik secara minimal dalam bidang-

bidang akademik, sosial, dan pekerjaan.

Dalam kemampuan bekerja, mereka dapat melakukan pekerjaan

yang semi skill dan pekerjaan sosial sederhana, bahkan sebagian besar

dari mereka mandiri seluruhnya dalam melakukan pekerjaan sebagai

10
orang dewasa. Anak gangguan intelektual ringan seringkali tidak dapat

diidentifikasi sampai ia mencapai usia sekolah, biasanya mereka

diketahui setelah mengikuti pelajaran di sekolah selama satu atau dua

tahun karena kesukaran mereka dalam megikuti pelajaran dan

penyesuaian diri dengan teman-temannya.

b. Tunagrahita Sedang

Anak tunagrahita sedang disebut juga imbesil. Kelompok ini

memiliki IQ 30-50. Mereka termasuk dalam kelompok gangguan

intelektual sedang memiliki kemampuan intelektual umum dan adaptasi

prilaku di bawah gangguan intelektual ringan. Mereka dapat belajar

keterampilan sosial untuk tujuan-tujuan fungsional, mencapai suatu tigkat

tanggung jawab sosial, dan mencapai penyesuaian sebagai pekerja

dengan bantuan.

Mereka mampu memperoleh keterampilan mengurus diri seperti

berpakaian, berganti pakaian, mandi, menggunakan WC, makan, dan

melindungi dirinya dari bahaya umum di rumah, sekolah serta

lingkungannya, dapat belajar keterampilan dasar akademis (membaca

tanda-tanda, berhitung yang sederhana, mengenal nomor-nomor sampai

dua angka atau lebih), dan bekerja dalam tempat kerja terlindung atau

pekerjaan rutin di bawah pengawasan.

Jadi, anak dengan retardasi mental sedang yang mampu dilatih

adalah anak yang hanya dapat dilatih untuk mengurus dirinya sendiri

melalui berbagai kegiatan kehidupan sehari-hari. Pada umumnya anak-

11
anak gangguan intelektual sedang dapat diketahui sewaktu bayi atau

selagi kecil karena keterlambatan perkembangannya.

c. Tunagrahita Berat dan Sangat Berat

Anak tunagrahita berat sering disebut idiot. Kelompok ini

memiliki IQ kurang dari 30. Anak yang tergolong dalam kelompok ini

pada umumnya hampir tidak memilki kemampuan untuk dilatih

mengurus diri sendiri, melakukan sosialisasi dan bekerja. Sepanjang

hidupnya mereka akan selalu bergantung pada bantuan dan perawatan

orang lain.

Tunagrahita diklasifikasikan menjadi tunagrahita mampu didik,

mampu latih, dan mampu rawat (Smart, 2012, p.49), dijelaskan sebgai

berikut :

Tabel 2.1

Klasifikasi IQ Pendidikan Klini

Tunagrahita 50-70 Dapat dilatih dan Anak dapat belajar

ringan (debil) didik keterampilan sederhana

dengan bimbingan dan

didikan yang baik, dapat

menyesuaikan diri dalam

lingkungan sosial.

Tunagrahita 30-50 Dapat dilatih Dapat belajar merawat

sedang (imbesil) diri, bersosialisasi.

12
Tunagrahita < 30 Perlu rawat Perlu pengawasan, perlu

berat dan sangat latihan khusus untuk

berat (idiot) mempelajari beberapa

keterampilan diri, dan

bergantung pada bantuan

dan perawatan orang

lain.

Sumber : (Apriyanto, 2012, p.27)

3. Karakteristik Anak Tunagrahita Pada Umumnya

James D. Page (Apriyanto, 2012, p.33) menguraikan karakteristik

anak tunagrahita dalam hal : kecerdasan, sosial, fungsi-fungsi mental lain,

dorongan dan emosi, kepribadian, dan organisme :

a. Kecerdasan

Kapasitas belajarnya sangat terbatas terutama untuk hal-hal yang abstrak.

Mereka lebih banyak belajar dengan cara membeo (rote learning) bukan

dengan pengertian. Dari hari ke hari dibuatnya kesalahan-kesalahan yang

sama. Perkembangan mentalnya mencapai puncak pada usia yang masih

muda.

b. Sosial

Dalam pergaulan mereka tidak dapat mengurus, memelihara, dan

memimpin diri. Waktu masih kanak-kanak mereka harus dibantu terus

menerus : disuapin makan, dipasangkan dan ditinggali pakaian dan

13
sebagainya; disingkirkan dari bahaya, diawasi waktu bermain dengan

anak lain, bahkan ditunjuki terus apa yang harus dikerjakan.

c. Fungsi-Fungsi Mental Lain

Mereka mengalami kesukaran dalam memusatkan perhatiann

d. Dorongan dan Emosi

Perkembangan dan dorongan emosi anak tunagrahita berbeda-beda sesuai

dengan tingkat ketunagrahitaan masing-masing. Anak yang berat dan

sangat berat tingkat ketunagrahitaannya, hampir-hampir tidak

memeperlihatkan dorongan untuk mempertahankan diri. Kalau mereka

lapar atau haus , merka tidak menunjukkan tanda-tandanya.

e. Organisme

Baik struktur maupun fungsi organisme pada umumnya kurang dan

normal. Mereka baru dapat berjalan dan berbicara pada usia yang lebih

tua dari normal. Sikap dan gerak lagaknya kurang indah. Diantaranya

banyak yang mengalami cacat bicara. Meraka yang mampu membedakan

persamaan dan perbedaaan. Pendengaran dan penglihatannya banyak

yang kurang sempurna.

4. Karakteristik Khusus Tunagrahita Sedang

WHO mendeskripsikan karakteristik karakteristik anak tunagrahita sedang

adalah :

a. Memiliki IQ antara 30-50

14
b. Dapat mengadakan adaptasi sosial di rumah dan di lingkungan

c. Dapat belajar keterampilan dasar

d. Mampu untuuk dilatih

e. Biasanya diketahui sewaktu bayi atau selagi kecil karena keterlambatan

perkembangannya.

5. Faktor Penyebab Tunagrahita (RM)

Penyebab retardassi mental secara umum dapat dibagi menjadi tiga bagian,

yaitu :

a. Penyebab pre-natal

Setidaknya ada empat kelainan yang dapat terjadi pada masa pre-

natal yang dapat menyebabkan retardasi mental, antara lain :

1) Kelainan Kromosom

Phennylketonuria (PKU) adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh

keturunan dari dua gen terpendaam dari orang tua yang membawa

kondisi tersebut. Dikarenakan gen PKU mengakibatkan kurangnya

produksi enzim yang memproses protein, terdapat penumpukan asam

yang disebut asam phenylpyruvic. Penumpukan ini menyebabkan

kerusakan otak. Kelainan kromosom yang dapat retardasi mental

adalah trisomi-18 atau sindrom Edwart, dan trisomi-13 atau sindrom

Patau, sindrom Klinefelter, dan sindrom Turner.

2) Kelainan Metabolik

Ada lima kelainan metabolik yang dapat menyebabkan retardasi

mental :

15
Pertama, phenylketonuria, merupakan kelainan metabolik, yang mana

tubuh tidak dapat mengubah asam amino fenilanin menjadi tirosin

karena defisiensi enzim hidroksilase.

Kedua, galaktosemia, merupakan suatu gangguan metabolisme

karbohidrat yang disebabkan tubuh tidak dapat menggunakan

galaktosa yang dimakan.

Ketiga, penyakit Tay-Sachs atau infantile amaurotic idiocy,

merupakan suatu gangguan metabolisme lemak, yang mana tubuh

tidak mampu mengubah zat-zat paralipid menjadi lipid yang

diperlukan oleh el-sel otak.

Keempat, hipotiroid congenital, meruppakan defisiensi hormone

tiroid bawaan yang disebabkan oleh berbagai faktor (agenesis kelenjar

tiroid, defek pada produksi hormone tiroid).

Kelima, defisiensi yodium, menyebabkan retardasi mental, baik di

Negara yang sedang berkembang maupun di negara maju.

3) Infeksi

Infeksi merupakan peradangan yang diderita oleh seseorang individu,

ada dua infeksi yang dapat menyebabkan retardasi mental pada anak

usia dini, yaitu infeksi rubella (campak Jerman) dan infeksi

cytomegalovirus.

4) Intoksikasi

Fetal alcohol syndrome (FAS) merupakan suatu sindrom yang

diakibatkan intoksikasi (kemabukan dan keracunan) alcohol pada

16
janin karena ibu hamil minum-minuman yang mengandung alcohol,

terutama pada triwulan pertama.

b. Penyebab perinatal

Koch mengungkapkan bahwa sebanyak 15% hingga 20% dari anak

dengan retardasi mental disebabkan oleh faktor prematuritas.

c. Penyebab post-natal

Faktor-faktor postnatal seperti infeksi, trauma, malnutrisi,

intoksikasi, kejang dapat menyebabkan kerusakan otak yang pada

akhornya menimbulkan retardasi mental (Wiyani, 2014, p.104-109).

6. Permasalahan yang Dialami Anak Tunagrahita

Menurut Subini (2012) kemungkinan-kemungkinan masalah yang

dihadapi anak bergangguan intelektual dalam konteks pendidikan,

diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Masalah kesulitan dalam kehidupan sehari-hari

Masalah ini berkaitan dengan kesehatan dan pemeliharaan diri

dalam kehidupan sehari-hari. Melihat kondisi keterbatasan anak-anak

dalam kehidupan sehari-hari mereka banyak mengalami kesulitan apalagi

yang termasuk kategori berat dan sangat berat; pemeliharaan kehidupan

sehari-harinya sangat memerlukan bimbingan. Karena itulah di sekolah

diharapkan sekali dapat memberikan sumbangan yang berarti dalam

melatih dan membiasakan anak didik untuk merawat dirinya sendiri.

Masalah-masalah yang sering terjadi diantaranya adalah : cara makan,

menggosok gigi, memakai baju, memakai sepatu, dan lain-lain.

b. Masalah kesulitan belajar

17
Dapat disadari bahwa dengan keterbatasan kemampuan berfikir

mereka tidak dapat dipungkiri lagi bahwa mereka sudah tentu mengalami

kesulitan belajar, yang tentu pula kesulitan tersebut terutama dalam

bidang pengajaran akademik (misalnya :matematika, IPA, bahasa),

sedangkan untuk bidang studi non-akademik mereka tidak banyak

mengalami kesulitan belajar. Masalah-masalah yang sering dirasakan

dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar, diantaranya : kesulitan

menangkap pelajaran, kesulitan dalam belajar yang baik, mencari metode

yang tepat, kemampuan berfikir abstrak yang terbatas, daya ingat yang

lemah, dan sebagainya.

c. Masalah penyesuaian diri

Masalah ini berakaitan dengan masalah-masalah atau kesulitan

dalam hubunganya dengan kelompok maupun individu disekitarnya.

Disadari bahwa kemampuan penyesuaian diri dengan lingkungan sangat

dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan. Karena tingkat kecerdasan anak

bergangguan intelektual jelas-jelas berada di bawah rata-rata maka dalam

kehidupan bersosialisasinya mereka mengalami hambatan.

d. Masalah penyaluran ke tempat kerja

Secara empiric dapat dilihat bahwa kehidupan anak bergangguan

intelektual cenderung banyak yang masih menggantungkan diri pada

orang lain terutama kepada keluarga (orang tua) dan masih sedikit sekali

yang sudah dapat hidup mandiri, ini pun masih terbatas pada anak

bergangguan intelektual ringan. Dengan demikian perlu disadari betapa

pentingnya masalah penyaluran tenaga kerja bergangguan intelektual ini

18
dan untuk itu perlu difikirkan matang-tang secara ideal sehingga dapat

diwujudkan dengan penanganan yag serius.

Disamping beberapa usaha tersebut perlu adanya imbangan dari

pihak sekolah untuk lebih banyak meningkatkan kegiatan non-akademik

baik berupa kerajinan tangan, keterampilan, dan sebagainya. Yang semua

itu diharapkan dapat membekali mereka utuk terjun ke masyarakat.

e. Masalah gangguan kepribadian dan emosi

Memahami akan kondisi karakteristik mentalnya, Nampak jelas

bahwa anak bergangguan intelektual kurang memiliki kemampuan

berfikir, keseimbangan pribadinya kurang konstan atau labil, kadang-

kadang stabil dan kadang-kadang kacau. Kondisi yang demikian itu dapat

dilihat pada penampilan tingkah lakunya sehari-hari; misalnya : berdiam

diri berjam-jam lamanya, gerakan yang hiperaktif, mudah marah dan

mudah tersinggung, suka menggangu orang lain disekitarnya (bahkan

tindakan merusak atau destruktif).

f. Masalah pemanfaatan waktu luang

Adalah wajar bagi anak bergangguan intelekual dalam tingkah

lakunya sering menampilkan tingkah laku nakal. Dengan kata lain bahwa

anak-anak ini berpotensi untuk menggangu ketenangan lingkungannya,

apakah terhadap benda-benda maupun manusia disekitarnya, apalagi bagi

mereka yang hiperaktif.

Sebenarnya sebagian dari mereka cenderung suka berdiam diri

menjauhkan diri dari keramaian seingga hal ini dapat berakibat fatal bagi

dirinya, karena dapat saja terjadi tindakan bunuh diri. Untuk

19
mengimbangi kondisi ini sangat perlu adanya imbangan kegiatan dalam

waktu luang, sehingga mereka dapat terjauhkan dari kondisi berbahaya,

dan pula tidak sampai mengganggu ketenangan masyarakat maupun

keluarga sendiri (Wiyani, 2014, p.159-161).

20
Media Video Animasi :

1. Pengertian media video


Kerangka Teori
2. Manfaat penggunaan media video pada pembelajaran

3. Pengertian media video animasi

4. Kelebihan media video animasi

PHBS : Cuci Tangan :

Anak Tunagrahita : Klasifikasi Tunagrahita : 1. Pengertian 1. Pengertian cuci


tangan
1. Pengertian 1. Ringan 2. PHBS di Institusi
Pendidikan 2. Tujuan cuci tangan
2. Karakteristik 2. Sedang
3. Manfaat PHBS di 3. Manfaat cuci tangan
3. Faktor-faktor 3. Berat Institusi Pendidikan
penyebab 4. Cuci tangan bersih
4. Indikator PHBS di
Institusi Pendidikan 5. Sabun cuci tangan

Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan cuci tangan anak


tunagrahita :

1. Internal : Usia, kognitif, JenisKelamin

2. Eksternal : Lingkungan, Pendidikan

Sumber :AnakdenganKecerdasandibawah rata-rata (Subini, 2012), Anak Cacat BukanKiamat (Sandra, 2010), PedomanPembinaan
PHBS (Kemenkes, 2011), Multimedia (Munir, 2012)

21
BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan antara

konsep-konsep atau variabel yang akan diamati (diukur) melalui penelitian

yang dimaksud (Notoadmojo, 2012, p.100).

Variabel Variabel

Independen Dependen

Pre Test : Kelompok Post Test :


Intervensi :
Kemampuan Kemampuan
AnakTunagr cuci tangan Memberikan cuci tangan
ahitaKatego pakai sabun intervensi pakai sabun
risedangusia sebelum berupa materi setelah
9-15 tahun dilakukan cuci tangan dilakukan
intervensi pakai sabun intervensi
kepada anak dengan media
tunagrahita video animasi
kategori
sedang

22
B. Defenisi Operasional

Defenisi Cara Skala


Variabel Alat Ukur Hasil Ukur
Operasional Ukur Ukur

Dependen
Kemampuan Sebuah Observasi Lembar Kurang = 1-5 Interval
cuci tangan keterampilan Observasi
pakai sabun anak (Checklist) Baik = 6-10
anak tunagrahita
tunagrahita dalam
kategori melakukan
sedang kegiatan
cuci tangan
pakai sabun
sesuai
dengan SOP
Independen
Pelatihan Memberikan Pelatihan Lembar Diberikan
cuci tangan sebuah cuci Observasi perlakuanses
pakai sabun perlakuan tangan (Checklist) uai SOP
dengan dengan dengan
media video media video media
animasi animasi video
tentang animasi
langkah
mencuci
tangan pakai
sabun
selama lebih
kurang 10
menit

23
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain pre-eksperimental dengan

rancangan pre-post test dalam satu kelomok (One-Group Pretest-Posttest

Design). Pada penelitian ini mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan

cara melibatkan satu kelompok subjek. Kelompok subjek di observasi sebelum

dilakukan intervensi, kemudian diobservasi lagi setelah dilakukan intervensi

(Notoatmodjo 2012, p.57).

Dalam one group pretest-posttest design adalah mengukur apa yang

terjadi pada kelompok percobaan sesuai dengan kondisi awalnya sebelum

eksperimen (pre-test) dan perbedaan yang tampak diakhir eksperimen (post-

test) tanpa kelompok kontrol.

Desain Penelitian

Pre-test Perlakuan Post-test

O1 I O2

Keterangan :

O1 : Obseravsi/ Pengukuran cuci tangan pakai sabun sebelum perlakuan

(pre-test)

24
I : Intervensi/ Pemberian perlakuan cuci tangan pakai sabun dengan

metode video animasi

O2 : Observasi/ Pengukuran cuci tangan pakai sabun setelah diberikan

perlakuan (post-test)

(Notoatmodjo 2012, p.57).

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SLB Al-Azhar Bukittinggi pada bulan

November tahun 2018.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik

tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulannya (Sugiyono 2011, p.117). Populasi pada penelitian ini adalah

rombongan belajar tunagrahita sedang yang ada di SLB Al-Azhar

Bukittinggi tahun 2018 yang berjumlah 13 anak.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian atau keseluruhan dari populasi yang akan

diteliti (Sugiyono 2011, p.118). Pada penelitian ini peneliti menggunakan

teknik total sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan mengambil

semua populasi untuk dijadikan sampel, sehingga didapatkan sampel

sebanyak 13 orang anak tunagrahita sedang.

25
a. Kriteria Inklusi

Adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi oleh setiap anggota

populasi yang dapat diambil sebagai sampel (Notoatmodjo 2012, p.130).

1) Anak penyandang tunagrahita sedang (IQ 30-50).

2) Telah memberikan persetujuan dijadikan sampel. Pengisian lembar

persetujuan diwakili oleh Kepala sekolah atau guru pendamping.

D. Teknik Pengambilan Data

Alat pengumpulan data dilakukan dengan cara :

1. Data primer

Data primer yaitu data yang langsung dari responden berupa observasi

kemampuan melakukan cuci tangan pakai sabun yang dimiliki oleh anak

tunagrahita sedang yang ada di SLB Al-Azhar Bukittinggi tahun 2018.

2. Data sekunder

Data sekunder yaitu data yang didapatkan dari lingkungan penelitian

berupa data siswa penyandang tunagrahita sedang yang ada di SLB Al-

Azhar Bukittinggi serta data yang mendukung penelitian ini seperti nama,

umur, dan jenis kelamin.

3. Langkah-langkah pengumpulan data

a. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

lembar observasi.

26
b. Sebelum tindakan dilakukan, peneliti menjelaskan tentang pelaksanaan

cuci tangan pakai sabun dengan metode video animasi.

c. Lembar observasi (Checklist) berisi data responden yang meliputi inisial

nama, umur, jenis kelamin, dan terdiri dari langkah-langkah mencuci

tangan pakai sabun yang setiap langkahnya memiliki skor tertentu untuk

menilai kemampuan melakukan cuci tangan pakai sabun.

d. Intervensi dilakukan dalam dua siklus (2 minggu), dalam satu minggu

dilakukan sebanyak 2 kali.

4. Alat-alat yang digunakan

Alat yang digunakan dalam melatih kemampuan cuci tangan pakai

sabun adalah berupa media video animasi. Video animasi adalah media

yang memberikan tampilan gambar bergerak dalam proses pembelajaran

yang nantinya dapat menarik perhatian peserta didik dalam proses

pembelajaran. Adapun alat dan bahan yang digunakan peneliti dalam

melakukan penelitian :

a. Sabun cuci tangan.

b. Handuk kecil / tissue.

c. Laptop dan layar infocus.

d. Video animasi langkah-langkah mencuci tangan pakai sabun yang benar.

27
E. Pengolahan Data

Data yang terkumpul dalam pengolahan data perlu diolah terlebih

dahulu. Tujuannya untuk menyederhanakan seluruh data yang terkumpul.

Menurut Swarjana 2016, p.43, pengolahan data dilakukan melalui tahap-tahap

berikut :

1. Editing (Pemeriksaan data)

Editing merupakan pemeriksaan daftar pertanyaan yang telah diisi oleh

responden. Pemeriksaan daftar pertanyaan ini dapat berupa kelengkapan

jawaban, keterbacaan tulisan, dan relevansi jawaban dari responden.

2. Coding (Mengkode data)

Mengklasifikasikan jawaban-jawaban dari para responden kedalam bentuk

angka atau bilangan, biasanya klasifikasi dilakukan dengan cara memberi

tanda atau kode.

3. Processing (Memasukkan data)

Memproses data yang dilakukan dengan cara mengentry data yang

menggunakan program komputer. Data yang diolah dalam penelitian ini

adalah data umum yang meliputi karakteristik responden dan nilai dari

kemampuan anak tunagrahita melakukan cuci tangan memakai sabun

sebelum dan sesudah intervensi melalui metode video animasi. Data khusus

yang dianalisa berupa data hasil observasi pre test dan post test.

28
4. Cleaning (Membersihkan data)

Melakukan pengecekan kembali data yang sudah di entry apakah ada

kesalahan atau tidak. Peneliti akan memeriksa data yang benar-benar

dibutuhkan oleh peneliti. Data-data yang didapatkan oleh peneliti tidak ada

yang dibuang atau dihapus. Semua data yang didapatkan oleh peneliti

merupakan data yang akan digunakan dan diolah untuk dianalisa.

F. Analisa Data

1. Analisa Univariat

Analisa univariat bertujuan untuk mengetahui frekuensi atau rata-rata

nilai dari variabel-variabel.

2. Analisa Bivariat

Analisa bivariat digunakan untuk mengetahui pengaruh diantara

variabel. Variabel pada penelitian ini adalah kemampuan cuci tangan pre-

test dan post-test. Penelitian ini menggunakan uji T-test dengan uji beda dua

mean dependen yang diolah dengan menggunakan program komputer.

G. Etika Penelitian

Etika penelitian memiliki berbagai macam prinsip, namun terdapat

empat prinsip untama yang perlu dipahami oleh pembaca, antara lain

(Nursalam, 2008, p.15) :

1. Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity)

29
Peneliti perlu mempertimbangkan hak-hak subjek untuk mendapatkan

informasi yang terbuka berkaitan dengan jalannya penelitian serta memiliki

kebebasan menentukan pilihan dan bebas dari paksaan untuk berpartisipasi

dalam kegiatan penelitian (autonomy). Peneliti juga harus mempersiapkan

formulir persetujuan subjek yang mencakup : penjelasan manfaat penelitian,

penjelasan kemungkinan resiko dan ketidaknyamanan yang ditimbulkan,

penjelasan manfaat yang didapatkan, persetujuan peneliti dapat menjawab

setiap pertanyaan yang diajukan subjek berkaitan dengan prosedur

penelitian, dan kerahasiaan terhadap identitas dan informasi yang diberikan

oleh responden.

2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek penelitian (respect for privacy

and confidentiality)

Setiap manusia memiliki hak-hak dasar individu termasuk privasi dan

kebebasan individu. Pada dasarnya, penelitian akan memberikan akibat

terbukanya informasi individu termasuk informasi yang bersifat pribadi.

Adapun, tidak semua orang menginginkan informasinya diketahui oleh

orang lain, sehingga peneliti perlu memperhatikan hak-hak dasar individu

tersebut. Dalam aplikasinya, peneliti tidak boleh menampilkan informasi

mengenai identitas baik nama maupun alamat asal subjek dalm kuesioner

dan alat ukur apa pun untuk menjaga anonimitas dan kerahasiaan identitas

subjek. Peneliti dapat menggunakan koding (inisial atau identification

number) sebagai pengganti identitas responden.

3. Keadilan dan inklusivitas (respect for justice and include siveness)

30
Prinsip keadilan memiliki konotasi keterbukaan dan adil. Untuk memenuhi

prinsip keterbukaan, penelitian dilakukan secara jujur, hati-hati, profesional,

berperikemanusiaan, dan memerhatikan faktor-faktor ketepatan,

keseksamaan, kecermatan, intimitas, psikologis serta perasaan religius

subjek penelitian. Keadilan memiliki bermacam-macam teori, namun

terpenting adalah bagaimanakah keuntungan dan beban harus

didistribusikan diantara anggota kelompok masyarakat. Prinsip keadilan

menekankan sejauh mana kebijakan penelitian membagikan keuntungan dan

beban secara merata atau menurut kebutuhan.

4. Memperhatikan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing harms

and benefits)

Peneliti melaksanakan penelitian sesuai dengan prosedur penelitian guna

mendapatkan hasil yang bermanfaat semaksimal mungkin bagi subjek

penelitian dan dapat digeneralisasikan ditingkat populasi. Peneliti

meminimalisasi dampak yang merugikan bagi subjek. Apabila intervensi

penelitian berpotensi mengakibatkan cedera atau stres tambahan, maka

subjek dikeluarkan dari kegiatan penelitian untuk mencegah terjadinya

cedera, kesakitan, stres, maupun kematian subjek penelitian.

sss

31
DAFTAR PUSTAKA

Apriyanto, Nunung. 2012. Seluk Beluk Tunagrahita dan Strategi


Pembelajarannya. Yogyakarta : Javalitera

Asmadi. 2008. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : EGC

Greydanus, D.E & Pratt, H.D. 2005. Syndromes And Disorders Associated With
Mental Retardation. Indian Journal of Pediatrics

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Buku Panduan Peringatan


Cuci tangan Sedunia. Ketiga. Jakarta : Tidak Diterbitkan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman Pembinaan Perilaku


Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Jakarta

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Penyandang Disabilitas Pada


Anak. Jakarta : Tidak Diterbitkan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Perilaku Mencuci Tangan


Pakai Sabun di Indonesia. Jakarta : Tidak Diterbitkan

Munadi, Yudhi. 2013. Media Pembelajaran Sebuah Pendekatan Baru. Jakarta :


Referensi

Munir. 2012. Multimedia (Konsep & Aplikasi Dalam Pendidikan). Bandung :


Alfabeta

Notoatmodjo. 2012. Metodologi Penelitian Pendidikan. Bandung : Alfabeta

Nursalam. 2008. Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.


Jakarta : Salemba Medika

Proverawati, Atika. 2012.Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Yogyakarta :


Nuha Medika

Sandra. 2010. Anak Cacat Bukan Kiamat. Yogyakarta : Katahati

32
Setiawan, I. 2014. Peran Orang Tua Dalam Memotivasi Anak Mencuci Tangan
Dengan Benar Memakai Sabun. Skripsi. Surakarta : Stikes Kusuma Husada

Subini, Nini. 2012. Panduan Mendidik Anak Dengan Kecerdasan di Bawah Rata-
Rata. Yogyakarta : Javalitera

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Alfabeta

Swarjana, I Ketut. 2016. Statistik Kesehatan. Yogyakarta : ANDI

33

Anda mungkin juga menyukai