Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN BENIGN PROSTATIC


HYPERPLASIA (BPH)
DI RUANG PERKEMIHAN
RSUD BANGIL

Oleh :

Sabilar Rizqi Putri Fanani


NIM 0118036

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN DIAN HUSADA
MOJOKERTO
2019-2020

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan asuhan keperawatan pada klien dengan penderita BPH

Nama Mahasiswa : Sabilar Rizqi Putri Fanani

Telah disetujui pada


Hari :
Tanggal :

Pembimbing Pendidikan Pembimbing RS

NASRUL HADI PURWANTO ……………..

NPP. 10.02.044 NIP.

MENGETAHUI

Kepala Ruangan

……………..
NIP.
A. KONSEP MEDIS
a. DEFINISI

Pembesaran prostat jinak atau  benign prostatic hyperplasia (BPH) adalah


kondisi ketika kelenjar prostat membesar. Akibatnya, aliran urine menjadi tidak
lancar dan buang air kecil terasa tidak tuntas.

Kelenjar prostat hanya dimiliki oleh pria. Oleh karena itu, penyakit ini hanya
dialami oleh pria. Hampir semua pria mengalami pembesaran prostat, terutama
pada usia 60 tahun ke atas. Meski begitu, tingkat keparahan gejalanya bisa
berbeda pada tiap penderita, dan tidak semua pembesaran prostat menimbulkan
masalah.

Pria berusia 60 tahun ke atas sebaiknya melakukan pemeriksaan ke dokter


secara rutin, terutama bila mengalami gangguan buang air kecil. Bila tidak
ditangani, terhambatnya aliran urine akibat BPH dapat menyebabkan gangguan
fungsi ginjal dan kandung kemih. Namun perlu diketahui, pembesaran prostat
jinak tidak terkait dengan kanker prostat.
b. ETIOLOGI

Belum diketahui apa yang menyebabkan pembesaran prostat jinak. Akan


tetapi, kondisi ini diduga terkait dengan perubahan pada keseimbangan kadar
hormon seksual seiring pertambahan usia pria.

Pada sebagian besar pria, prostat akan terus tumbuh seumur hidup. Ketika
ukurannya cukup besar, prostat akan menghimpit uretra, yaitu saluran yang
mengalirkan urine dari kandung kemih ke lubang kencing. Kondisi inilah yang
menyebabkan munculnya gejala-gejala di atas.

Ada beberapa faktor yang bisa meningkatkan risiko seseorang terkena


pembesaran prostat jinak, yaitu :

 Berusia di atas 60 tahun


 Kurang berolahraga
 Memiliki berat badan berlebih
 Menderita penyakit jantung atau diabetes
 Rutin mengonsumsi obat hipertensi jenis penghambat beta
 Memiliki keluarga yang mengalami gangguan prostat
c. PATOFISIOLOGI/WOC

Patofisiologi benign prostatic hyperplasia disebabkan karena beberapa faktor,


yaitu faktor usia dan hormonal. Seiring bertambahnya usia, kelenjar prostat akan
mengalami pembesaran. Pembesaran prostat ini dipengaruhi oleh hormon
androgen, terutama dihidrotestosteron dan testosteron. Kadar testosteron dalam
kelenjar prostat mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya usia, hal ini
disebabkan karena adanya isoenzim alfa-5-reduktase mengubah testosteron
menjadi dihidrotestosteron (DHT). Penurunan kadar testosteron ini kemudian
akan mengakibatkan ketidakseimbangan hormon androgen, sehingga terjadi
peningkatan rasio esterogen/androgen dalam serum serta jaringan prostat,
terutama pada stroma. DHT juga akan berikatan dengan reseptor androgen pada
nukleus sel, sehingga dapat menyebabkan hiperplasia.
 Pembesaran Zona Transisional

Prostat dibagi ke dalam 3 zona, yaitu:


1. Zona sentral
2. Zona perifer
3. Zona transisional
Zona perifer terletak pada sisi posterior sampai lateral dari uretra dan
merupakan zona terbesar, yaitu sekitar 75% dari seluruh kelenjar prostat. Zona
sentral berukuran lebih kecil dan terletak disekitar duktus ejakulatorius. Bagian
terkecil dari prostat merupakan zona transisional, yaitu sekitar 5% yang terletak
pada kedua sisi uretra pars prostatika. Pada benign prostatic hyperplasia, zona
transisional membesar hingga 95% dan menekan zona lain. Pembesaran zona
transisional ini dapat menyebabkan obstruksi saluran kemih dan juga pada
beberapa pasien gejalanya minimal. Hal ini terjadi karena turunnya elastisitas
uretra pars prostatika karena penurunan kolagen dan peningkatan proteoglikan,
sehingga uretra pars prostatika lebih resisten terhadap tekanan dan pembesaran
terjadi lebih banyak ke arah luar. Jika pembesaran terjadi ke arah dalam, akan
terjadi penekanan pada lumen urethra pars prostatika, sehingga menyebabkan
obstruksi saluran kemih/bladder outlet obstruction  (BOO).
 Obstruksi Saluran Kemih

Obstruksi pada saluran kemih akan membuat tekanan intravesika meningkat,


sehingga buli-buli harus berkontraksi lebih untuk melawan kenaikan tekanan
tersebut setiap kali miksi. Kontraksi berlebih ini lama-lama dapat menyebabkan
hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya divertikula, sakula, ataupun
selula pada buli-buli. Fase di mana hipertrofi otot detrusor ini terjadi disebut
dengan fase kompensasi dinding otot. Bila keadaan ini berlangsung secara kronis,
otot detrusor akan mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi, sehingga menyebabkan retensi urin dalam vesika urinaria yang dapat
menjadi infeksi ataupun batu. Tekanan tinggi yang terus menerus ini juga
menyebabkan terjadinya aliran balik urin dari buli-buli ke ureter, sehingga
menyebabkan hidroureter ataupun hidronefrosis. Perubahan-perubahan struktur ini
akan menyebabkan terbentuknya gejala LUTS, baik obstruktif ataupun iritatif.

d. TANDA DAN GEJALA


Ketika seseorang terserang BPH, ada beberapa gejala yang mungkin
dialaminya. Misalnya :

 Selalu ingin berkemih, terutama pada malam hari.


 Inkontinensia urine atau beser.
 Sulit mengeluarkan urine.
 Mengejan pada waktu berkemih.
 Aliran urine tersendat-sendat.
 Mengeluarkan urine yang disertai darah.
 Merasa tidak tuntas setelah berkemih.

Gejala tersebut muncul akibat tekanan pada kandung kemih dan uretra.
Tekanan ini terjadi ketika kelenjar prostat mengalami pembengkakan atau
pembesaran. Oleh sebab itu, segeralah temui dokter jika mengalami gejala-gejala
tersebut.

Dalam kasus BPH, kondisi ini amat memerlukan diagnosis yang tepat. Sebab
ada beberapa kondisi kesehatan lain yang gejalanya mirip dengan BPH.
Contohnya:

 Prostatitis atau radang prostat.


 Infeksi saluran kemih.
 Penyempitan uretra.
 Penyakit batu ginjal dan batu kandung kemih.
 Bekas luka operasi pada leher kandung kemih.
 Kanker kandung kemih
 Kanker prostat.
 Gangguan pada saraf yang mengatur aktivitas kandung kemih.

e. KOMPLIKASI

Pembesaran prostat ini terkadang bisa mengarah pada komplikasi. Apalagi bila
tak ditangani dengan tepat dan cepat. Contohnya, ketidakmampuan kandung
kemih untuk mengosongkan urine. Selain itu, ada pula beberapa komplikasi yang
bisa terjadi. Contohnya :

 Infeksi saluran kemih.


 Penyakit batu kandung kemih.
 Retensi urin akut atau ketidakmampuan berkemih.
 Kerusakan kandung kemih dan ginjal.
Komplikasi di atas bisa muncul bila pembesaran prostat jinak jinak tak diobati
dengan efektif.

f. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Untuk menentukan apakah pasien menderita pembesaran prostat jinak, dokter


akan menanyakan gejala yang dialami pasien. Kemudian dokter akan melakukan
pemeriksaan colok dubur guna mengetahui ukuran prostat.

Pemeriksaan yang dapat dilakukan selanjutnya adalah :

 USG prostat, untuk melihat ukuran prostat penderita.


 Tes urine, untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi atau kondisi lain
yang memiliki gejala mirip dengan pembesaran prostat jinak.
 Tes darah, untuk memeriksa kemungkinan gangguan pada ginjal.
 Tes pengukuran kadar antigen (PSA) dalam darah. PSA dihasilkan oleh
prostat dan kadarnya dalam darah akan meningkat bila kelenjar prostat
membesar atau mengalami gangguan. Pertumbuhan volume kelenjar
prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar PSA. Kadar PSA di dalam
serum dapat mengalami peningkatan pada peradangan, setelah manipulasi
pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi urin akut,
kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua. Serum PSA
meningkat pada saat terjadi retensi urin akut dan kadarnya perlahan-lahan
menurun terutama setelah 72 jam dilakukan kateterisasi. Rentang kadar
PSA yang dianggap normal berdasarkan usia adalah :

- 40-49 tahun : 0-2,5 ng/ml


- 50-59 tahun : 0-3,5 ng/ml
- 60-69 tahun : 0-4,5 ng/ml
- 70-79 tahun : 0-6,5 ng/ml

Guna memastikan pasien menderita pembesaran prostat jinak dan


menyingkirkan kemungkinan adanya kondisi lain, dokter akan melakukan
pemeriksaan berikut :

 Mengukur kekuatan pancaran urine dan jumlah urine yang keluar.


 Memeriksa kemampuan pasien untuk mengosongkan kandung kemih.
Memeriksa kemungkinan adanya kanker prostat, melalui biopsi atau
pengambilan sampel jaringan prostat untuk diteliti di laboratorium.
 Melihat kondisi uretra dan kandung kemih, dengan memasukkan selang
fleksibel berkamera (sistoskopi) melalui lubang kencing.
g. PENATALAKSANAAN DAN TERAPI
Penatalaksanaan benign prostatic hyperplasia sangat bergantung dari derajat
keparahannya berdasarkan skoring IPSS (International Prostate Symptom Score).
 Pemantauan Ketat / Watchful Waiting
Watchful waiting dilakukan pada pasien dengan gejala ringan, yaitu pasien
dengan hasil skor IPSS/AUA (American Urological Association Symptom Score
Index) 0 hingga 7. Metode terapi ini sering kali mengalami kegagalan, yaitu
sekitar 40% dalam 3 bulan pertama hingga 60% dalam 12 bulan. Terapi
farmakoterapi awal pada pasien dengan gejala lower urinary tract
symptoms (LUTS) yang mengganggu dapat membantu memperlambat
progresifitas gejala.
 Medikamentosa
Pasien dengan gejala sedang (Skor IPSS/AUA 8-18) hingga berat (Skor
IPSS/AUA 19-35) dapat diberikan terapi farmakologis. Jika terapi farmakologis
tidak berhasil mengatasi gejala yang ada, maka dapat dilakukan tindakan
pembedahan. Pilihan terapi farmakologis yang dapat diberikan antara lain adalah:
a. Antagonis Reseptor Alfa-1-Adrenergik
Obat antagonis α1 adrenergik (penghambat reseptor alfa / alpha blocker),
seperti prazosin atau tamsulosin, bekerja dengan mengurangi retensi otot polos
prostat. Obat merupakan salah satu obat yang paling sering diberikan pada
pasien benign prostatic hyperplasia karena dapat memperbaiki aliran urin dan
skor IPSS sebanyak 30-40% dalam waktu 1 minggu. Akan tetapi, obat ini
tidak menghambat progesifitas benign prostatic hyperplasia.
Dosis Tamsulosin
Dosis awal: 0.4 mg secara oral sekali sehari
Dosis Maksimal: 0.8 mg secara oral sekali sehari

b. Penghambat 5-Alfa-Reduktase
Penghambat 5-alfa-reduktase, seperti dutasterid dan finasterid, bekerja
untuk mengurangi volume prostat dengan menurunkan kadar hormon
testosterone/dihidrotestosteron. Obat ini juga merupakan salah satu obat yang
sering diberikan, umumnya diberikan pada pasien dengan ukuran prostat >30
gram. Butuh waktu paling tidak 6 bulan untuk mencapai efek terapetik
maksimal. Obat ini dapat mengurangi progesifitas benign prostatic
hyperplasia, tetapi memiliki risiko cukup tinggi untuk menjadi kanker prostat.
Dosis Obat : 
 Dustaterid : Sekali sehari satu kapsul (0,5 mg), dapat diberikan bersama
dengan maupun tidak bersama dengan makanan. Meskipun perbaikan
mungkin sudah terlihat pada awal pengobatan, pengobatan selama kurang
lebih 6 bulan diperlukan untuk menilai secara obyektif apakah dapat
diperoleh respon yang memuaskan terhadap pengobatan.
 Finasterid : 5 mg/hari; pengobatan harus ditinjau ulang setelah 6 bulan.
c. Antimuskarinik
Obat ini merupakan salah satu terapi benign prostatic hyperplasia terkini.
Cara kerja obat ini adalah menginhibisi respon asetilkolin sehingga
menurunkan kontraktilitas otot detrusor dan mengurangi gejala iritatif LUTS.
Obat ini juga dapat diberikan bersamaan dengan antagonis alfa-1-adrenergik.
Obat ini tidak dapat digunakan apabila pasien mengalami obstruksi saluran
kemih.
Antimuskarinik yang digunakan untuk spasme otot polos saluran cerna
meliputi senyawa amin tersier atropin sulfat dan disikloverin
hidroklorida (disiklomin hidroklorida) dan senyawa amonium
kuaterner propantelin bromida dan hiosin butilbromida. Senyawa amonium
kuaterner kurang larut dalam lipid dibandingkan atropin, sehingga lebih sulit
menembus sawar darah-otak. Selain itu juga absorpsinya lebih kecil.
Dosis : 
 Propantelin bromida : 15 mg 3 kali sehari sekurang-kurangnya 1 jam
sebelum makan dan 30 mg sebelum tidur, maksimal 120 mg sehari; Anak
tidak dianjurkan
 Hiosin butilbromida : Oral (namun absorpsinya buruk, lihat keterangan
di atas), 20 mg 4 kali sehari; Anak 6-12 tahun: 10 mg 3 kali sehari. Injeksi
intramuskuler atau intravena lambat (spasme akut dan spasme pada
prosedur diagnostik) 20 mg, bila perlu diulang setelah 30 menit (dapat
diulang lebih sering pada endoskopi) maksimal 100 mg sehari; Anak: tidak
disarankan.

d. Inhibitor Fosfodiesterase-5
Obat ini merupakan salah satu obat benign prostatic hyperplasia terkini
tetapi cara kerjanya belum diketahui secara pasti. Studi yang ada menyatakan
bahwa penghambat fosfodiesterasi-5, seperti tadalafil, dapat memicu relaksasi
otot halus sehingga melancarkan aliran urin. Obat ini merupakan pilihan
apabila pasien memiliki gejala LUTS yang disertai disfungsi ereksi.

Dosis Tadalafil

Kondisi Dosis
Dosis awal adalah 10 mg, dikonsumsi setidaknya 30 menit
sebelum melakukan hubungan seksual. Dosis dapat
Disfungsi ereksi ditingkatkan menjadi 20 mg sesuai respons tubuh.Obat
juga dapat dikonsumsi 5 mg sekali sehari secara berkala,
dan dapat diturunkan menjadi 2,5 mg sesuai respons tubuh.

Pembesaran prostat jinak (BPH) 5 mg sekali sehari.

e. Agonis Beta-3-Adenoreseptor
Agonis beta-3-adenoreseptor, seperti mirabegron, merupakan obat benign
prostatic hyperplasia yang lebih baru dan dapat digunakan terutama pada
pasien benign prostatic hyperplasia dengan glaukoma. Cara kerja obat ini
masih belum diketahui secara pasti.
Dosis Mirabegron
a. Dewasa dan lanjut usia: 50 mg sebanyak 1 kali/hari.
b. Pasien penderita gangguan fungsi ginjal :
 Ringan dan sedang :
a. Tanpa inhibitor : 50 mg/hari.
b. Dengan inhibitor : 25 mg/hari.
 Berat tanpa inhibitor : 25 mg/hari.
c. Pasien penderita gangguan fungsi hati :
 Ringan :
a. Tanpa inhibitor: 50 mg/hari.
b. Dengan inhibitor: 25 mg/hari.
 Sedang tanpa inhibitor : 25 mg/hari

 Pembedahan
Tindakan pembedahan pada benign prostatic hyperplasia dapat dilakukan
pada pasien dengan skor IPSS 8 hingga 35. Indikasi tindakan pembedahan
pada benign prostatic hyperplasia adalah kegagalan terapi farmakologi, retensi
urin yang sulit diatasi (evakuasi dengan kateter tidak berhasil), infeksi saluran
kemih berulang, hematuria, batu saluran kemih, dan insufisiensi renalis karena
obstruksi. Pilihan tindakan pembedahan yang ada antara lain adalah:
a. Prostatektomi Terbuka / Open Prostatectomy
Prostatektomi terbuka merupakan pilihan tindakan bedah utama bagi
pasien benign prostatic hyperplasia dengan ukuran prostat yang terlalu besar (100
gram atau lebih) dibandingkan transurethral resection of the prostate (TURP).
Ukuran prostat yang terlalu besar dapat mengakibatkan tidak tuntasnya reseksi
pada TURP.
b. Pembedahan Endourologi
Pembedahan endourologi adalah metode yang paling umum dilakukan untuk
terapi benign prostatic hyperplasia. Prosedur yang dapat dilakukan antara lain
adalah transurethral resection of the prostate (TURP), transurethral incision of
the prostate (TUIP), prostatektomi laser, dan elektrovaporasi.  TURP adalah
teknik pembedahan yang paling baik untuk pasien benign prostatic
hyperplasia dengan gejala sedang hingga berat. Sebanyak 95%
pembedahan benign prostatic hyperplasia dilakukan dengan TURP. Tindakan ini
paling ideal dilakukan pada pasien dengan ukuran prostat sedang (60-80 gram)
dengan batas toleransi hingga 100 gram. Akan tetapi, hal ini sangat bergantung
pada pengalaman operator. Prostatektomi dengan laser juga memberikan hasil
yang sama dengan TURP tetapi lebih jarang dilakukan karena harus dilakukan
oleh dokter spesialis urologi yang secara khusus memiliki keterampilan untuk
prostatektomi laser. TUIP merupakan teknik pembedahan untuk benign prostatic
hyperplasia yang cukup baik. Prosedur ini tidak dapat dilakukan pada pasien
dengan karsinoma prostat.
c. Pembedahan Invasif Minimal
Teknik pembedahan invasif minimal pada benign prostatic hyperplasia antara
lain adalah transurethral needle ablation (TUNA), transurethral microwave
therapy (TUMT), dan pemasangan sten. Tindakan bedah invasif minimal
umumnya dilakukan pada pasien benign prostatic hyperplasia dengan ukuran
prostat kecil (30-50 gram). TUMT merupakan pilihan tindakan yang cukup sering
dilakukan, namun memberikan hasil yang kurang baik dibandingkan dengan
TURP. TUNA dapat dilakukan terutama pada pasien benign prostatic
hyperplasia yang masih cukup muda karena resiko untuk
ejakulasi retrograde lebih kecil. Akan tetapi, baik TUMT ataupun TUNA
kecenderungan untuk melakukan operasi ulang dalam 5 tahun lebih tinggi.
Pemasangan stent dapat dilakukan pada pasien dengan gejala berat yang
kondisinya tidak memungkinkan untuk dilakukan pembedahan. 

B. KONSEP KEPERAWATAN
 Pengkajian
1. Meliputi Meliputi nama,umur, jenis kelamin, agama, suku, alamat, tanggal
masuk, tanggal pengkajian, diagnose medis.
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
b. Keluhan saat pengkajian
c. Keluhan terdahulu
d. Riwayat kesehatan keluarga
3. Pola fungsi kesehatan
a. Aktifitas
b. Istirahat
c. Eliminasi
d. Nutrisi
4. Pemeriksaan fisik
a. Status kesehatan umum
- Keadaan umum
- Kesadaran
- TTV
- TB dan BB
b. Pemeriksaan fisik secara head to toe
5. Data psikologis
a. pendidikan
b. hubungan siosial
c. gaya hidup
d. peran dalam keluarga
6. Data penunjang
7. Pengobatan

 Diagnosa keperawatan
1. Retensi urine b/d obtruksi, penyempitan lumen posterior
2. Nyeri akut b/d cortex cerebri saraf eferen, gate kontrol terbuka
3. Resiko infeksi b/d adanya tempat masuk mikroorganisme, luka, iritasi luka
kandung kemih

 Intervensi

NO DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI


.
1. Retensi urine b/d obtruksi, Setelah dilakukan tindakan  Observasi
penyempitan lumen posterior dalam waktu 1x24 jam 1. Periksa kondisi
diharapkan sensasi
pasien (mis.
berkemih meningkat,
kesadaran,
desakan berkemih menurun,
tanda-tanda
distensi kandung kemih
vital, daerah
menurun, volume residu
perineal,
urine menurun,
karakteristik urino distensi
membaik. kandung kemih,
L.04034 inkontinensia
urine, refleks
berkemih)
 Terapeutik
1. Siapkan
peralatan,
bahan-bahan
dan ruangan
tindakan
2. Siapkan
pasien :
bebaskan
pakaian bawah
dan posisikan
dorsal
rekumben
(untuk wanita)
dan supine
(untuk laki-
laki)
3. Pasang sarung
tangan
4. Bersihkan
daerah perineal
atau preposium
dengan cairan
NaCl atau
aquades
5. Lakukan insersi
kateter urine
dengan
menerapkan
prinsip aseptic
6. Sambungkan
kateter urine
dengan urine
bag
7. Isi balon
dengan NaCl
0,9% sesuai
anjuran pabrik
8. Fiksasi setag
kateter diatas
simpisis atau di
paha
9. Pastikan
kantung urine
ditempatkan
lebih rendah
dari kandung
kemih
10. Berikan label
waktu
pemasangan
 Edukasi
1. Jelaskan tujuan
dan prosedur
pemasangan
keteter urine
2. Anjurkan
menarik napas
saat insersi
selang kateter

1.04148
2. Nyeri akut b/d cortex cerebri Setelah dilakukan tindakan  Observasi
saraf eferen, gate kontrol dalam waktu 1x24 jam
diharapkan keluhan nyeri 1. Identifikasi
terbuka
menurun, gelisah menurun, lokasi,
tekanan darah membaik, karakteristik,
fungsi berkemih membaik. durasi,
L.08066 frekuensi,
kualitas,
intensitas nyeri.
2. Identifikasi
skala nyeri.
3. Respon nyeri
non verbal.
4. Identifikasi
faktor yang
memperberat
dan
memperingan
nyeri.
5. Identifikasi
pengetahuan
dan keyakinan
tentang nyeri.
6. Identifikasi
pengaruh nyeri
pada kualitas
hidup.
7. Monitor efek
samping
penggunaan
analgetik.
 Terapeutik
1. Berikan teknik
nonfarmakologi
untuk
mengurangi
nyeri (mis.
Hipnosis, terapi
pijat,
aromaterapi)
2. Kontrol
lingkungan
yang
memperberat
rasa nyeri (mis.
Suhu ruangan,
pencahayaan,
kebisingan)
3. Fasilitas
istirahat dan
tidur.
4. Pertimbangkan
jenis dan
sumber nyeri
dalam
pemilihan
strategi
meredakan
nyeri.
 Edukasi
1. Jelaskan
penyebab,
periode dan
pemicu nyeri.
2. Jelaskan
strategi
meredakan
nyeri.
3. Anjurkan
memonitor
nyeri secara
mandiri.
4. Anjurkan
menggunakan
analgetik secara
cepat.
5. Ajarkan teknik
nonfarmakologi
untuk
mengurangi
rasa nyeri.
 Kolaborasi
Kolaborasi
pemberian
analgetik, jika
perlu.

1.08238
3. Resiko infeksi b/d adanya Setelah dilakukan tindakan  Observasi
tempat masuk dalam waktu 1x24 jam - Monitor tanda dan
mikroorganisme, luka, iritasi diharapkan kebersihan
gejala infeksi lokal
tangan meningkat,
luka kandung kemih dan sistemik
kebersihan badan
 Terapeutik
meningkat, demam
- Batasi jumlah
menurun, kultur urine
membaik. pengunjung

L.12106 - Berikan perawatan


kulit pada area
edema
- Cuci tangan
sebelum dan
sesudah kontak
dengan pasien dan
lingkungan pasien
- Pertahankan teknik
aseptik pada pasien
berisiko tinggi
 Edukasi
- Jelaskan tanda dan
gejala infeksi
- Ajarkan cara
mencuci tangan
dengan benar
- Ajarkan etika
batuk
- Ajarkan cara
memeriksa kondisi
luka atauluka
operasi
- Anjurkan
meningkatkan
asupan nutrisi
- Anjurkan
meningkatkan
asupan cairan
 Kolaborasi
- Kolaborasi
pemberian
imunisasi, jika
perlu
1.14539

 Evaluasi
1. Retensi urine pada pasien membaik
2. Nyeri pada pasien menurun
3. Risiko infeksi pada pasien menurun
FORMAT ASUHAN KEPERAWATAN

Nama Mahasiswa : SABILAR RIZQI PUTRI FANANI

NIM : 0118036

Ruangan : PERKEMIHAN No. Reg. : -

Pengkajian diambil : tanggal 9 Juli 2020 Jam : ............ WIB

I. IDENTITAS

Nama Pasien :- Tgl. MRS : 9 Juli 2020

Umur : 60 tahun Diagnosa Medis : BPH post TURP

Jenis Kelamin : laki-laki

Suku / Bangsa : -

Agama :-

Pendidikan :-

Pekerjaan :-

Alamat :-

II. RIWAYAT KEPERAWATAN KLIEN

1. Keluhan utama :
- Nyeri post operasi
2. Riwayat keperawatan sekarang :
P : Post op BPH

Q : Cekot-cekot, panas

R : di bagian genetalia

S : Skala 7

T : Terus menerus Pasien mengatakan susah kencing selama 2 bulan

3. Riwayat keperawatan yang lalu :


Pada tanggal 3 juli 2020 pasien datang ke puskesmas dan disarankan untuk rawat jalan, dan terpasang
kateter selama 4 hari.

4. Riwayat kesehatan keluarga


…………………………………………………………………………………………………

III. Pola aktivitas sehari – hari (11 pola Gordon)

1. Pola persepsi kesehatan, pemeliharaan kesehatan


2. Pola nutrisi dan metabolisme
3. Pola Eliminasi
BAK dengan bantuan alat cateter. Terpasang treeway, irigasi kateter cairan NaCL 0.9%, traksi : terdapat
plester di paha kanan, warna urine kuning, jumlah urine 2800 cc/jam, belum BAB.
4. Pola aktivitas-latihan
5. Pola istirahat-tidur
6. Pola kognitif-persepsi (sensori)
Pasien dapat berkomunikasi dengan baik dan pasien dapat menjawab pertanyaan dengan baik
7. Pola konsep diri
8. Pola hubungan peran
Pasien mampu berinteraksi dengan baik dan mengenal lingkungan dengan baik
9. Pola seksual-reproduksi
10. Pola penanganan masalah stres
11. Pola keyakinan, nilai-nilai

IV. PEMERIKSAAN FISIK

1. Kesan umum / keadaan umum :


…………………………………………………………………………………………………..

2. Tanda – tanda Vital


Suhu tubuh : - Nadi : 69x/menit

TD : 95/98 mmHg RR : 22x/menit

TB : -

3. Pemeriksaan kepala dan leher :


1) Kepala dan rambut
2) Mata
3) Hidung
4) Telinga
5) Mulut
6) Leher
4. Pemeriksaan Integumen ( kulit )
Akral hangat, CRT < 2 detik, tidak ada edema

5. Pemeriksaan Payudara dan Ketiak


6. Pemeriksaan Thoraks / dada
1) Thoraks : irama nafas teratur, suara nafas vesicular
2) Paru
3) Jantung : irama jantung reguler
7. Pemeriksaan Abdomen
1) Abdomen : perut terasa kembung, tidak ada nyeri tekan, tidak terpasang NGT.
2) Hepar
3) Lien
4) Appendik
8. Pemeriksaan Kelamin dan daerah sekitarnya
1) Genetalia : Cekot-cekot, panas
2) Anus dan perineum
9. Pemeriksaan Muskuloskeletal
10. Pemeriksaan Neurologi
1) Tingkat kesadaran ( Secara Kumulatif ) : Composmentis
2) Tanda – tanda rangsangan otak ( Meningeal Sign )
3) Syaraf otak ( Nervus Crainalis )
4) Fungsi motorik
5) Fungsi sensorik
6) Reflek
a. Reflek Fisiologis

b. Reflek Patologis

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Pemeriksaan Diagnostik / Pemeriksaan medis :


1. Laboratorium
2. Rongent
3. ECG
4. USG
5. Lain –lain

VI.PENATALAKSANAAN DAN TERAPI


Diberikan infus RL : RD5 2:1/24jam Antrain 4 x 1 gr, Ketorolac 3 x 30 mg, Ondan Sentron 2 x 4 mg,
Ranitidine 2 x 50 mg, Fosmiccin 2 x 2 gr.

VII.ANALISA DATA
NO. SYMPTOM ETIOLOGI DIAGNOSA
1. DS : Peningkatan tekanan uretra
- Pasien mengatakan Kerusakan arkus relfeks
susah kencing Blok spinger Retensi urine
DO : Disfungsi neurologis
- Disuria/anuria Efek agen farmakologis
- Distensi kandung kemih
2. DS : Kerusakan jaringan
- Pasien mengeluh nyeri Pelepasan mediator nyeri
DO : Diterima Reseptor nyeri perifer
- Tampak meringis Diterima otak Nyeri akut
- Gelisah Persepsi nyeri
3. DS : - Faktor resiko Resiko infeksi
DO : - Tindakan pembedahan post
TURP
Trauma jaringan
Perawatan tidak adekuat
Resiko infeksi

VIII.DIAGNOSA KEPERAWATAN

NO. DIAGNOSA KRITERIA HASIL INTERVENSI


1. Retensi urine b/d distensi Setelah dilakukan tindakan  Observasi
kandung kemih dalam waktu 1x24 jam 1. Periksa kondisi pasien
diharapkan sensasi berkemih (mis. kesadaran, tanda-
meningkat, desakan berkemih tanda vital, daerah
menurun, distensi kandung perineal, distensi
kemih menurun, volume residu kandung kemih,
urine menurun, karakteristik inkontinensia urine,
urino membaik. refleks berkemih)
 Terapeutik
L.04034 1. Siapkan peralatan,
bahan-bahan dan
ruangan tindakan
2. Siapkan pasien :
bebaskan pakaian
bawah dan posisikan
dorsal rekumben (untuk
wanita) dan supine
(untuk laki-laki)
3. Pasang sarung tangan
4. Bersihkan daerah
perineal atau preposium
dengan cairan NaCl atau
aquades
5. Lakukan insersi kateter
urine dengan
menerapkan prinsip
aseptic
6. Sambungkan kateter
urine dengan urine bag
7. Isi balon dengan NaCl
0,9% sesuai anjuran
pabrik
8. Fiksasi setag kateter
diatas simpisis atau di
paha
9. Pastikan kantung urine
ditempatkan lebih rendah
dari kandung kemih
10. Berikan label waktu
pemasangan
 Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemasangan
keteter urine
2. Anjurkan menarik napas
saat insersi selang
kateter

1.04148
2. Nyeri akut b/d post op Setelah dilakukan tindakan  Observasi
dalam waktu 1x24 jam 1. Identifikasi lokasi,
diharapkan keluhan nyeri karakteristik, durasi,
menurun, gelisah menurun, frekuensi, kualitas,
tekanan darah membaik, fungsi intensitas nyeri.
berkemih membaik. 2. Identifikasi skala nyeri.
L.08066 3. Respon nyeri non verbal.
4. Identifikasi faktor yang
memperberat dan
memperingan nyeri.
5. Identifikasi pengetahuan
dan keyakinan tentang
nyeri.
6. Identifikasi pengaruh
nyeri pada kualitas
hidup.
7. Monitor efek samping
penggunaan analgetik.
 Terapeutik
1. Berikan teknik
nonfarmakologi untuk
mengurangi nyeri (mis.
Hipnosis, terapi pijat,
aromaterapi)
2. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
(mis. Suhu ruangan,
pencahayaan,
kebisingan)
3. Fasilitas istirahat dan
tidur.
4. Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri.
 Edukasi
1. Jelaskan penyebab,
periode dan pemicu
nyeri.
2. Jelaskan strategi
meredakan nyeri.
3. Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri.
4. Anjurkan menggunakan
analgetik secara cepat.
5. Ajarkan teknik
nonfarmakologi untuk
mengurangi rasa nyeri.
 Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu.

1.09290
3. Resiko infeksi b/d prosedur Setelah dilakukan tindakan  Observasi
invasif pembedahan dalam waktu 1x24 jam - Monitor tanda dan gejala
diharapkan kebersihan tangan infeksi lokal dan sistemik
meningkat, kebersihan badan  Terapeutik
meningkat, demam menurun, - Batasi jumlah pengunjung
kultur urine membaik. - Berikan perawatan kulit pada
L.12106 area edema
- Cuci tangan sebelum dan
sesudah kontak dengan
pasien dan lingkungan
pasien
- Pertahankan teknik aseptik
pada pasien berisiko tinggi
 Edukasi
- Jelaskan tanda dan gejala
infeksi
- Ajarkan cara mencuci tangan
dengan benar
- Ajarkan etika batuk
- Ajarkan cara memeriksa
kondisi luka atauluka operasi
- Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
- Anjurkan meningkatkan
asupan cairan
 Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
imunisasi, jika perlu

1.14539

IX. EVALUASI

 Retensi urine pada pasien membaik


 Nyeri pada pasien menurun
 Risiko infeksi pada pasien menurun

DAFTAR PUSTAKA

Danielle, et al. (2016). Benign Prostatic Hyperplasia: A Clinical Review. Journal of


the American Academy of Physician Assistants, 29(8), pp. 19-23.
Lights, V., & Solan, M. Healthline (2017). What Do You Want to Know About
Enlarged Prostate?
Redaksi halodoc, 2020, BPH Benign Prostatic Hyperplasia.
https://www.halodoc.com/kesehatan/bph-benign-prostatic-hyperplasia. Diakses 5 Juli
2020
Herdman, T.Heater, Shigemi Kamitsuru. 2015 Diagnosa Keperawatan: Definisi &
Klasifikasi 2015-2017, ed.10. Jakarta : EGC
Vasanwala FF, Wong MYC, Ho HSS, Foo KT. Benign prostatic hyperplasia and male
lower urinary symptoms: a guide for family physicians. AJUR. 2017;4:181–4.
Homma Y, Gotoh M, Kawauchi A, Kojima Y, Masumori N, Nagai A, et al. Clinical
guidelines for male lower urinary tract symptoms and benign prostatic hyperplasia. Int
J Urol. 2017;24:716–29.
Foo KT, Ho HSS, Wong MYC. Singapore Urological Association Clinical Guidelines
for Male Lower Urinary Tract Symptoms/Benign Prostatic Hyperplasia. Singapore
Med J. 2017;58:473–80.
Braeckman J, Denis L. Management of BPH then 2000 and now 2016 – From BPH to
BPO. AJUR. 2017;4:138–47.
Deters L, Costabile R, Leveille R, Moore C. Benign Prostatic Hyperplasia (BPH).
Medscape. 2017. 
PPNI (2018). Standart Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2018). Standart Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
Allen, H. Patient (2016). Tadalafil for Erectile Dysfunction or Enlarged Prostate.
MIMS.Tamsulosin.2016. http://mims.com/Indonesia/Home/GatewaySubscription/?
generic=Tamsulosin. Diakses 7 Juli 2020
http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-6-sistem-endokrin/64-hormon-kelamin/642-hormon-
laki-laki-dan-antagonis/dutasterid-dan. Diakses 7 Juli 2020
MIMS. https://www.mims.com/indonesia/drug/info/betmiga?type=brief&lang=id.
Diakses 7 Juli 2020

Anda mungkin juga menyukai