Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) DENGAN TINDAKAN HEMODIALISA


DISERTAI KOMPLIKASI HIPOTENSI

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) DENGAN TINDAKAN HEMODIALISA


DISERTAI KOMPLIKASI HIPOTENSI

I. KONSEP CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)


1. DEFINISI
Chronic kindey disease atau disebut juga gagal ginjal kronis. Penyakit ginjal
kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir
dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, pada suatu derajat yang memerlukan
terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra,
2009).
2. KLASIFIKASI
Terdapat 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis yang ditentukan melalui
penghitungan nilai Glumerular Filtration Rate (GFR) dengan melihat kadar kretatinin.
Kreatinin adalah produk sisa yang berasal dari aktivitas otot yang seharusnya
disaring dari dalam darah oleh ginjal yang sehat.

Untuk menilai GFR (Glomelular Filtration Rate) / CCT (Clearance Creatinin Test)
dapat digunakan dengan rumus:
Dibawah ini 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis sebagai berikut :
a. Stadium 1, dengan GFR normal (> 90 ml/min)
Pada stadium 1 gagal ginjal kronik (GGK) biasanya belum merasakan gejala
yang mengindikasikan adanya kerusakan pada ginjalnya. Hal ini disebabkan
ginjal tetap berfungsi secara normal meskipun tidak lagi dalam kondisi tidak lagi
100 persen, sehingga banyak penderita yang tidak mengetahui kondisi ginjalnya
dalam stadium.
b. Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)
Pada stadium 2 juga dapat tidak merasakan gejala yang aneh karena ginjal
tetap dapat berfungsi dengan baik.
c. Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat ( 30 s/d 59 ml/min )
Pada tingkat ini akumulasi sisa – sisa metabolisme akan menumpuk dalam
darah yang disebut uremia. Gejala- gejala juga terkadang mulai dirasakan
seperti :
• Fatique : rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
• Kelebihan cairan: Hal ini membuat penderita akan mengalami
pembengkakan sekitar kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan.
Penderita juga dapat mengalami sesak nafas akaibat teralu banyak cairan
yang berada dalam tubuh.
• Perubahan pada urin : urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan
adanya kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami
perubahan menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila
bercampurdengan darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan
terkadang penderita sering trbangun untuk buang air kecil di tengah malam.
• Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal
beradandapat dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah
ginjal seperti polikistik dan infeksi.
• Sulit tidur : Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur
disebabkan munculnya rasa gatal, kram ataupun restless legs.
d. Stadium 4, dengan penurunan GFR parah ( 15 s.d 29 ml/min)
Apabila seseorang berada pada stadium ini maka sangat mungkin dalam waktu
dekat diharuskan menjalani terapi pengganti ginjal / dialisis atau melakukan
transplantasi. Kondisi dimana terjadi penumpukan racun dalam darah atau
uremia biasanya muncul pada stadium ini.
Gejala yang mungkin dirasakan pada stadium 4 adalah:
 Fatique, Kelebihan cairan, perubahan pada urin, sakit pada ginjal, sulit tidur
 Nausea : muntah atau rasa ingin muntah.
 Perubahan cita rasa makanan : dapat terjadi bahwa makanan yang
dikonsumsi tidak terasa seperti biasanya.
 Bau mulut uremic : ureum yang menumpuk dalam darah dapat dideteksi
melalui bau pernafasan yang tidak enak.
e. Stadium 5, penyakit ginjal stadium akhir/ terminal (>15 ml/min)
Pada level ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk bekerja
secara optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal (dialisis) atau
transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup.
Gejala yang dapat timbul pada stadium 5 antara lain :
• Kehilangan napsu makan
• Nausea.
• Sakit kepala.
• Merasa lelah.
• Tidak mampu berkonsentrasi.
• Gatal – gatal.
• Urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali.
• Bengkak, terutama di seputar wajah, mata dan pergelangan kaki.
• Keram otot
• Perubahan warna kulit

3. ETIOLOGI
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai
berikut glomerulonefritis, diabetes melitus, hipertensi dan ginjal polikistik (Roesli,
2008).
a. Glomerulonefritis
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer
dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari
ginjal sendiri / infeksi sehingga terjadi peradangan sedangkan glomerulonefritis
sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti
diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau
amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006). Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin
tanpa keluhan dan ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau
keluhan ringan atau keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi
pengganti ginjal seperti dialisis (Sukandar, 2006).
b. Diabetes mellitus
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit
ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam
keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara
perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti
minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat
badan yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa
diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa
kadar glukosa darahnya (Waspadji, 2006).
c. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau
material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat
ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di
medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh
berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan
genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai
adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh
karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun.

4. PATOFISIOLOGI (terlampir)
j
5. MANIFESTASI KLINIS
Karena pada gagal hginjal kronis setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh
kondisi uremia, maka pasien akan memperlihatkan sejumlah tanda dan gejala.
Keparahan tanda dan gejala bergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal,
kondisi lain yang mendasari dan usia pasien.
a. Sistem integument
Gejala pada kulit sering menyebabkan gangguan fisik dan psikologis, seperti
kulit menjadi pucat dan adanya pigmentasi urokrom. Kulit yang kering dan
bersisik terjadi akibat atropinya kelenjar minyak, menyebabkan gangguan
penguapa sehingga terjadi penumpukan kristal urea di kulit. Akibatnya kulit
menjadi terasa gatal (pruritus). kuku dan rambut juga menjadi kering dan pecah-
pecah sehungga mudah rusak dan patah. Perubahan pada kuku tersebut
merupakan ciri khas kehilangan protein kronik.
b. Sistem kardiovaskuler
Hipertensi bisa terjadi akibat retensi cairan dan sodium. Hal ersebut terjadi
akibat gagal ginjal kronik menyebabkan aliran darah ke ginjal menurun, sehingga
mengaktivasi apparatus juxtaglomerular untuk memproduksi enzim rennin yang
menstimulasi angiotensin I dan II serta menyebabkan vasokonstriksi perifer.
Angiotensin II merangsang produksi aldosteron dan korteks adreanl,
meningkatkan reabsorbsi sodium dan ginjal sehingga akhirnya meningkatkan
cairan intersitiil dan sodium dalam ginjal sehingga akhirnya meningkatkan cairan
intersitiil dan sodium dalam darah. Manifestasi lain yang dapat ditemukan adalah
gagal jantung kongestif dan perikarditis (akibat iritasi pada lapisan pericardial
oleh toksin uremik).
c. Sistem respirasi
Gejala yang sering dtemukan adalah edem apulmoner dan pneumonia yang
sering menyertai gagal jantung akibat retensi cairan yang berlebihan. Gejala
lainnya adalah pernafasan kussmaul dan nafas berbau uremik.
d. Sistem gastrointestinal
Gejala yang sering terjadi adalah anoreksia, mual, muntah, kelaianan
periodontal dan ulserasi pada saluran gastrointestinal. Perdarahan saluran cerna
juga bisa terjadi dan akan menjadi berbahaya pada pasien dengan kelainan
pembekuan darah.
e. Sistem sirkulasi dan imun
Pasien gagal ginjal kronis sering mengalami anemia dengan kadar Hb <6
g/dL atau hematokrit <25-30%. Bagi pasien yang menjalani hemodialisis,
hematokrit berkisar antara 39-45%. Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi
eritropoetin yang tidak adekuat, memendeknya usia sel darah mera, defisiensi
nutrisi (seperti zat besi, asam folat dan vitamin B12) atau kehilangan nutrisi
selama hemodialisa dan kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat
status uremik pasien, terutama dari saluran gastrointestinal. Selain sering
mengalami anemia, pasien gagal ginjal tahap akhir juga renan terhadap infeksi
akibat adanya defisiensi immunoglobulin.
f. Sistem saraf
Retensi produk sampah dalam darah dan ketidakseimbangan elektrolit
menurunkan kemampuan neurotransmisi dalam berbagai oragan yang bisa
berlanjut kepada gangguan sistem saraf perifer yang menyebabkan burning pain,
restless leg syndrome, spasme otot dan kram.
g. Sistem reproduksi
Perubahan esterogen, progesteron dan testosteron menyebabkan tidak
teraturnya atau berhentinya menstruasi. Pada kaum pria bisa terjadi impotensi
akibat perubahan psikologis dan fisik yangmenyebabkan atropi organ reproduksi
dan kehilangan hasrat seksual.
h. Sistem musculoskeletal
Kelainan yang terjadi berupa penyakit tulang uremik yang sering disebut
osteodistrofi renal, disebabkan karena perubahan kompleks kalsium, fosfat dan
keseimbangan parathormon.
i. Penglihatan
Pasien gagal ginjal kronik bisa mengalami iritasi mata atau sindrom mata
merah akibat terjadinya deposit kalsium dalam konjunctiva. Konjunctiva juga bisa
mengalami edema akibat rendahnya kadar albumin.
j. Gangguan tidur
Pasien gagal ginjal tahap akhir sering mengalami uremia akibat penimbunan
sampah metabolisme. Uremia mengakibatkan gangguan fungsi sistem saraf dan
menyebabkan restless leg syndrome. Restless leg syndrome merupakan salah
satu bentuk gangguan tidur dan penyebab insomnia pada pasien hemodialisis.
Pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis sering mengalami
gangguan tidur berupa kesulitan memulai tidur, kesulitan mempertahankan tidur
dan bangun terlalu dini.

Pada gagal ginjal kronis akan terjadi rangkaian perubahan. Bila GFR menurun 5-
10% dari keadaan normal dan terus mendekati nol, maka pasien akan menderita
sindrom uremik, yaitu suatu komplek gejala yang diakibatkan atau berkaitan dengan
retensi metabolit nitrogen akibat gagal ginjal.

Manifestasi Klinis Sindrom Uremik pada Gagal Ginjal Kronis

Manifestasi Klinis Sindrom Uremik pada Gagal Ginjal Kronis

Biokimia Asidosis metabolik (HCO3- serum 18-20


mEq/L, azotemia (penurunan GFR
menyebabkan peningkatan BUN dan
kreatinin), retensi Na, hipermagnesia,
hiperuresemia.

Saluran cerna Anoreksia, mual, muntah, napas bau


amoniak, mulut kering, perdarahan
saluran cerna, diare stomatitis, parotis.

Perkemihan Poliuria, berlanjut menuju oliguri, lalu


anuri, noktura, BJ urin 1.010, proteinuria.
Metabolisme Protein, sintesis abnormal hiperglikemia,
kebutuhan insulin menurun, lemak,
peningkatan kadar trigliserid.

Sex Libido menghilang, amnore, impotensi dan


sterilitas

Neuromuskuler Mudah lelah, otot mengecil dan lemah,


SSP penurunan ketajaman mental,
konsentrasi buruk, kekacauan mental,
koma, otot berkedut, kejang.

Kardiovaskuler Hipertensi, retinopati dan ensefalopati


hipertensif, beban sirkulasi berlebih,
edema, gagal jantung kongestif, dan
disritmia.

Gangguan kalsium Hiperfosfatemia, hipokalsemia,


hiperparatiroidisme, deposit garam
kalsium pada sendi, pembuluh darah,
jantung dan paru-paru, konjungtivitis
(uremia mata merah).

Kulit Pucat, pruritus, kristal uremia, kulit kering,


dan memar

Hematologik Anemia, hemolisis, kecenderungan


perdarahan, resiko infeksi.

Sumber: Hidayati, 2012

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Urine
- Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tak keluar (anuria)
- Warna : Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus bakteri, lemak,
partikel koloid, forfat atau urat. Sedimen kotor, kecoklatan menunjukan adanya darah,
HB, mioglobin.
- Berat jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukan kerusakan ginjal
berat).
- Osmolalitas : Kurang dari 350 mosm/kg menunjukan kerusakan tubular, dan rasio
urine/serum sering 1:1
- Klirens keratin : Mungkin agak menurun
- Natrium : Lebih besar dari 40 m Eq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium.
- Protein : Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukan kerusakan
glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada.
 Darah
- BUN / Kreatin : Meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi kadar kreatinin 16
mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5)
- Hitung DL : Menurun pada adanya anemia Hb:biasanya kurang dari 78 g/dL
- SDM : Waktu hidup menurun pada defisiensi aritropoetin seperti pada azotemia.
- GDA : pH : Penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi karena kehilangan
kemampuan ginjal untuk mengeksresi hydrogen dan amonia atau hasil akhir
katabolisme protein. Bikarbonat menurun, PCO2 menurun .
- Natrium Serum : Mungkin rendah (bila ginjal “kehabisan Natrium” atas normal
(menunjukan status dilusi hipernatremia).
- Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan seluler
(asidosis) atau pengeluaran jaringan. Pada tahap akhir, perubahan
- EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 MPq atau lebih besar.
- Magnesium/Fosfat : Meningkat
- Kalsium : Menurun
- Protein (khususnya Albumin) : Kadar serum menurun dapat menunjukkan kehilangan
protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan, atau penurunan
sintesis karena kurang asam amino esensial.
- Osmolalitas Serum : Lebih besar dari 285 mOsm/kg, sering sama dengan urine.
 Sistouretrogram Berkemih : Menunjukan ukuran kandung kemih, refluks ke
dalam ureter, terensi.
 Ultrasono Ginjal : Menentukan ukuran ginjal dan adanya massa, kista, obstruksi
pada saluran perkemihan bagian atas.
 Biopsi Ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel
jaringan untuk diagnosis histoligis.
 Endoskopi Ginjal, Nefroskopi : Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal, keluar
batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif.
 EKG : Mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan elektrolit dan
asam/basa
.
7. PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan pada penyakit gagal ginjal kronis adalah untuk
mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin (Smeltzer & Barre,
2008). Penatalaksanaan gagal ginjal kronis dapat digolongkan menjadi dua yaitu:
a. Terapi konservatif
Pengobatan konservatif bertujuan untuk memanfaatkan faal ginjal yang masih
ada, menghilangkan berbagai faktor pemberat, dan memperlambat progresivitas
gagal ginjal sedini mungkin. Selain itu, pengobatan konservatif bertujuan untuk
menghilangkan gejala yang mengganggu penderita, sehingga penderita dapat
hidup secara normal. Yang termasuk pengobatan konservatif gagal ginjal kronis
adalah:
1) Pembatasan protein
Pembatasan protein tidak hanya mengurangi kadar BUN, tetapi juga
mengurangi asupan kalium dan fosfat serta mengurangi produksi ion
hidrogen yang berasal dari protein. Jumlah kebutuhan protein biasanya
dilonggarkan sampai 60-80 g/hari, apabila penderita mendapatkan
pengobatan dialisis teratur.
2) Diet rendah kalium
Hiperkalemia biasanya merupakan masalah pada gagal ginjal lanjut.
Asupan kalium dikurangi. Penggunaan makanan dan obat-obatan yang
tinggi kaliumnya dapat menyebabkan hiperkalemia. Diet yang dianjurkan
adalah 40-80 mEg/hari.
3) Diet rendah natrium
Diet rendah natrium yang dianjurkan adalah 40-90 mEq/hari (1-2 g
Na). Asupan natrium yang terlalu longgar dapat mengakibatkan retensi
cairan, edema perifer, edema paru, hipertensi dan gagal jantung
kongestif.
4) Pengaturan cairan
Cairan yang diminum penderita gagal ginjal tahap lanjut harus diawasi
dengan seksama. Parameter yang tepat untuk diikuti selain data asupan
dan pengeluaran cairan yang dicatat dengan tepat adalah pengukuran
berat badan harian. Aturan yang dipakai untuk menentukan banyaknya
asupan cairan adalah jumlah urin yang dikeluarkan selama 24 jam
terakhir + 500 ml (IWL). Tanda seperti ini akan muncul bila kenaikan berat
badan pasien lebih dari 2 kg. Akumulasi cairan yang dapat ditoleransi
adalah 1-2 kg selama periode intradialitik.
b. Terapi penggantian ginjal atau Renal Replacement Teraphy (RRT)
Terapi penggantian ginjal dilakukan pada seseorang yang mengidap penyakit
gagal ginjal kronik atau ginjal tahap akhir, yang bertujuan untuk menghindari
komplikasi dan memperpanjang umur pasien. Terapi pengganti ginjal dibagi
menjadi dua, antara lain dialisis dan transplantasi ginjal (Shahgholian et.al,
2008).
1) Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu
cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal
ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan
indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu
perikarditis,ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan
kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter,
muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan
kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8
mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar,
2006).
2) Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi
medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65
tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem
kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami
perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV
shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal)
dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai
co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien
sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di
daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).
3) Transplantasi ginjal
Penatalaksanaan transplantasi atau cangkok ginjal sebenarnya
adalah suatu terapi definitif yang paling tepat dan ideal untuk
penatalaksanaan suatu keadaan gagal ginjal yang sangat berat. Prinsip
dari pelaksanaan terapi cangkok ginjal ini adalah pencangkokan ginjal
sehat ke dalam tubuh pasien. Permasalahan yang paling sering dihadapi
dalam cangkok ginjal adalah adanya reaksi penolakan dari tubuh pasien
sebagai resepien terhadap ginjal baru yang dicangkokkan ke dalam
tubuhnya. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya harus dipilih ginjal
yang paling cocok sehingga memberikan reaksi penolakan yang paling
minimal. Setelah pelaksanaan transplantasipun, resepien juga masih
harus minum obat imunosupresan seumur hidupnya untuk menekan
reaksi penolakan oleh tubuhnya terhadap ginjal baru dalam tubuhnya
(Aziz, 2008).
II. KONSEP HEMODIALISA
1. DEFINISI
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi
darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan
menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu bentuk
terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT) dan hanya menggantikan
sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis dilakukan pada penderita PGK
stadium V dan pada pasien dengan AKI (Acute Kidney Injury) yang memerlukan
terapi pengganti ginjal. Menurut prosedur yang dilakukan HD dapat dibedakan
menjadi 3 yaitu: HD darurat/emergency, HD persiapan/preparative, dan HD
kronik/reguler (Daurgirdas et al.,2007).

2. TUJUAN
1) Membuang produk sisa metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan asam
urat.
2) Membuang kelebihan air dengan mengetahui tekanan banding antara darah dan
bagian cairan, biasanya terdiri atas tekanan positif dan negatif (penghisap) dalam
kompartemen dialisat.
3) Mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer tubuh.
4) Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.

3. INDIKASI HEMODIALISA
Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergency atau HD segera dan HD kronik.
Hemodialis segera adalah HD yang harus segera dilakukan.
a. Indikasi hemodialisis segera antara lain (Daurgirdas et al.,2007):
Kegawatan Ginjal
1) Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi
2) Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)
3) Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)
4) Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K
>6,5mmol/l )
5) Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)
6) Uremia ( BUN >150 mg/dL)
7) Ensefalopati uremikum
8) Neuropati/miopati uremikum
9) Perikarditis uremikum
10) Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L)
11) Hipertermia
b. Indikasi Hemodialisis Kronik
Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan berkelanjutan
seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis. Menurut
K/DOQI dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt. Keadaan pasien yang mempunyai
GFR <15ml/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu
dimulai jika dijumpai salah satu dari hal tersebut di bawah ini (Daurgirdas
et al.,2007):
1) GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis
2) Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea, mual dan muntah.
3) Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
4) Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
5) Komplikasi metabolik yang refrakter.

4. PERALATAN HEMODIALISA
1) Dialiser atau Ginjal Buatan
Terdiri dari membran semi permeabel yang memisahkan
kompartemen darah dan dialisat.
2) Dialisat atau Cairan Dialisis
Yaitu cairan yang terdiri dari air dan elektrolit utama dari serum
normal. Dialisat ini dibuat dalam sistem bersih dengan air kran dan bahan
kimia saring. Bukan merupakan sistem yang steril, karena bakteri terlalu
besar untuk melewati membran dan potensial terjadinya infeksi pada pasien
minimal. Karena bakteri dari produk sampingan dapat menyebabkan reaksi
pirogenik, khususnya pada membran permeabel yang besar, maka air untuk
dialisat harus aman secara bakteriologis. Konsentrat dialisat biasanya
disediakan oleh pabrik komersildan umumnya digunakan oleh unit kronis.
3) Sistem Pemberian Dialisat
Yaitu alat yang mengukur pembagian proporsi otomatis dan alat
mengukur serta pemantau menjamin dengan tepat kontrol rasio konsentrat-
air.
4) Aksesori Peralatan
a. Perangkat Keras, terdiri dari :
- Pompa darah, pompa infus untuk mendeteksi heparin
- Alat pemonitor suhu tubuh apabila terjadi ketidakamanan
konsentrasi dialisat, perubahan tekanan udara dan kebocoran
darah.
b. Perangkat Disposibel yang digunakan selain ginjal buatan :
- Selang dialisis yang digunakan untuk mengalirkan darah antara
dialiser dan pasien.
- Transfer tekanan untuk melindungi alat monitor dari pemajanan
terhadap darah.
- Kantong cairan garam untuk membersihkan sistem sebelum
digunakan.

5. AKSES PADA SIRKULASI DARAH PASIEN


Akses pada sirkulasi darah pasien terdiri atas kateter subklavikula dan femoralis,
fistula, tandur.
1) Kateter subklavikula dan femoralis
Akses segera ke dalam sirkulasi darah pasien pada hemodialisis
darurat dicapai melalui kateterisasi subklavikula untuk pemakaian sementara.
Kateter femoralis dapat dimasukkan ke dalam pembuluh darah femoralis
untuk pemakaian segera dan sementara.
2) Fistula
Fistula yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan (biasanya
dilakukan pada lengan bawah) dengan cara menghubungkan atau
menyambung (anastomosis) pembuluh arteri dengan vena secara side to
side (dihubungkan antara ujung dan sisi pembuluh darah). Fistula tersebut
membutuhkan waktu 4 sampai 6 minggu menjadi matang sebelum siap
digunakan. Waktu ini diperlukan untuk memberikan kesempatan agar fistula
pulih dan segmenvena fistula berdilatasi dengan baik sehingga dapat
menerima jarum berlumen besar dengan ukuran 14-16. Jarum ditusukkan ke
dalam pembuluh darah agar cukup banyak aliran darah yang akan mengalir
melalui dializer. Segmen vena fistula digunakan untuk memasukkan kembali
(reinfus) darah yang sudah didialisis.
3) Tandur
Dalam menyediakan lumen sebagai tempat penusukan jarum dialisis,
sebuah tandur dapat dibuat dengan cara menjahit sepotong pembuluh arteri
atau vena dari sapi, material Gore-tex (heterograft) atau tandur vena safena
dari pasien sendiri. Biasanya tandur tersebut dibuat bila pembuluh darah
pasien sendiri tidak cocok untuk dijadikan fistula.
6. TEKNIK HEMODIALISA
1) Persiapan Mesin dan Perangkat HD
- Pipa pembuangan sudah masuk dalam saluran pembuangan
- Sambungkan kabel mesin dengan stop kontak
- Hidupkan mesin ke rinse selama 15-30 menit
- Pindahkan ke posisi dialyze lalu sambungkan slang dialisat ke
jaringan tempat dialisat yang telah disiiapkan.
- Tunggu sampai lampu hijau
- Tes conductivity dan temperatur
- Gantungkan saline normal sebanyak 4 flatboth yang telah diberikan
heparin sebanyak 25-30 unit dalam masing-masing flatboth
- Siapkan ginjal buatan sesuai dengan kebutuhan pasien
- Siapkan blood lines dan AV fiskula sebanyak banyaknya
- Ginjal buatan dan blood lines diisi saline normal (priming)
- Sambungkan dialisatelines pada ginjal buatan
- Sambil mempersiapkan pasien slang inlet dan outlet disambungkan
lalu jalankan blood pump (sirkulasi tertutup)
2) Langkah-langkah HD
- Timbang dan catat berat badan
- Ukur dan catat tekanan darah (dapat digunakan untuk
menginterpretasikan kelebihan cairan)
- Tentukan akses darah yang akan ditusuk
- Bersihkan daerah yang akan ditusuk dengan betadine 10% lalu
alcohol 70% kemudian ditutup pakai duk steril
- Sediakan alat-alat yang steril didalam bak spuit kecil : spuit 2,5 cc
sebanyak 1, spuit 1 cc 1 buah, mangkok kecil berisi saline 0,9% dan
kasa steril
- Sediakan obat-obatan yang perlu yaitu lidonest dan heparin
- Pakai masker dan sarung tangan steril
- Lakukan anestesi local didaerah akses darah yang akan ditusuk
- Tusuk dengan AV fistula lalu berikan heparin sebanyak 2000 unit
pada inlet sedangkan outlet sebanyak 1000 unit
- Siap sambungkan ke sirkulasi tertutup yang telah disediakan
- Aliran darah permulaan sampai 7 menit 75 ml/menit kemudian
dinaikkan perlahan sampai 200 ml/menit
- Tentukan TMP sesuai dengan kenaikkan berat badan
- Segera ukur kembali tekanan darah, nadi, pernapasan, akses darah
yang digunakan dicatat dalam status yang telah tersedia.
3) Perawatan Pasien Hemodialisa
a) Perawatan sebelum hemodialisa
- Mempersiapkan perangkat HD
- Mempersiapkan mesin HD
- Mempersiapkan cara pemberian heparin
- Mempersiapkan pasien baru dengan memperhatikan factor
bio psiko sosial, agar penderita dapat bekerja sama dalam
hal program HD
- Mempersiapkan akses darah
- Menimbang berat badan, mengukur tekanan darah, nadi,
pernapasan
- Menentukan berat badan kering
- Mengambil pemeriksaan rutin dan sewaktu
b) Perawatan Selama Hemodialisa
Observasi terhadap pasien HD
- Tekanan darah, nadi diukur setiap 1 jam lalu dicatat dalam
status
- Dosis pemberian heparin dicatat setiap 1 jam dalam status
- Cairan yang masuk perparenteral maupun peroral dicatat
jumlahnya dalam status
- Akses darah dihentikan
Observasi terhadap mesin HD
- Kecepan aliran darah /Qb, kecepatan aliran dialisat/Qd
dicatat setiap 1 jam
- Tekanan negatif, tekanan positif, dicatat setiap jam
- Suhu dialisa, conductivity diperhatikan bila perlu diukur
- Jumlah cairan dialisa, jumlah air diperhatikan setiap jam
- Ginjal buatan, slang darah, slang dialisat dikontrol setiap 1
jam.
4) Perawatan Sesudah Hemodialisa
- Ukur tekanan darah dan nadi sebelum slang inlet dicabut
- Ambil darah untuk pemeriksaan laboratorium
- Kecilkan aliran darah menjadi 75 ml/menit
- Cabut AV fistula intel/ lalu bilas slang inlet memakai saline normal
sebanyak 50-100 cc, lalu memakai udara hingga semua darah dalam
sirkulasi ekstrakorporeal kembali ke sirkulasi sistemik
- Tekan pada bekas tusukan inlet dan outlet selama 5-10 menit, hingga
darah berhenti dari luka tusukan
- Tekanan darah, nadi, pernapasan ukur kembali lalu catat
- Timbang berat badan lalu dicatat
- Kirimkan darah ke laboratorium

7. PRINSIP DAN CARA KERJA HEMODIALISA


Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen: 1) kompartemen darah, 2)
kompartemen cairan pencuci (dialisat), dan 3) ginjal buatan (dialiser). Darah
dikeluarkan dari pembuluh darah vena dengan kecepatan aliran tertentu, kemudian
masuk ke dalam mesin dengan proses pemompaan. Setelah terjadi proses dialisis,
darah yang telah bersih ini masuk ke pembuluh balik, selanjutnya beredar di
dalam tubuh. Proses dialisis (pemurnian) darah terjadi dalam dialiser (Daurgirdas et
al.,2007). Prinsip kerja hemodialisis adalah komposisi solute (bahan terlarut)
suatu larutan (kompartemen darah) akan berubah dengan cara memaparkan larutan
ini dengan larutan lain (kompartemen dialisat) melalui membran semipermeabel
(dialiser).
Perpindahan solute melewati membran disebut sebagai osmosis.
Perpindahan ini terjadi melalui mekanisme difusi dan UF. Difusi adalah
perpindahan solute terjadi akibat gerakan molekulnya secara acak, utrafiltrasi
adalah perpindahan molekul terjadi secara konveksi, artinya solute berukuran
kecil yang larut dalam air ikut berpindah secara bebas bersama molekul air
melewati porus membran. Perpindahan ini disebabkan oleh mekanisme
hidrostatik, akibat perbedaan tekanan air (transmembrane pressure) atau
mekanisme osmotik akibat perbedaan konsentrasi larutan (Daurgirdas et al.,
2007).

8. KOMPLIKASI HEMODIALISA
Komplikasi terapi dialisis sendiri dapat mencakup hal-hal berikut:
1. Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan di keluarkan.
2. Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja terjadi jika
udara memasuki sistem vaskuler pasien.
3. Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2menurun bersamaan dengan terjadinya
sirkulasi darah di luar tubuh.
4. Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme
meninggalkan kulit.
5. Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan serebral
dan muncul sebagai serangan kejang. 
6. Kram otot yang nyeri terjadi ketikacairan dan elektrolit dengan cepat
meningglkan ruang ekstrasel.
7. Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi

III. HIPOTENSI INTRADIALISA


1. DEFINISI HIPOTENSI INTRADIALISA
Pada beberapa literatur, pengertian intradialytic hypotension (IDH) tidak
memiliki standardisasi dan beberapa studi memiliki definisi yang berbeda. Namun
kebanyakan mendefinisikan sebagai penurunan tekanan darah dengan disertai
munculnya gejala spesifik. Penurunan tekanan darah bisa relatif atau absolut.
Sampai saat ini, belum ada evidence based yang merekomendasikan pengertian
IDH. Manifestasi dari IDH bervariasi mulai dari asimptomatik sampai dengan syok.
The EBPG working group menekankan bahwa menurunnya tekanan darah, disertai
dengan munculnya gejala klinis yang membutuhkan intervensi medis harus dipikirkan
kemungkinan munculnya IDH.
Beberapa literature mengemukakan bahwa IDH ditandai dengan penurunan
tekanan darah sistolik ≥ 30 atau tekanan darah sistolik absolut dibawah 90 mmHg.
Hipotensi pada dialisis bisa muncul dengan beberapa gambaran klinis: (i) akut
(episodik) hipotensi, didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah sistolik secara
tiba-tiba dibawah 90 mmHg atau paling tidak 20 mmHg diikuti dengan gejala klinis,
(ii) Rekuren (berulang), secara definisi sama seperti yang sebelumnya, namun
hipotensi terjadi pada 50% dari sesi dialisis, dan (iii) kronik, yaitu hipotensi persisten
yang didefinisikan sebagai tekanan darah interdialisis tetap dalam kisaran 90-100
mmHg.
Pedoman dari NKF KDOQI, mendefiniskan hipotensi intradialisis (Intradialytic
hypotension) sebagai suatu penurunan tekanan darah sistolik ≥ 20 mmHg atau
penurunan Mean arterial pressure (MAP) >10 mmHg dan menyebabkan munculnya
gejalagejala seperti: perasaan tidak nyaman pada perut (abdominal discomfort);
menguap (yawning); sighing; mual; muntah; otot terasa kram (muscle cramps),
gelisah, pusing, dan kecemasan. Hal ini mengganggu kenyamanan pasien, dan
dapat mencetuskan aritmia jantung, dan sebagai faktor predisposisi untuk penyakit
jantung koroner, infark miokard (Burton et al., 2009) dan/atau kejadian iskemia otak
(Mizumasa et al., 2004). Selain itu, IDH menyebabkan terhalangnya dosis dialisis
yang adequat (adequate dose of dialysis), dimana episode hipotensi menyebabkan
efek kompartemen dan menghasilkan Kt/Vurea suboptimal.1,2,3,4

2. FAKTOR RESIKO HIPOTENSI INTRADIALISA


- Pasien dengan diabetes CKD stadium 5
- Pasien dengan Penyakit kardiovaskular: LVH dan disfungsi diastolik dengan
atau tanpa CHF; Pasien dengan penyakit katup jantung; Pasien dengan
penyakit perikardium (perikarditisi konstriktif atau efusi perikardium)
- Pasien dengan status nutrisi yang buruk, dan hypoalbuminemia
- Pasien dengan uremic neuropathy atau disfungsi autonomik dikarenakan
penyebab lain
- Pasien dengan anemia yang berat
- Pasien yang membutuhkan volume ultrafiltrasi yang lebih besar; misal pada
pasien dengan berat badan yang melebihi interdialytic weight gain
- Pasien dengan usia 65 tahun atau usia yang lebih tua
- Pasien dengan tekanan darah sistolik predialisis < 100 mmHg

3. PENCEGAHAN HIPOTENSI INTRADIALISA


 Berat Badan Kering (Dry body weight)
Perhitungan dry body weight yang tidak tepat dapat menyebabkan
underhydration atau overhydration pasien dialisis. Studi-studi sebelumnya
menunjukkan jumlah signifikan dari pasien tidak stabil yang pada awalnya
normohidrasi atau underhidrasi, menjadi underhydrated pada akhir sesi
dialisis. Pada pasien underhydrated, volume interstisial sangat kurang, dan
terganggunya refill dari volume darah, sehingga menyebabkan penurunan
volume darah yang lebih besar. Dengan kata lain, overestimasi berat badan
kering dapat menyebabkan hipertensi dan meningkatkan resiko terjadinya
dilatasi jantung, dan edema paru. Pemeriksaan fisik harus dilakukan untuk
menilai keadaan pasien apakah pasien kemungkinan underhydrated atau
overhydrated.
Beberapa metode non-invasif telah dikembangkan. Cardiothoracic
ratio dengan X-ray bisa mendeteksi pasien overhydrated, tetapi tidak dapat
digunakan sebagai alat untuk pencegahan terjadinya IDH. Diameter vena
cava inferior, dapat diukur dengan ekokardiografi, berhubungan dengan
volume darah, dan tekanan atrium kanan dan dapat memprediksi perubahan
hemodinamik selama proses dialisis. Analisis Multifrequency bioimpedance
dapat digunakan untuk memprediksi instabilitas hemodinamik pada beberapa
studi. Alat ini juga sangat sensitif dalam mendeteksi perubahan status cairan.
Marker biokimia seperti cGMP, tetapi bukan ANP, dapat memprediksi
perubahan hemodinamik selama dialisis berlangsung. Baik cGMP dan ANP
dilepaskan sebagai respon terhadap peregangan atrium kiri. cGMP
ditemukan dan dianggap kemungkinan berguna untuk diagnosis
overhydration, namun tidak dapat memprediksi underhydration. Dan juga
BNP, yang dilepaskan sebagai respon terhadap peregangan terhadap
ventrikel kiri, dapat memprediksi overhidration, tetapi tidak underhydration.
Sebagai kesimpulan, melalui beberapa metode objektif dapat
digunakan untuk memprediksi perubahan tekanan darah dan parameter
hemodinamik yang lain selama hemodialisis, pada saat ini penggunaan
ekokardiografi vena kava telah menunjukkan hasil yang memuaskan dalam
pengurangan terjadinya IDH. Bagaimanapun, tekhnik ini tergantung operator,
dan mungkin sulit diinterpretasikan pada pasien gagal jantung. Penggunaan
bioimpedance tidak menunjukkan pencegahan terjadinya IDH, namun tekhnik
ini mungkin bermanfaat untuk mendeteksi perubahan status hidrasi.

 Tekanan darah dan frekuensi heart rate


Tekanan darah dan frekuensi heart rate harus diukur rutin selama
hemodialisis untuk mengantisipasi IDH. Dua tipe episode hipotensi dapat
dibedakan selama hemodialisis, yaitu bradikardia dan takikardia.
Kebanyakan, episode IDH dikarakteristikkan dengan penurunan tekanan
darah bertahap dan peningkatan heart rate. Alternatif, episod IDH dapat
muncul tibatiba dan berhubungan dengan respon bradikardia (Bezold Jarish
Reflex), yang berasal dari aktivasi mekanoreseptor ventrikel kiri dikarenakan
underfilling ventrikel berat. Pada IDH tipe takikardi, diperkirakan bahwa IDH
mungkin dapat dicegah dengan pengaturan ultrafiltrasi,walaupun belum ada
studi yang membuktikan hal ini.
Evaluasi jantung harus dilakukan pada pasien dengan frekuensi IDH
yang sering. Keadaan penyakit jantung, menyebabkan disfungsi sistolik dan
disfungsi diastolik dari jantung dapat meningkatkan resiko terjadinya IDH.
Peningkatan kontraktilitas miokardium merupakan respon fisiologik terhadap
penurunan volume darah, dimana respon ini dapat terganggu oleh disfungsi
sistolik dari jantung. Diastolic filling terganggu pada pasien IDH, dan disfungsi
diastolik biasanya berhubungan dengan hipertrofi ventrikel kiri, namun bisa
juga karena iskemia miokardium atau fibrosis.
 Intervensi Pola Hidup
Dalam rangkan mengontrol IDWG, dan mengurangi resiko IDH,
asupan garam harus diperhatikan dan tidak boleh melebihi 6 gram/hari.
Restriksi garam menurunkan IDWG dan meningkatkan kontrol tekanan darah
interdialisis. Dua penelitian menilai efek dari batasan asupan garam terhadap
kontrol tekanan darah interdialisis dan insidensi IDH. IDWG menurun secara
signifikan dengan batasan asupan garam, dan insidensi IDH:
0.71±0.8(asupan garam biasa) vs 0.18±0.5 (asupan garam dibatasi). Pada
studi lain, insiden IDH bulanan menurun dari 22% menjadi 7% setelah
membatasi asupan garam. Pada pasien diabetes, hiperglikemia dapat
mencetuskan perasaan haus, dan menstimulasi haus dan meningkatkan
IDWG, sehingga diperkirakan kontrol glukosa yang ketat dapat mengurangi
IDWG, namun belum ada data mengenai kontrol glukosa dan IDWG pada
pasien dialisis.
Kesimpulan, mengurangi asupan garam (2 gram/90 mmol Na atau 6
gram NaCl) dapat mengurangi IDWG dan dapat mempunyai peranan dalam
pencegahan IDH. Asupan makanan selama dialisis dapat menyebabkan
vasodilatasi splachnic, dan dapat mencetuskan IDH. Tiga studi menunjukkan
penurunan tekanan darah yang lebih besar dan insidensi IDH lebih besar
setelah asupan makanan. Kafein tidak terbukti dapat mencegah kejadian
IDH.

 Durasi Dialisis dan Frekuensi


Pemanjangan waktu dialisis atau peningkatan frekuensi dialisis
harusdipertimbangkan pada pasien yang sering mengalami IDH.
Pemanjangan waktu dialisis dapat mengurangi laju ultrafiltrasi, sehingga
penurunan volume darah tidak agresif. Suatu studi membandingkan toleransi
intradialisis dengan membandingkan dialisis selama 4 jam dan 5 jam, dengan
hasil penurunan episode hipotensi pada pasien yang menjalani dialisis
selama 5 jam. Lebih jauh, efek dari pengurangan laju ultrafiltrasi, hanya dapat
dicapai dengan memperpanjang waktu dialisis, dan ini telah dilakukan pada
pasien dengan gangguan jantung. Pada studi ini, penurunan tekanan darah
sistolik lebih sedikit pada pasien dengan laju ultrafiltrasi 500 dibandingkan
dengan laju ultrafiltrasi 1000. Pada DOPPS, insidensi IDH lebih sedikit 30%
pada pasien dengan laju ultrafiltrasi < 11ml/kg/jam dibandingkan dengan laju
ultrafiltrasi standar. Dan mortalitas lebih rendah pada pasien dengan laju
ultrafiltrasi < 10 ml/kg/jam.
Pada pasien yang menjalani dialisis 8 jam sebanyak 3 x seminggu,
insidensi hipotensi sangat rendah. Dengan frekuensi hemodialisis yang lebih
sering, seperti quotidian dialysis atau short daily dialysis, kontrol tekanan
darah lebih bagus, dan masa ventrikel kiri juga berkurang. Karena
frekuensinya lebih sering, volume ultrafiltrasi dikurangi. Suatu studi
menunjukkan pengurangan insidensi IDH dengan mengganti frekuensi HD
dari 3-4 kali seminggu menjadi 6 kali, 2 jam per sesi dialisis. Suatu studi
menunjukkan pengurangan kebutuhan infus salin setelah konversi frekuensi
hemodialisis dari 3x seminggu menjadi 6x seminggu. Pada studi kohort, 23
pasien (11 pasien, short daily dialysis; 12 pasien, long nocturnal dialysis)
dibandingkan dengan 22 HD konvensional (3x seminggu) sebagai kontrol.
Terjadi pengurangan insidensi dialysis-related symptoms pada short daily
dialysis. Namun studi oleh Fagugli et al pada pasien yang stabil, tidak ada
perbedaan IDH diantara short daily dialysis dan dialisis standar 3x seminggu.
Sebagai kesimpulan, ada bukti yang menunjukkan bahwa
memperpanjang waktu dialisis dapat menurunkan kejadian IDH, dengan
penurunan laju ultrafiltrasi sehingga penurunan tekanan darah sistolik tidak
terlalu agresif pada pasien dengan fungsi jantung terganggu.

4. PENATALAKSANAAN JIKA TERJADI HIPOTENSI INTRA DIALISA


 Pendekatan Lini Pertama
- Konseling asupan makanan (restriksi garam)
- Menghindari asupan makanan selama dialysis
- Pengukuran berat badan kering
- Penggunaan bikarbonat sebagai buffer dialysis
- Penggunaan temperatur dialisat 36.5Oc
- Periksa dosis dan waktu pemberian obat antihipertensi

 Pendekatan Lini Kedua


- Evaluasi performa jantung
- Penurunan temperatur dialisat secara berkala mulai dari 36.5oC
sampai 35oC
- Memperpanjang waktu dialisis dan/atau frekuensi dialysis
- Pemberian konsentrasi dialisat kalsium 1.50 mmol/l
 Pendekatan Lini Ketiga
- Pertimbangan pemberian midodrine
- Pertimbangkan suplementasi L-carnitine

 Posisi Trendelenburg
Posisi trendelenburg harus dipertimbangkan pada penatalaksanaan
IDH. Namun efikasi masih terbatas. Posisi ini sering digunakan pada
penatalaksanaan IDH, dengan penerapan manuver ini, volume aliran darah
berkurang di perifer dan lebih tersentralisasi. Namun, hanya sedikit studi yang
menilai efikasi posisi ini. Pada suatu studi, peningkatan volume darah hanya
sekitar 0.4%. Tidak ada perbedaan yang terlalu signifikan dalam perubahan
tekanan darah selama dialisis setelah menerapkan posisi terndelenburg.
Sebagai kesimpulan, efek dari posisi trendelenburg pada volume darah
sangat kecil.

 Stop Ultrafiltrasi
Ultrafiltrasi harus dihentikan selama episode IDH. Menghentikan
ultrafiltrasi, akan mencegah penurunan volume darah lebih jauh, dan akan
memfasilitasi refill volume darah dari kompartemen intrestisial.
Memperlambat laju aliran darah terkadang dapat digunakan dalam
pengobatan IDH.

 Pemberian Cairan
Salin isotonik harus diinfuskan, pada pasien yang tidak respon
dengan penghentian ultrafiltrasi dan posisi trendelenburg selama episode
IDH. Pemberian cairan ini paling sering diberikan untuk meningkatkan volume
darah selama kejadian IDH. Baik kristaloid dan koloid telah dipelajari dalam
pengobatan IDH. Beberapa studi telah menilai efek dari salin isotonik,
glukosa hipertonik, manitol, dan larutan koloid. Pada studi tersebut
membandingkan efek dari isovolumetrik infus glukosa 5 dan 20%, salin 0.9%
dan 3.0% dan manitol 20% dalam volume darah selama ultrafiltrasi,
peningkatan volume darah paling besar selama pemberian larutan glukosa
hipertonik.
Pada studi lain, peningkatan volume darah lebih besar setelah
pemberian infus 100 ml plasma ekspander gelofusin dibandingkan dengan
100 cc salin isotonik. Pada studi lain, tidak ada perbedaan signifikan antara
pemberian albumin dibandingkan salin isotonik untuk penatalaksanaan IDH.
Sebagai kesimpulan baik salin isotonik dan larutan albumin sama-sama
efektif pada pengobatan IDH. Salin hipertonik tidak lebih superior dari salin
isotonik, dan albumin tidak lebih superior dari albumin atau HES pada
penatalaksanaan IDH.

 Intervensi Farmakologis
- Midrodin
- L – Carnitine
- Dopamin

IV. ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Biodata
Gagal Ginjal Kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 th), usia muda,
dapat terjadi pada semua jenis kelamin tetapi 70 % pada pria.

b. Keluhan utama
Kencing sedikit, tidak dapat kencing, gelisah, tidak selera makan (anoreksi),
mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas berbau (ureum), gatal pada
kulit.

c. Riwayat penyakit
1) Sekarang
Diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi anafilaksis, renjatan
kardiogenik.

2) Dahulu
Riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung,
hipertensi, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign Prostatic Hyperplasia,
prostatektomi.

3) Keluarga
Adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus (DM).

d. Tanda vital
Apakah ada peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, nafas
cepat dan dalam (Kussmaul), dyspnea.
e. Pemeriksaan Fisik :
1. Keadaan Umum: terbaring ditempat tidur dengan posisi supine, terpasang infus IV line di
tangan kiri
a. Kesadaran: compos mentis, GCS 456
b. Tanda-tanda vital: Tekanan darah, Nadi , Suhu, TB, BB

2. Kepala & Leher


a. Kepala:
- Inspeksi: apakah ada massa atau edema, rambut warna hitam dan terdapat uban serta
tersebar merata dan tidak ada luka bekas operasi, rambut tidak berketombe
- Palpasi: apakah teraba adanya massa dan oedema
b. Mata:
- Inspeksi: apakah Konjungtiva anemis, apakah ada ikterik, penglihatan jelas, pergerakan
pupil normal, dan tidak ada katarak.
c. Hidung:
- Inspeksi: apakah ada perdarahan, fungsi penciuman baik, tidak ada abrasi, tidak ada
memar, pernapasan cuping hidung (-), terpasang O 2 nasal canule 2 lpm
- Palpasi : apakah ada nyeri tekan/benjolan
d. Mulut & tenggorokan:
Inspeksi: Mukosa bibir sedikit kering, tidak ada massa, tidak ada perdarahan gusi, tidak ada
gangguan berbicara, indra pengecap dapat merasakan manis, asin, dan pedas, tidak ada
gangguan menelan

e. Telinga:
- Inspeksi: apakah ada luka dan fungsi pendengaran baik.
- Palpasi: apakah ada nyeri tekan
f. Leher:
- Inspeksi: Tidak ada distensi vena jugularis, tidak ada kekakuan, tidak terdapat benjolan
di leher
- Palpasi: tidak teraba massa di leher dan tidak ada nyeri tekan
3. Thorak & Dada:
 Jantung
- Inspeksi : apakah tampak ictus cordis pada dada sebelah kiri
- Palpasi : apakah pulsasi ictus kordis teraba 5 cm dari ICS 5 midclavicula sinistra
- Perkusi : terdengar suara dullness, terdapat pembesaran jantung
- Auskultasi : BJ S1 dan S2 tunggal
 Paru
- Inspeksi : Dada kanan dan kiri simetris, pergerakan dinding dada normal, pernafasan
otot bantu dada (-), bentuk dada normal (diameter antero posterior 1:2), RR 23 x/menit,
SpO2: 96%
- Palpasi : apakah ada nyeri tekan pada area sekitar dada, taktil vremitus (+)
- Perkusi : terdengar bunyi sonor
- Auskultasi :
- - - -
Ronkhi Wheezing
- - - -
+ + - -
4. Payudara & Ketiak
apakah ada benjolan atau massa, tidak ada bengkak, tidak ada nyeri tekan, dan kondisi
payudara simetris kanan dan kiri.

5. Punggung & Tulang Belakang


apakah terdapat deformitas.

6. Abdomen
 Inspeksi : apakah tampak membesar/distensi, tidak terdapat adanya luka operasi.
 Palpasi : nyeri tekan dan kekakuan
 Perkusi : thimpani
 Auskultasi : bising usus (+)
7. Genetalia & Anus
 Inspeksi :
 Palpasi :
8. Ekstermitas
 Ekstermitas Atas:
a. Kanan
apakah ada nyeri tekan dan tidak ada edema, tidak ada luka, pergerakan normal, warna
kulit sawo matang dan akral hangat

b. Kiri
apakah ada nyeri tekan dan tidak ada edema, tidak ada luka, pergerakan normal, warna
kulit sawo matang dan akrat hangat, terpasang infus.

 Ekstermitas Bawah:
a. Kanan
apakah ada nyeri tekan, apakah terdapat edema di kaki kiri, apakah ada luka, apakah
terdapat kelemahan, warna kulit sawo matang dan akral hangat

b. Kiri
apakah ada nyeri tekan, apakah ada edema di kaki kiri, apakah ada luka, apakah
terdapat kelemahan, warna kulit sawo matang dan akral hangat
Kekuatan otot

5 5

1 1

9. Sistem Neorologi
GCS E4V5M6 Reflek fisiologis ?/? Reflek patologis ?/?

10. Kulit & Kuku

a. Kulit : Warna sawo matang, turgor kulit normal, tidak pucat


b. Kuku : apakah kotor, belum dipotong, CRT <2 detik

f. Pola aktivitas sehari-hari


1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada pasien gagal ginjal kronik terjadi perubahan persepsi dan tata laksana
hidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak gagal ginjal
kronik sehingga menimbulkan persepsi yang negatif terhadap dirinya dan
kecenderungan untuk tidak mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan
yang lama, oleh karena itu perlu adanya penjelasan yang benar dan mudah
dimengerti pasien.

2) Pola nutrisi dan metabolisme


Anoreksia, mual, muntah dan rasa pahit pada rongga mulut, intake minum
yang kurang.dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan
terjadinya gangguan nutrisi dan metabolisme yang dapat mempengaruhi
status kesehatan klien. Peningkatan berat badan cepat (oedema) penurunan
berat badan (malnutrisi) anoreksia, nyeri ulu hati, mual muntah, bau mulut
(amonia), Penggunaan diuretic, Gangguan status mental, ketidakmampuan
berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran,
kejang, rambut tipis, kuku rapuh.

3) Pola Eliminasi
Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine kuning tua dan pekat,
tidak dapat kencing.Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap
lanjut) abdomen kembung, diare atau konstipasi, Perubahan warna urine,
(pekat, merah, coklat, berawan) oliguria atau anuria.

4) Pola tidur dan Istirahat


Gelisah, cemas, gangguan tidur.

5) Pola Aktivitas dan latihan


Klien mudah mengalami kelelahan dan lemas menyebabkan klien tidak
mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal, Kelemahan
otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.
6) Pola hubungan dan peran
Kesulitan menentukan kondisi. (tidak mampu bekerja, mempertahankan
fungsi peran).
7) Pola sensori dan kognitif
Klien dengan gagal ginjal kronik cenderung mengalami neuropati / mati rasa
pada luka sehingga tidak peka terhadap adanya trauma. Klien mampu
melihat dan mendengar dengan baik/tidak, klien mengalami disorientasi/
tidak.
8) Pola persepsi dan konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita
mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya perawatan, banyaknya
biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien mengalami
kecemasan dan gangguan peran pada keluarga (self esteem).

9) Pola seksual dan reproduksi


Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi
sehingga menyebabkan gangguan potensi seksual, gangguan kualitas
maupun ereksi, serta memberi dampak pada proses ejakulasi serta orgasme.
Penurunan libido, amenorea, infertilitas.

10) Pola mekanisme / penanggulangan stress dan koping


Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, faktor stress,
perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan, karena
ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa marah,
kecemasan, mudah tersinggung dan lain – lain, dapat menyebabkan klien
tidak mampu menggunakan mekanisme koping yang konstruktif / adaptif.
Faktor stress, perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak ada
kekuatan.Menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan
kepribadian.

11) Pola tata nilai dan kepercayaan


Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta gagal
ginjal kronik dapat menghambat klien dalam melaksanakan ibadah maupun
mempengaruhi pola ibadah klien

2. Diagnosa Keperawatan
 Pre Hemodialisa
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang
meningkat
2. Resiko ketidak efektifan perfusi ginjal berhubungan dengan penyakit
ginjal (CKD)
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran
alrveolar kapiler (edema paru)
4. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi (peningkatan
usaha nafas)
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai O2
dan kebutuhan
6. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran
urine, diet cairan berlebih, retensi cairan & natrium.
7. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
edema sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na
dan H2O)
8. Mual berhubungan dengan gangguan biokimia (uremia)
9. Nyeri kronis berhubungan dengan agen cedera biologis (pembengkakan
renal)
10. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang/lebih dari kebutuhan tubuh
behubungan dengan prognosis penyakit dan gangguan metabolik serta
kadar asam basa dalam tubuh.
 Intra Hemodialisa
1. Nyeri akut behubungan dengan aktivasi receptor nyeri di area insersi
saat dan setelah pemasangan AV shunt
2. Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan proses hemodialisa
yang mengerluarkan cairan dari dalam tubuh
3. Resiko perdarahan berhubungan dengan pemasangan AV shunt
4. Resiko cedera b.d akses vaskuler & komplikasi sekunder terhadap
penusukan & pemeliharaan akses vaskuler.
5. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan efek samping terkait
terapi (HD)
 Post Hemodialisa
1. Resiko infeksi berhubungan dengan area insersi AV Shunt
2. Resiko perdarahan berhubungan dengan pemberia heparin
3. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
sindrom ketidak seimbangan dialisa

 Intervensi
No Diagnosa Tujuan/KH Intervensi
1 Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan NIC: Toleransi aktivitas
B.d askep ... jam Klien 1) Tentukan penyebab intoleransi
ketidakseimbangan dapat menoleransi aktivitas & tentukan apakah
suplai & kebutuhan aktivitas & melakukan penyebab dari fisik,
O2 ADL dgn baik psikis/motivasi
Kriteria Hasil: 2) Kaji kesesuaian
   Berpartisipasi dalam aktivitas&istirahat klien sehari-
aktivitas fisik dgn TD, hari
HR, RR yang sesuai 3) ↑ aktivitas secara bertahap,
   Warna kulit biarkan klien berpartisipasi
normal,hangat&kering dapat perubahan posisi,
   Memverbalisasikan berpindah&perawatan diri
pentingnya aktivitas 4) Pastikan klien mengubah posisi
secara bertahap secara bertahap. Monitor gejala
   Mengekspresikan intoleransi aktivitas
pengertian pentingnya 5) Ketika membantu klien berdiri,
keseimbangan latihan observasi gejala intoleransi spt
& istirahat mual, pucat, pusing, gangguan
   ↑toleransi aktivitas kesadaran&tanda vital
6) Lakukan latihan ROM jika klien
tidak dapat menoleransi
aktivitas
2 Pola nafas tidak Setelah dilakukan Monitor Pernafasan:
efektif b.d askep ..... jam pola 1) Monitor irama, kedalaman dan
hiperventilasi, nafas klien frekuensi pernafasan.
penurunan energi, menunjukkan ventilasi 2) Perhatikan pergerakan dada.
kelemahan yg adekuat dg kriteria : 3) Auskultasi bunyi nafas
   Tidak ada dispnea 4) Monitor peningkatan
   Kedalaman nafas ketdkmampuan istirahat,
normal kecemasan dan seseg nafas.
   Tidak ada retraksi
dada / penggunaan otot Pengelolaan Jalan Nafas
bantuan pernafasan 1) Atur posisi tidur klien untuk
maximalkan ventilasi
2) Lakukan fisioterapi dada jika
perlu
3) Monitor status pernafasan dan
oksigenasi sesuai kebutuhan
4) Auskultasi bunyi nafas
5) Bersihhkan sekret jika ada
dengan batuk efektif / suction
jika perlu.
3 Kelebihan volume Setelah dilakukan Fluid manajemen:
cairan b.d. askep ..... jam pasien 1) Monitor status hidrasi
mekanisme mengalami (kelembaban membran mukosa,
pengaturan keseimbangan cairan nadi adekuat)
melemah dan elektrolit. 2) Monitor tnada vital
Kriteria hasil: 3) Monitor adanya indikasi
  Bebas dari edema overload/retraksi
anasarka, efusi 4) Kaji daerah edema jika ada
  Suara paru bersih
  Tanda vital dalam Fluid monitoring:
batas normal 1) Monitor intake/output cairan
2) Monitor serum albumin dan
protein total
3) Monitor RR, HR
4) Monitor turgor kulit dan adanya
kehausan
5) Monitor warna, kualitas dan BJ
urine

4 Ketidakseimbangan Setelah dilakukan Manajemen Nutrisi


nutrisi kurang dari askep ….. jam klien 1) kaji pola makan klien
kebutuhan tubuh menunjukan status 2) Kaji adanya alergi makanan.
nutrisi adekuat 3) Kaji makanan yang disukai oleh
dibuktikan dengan BB klien.
stabil tidak terjadi mal 4) Kolaborasi dg ahli gizi untuk
nutrisi, tingkat energi penyediaan nutrisi terpilih
adekuat, masukan sesuai dengan kebutuhan klien.
nutrisi adekuat 5) Anjurkan klien untuk
meningkatkan asupan
nutrisinya.
6) Yakinkan diet yang dikonsumsi
mengandung cukup serat untuk
mencegah konstipasi.
7) Berikan informasi tentang
kebutuhan nutrisi dan
pentingnya bagi tubuh klien

Monitor Nutrisi
1) Monitor BB setiap hari jika
memungkinkan.
2) Monitor respon klien terhadap
situasi yang mengharuskan
klien makan.
3) Monitor lingkungan selama
makan.
4) Jadwalkan pengobatan dan
tindakan tidak bersamaan
dengan waktu klien makan
5) Monitor adanya mual muntah
6) Monitor adanya gangguan
dalam proses mastikasi/input
makanan misalnya perdarahan,
bengkak dsb
7) Monitor intake nutrisi dan kalori.

5 Kurang Setelah dilakukan Pendidikan : proses penyakit


pengetahuan askep … jam 1) Kaji pengetahuan klien tentang
tentang penyakit Pengetahuan klien / penyakitnya
dan keluarga meningkat dg 2) Jelaskan tentang proses
pengobatannya KH: penyakit (tanda dan gejala),
b.d. kurangnya Pasien mampu: identifikasi kemungkinan
sumber informasi   Menjelaskan kembali penyebab.
penjelasan yang 3) Jelaskan kondisi klien
diberikan 4) Jelaskan tentang program
  Mengenal kebutuhan pengobatan dan alternatif
perawatan dan pengobantan
pengobatan tanpa 5) Diskusikan perubahan gaya
cemas hidup yang mungkin digunakan
  Klien / keluarga untuk mencegah komplikasi
kooperatif saat 6) Diskusikan tentang terapi dan
dilakukan tindakan pilihannya
7) Eksplorasi kemungkinan sumber
yang bisa digunakan/
mendukung
8) Instruksikan kapan harus ke
pelayanan
9) Tanyakan kembali pengetahuan
klien tentang penyakit, prosedur
perawatan dan pengobatan

6 Resiko infeksi b/d Setelah dilakukan Kontrol infeksi


tindakan invasive, askep ... jam risiko 1) Ajarkan tehnik mencuci tangan
penurunan daya infeksi terkontrol dg 2) Ajarkan tanda-tanda infeksi
tahan tubuh primer KH: 3) Laporkan dokter segera bila ada
  Bebas dari tanda- tanda infeksi
tanda infeksi 4) Batasi pengunjung
  Angka leukosit normal 5) Cuci tangan sebelum dan
  Ps mengatakan tahu sesudah merawat ps
tentang tanda-tanda 6) Tingkatkan masukan gizi yang
dan gejala infeksi cukup
7) Anjurkan istirahat cukup
8) Pastikan penanganan aseptic
daerah IV
9) Berikan PEN-KES tentang risk
infeksi
Proteksi infeksi:
1) Monitor tanda dan gejala infeksi
2) Pantau hasil laboratorium
3) Amati faktor-faktor yang bisa
meningkatkan infeksi

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L.J. 2009. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed. 2 Jakarta : EGC
Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi: Buku Saku. Jakarta: EGC.

Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. 2011. Nursing care plans: Guidelines for
planning and documenting patients care. Jakarta: EGC

D. Goldsmith et al. (eds.). Cardio-Renal Clinical Challenges. DOI 10.1007/978-3-319-09162-


4_12, © Springer International Publishing Switzerland 2015.

Hung SC, Lin YP, Huang HL, Pu HF, Tarng DC. Aldosterone and mortality in hemodialysis
patients: role of volume overload. PLoS One. 2013;8:e57511.

Mihaela Dora Donciu , Luminita Voroneanu , and Adrian Covic. Volume Overload in
CKD: Pathophysiology, Assessment Techniques, Consequences and Treatment. . DOI:
10.1007/978-3-319-09162-4_12. September 2015.

Nahas, Meguid El & Adeera Levin. Chronic Kidney Disease: A Practical Guide to
Understanding and Management. USA : Oxford University Press. 2010

Anda mungkin juga menyukai