Anda di halaman 1dari 14

PENDAHULUAN

Glomerulonefritis adalah suatu istilah umum yang dipakai untuk menjelaskan berbagai
macam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan inflamasi di glomerulus akibat suatu
proses imunologis. Istilah glomerulonefritis akut pasca infeksi termasuk grup yang besar dari
dari glomerulonefritis akut sebagai akibat dari bermacam-macam agen infeksi. Pada
glomerulonefritis pasca infeksi, proses inflamasi terjadi dalam glomerulus yang dipicu oleh
adanya reaksi antigen antibodi, selanjutnya menyebabkan aktifasi lokal dari sistem
komplemen dan kaskade koagulasi. Kompleks imun dapat terjadi dalam sirkulasi atau in situ
pada membran basalis glomerulus.
Glomerulonefritis akut yang paling sering terjadi pada anak di negara berkembang adalah
setelah infeksi bakteri streptokokus beta hemolitikus grup A, yaitu Glomerulonefritis Akut
Pasca infeksi Streptokokus (GNAPS). Manifestasi klinis yang paling sering dari GNAPS
berupa sindrom nefritik akut, manifestasi klinis lainnya dapat berupa sindrom nefrotik, atau
glomerulonefritis progresif cepat.
Sindrom nefritis akut merupakan kumpulan gejala klinis akibat penurunan secara tiba-tiba
dari laju filtrasi glomerulus dengan disertai retensi air dan garam, pada analisis urin
ditemukan eritrosit, cast eritrosit dan albumin. Meskipun penyebab umum (80%) dari
sindrom nefris akut adalah GNAPS, tetapi karena penyebabnya beragam, maka perlu
difikirkan diagnosa diferensial yang lain. Pada penderita sindrom nefritik akut yang
mempunyai gambaran klinis klasik GNAPS harus dibedakan dengan penderita yang
mempunyai gambaran klinis unusual GNAPS.
Gambaran klinis unusual tersebut adalah: riwayat keluarga dengan glomerulonefritis, umur <
4 tahun dan > 15 tahun, mempunyai riwayat gejala yang sama sebelumnya, ditemukan
penyakit ekstrarenal (seperti arthritis, rash, kelainan hematologi), ditemukan bukti bukan
infeksi kuman streptokokus dan adanya gejala klinis yang mengarah ke penyakit ginjal
kronis/CKD (anemia, perawakan pendek, osteodistrofi, ginjal yang mengecil, atau hipertrofi
ventrikel kiri).

DEFINISI
Glomerulonefritis akut (GNA) adalah jenis penyakit ginjal yangmenunjukkan peradangan
glomerulus dan nefron yang paling sering menyerang anak usia 2 15 tahun. Peradangan
tersebut terutama disebabkan mekanisme imunologis yang menimbulkan kelainan
patologis glomerulus dengan mekanisme yang masih belum jelas.
Glomerulonefritis akut adalah peradangan glomerulus secara mendadak pada kedua ginjal.
Peradangan akut glomerulus terjadi akibat pengendapan kompleks antigen antibody di
kapiler-kapiler glomerulus. Kompleks biasanya terbentuk 7-10 hari setelah infeksi faring atau
kulit oleh streptokokus ( glomerulonefritis pascas treptokokus), tetapi dapat juga timbul
setelah infeksi lain. Glomerulonefritis akut lebih sering terjadi pada laki-laki (2:1) , walaupun
dapat terjadi pada semua usia, tetapi biasanya berkembang pada anak-anak dan sering pada
usia 6-10 tahun.

Glomerulonefritis akut (GNA) ialah suatu reaksi imunologic pada ginjal terhadap bakteri atau
virus tertentu. Yang sering ialah infeksi karena kuman streptokokus. Penyakit ini sering
ditemukan pada anak berumur 3-7 tahun dan lebih sering mengenai anak pria dibandingkan
dengan anak wanita (Ngastiyah, 1997, hal.294). Glomerulonefritis akut dapat dihasilkan dari
penyakit sistemik atau penyakit glomerulus primer, tapi glomerulonefritis akut post
streptococcus (juga diketahui sebagai glomerulonefritis proliferatif akut) adalah bentuk
keadaan yang sebagian besar terjadi. Infeksi dapat berasal dari faring atau kulit dengan
streptococcus beta hemolitik A adalah yang biasa memulai terjadinya keadaan yang tidak
teratur ini. Stapilococcus atau infeksi virus seperti hepatitis B, gondok, atau varicela
(chickenpox) dapat berperan penting untuk glomerulonefritis akut pasca infeksi yang serupa
(Porth,2005). Glomerulonefritis akut paling sering ditemukan pada anak laki laki berusia
tiga hingga tujuh tahun meskipun penyakit ini dapat terjadi pada segala usia. Hingga 95 %
anak anak dan 70 % dewasa akan mengalami pemulihan total. Pada pasien lain, khususnya
yang berusia lanjut, dapat terjadi progresivitas penyakit ke arah gagal ginjal kronis dalam
tempo beberapa bulan saja.

EPIDEMIOLOGI

GNAPS dapat terjadi secara sporadik ataupun epidemik. Biasanya kasus terjadi pada
kelompok sosioekonomi rendah, berkaitan dengan higiene yang kurang baik dan jauh dari

tempat pelayanan kesehatan. Risiko terjadinya nefritis 5% dari infeksi kuman streptokokus
beta hemolitikus grup A yang menyerang tenggorokan sampai 25% yang menyerang kulit
(pioderma), sedangkan tanpa melihat tempat infeksi risiko terjadinya nefritis 10-15%.3 Rasio
terjadinya GNAPS pada pria dibanding wanita adalah 2:1. Penyakit ini terutama menyerang
kelompok usia sekolah 5-15 tahun, pada anak < 2 tahun kejadiannya kurang dari 5%.
Kejadian glomerulonefritis pasca streptokokus sudah mulai menurun pada negara
maju, namun masih terus berlanjut pada negara berkembang, penurunan kejadian GNAPS
berkaitan banyak faktor diantaranya penanganan infeksi streptokokus lebih awal dan lebih
mudah oleh pelayanan kesehatan yang kompeten. Di beberapa negara berkembang,
glomerulonefritis pasca streptokokus tetap menjadi bentuk sindroma nefritik yang paling
sering ditemui. Attack rate dari glomerulonefritis akut terlihat memiliki pola siklus, yaitu
sekitar setiap 10 tahun.

ETIOLOGI
Glomerulonefritis akut didahului oleh infeksi ekstra renal terutama di traktus respiratorius
bagian atas dan kulit oleh kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A tipe
12,4,16,25,dan 29. Hubungan antara glomerulonefritis akut dan infeksi streptococcus
dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan alas an timbulnya
glomerulonefritis akut setelah infeksi skarlatina,diisolasinya kuman streptococcus beta
hemoliticus golongan A, dan meningkatnya titer anti- streptolisin pada serum penderita.
Antara infeksi bakteri dan timbulnya glomerulonefritis akut terdapat masa laten selama
kurang 10 hari. Kuman streptococcus beta hemoliticus tipe 12 dan 25 lebih bersifat nefritogen
daripada yang lain, tapi hal ini tidak diketahui sebabnya. Kemungkinan factor iklim, keadaan
gizi, keadaan umum dan factor alergi mempengaruhi terjadinya glomerulonefritis akut setelah
infeksi kuman streptococcus.

Glomerulonefritis akut pasca streptococcus adalah suatu sindrom nefrotik akut yang ditandai
dengan timbulnya hematuria, edema, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal. Gejala-gejala
ini timbul setelah infeksi kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A disaluran
pernafasan bagian atas atau pada kulit. Glomerulonefritis akut pasca streptococcus terutama
menyerang pada anak laki-laki dengan usia kurang dari 3 tahun.Sebagian besar pasien (95%)
akan sembuh, tetapi 5 % diantaranya dapat mengalami perjalanan penyakit yang memburuk
dengan cepat.

Penyakit ini timbul setelah adanya infeksi oleh kuman streptococcus beta hemoliticus
golongan A disaluran pernafasan bagian atas atau pada kulit, sehingga pencegahan dan
pengobatan infeksi saluran pernafasan atas dan kulit dapat menurunkan kejadian penyakit ini.
Dengan perbaikan kesehatan masyarakat, maka kejadian penyakit ini dapat dikurangi.
Glomerulonefritis akut dapat juga disebabkan oleh sifilis, keracunan seperti keracunan timah
hitam tridion, penyakitb amiloid, trombosis vena renalis, purpura anafilaktoid dan lupus
eritematosus.
PATOGENESIS

Mekanisme dari pathogenesis terjadinya jejas glomerulus pada GNAPS sampai sekarang
belum diketahui, meskipun telah diduga terdapat sejumlah faktor host dan faktor kuman
streptokokus yang berhubungan dalam terjadinya GNAPS.
Faktor host
Penderita yang terserang infeksi kuman streptokokus grup A strain nefritogenik, hanya 1015% yang berkembang menjadi GNAPS, mengapa hal ini demikian masih belum dapat
diterangkan, tetapi diduga beberapa faktor ikut berperan. GNAPS menyerang semua
kelompok umur dimana kelompok umur 5-15 tahun (di Indonesia antara umur 2.5 15 tahun,
dengan puncak umur 8.4 tahun) merupakan kelompok umur tersering dan paling jarang pada
bayi. Anak laki-laki menderita 2 kali lebih sering dibandingkan anak wanita. Rasio anak lakilaki dibanding anak wanita adalah 76.4%:58.2% atau 1.3:1. GNAPS lebih sering dijumpai di
daerah tropis dan biasanya menyerang anak-anak dari golongan ekonomi rendah. Di
Indonesia 68.9% berasal dari keluaga sosial ekonomi rendah dan 82% dari keluarga
berpendidikan rendah. Keadaan lingkungan yang padat, higiene sanitasi yang jelek,
malnutrisi, anemia, dan infestasi parasit, merupakan faktor risiko untuk GNAPS, meskipun
kadang-kadang outbreaks juga terjadi dinegara maju. Faktor genetik juga berperan, misalnya
alleles HLA-DRW4, HLA-DPA1 dan HLA-DPB1 paling sering terserang GNAPS.
Faktor kuman streptokokus
Proses GNAPS dimulai ketika kuman streptokokus sebagai antigen masuk kedalam tubuh
penderita,yang rentan, kemudian tubuh memberikan respon dengan membentuk antibodi.
Bagian mana dari kuman streptokokus yang bersifat antigen masih belum diketahui.
Beberapa penelitian pada model binatang dan penderita GNAPS menduga yang bersifat
antigenik adalah: M protein, endostreptosin, cationic protein, Exo-toxin B, nephritis plasminbinding protein dan streptokinase. Kemungkinan besar lebih dari satu antigen yang terlibat

dalam proses ini, barangkali pada stadium jejas ginjal yang berbeda dimungkinkan akibat
antigen M protein dan streptokinase.
Protein M adalah salah satu alpha-helica coiled-coil dimer yang terlihat sebagai rambutrambut pada permukaan kuman. Protein M menentukan apakah strain kuman tersebut bersifat
rematogenik atau netriogenik. Strain netriogenik dibagi menjadi serotype yang berkaitan
dengan faringitis (M i,4,12,25) dan serotive (M 2,42,49,56,57,60). Streptokinase adalah
protein yang disekresi oleh kuman streptokokus, terlibat dalam penyebaran kuman dalam
jaringan karena mempinyai kemampuan memecah plasminogen menjadi plasmin.
Streptokinase merupakan prasarat terjadinya nefritis pada GNAPS.
Saat ini penelitian lebih menitikberatkan terhadap protein M yang terdapat pada streptokokus
sebagai tipe nefritogenik yang dapat menyebabkan kerusakan glomerulus. Selain itu
penelitian-penelitian terahir menemukan adanya dua fraksi antigen, yaitu nephritis associated
plasmin receptor (NAPlr) yang diidentifikasi sebagal

glyceraldehide 3-phosphate

dehydrogenase (GAPDH) dan streptococcal pyrogenic exotoxin B (SPEB) sebagai fraksi


yang menyebabkan infeksi nefritogenik. NAPlr dan SPEB didapatkan pada biopsi ginjal dini
dan menyebabkan terjadinya respon antibodi di glomerulus. Penelitian terbaru pada pasien
GNAPS memperlihatkan deposit SPEB di glomerulus lebih sering terjadi daripada deposit
NAPlr.

Mekanisme terjadinya jejas renal pada GNAPS


GNAPS adalah suatu penyakit imunologik akibat reaksi antigen-antibodi yang terjadi dalam
sirkulasi atau in situ dalam glomerulus. Mekanisme terjadinya inflamasi yang mengakibatkan
terjadinya jejas renal didahului oleh proses sebagai berikut:
1. Terbentuknya plasmin sebagai akibat pemecahan plasminogen oleh streptokinase yang
akan menaktivasi reaksi kaskade komplemen.
2. Terperangkapnya kompleks Ag-Ab yang sudah terbentuk sebelumnya kedalam
glomerulus.
3. Antibodi antistreptokokus yang telah terbentuk sebelumnya berikatan dengan molekul
tiruan (molecul mimicry) dari protein renal yang menyerupai Ag Streptokokus (jaringan
glomerulus yang normal yang bersifat autoantigen).

PETOFISIOLIGI

Patofisiologi pada gejala-gejala klinik berikut:

1. Kelainan urinalisis: proteinuria dan hematuria


Kerusakan dinding kapiler glomerulus sehingga menjadi lebih permeable dan porotis
terhadap protein dan sel-sel eritrosit, maka terjadi proteinuria dan hematuria2
2. Edema
Mekanisme retensi natrium dan edema pada glomerulonefritis tanpa penurunan
tekanan onkotik plasma. Hal ini berbeda dengan mekanisme edema pada sindrom
nefrotik.
Penurunan faal ginjal yaitu laju filtrasi glomerulus (LGF) tidak diketahui sebabnya,
mungkin akibat kelainan histopatologis (pembengkakan sel-sel endotel, proliferasi sel
mesangium, oklusi kapiler-kaliper) glomeruli. Penurunan faal ginjal LFG ini
menyebabkan penurunan ekskresi natrium Na+ (natriuresis), akhirnya terjadi retensi
natrium Na+. Keadaan retensi natrium Na+ ini diperberat oleh pemasukan garam
natrium dari diet. Retensi natrium Na+ disertai air menyebabkan dilusi plasma,
kenaikan volume plasma, ekspansi volume cairan ekstraseluler, dan akhirnya terjadi
edema1,2,7
3. Hipertensi
a. Gangguan keseimbangan natrium (sodium homeostasis)
Gangguan keseimbangan natrium ini memegang peranan dalam genesis hipertensi
ringan dan sedang.
b. Peranan sistem renin-angiotensin-aldosteron biasanya pada hipertensi berat.
Hipertensi dapat dikendalikan dengan obat-obatan yang dapat menurunkan
konsentrasi renin, atau tindakan nefrektomi.
c. Substansi renal medullary hypotensive factors, diduga prostaglandin. Penurunan
konsentrasi dari zat ini menyebabkan hipertensi2
4. Bendungan Sirkulasi
Bendungan sirkulasi merupakan salah satu ciri khusus dari sindrom nefritik akut,
walaupun mekanismenya masih belum jelas.
Beberapa hipotesis yang berhubungan telah dikemukakan dalam kepustakaankepustakaan antara lain:
a. Vaskulitis umum
Gangguan pembuluh darah dicurigai merupakan salah satu tanda kelainan
patologis dari glomerulonefritis akut. Kelainan-kelainan pembuluh darah ini
menyebabkan transudasi cairan ke jaringan interstisial dan menjadi edema.
b. Penyakit jantung hipertensif
Bendungan sirkulasi paru akut diduga berhubungan dengan hipertensi yang dapat
terjadi pada glomerulonefritis akut.

c. Miokarditis
Pada sebagian pasien glomerulonefritis tidak jarang ditemukan perubahanperubahan elektrokardiogram: gelombang T terbalik pada semua lead baik standar
maupun precardial. Perubahan-perubahan gelombang T yang tidak spesifik ini
mungkin berhubungan dengan miokarditis.
d. Retensi cairan dan hipervolemi tanpa gagal jantung
Hipotesis ini dapat menerangkan gejala bendungan paru akut, kenaikancardiac
output, ekspansi volume cairan tubuh. Semua perubahan patofisiologi ini akibat
retensi natrium dan air
KLASIFIKASI
a. Congenital (herediter)

1. Sindrom Alport

Suatu penyakit herediter yang ditandai oleh adanya glomerulonefritis progresif familial
yang seing disertai tuli syaraf dankelainan mata seperti lentikonus anterior.
Diperkirakan sindrom alport merupakan penyebab dari 3% anak dengan gagal ginjal
kronik dan 2,3% dari semua pasien yang mendapatkan cangkok ginjal. Dalam suatu
penelitian terhadap anak dengan hematuria yang dilakukan pemeriksaan biopsi ginjal,
11% diantaranya ternyata penderita sindrom alport. Gejala klinis yang utama adalah
hematuria, umumnya berupa hematuria mikroskopik dengan eksasarbasi hematuria
nyata timbul pada saat menderita infeksi saluran nafas atas. Hilangnya pendengaran
secara bilateral dari sensorineural, dan biasanya tidak terdeteksi pada saat lahir,
umumnya

baru

tampak

pada

awal

umur

sepuluh

tahunan.

2. Sindrom Nefrotik Kongenital

Sinroma nefrotik yang telah terlihat sejak atau bahkan sebelum lahir. Gejala
proteinuria massif, sembab dan hipoalbuminemia kadang kala baru terdeteksi beberapa
minggu sampai beberapa bulan kemudian. Proteinuria terdapat pada hamper semua
bayi pada saat lahir, juga sering dijumpai hematuria mikroskopis. Beberapa kelainan

laboratories sindrom nefrotik (hipoproteinemia, hiperlipidemia) tampak sesuai dengan


sembab dan tidak berbeda dengan sindrom nefrotik jenis lainnya.

b. Glomerulonefritis Primer

1. Glomerulonefritis membranoproliferasif

Suatu glomerulonefritis kronik yang tidak diketahui etiologinya dengan gejala yang
tidak spesifik, bervariasi dari hematuria asimtomatik sampai glomerulonefitis
progresif. 20-30% pasien menunjukkan hematuria mikroskopik dan proteinuria, 30 %
berikutnya menunjukkan gejala glomerulonefritis akut dengan hematuria nyata dan
sembab, sedangkan sisanya 40-45% menunjukkan gejala-gejala sindrom nefrotik.
Tidak jarang ditemukan 25-45% mempunyai riwayat infeksi saluran pernafasan bagian
atas, sehingga penyakit tersebut dikira glomerulonefritis akut pasca streptococcus atau
nefropati IgA.

2. Glomerulonefritis membranosa

Glomerulonefritis membranosa sering terjadi pada keadaan tertentu atau setelah


pengobatan dengan obat tertentu. Glomerulopati membranosa paling sering dijumpai
pada hepatitis B dan lupus eritematosus sistemik. Glomerulopati membranosa jarang
dijumpai pada anak, didapatkan insiden 2-6% pada anak dengan sindrom nefrotik.
Umur rata-rata pasien pada berbagai penelitian berkisar antara 10-12 tahun, meskipun
pernah dilaporkan awitan pada anak dengan umur kurang dari 1 tahun. Tidak ada
perbedaan jenis kelamin. Proteinuria didapatkan pada semua pasien dan sindrom
nefrotik merupakan 80% sampai lebih 95% anak pada saat awitan, sedangkan
hematuria

terdapat

pada

50-60%,

dan

hipertensi

30%.

3. Nefropati IgA (penyakit berger)

Nefropati IgA biasanya dijumpai pada pasien dengan glomerulonefritis akut, sindroma
nefrotik, hipertensi dan gagal ginjal kronik. Nefropati IgA juga sering dijumpai pada
kasus dengan gangguan hepar, saluran cerna atau kelainan sendi. Gejala nefropati IgA
asimtomatis dan terdiagnosis karena kebetulan ditemukan hematuria mikroskopik.

Adanya episode hematuria makroskopik biasanya didahului infeksi saluran nafas atas
atau infeksi lain atau non infeksi misalnya olahraga dan imunisasi.

c. Glomerulonefritis sekunder

Golerulonefritis sekunder yang banyak ditemukan dalam klinik yaitu glomerulonefritis


pasca streptococcus, dimana kuman penyebab tersering adalah streptococcus beta
hemolitikus grup A yang nefritogenik terutama menyerang anak pada masa awal usia
sekolah. Glomerulonefritis pasca streptococcus datang dengan keluhan hematuria
nyata, kadang-kadang disertai sembab mata atau sembab anasarka dan hipertensi.
GEJALA KLINIS

Gejala klinis glomerulonefritis akut pasca streptokok sangat bervariasi, dari


keluhan-keluhan ringan atau tanpa keluhan sampai timbul gejala-gejala berat dengan
bendungan paru akut, gagal ginjal akut, atau ensefalopati hipertensi7
Kumpulan gambaran klinis yang klasik dari glomerulonefritis akut dikenal dengan
sindrom nefritik akut. Bendungan paru akut dapat merupakan gambaran klinis dari
glomerulonefritis akut pada orang dewasa atau anak yang besar. Sebaliknya pada pasien
anak-anak, ensefalopati akut hipertensif sering merupakan gambaran klinis pertama.
1. Infeksi Streptokok
Riwayat klasik didahului (10-14 hari) oleh faringitis, tonsilitis atau infeksi kulit
(impetigo). Data-data epidemiologi membuktikan, bahwa prevalensi glomerulonefritis
meningkat mencapai 30% dari suatu epidemi infeksi saluran nafas. Insiden
glomerulonefritis akut pasca impetigo relatif rendah, sekitar 5-10%.
2. Gejala-gejala umum
Glomerulonefritis akut pasca streptokok tidak memberikan keluhan dan ciri khusus.
Keluhan-keluhan seperti anoreksia, lemah badan, tidak jarang disertai panas badan,
dapat ditemukan pada setiap penyakit infeksi.
3. Keluhan saluran kemih
Hematuria makroskopis (gross) sering ditemukan, hampir 40% dari semua pasien.
Hematuria ini tidak jarang disertai keluhan-keluhan seperti infeksi saluran kemih
bawah walaupun tidak terbukti secara bakteriologis. Oligouria atau anuria merupakan
tanda prognosis buruk pada pasien dewasa.
4. Hipertensi

Hipertensi sistolik dan atau diastolik sering ditemukan hampir pada semua pasien.
Hipertensi biasanya ringan atau sedang, dan kembali normotensi setelah terdapat
diuresis tanpa pemberian obat-obatan antihipertensi. Hipertensi berat dengan atau
tanpa ensefalopati hanya dijumpai pada kira-kira 5-10% dari semua pasien.
5. Edema dan bendungan paru akut
Hampir semua pasien dengan riwayat edema pada kelopak mata atau pergelangan
kaki bawah, timbul pagi hari dan hilang siang hari. Bila perjalanan penyakit berat dan
progresif, edema ini akan menetap atau persisten, tidak jarang disertai dengan asites
dan efusi rongga pleura
KOMPLIKASI
Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari, terjadi sebagai akibat berkurangnya
filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan uremia, hiperkalemia,
dan hiperfosfatemia. Walau oliguria atau anuria yang lama jarang terdapat pada anak, namun
bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum kadang-kadang di perlukan. Hipertensi
ensefalopati, didapatkan gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejangkejang. Ini disebabkan spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema otak.
Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne, terdapatnya ronki basah, pembesaran jantung dan
meningginya tekanan darah yang bukan saja disebabkan spasme pembuluh darah, melainkan
juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma. Jantung dapat memberas dan terjadi
gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di miokardium. Anemia yang
timbul karena adanya hipervolemia di samping sintesis eritropoetik yang menurun.

Komplikasi yang dapat terjadi:


Gagal ginjal akut
Kongesti sirkulasi dan hipertensi
Hiperkalemia
Hiperfosfatemia
Hipokalsemia
Asidosis
Kejang-kejang
Uremia

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Urinalisis
Pada pemeriksaan urin rutin ditemukan hematuri mikroskopis ataupun makroskopis (gros),
proteinuria. Proteinuri biasanya sesuai dengan derajat hematuri dan berkisar antara sampai
2+ (100 mg/dL). Bila ditemukan proteinuri masif (> 2 g/hari) maka penderita menunjukkan
gejala sindrom nefrotik dan keadaan ini mungkin ditemukan sekitar 2-5% pada penderita
GNAPS. Ini menunjukkan prognosa yang kurang baik. Pemeriksaan mikroskopis sedimen
urin ditemukan eritrosit dismorfik dan kas eritrosit, kas granular dan hialin (ini merupakan
tanda karakteristik dari lesi glomerulus) serta mungkin juga ditemukan leukosit. Untruk
pemeriksaan sedimen urin sebaiknya diperiksa urin segar pagi hari.

Darah
Kadang-kadang kadar ureum dan kreatinin serum meningkat dengan tanda gagal ginjal
seperti hiperkalemia, asidosis, hiperfosfatemia dan hipokalsemia. Komplemen C3 rendah
pada hampir semua pasien dalam minggu pertama, tetapi C4 normal atau hanya menurun
sedikit, sedangkan kadar properdin menurun pada 50% pasien. Keadaan tersebut
menunjukkan aktivasi jalur alternatif komplomen. Penurunan C3 sangat mencolok pada
penderita GNAPS kadar antara 20-40 mg/dl (harga normal 50-140 mg.dl). Penurunan
komplemen C3 tidak berhubungan dengan derajat penyakit dan kesembuhan. Kadar
komplemen C3 akan mencapai kadar normal kembali dalam waktu 6-8 minggu. Bila setelah
waktu tersebut kadarnya belum mencapai normal maka kemungkinan glomerulonefritisnya
disebabkan oleh yang lain atau berkembang menjadi glomerulonefritis kronik atau
glomerulonefritis progresif cepat. Anemia biasanya berupa normokromik normositer, terjadi
karena hemodilusi akibat retensi cairan. Di Indonesia 61% menunjukkan Hb < 10 g/dL.
Anemia akan menghilang dengan sendirinya setelah efek hipervolemiknya menghilang atau
sembabnya menghilang

Pencitraan
Gambaran radiologi dan USG pada penderita GNAPS tidak spesifik. Foto toraks umumnya
menggambarkan adanya kongesti vena sentral daerah hilus, dengan derajat yang sesuai
dengan meningkatnya volume cairan ekstraseluler. Sering terlihat adanya tanda-tanda sembab
paru (di Indonesia 11.5%), efusi pleura (di Indonesia 81.6%), kardiomegali ringan (di
Indonesia 80.2%), dan efusi perikardial (di Indonesia 81.6%). Foto abdomen dapat melihat
adanya asites. Pada USG ginjal terlihat besar dan ukuran ginjal yang biasanya normal. Bila
terlihat ginjal yang kecil, mengkerut atau berparut, kemungkinannya adalah penyakit ginjal

kronik yang mengalami eksaserbasi akut. Gambaran ginjal pada USG menunjukkan
peningkatan echogenisitas yang setara dengan echogenisitas parenkhim hepar. Gambaran
tersebut tidak spesifik dan dapat ditemukan pada penyakit ginjal lainnya.

PENATALAKSANAAN
Antibiotik
Pengobatan antibiotik untuk infeksi kuman streptokokus yang menyerang tenggorokan atau
kulit sebelumnya, tidak mempengaruhi perjalanan atau beratnya penyakit. Meskipun
demikian, pengobatan antibiotik dapat mencegah penyebaran kuman di masyarakat sehingga
akan mengurangi kejadian GNAPS dan mencegah wabah. Pemberian penisilin pada fase akut
dianjurkan hanya untuk 10 hari, sedangkan pemberian profilaksis yang lama tidak dianjurkan.

Suportif
Tidak ada pengobatan spesifik untuk GNAPS, pengobatan hanya merupakan simptomatik.
Pada kasus ringan, dapat dilakukan tirah baring, mengatasi sembab kalau perlu dengan
diuretik, atau mengatasi hipertensi yang timbul dengan vasodilator atau obat-obat anti
hipertensi yang sesuai. Pada gagal ginjal akut harus dilakukan restriksi cairan, pengaturan
nutrisi dengan pemberian diet yang mengandung kalori yang adekuat, rendah protein, rendah
natrium, serta restriksi kalium dan fosfat. Kontrol tekanan darah dengan hidralazin, calcium
channel blocker, beta blocker, atau diuretik. Pada keadaan sembab paru atau gagal jantung
kongestif akibat overload cairan perlu dilakukan restriksi cairan, diuretik, kalau perlu
dilakukan dialisis akut atau terapi pengganti ginjal. Pembatasan aktivitas dilakukan selama
fase awal, terutama bila ada hipertensi. Tirah baring dapat menurunkan derajat dan durasi
hematuria gross, tetapi tidak mempengaruhi perjalanan penyakit atau prognosis jangka
panjang.

Edukasi penderita
Penderita dan keluarganya perlu dijelaskan mengenai perjalanan dan prognosis penyakitnya.
Keluarga perlu memahami bahwa meskipun kesembuhan yang sempurna diharapkan (95%),
masih ada kemungkinan kecil terjadinya kelainan yang menetap dan bahkan memburuk (5%).
Perlu dielaskan rencana pemantauan selanjutnya, pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan
urine untuk protein dan hematuria dilakukan dengan interval 4-6 minggu untuk 6 bulan
pertama, kemudian tiap 3-6 bulan sampai hematuria dan proteinuria menghilang dan tekanan

darah normal untuk selama 1 tahun. Kadar C3 yang telah kembali normal setelah 8-10
minggu menggambarkan prognosis yang baik.

Nonmedikamentosa

Istirahat pada fase akut, misalnya bila terdapat GGA, hipertensi berat, kejang, payah

jantung

Diet kalori adekuat terutama karbohidrat untuk memperkecil katabolisme endogen

dan diet rendah garam


Medikamentosa
Penisilin prokain 50.000 U/kgbb/kali i.m. 2x/hr
Penisilin V 50 mg/kgbb/hr p.o. 3 dosis
Eritromisin 50 mg/kgbb/hr p.o. 4 dosis
Bila disertai hipertensi
Ringan (130/80 mmHg) : tidak diberi anti hipertensi
Sedang (140/100 mmHg) : Hidralazin i.m. / p.o. atau Nefidipin sublingual
Berat (180/120 mmHg) : Klonidin drip / Nefidipin sublingual
Bila ada tanda hipervolemia (edema paru, gagal jantung) disertai oligouria beri
diuretik kuat (furosemid 1-2 mg/kgbb/kali)

PROKNOSIS
(Di buku)

PENCEGAHAN
Terapi antibiotik sistemik pada awal infeksi streptokokus tenggorokan dan kulit tidak akan
menghilangkan

risiko

glomerulonefritis.

Anggota

keluarga

penderita

dengan

glomerulonefritis akut harus mendapat pemeriksaan laboratorium untukstreptococcus hemolyiticus grup A dan diobati jika biakan positif

KESIMPULAN
Glomerulonefritis akut adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal terhadap bakteri
atau virus tertentu, yang bersifat akut spesifik dan sembuh sendiri. Timbul akibat susulan dari
infeksi faring atau kulit oleh strain nefritogenik streptococcus hemolitikus grup A tipe 12, 4,
16, 25 dan 49.

Sindrom ini ditandai dengan timbulnya edema yang timbul mendadak, hipertensi,
hematuri, oliguri, LFG menurun, insuffisiensi ginjal. Prognosa GNA pasca streptokokus pada
anak 95% sembuh dengan sempurna.

SARAN
1. Bagi Penulis
Semoga
dengan makalah
ini
diharapkan
kami
sebagai
mahasiswa
dapat meningkatkan pengetahuan dan wawasan mengenai penyebab serta upaya pencegahan
penyakitglomerulonefritis agar terciptanya kesehatan masyarakat yang lebih baik.
2. Bagi Pembaca
Diharapkan agar pembaca dapat mengetahui tentangglomerulonefritis lebih dalam
sehingga dapat mencegah serta mengantisipasi diri dari penyakit glomerulonefritis.
3. Bagi Petugas Kesehatan dan Institusi Pendidikan
Dapat menambah bahan pembelajaran dan informasi tentang glomerulonefritis.
DAFTAR PUSTAKA
Husein, A, dkk. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi kedua. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2002.
Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 17.Philadelphia; 2004.
Prico SA. dan Wilson LM. Patologi Konsep Klinik Proses-proses Penyakit.Jakarta : EGC; 1995
Mansjoer dkk, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2, Jakarta, 2000

Anda mungkin juga menyukai