Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Keperawatan Medikal Bedah 2

Dosen Pembimbing : Deni Irawan, M.Kep. Ns.

Oleh:

Kelompok 5/ Kelas 2A S1 Ilmu Keperawatan

1. Aksah Ainun Asri (C1018003)

2. Fina Nashatina Ajiningrum (C1018016)

3. Ismatul Maulana Nihayah (C1018023)

4. Nida Azimatu ‘Ulya (C1018033)

5. Titi Ana Maliana (C1018045)

5. Vina Inayati (C1018048)

6. Yusuf Budiman (C1018051)

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN DAN NERS

STIKES BHAKTI MANDALA HUSADA SLAWI 2019


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya kepada kami, sehingga penyusun dapat
menyelesaikan tugas makalah berjudul benign prostatic hyperplasia (bph)

Kami percaya dalam penyusunan makalah ini banyak sekali kekurangan,


untuk itu kami mohon kritik dan saran yang sifatnya membangun demi
kesempurnaan makalah ini. Demikian makalah ini kami susun, apabila banyak
kesalahan penyusun mohon maaf dan semoga makalah ini bermanfaat bagi
pembaca.

Slawi, 6 Desember 2019

Kelompok 5
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau dalam bahasa umumnya


dinyatakansebagai pembesaran prostat jinak (PPJ), merupakan suatu penyakit
yang biasa terjadi. Ini di lihat dari frekuensi terjadinya BPH di dunia, di Amerik
secara umum dan di Indonesia secara khususnya. Di dunia, diperkirakan bilangan
penderita BPH adalah seramai 30 juta, bilangan ini hanya pada kaum pria kerana
wanita tidak mempunyai kalenjar prostat, maka oleh sebab itu, BPH terjadi hanya
pada kaum pria.

Pembesaran kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang


bermakna pada populasi pria lanjut usia. Gejalanya merupakan keluhan yang
umum dalam bidang bedah urologi. Hiperplasia prostat merupakan salah
satu masalah kesehatan utama bagi pria diatas usia 50 tahun dan berperan
dalam penurunan kualitas hidup seseorang. Suatu penelitian menyebutkan
bahwa sepertiga dari pria berusia antara 50 dan 79 tahun mengalami
hiperplasia prostat. Adanya hiperplasia ini akan menyebabkan terjadinya
obstruksi saluran kemih dan untuk mengatasi obstruksi ini dapat dilakukan
dengan berbagai cara mulai dari tindakan yang paling ringan yaitu secara
konservatif (non operatif) sampai tindakan yang paling berat yaitu operasi.

Di Amerika Serikat, terdapat lebih dari setengah (50%) pada laki-laki usia
60-70 tahun mengalami gejala-gejala BPH dan antara usia 70-90 tahun
sebanyak 90% mengalami gejala-gejala BPH. Hasil riset menunjukkan bahwa
laki-laki di daerah pedesaan sangat rendah terkena BPH dibanding dengan
laki-laki yang hidup di daerah perkotaan. Hal ini terkait dengan gaya hidup
seseorang. Laki-laki yang bergaya hidup modern kebih besar terkena BPH
dibanding dengan laki-laki pedesaan. Di Indonesia pada usia lanjut, beberapa
pria mengalami pembesaran prostat benigna. Keadaan ini di alami oleh 50% pria
yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pria yang berusia 80 tahun.
B. TUJUAN

Adapun tujuan dari pembuatan makalah adalah untuk melatih dan


menambah pengetahuan tentang benign prostatic hyperplasia (bph). Disamping itu
juga sebagai syarat dari tugas mata kuliah keperawatan medikal bedah 2.
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. DEFINISI

Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat yang


dapat menyebabkan uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran
urine keluar dari buli-buli(Basuki B Purnomo,2008). Hiperplasia prostat jinak
(BPH) adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat , bersifat jinak
disebabkan oleh hypertrophi beberapa atau semua komponen prostat yang
mengakibatkan penyumbatan uretra pars prostatika (Arif mutakin dan kumala
sari,2011). Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesanan prostat yang jinak
bervariasi berupa hiperplasia kelenjar atau hiperplasia fibromuskular. Namun
orang sering menyebutnya dengan hipertropi prostat namun secara histologi yang
dominan adalah hyperplasia (Sabiston, David C,2008). BPH (Hiperplasia prostat
benigna) adalah suatu keadaan di mana kelenjar prostat mengalami pembesaran,
memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan
menutup orifisium uretra. BPH merupakan kondisi patologis yang paling umum
pada pria. (Smeltzer dan Bare, 2007).

Kesimpulan dari beberapa pengertian BPH diatas adalah pembesaran


kelenjar prostat nonkanker yang memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan
menyumbat aliran urin dengan menutup orifisium uretra disebabkan oleh penuaan.

B. ETIOLOGI

Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum


diketahui. Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon
androgen. Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan
(Purnomo , 2007). Ada beberapa faktor kemungkinan penyebab antara lain :
1. Dihydrotestosteron Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen
menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi.
2. Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron Pada proses
penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan
testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
3. Interaksi stroma – epitel Peningkatan epidermal gorwth factor atau
fibroblast growth factor dan penurunan transforming growth factor beta
menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
4. Berkurangnya sel yang mati Estrogen yang meningkat menyebabkan
peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
5. Teori sel stem Menerangkan bahwa terjadinya proliferasi abnormal sel
stem sehingga menyebabkan produksi sel stoma dan sel epitel kelenjar
prostat menjadi berlebihan (Basuki B Purnomo,2008).

C. MANIFIESTASI KLINIS

Obstruki prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun


keluhan di luar saluran kemih (Arora P. Et al,2006).

1. Gejala iritatif meliputi :


a. Peningkatan frekuensi berkemih
b. Nokturia (terbangun pada malam hari untuk miksi)
c.Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak/tidak dapat ditunda
(urgensi)
d. Nyeri pada saat miksi (disuria)
2. Gejala obstruktif meliputi :
a. Pancaran urin melemah
b. Rasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan
baik
c. Kalau mau miksi harus menunggu lama
d. Volume urin menurun dan harus mengedan saat berkemih
e. Aliran urin tidak lancar/terputus-putus
f. Urin terus menetes setelah berkemih
g. Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan
inkontinensia karena penumpukan berlebih.. Pada gejala yang sudah
lanjut, dapat terjadi Azotemia (akumulasi produk sampah nitrogen) dan
gagal ginjal dengan retensi urin kronis dan volume residu yang besar.
3. Gejala generalisata seperti seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah,
dan rasa tidak nyaman pada epigastrik. Berdasarkan keluhan dapat dibagi
menjadi :
a. Derajat I : penderita merasakan lemahnya pancaran berkemih, kencing
tak puas, frekuensi kencing bertambah terutama pada malam hari
b. Derajat II : adanya retensi urin maka timbulah infeksi. Penderita akan
mengeluh waktu miksi terasa panas (disuria) dan kencing malam
bertambah hebat.
c. Derajat III : timbulnya retensi total. Bila sudah sampai tahap ini maka
bisa timbul aliran refluk ke atas, timbul infeksi ascenden menjalar ke
ginjal dan dapat menyebabkan pielonfritis, hidronefrosis.

D. PATOFISIOLOGI

Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40
tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan
patologi anatomi yang ada pada pria usia 50 tahunan. Perubahan hormonal
menyebabkan hiperplasia jaringan penyangga stromal dan elemen glandular pada
prostat.

Teori-teori tentang terjadinya BPH :

1. Teori Dehidrosteron (DHT)


Aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron menjadi dehidrosteron
(DHT) dalam sel prostat menjadi faktor terjadinya penetrasi DHT ke
dalam inti sel yang menyebabkan inskripsi pada RNA sehingga
menyebabkan terjadinya sintesa protein. (Mitchell, 2009).
2. Teori hormon
Pada orang tua bagian tengah kelenjar prostat mengalami
hiperplasia yamg disebabkan oleh sekresi androgen yang berkurang,
estrogen bertambah relatif atau aabsolut. Estrogen berperan pada
kemunculan dan perkembangan hiperplasi prostat.
3. Faktor interaksi stroma dan epitel
Hal ini banyak dipengaruhi oleh Growth factor. Basic fibroblast
growth factor (-FGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan
dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran
prostat jinak. Proses reduksi ini difasilitasi oleh enzim 5-a-reduktase. -
FGF dapat dicetuskan oleh mikrotrauma karena miksi, ejakulasi dan
infeksi.
4. Teori kebangkitan kembali (reawakening) atau reinduksi dari kemampuan
mesenkim sinus urogenital untuk berploriferasi dan membentuk jaringan
prostat.
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga
perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada
tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi urin pada leher
buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan
merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan
detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka
detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak
mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin yang
selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih
atas.
Adapun patofisiologi dari masing-masing gejala yaitu :
a. Penurunan kekuatan dan aliran yang disebabkan resistensi uretra
adalah gambaran awal dan menetap dari BPH. Retensi akut
disebabkan oleh edema yang terjadi pada prostat yang membesar.
b. Hesitancy (kalau mau miksi harus menunggu lama), terjadi karena
detrusor membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan
resistensi uretra.
c. Intermittency (kencing terputus-putus), terjadi karena detrusor
tidak dapat mengatasi resistensi uretra sampai akhir miksi.
Terminal dribbling dan rasa belum puas sehabis miksi terjadi
karena jumlah residu urin yang banyak dalam buli-buli.
d. Nocturia miksi pada malam hari) dan frekuensi terjadi karena
pengosongan yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval
antar miksi lebih pendek.
e. Frekuensi terutama terjadi pada malam hari (nokturia) karena
hambatan normal dari korteks berkurang dan tonus sfingter dan
uretra berkurang selama tidur.
f. Urgensi (perasaan ingin miksi sangat mendesak) dan disuria (nyeri
pada saat miksi) jarang terjadi. Jika ada disebabkan oleh ketidak
stabilan detrusor sehingga terjadi kontraksi involunter,
g. Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan
berkembangnya penyakit urin keluar sedikit-sedikit secara berkala
karena setelah buli-buli mencapai complience maksimum, tekanan
dalam buli-buli akan cepat naik melebihi tekanan spingter.
h. Hematuri biasanya disebabkan oleh oleh pecahnya pembuluh darah
submukosa pada prostat yang membesar.
i. Lobus yang mengalami hipertropi dapat menyumbat kolum vesikal
atau uretra prostatik, sehingga menyebabkan pengosongan urin
inkomplit atau retensi urin. Akibatnya terjadi dilatasi ureter
(hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap, serta gagal
ginjal.
j. Infeksi saluran kemih dapat terjadi akibat stasis urin, di mana
sebagian urin tetap berada dalam saluran kemih dan berfungsi
sebagai media untuk organisme infektif.
k. Karena selalu terdapat sisa urin dapat terbentuk batu endapan
dalam buli-buli, Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan
menimbulkan hematuri. Batu tersebut dapat pula menimbulkan
sistiitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis.
Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul
fibroadenomatosa majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut
dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan
tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa. Jaringan
hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa
dan otot polos yang jumlahnya berbeda-beda. Proses pembesaran
prostad terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada
saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal
setelah terjadi pembesaran prostad, resistensi pada leher buli-buli
dan daerah prostad meningkat, serta otot destrusor menebal dan
merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase
penebalan destrusor disebut fase kompensasi, keadaan berlanjut,
maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi/terjadi
dekompensasi sehingga terjadi retensi urin. Pasien tidak bisa
mengosongkan vesika urinaria dengan sempurna, maka akan
terjadi statis urin. Urin yang statis akan menjadi alkalin dan media
yang baik untuk pertumbuhan bakteri (Baradero, dkk 2007).
Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan
dapat mengakibatkan aliran urin tidak deras dan sesudah berkemih
masih ada urin yang menetes, kencing terputus-putus (intermiten),
dengan adanya obstruksi maka pasien mengalami kesulitan untuk
memulai berkemih Gejala iritasi juga menyertai obstruksi urin.
Vesika urinarianya mengalami iritasi dari urin yang tertahan
tertahan didalamnya sehingga pasien merasa bahwa vesika
urinarianya tidak menjadi kosong setelah berkemih yang
mengakibatkan interval disetiap berkemih lebih pendek (nokturia
dan frekuensi), dengan adanya gejala iritasi pasien mengalami
perasaan ingin berkemih yang mendesak/ urgensi dan nyeri saat
berkemih /disuria (Purnomo, 2011).
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter
dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik
16 menyebabkan refluk vesiko ureter, hidroureter, hidronefrosis
dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi
infeksi. Pada waktu miksi penderita harus mengejan sehingga lama
kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu
terdapat sisa urin, dapat menyebabkan terbentuknya batu endapan
didalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi
dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat juga
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk akan mengakibatkan
pielonefritis (Sjamsuhidajat dan De jong, 2005).
E. PATHWAY

Perubahan Usia

Ketidakseimbangan produksi estrogen dan testosterone

Kadar testeron menurun Kadar testosterone meningkat

Mempengaruhi DNA dalam Hyperplasia sel stoma


inti sel jaringan prostat

Poliferasi sel prostat

BPH

Obstruksi saluran kemih yang bermuara ke


vesika urinaria

Retensi Urin

Prosedur pembedahan

Post op
Pre op

Kurang informasi tentang


operasi

Kemungkinan operasi

Cemas/ Kurangnya
ansietas pengetahuan

Intoleransi
Luka operasi Aktivitas terganggu
aktivitas

Resiko
Nyeri akut
infeksi
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Urinalisa
Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya
sel leukosit, sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri
harus diperhitungkan adanya etiologi lain seperti keganasan pada saluran
kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat
menyebabkan hematuri. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah
merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan status metabolik
(Wibowo, 2012).
Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA) dilakukan sebagai
dasar penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila
nilai PSA < 4 ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10
ng/ml, dihitung Prostate specific antigen density (PSAD) yaitu PSA serum
dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15, sebaiknya dilakukan
biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml.
2. Pemeriksaan darah lengkap
Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif
maka semua defek pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan
pernafasan biasanya menyertai penderita BPH karena usianya yang sudah
tinggi maka fungsi jantung dan pernafasan harus dikaji.Pemeriksaan darah
mencakup Hb(normal), leukosit(normal), eritrosit(normal), hitung jenis
leukosit, CT, BT, golongan darah, Hmt, trombosit(normal), BUN,
kreatinin serum (Wibowo, 2012).
3. Pemeriksaan radiologis
Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena,
USG, dan sitoskopi. Tujuan pencitraan untuk memperkirakan volume
BPH, derajat disfungsi buli, dan volume residu urin. Dari foto polos dapat
dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal atau buli-
buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastase dari
keganasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan ginjal. Dari
Pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal,
hidronefrosis dan hidroureter, gambaran ureter berbelok-belok di vesika
urinaria, residu urin. Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat,
memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu urin dan batu ginjal. BNO
/IVP untuk menilai apakah ada pembesaran dari ginjal apakah terlihat
bayangan radioopak daerah traktus urinarius. IVP untuk melihat
/mengetahui fungsi ginjal apakah ada hidronefrosis. Dengan IVP buli-buli
dapat dilihat sebelum, sementara dan sesudah isinya dikencingkan.
Sebelum kencing adalah untuk melihat adanya tumor, divertikel. Selagi
kencing (viding cystografi) adalah untuk melihat adanya refluks urin.
Sesudah kencing adalah untuk menilai residual urin (Wibowo, 2012).

F. KOMPLIKASI

Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan
semakin beratnya BPH, dapatterjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak
mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksisaluran kemih dan
apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal (Wibowo, 2012).

Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik


mengakibatkan penderita harusmengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan herniadan hemoroid.
Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah
keluhan iritasidan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria
menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme,yang dapat menyebabkan sistitis
dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Wibowo, 2012).

G. PENATALAKSANAAN

1. Observasi (watchfull waiting)


Biasa dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasehat yang
diberikan adalah mengurangi minum setelah makan malam untuk
mengurangi nokturia, menghindari obat-obat dekongestan, mengurangi
minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu
sering miksi. Setiap 3 bulan dilakukan kontrol keluhan, sisa kencing, dan
pemeriksaan colok dubur.
2. Terapi medikamentosa
a. Penghambat adrenergik  (prazosin, tetrazosin) : menghambat
reseptor pada otot polos di leher vesika, prostat sehingga terjadi
relaksasi. Hal ini akan menurunkan tekanan pada uretra pars
prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-gejala
berkurang.
b. Penghambat enzim 5--reduktase, menghambat pembentukan
DHT sehingga prostat yang membesar akan mengecil.
3. Terapi bedah
a. TURP (Transurethral resection of the prostate)
Adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat
uretra menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan
endoskop dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang
dilengkapi dengan alat pemotong dan counter yang disambungkan
dengan arus listrik. Tindakan ini memerlukan pembiusan umum
maupun spinal dan merupakan tindakan invasive yang masih
dianggap aman dan tingkat morbiditas minimal.
TURP merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak
mempunyai efek merugikan terhadap potensi kesembuhan. Operasi
ini dilakukan pada prostat yang mengalami pembesaran antara 30-
60 gram, kemudian dilakukan reseksi. Cairan irigasi digunakan
secara terusmenerus dengan cairan isotonis selama prosedur.
Setelah dilakukan reseksi, penyembuhan terjadi dengan granulasi
dan reepitelisasi uretra pars prostatika . (Anonim,FK UI,2005).
Setelah dilakukan TURP, dipasang kateter Foley tiga
saluran no. 24 yang dilengkapi balon 30 ml, untuk memperlancar
pembuangan gumpalan darah dari kandung kemih. Irigasi kanding
kemih yang konstan dilakukan setelah 24 jam bila tidak keluar
bekuan darah lagi. Kemudian kateter dibilas tiap 4 jam sampai
cairan jernih. Kateter dingkat setelah 3-5 hari setelah operasi dan
pasien harus sudah dapat berkemih dengan lancar (Mitchell, 2009).
TURP masih merupakan standar emas. Indikasi TURP ialah
gejala-gejala dari sedang sampai berat, volume prostat kurang dari
60 gram dan pasien cukup sehat untuk menjalani operasi.
Komplikasi TURP jangka pendek adalah perdarahan, infeksi,
hiponatremia atau retensio oleh karena bekuan darah. Sedangkan
komplikasi jangka panjang adalah striktura uretra, ejakulasi
retrograd (50-90%), impotensi (4-40%). Karena pembedahan tidak
mengobati penyebab BPH, maka biasanya penyakit ini akan timbul
kembali 8-10 tahun kemudian.
b. TUIP (Transurethral incision of the prostate)
Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara
memasukkan instrumen melalui uretra. Satu atau dua buah insisi
dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk mengurangi tekanan
prostat pada uretra dan mengurangi kontriksi uretral. Cara ini
diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran kecil (30
gram/kurang) dan efektif dalam mengobati banyak kasus BPH.
Cara ini dapat dilakukan di klinik rawat jalan dan mempunyai
angka komplikasi lebih rendah di banding cara lainnya.
c. Prostatektomi terbuka
Tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi
absolut untuk terapi bedah yaitu : Retensi urin berulang, hematuri,
tanda penurunan fungsi ginjal, infeksi saluran kemih berulang,
tanda obstruksi berat seperti hidrokel, ada batu saluran kemih.
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Identitas

BPH merupakan pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara


umum pada pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat
obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius. Hiperplasia prostat atau
BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat, bersifat jinak
disebabkan oleh hyperplasia beberapa atau semua komponen prostat yang
mengakibatkan penyumbatan uretra pars prostatika.

2. Keluhan Utama

Merupakan keluhan yang paling dirasakan oleh klien sehingga ia


mencari pertolongan. Keluhan yang diungkapkan klien pada umumnya
yaitu adanya rasa nyeri. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing. Hesitansi
yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan
yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu
beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya
tekanan dalam uretra prostatika.

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Hal- hal yang perlu dikaji adalah mulai kapan keluhan dirasakan,
lokasi keluhan, intensitas, lamanya atau frekuensi, faktor yang
memperberat atau memperingan serangan, serta keluhan- keluhan lain
yang menyertai dan upaya- upaya yang telah dilakukan.
4. Riwayat Personal dan Keluarga
Riwayat penyakit keluarga perlu ditanyakan apakah ada anggota
keluarga yang pernah menderita penyakit BPH atau tidak.
5. Riwayat Pengobatan
Apakah klien pernah menggunakan obat- obatan. Yang perlu dikaji
perawat yaitu: Kapan pengobatan dimulai, Dosis dan frekuensi. Waktu
berakhirnya minum obat.
6. Pemeriksaan Fisik
a. Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi
dapat meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut,
dehidrasi sampai syok pada retensi urin serta urosepsis sampai syok.
b. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk
mengetahui adanya hidronefrosis, dan yelonefrosis. Pada daerah supra
simfiser pada keadaan retensi akan menonjol. Saat palpasi terasa
adanya ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi. Perkusi
dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya residual urin.
c. Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus,
striktur uretra, batu uretra, karsinoma maupun fimosis.
d. Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis.
e. Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan
konsistensi sistim persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat.
Dengan rectal toucher dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu:

Derajat I = beratnya ± 20 gram.

Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.

Derajat III= beratnya > 40 gram.

B. PRIORITAS DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Pre Operasi
a. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran prostat,
dekompensasi otot destrusor dan ketidakmapuan kandung kemih untuk
berkontraksi secara adekuat
b. Nyeri akut berhubungan dengan iritasi mukosa buli-buli, distensi kandung
kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria.
c. Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan pasca obstruksi
diuresis.
d. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau
menghadapi prosedur bedah.
e. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.
2. Post Operasi
a. Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan inisi sekunder
pada TUR-P.
b. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasive: alat selama
pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering.
c. Resiko tinggi cedera perdarahan berhubungan dengan tindakan
pembedahan.
d. Resiko tinggi disfungsi seksual berhbungan dengan ketakutan akan
impoten akibat dari TUR-P.
e. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri/efek pembedahan.

D. INTERVENSI KEPERAWATAN

a. Pre Operasi
a. Cemas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau
menghadapi proses bedah.
Tujuan : pasien tampak rileks.
Kriteria Hasil :
NOC : anxiety self control, anxiety level, coping
1) Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas.
2) Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan tehnik untuk
mengontol cemas.
3) Vital sign dalam batas normal.
4) Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas
menunjukkan berkurangnya kecemasan.
Intervensi :
NIC : Anxiety reduction
1) Gunakan pendekatan yang menenangkan
2) Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku pasien
3) Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur
4) Berikan informasi faktual mengenai diagnosis, tindakan prognosis
5) Identifikasi tingkat kecemasan
6) Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi
7) Instruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi
8) Barikan obat untuk mengurangi kecemasan

2. Post Operasi

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik (insisi sekunder pada
TURP).

Tujuan : nyeri berkurang/hilang

NOC : Pain Level, Pain control, Comfort level

Kriteria Hasil :

1) Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu


menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri,
mencari bantuan).

2) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan


manajemen nyeri.
3) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda
nyeri).

4) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.

5) Tanda vital dalam rentang normal.

NIC : Pain Management

1) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,


karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.

2) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.

3) Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui


pengalaman nyeri pasien.

4) Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu


ruangan, pencahayaan dan kebisingan.

5) Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi


dan inter personal).

6) Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi.

7) Ajarkan tentang teknik non farmakologi.

8) Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.

9) Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri


tidak berhasil.

b. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur infasiv pembedahan

Tujuan : agar tidak terjadi infeksi

NOC : Immune Status Knowledge : Infection control Risk control

Kriteria Hasil :
1) Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi

2) Mendeskripsikan proses penularan penyakit, factor yang mempengaruhi


penularan serta penatalaksanaannya,

3) Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi

4) Jumlah leukosit dalam batas normal

5) Menunjukkan perilaku hidup sehat

NIC : Infection Control (Kontrol infeksi)

1) Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain

2) Pertahankan teknik isolasi

3) Batasi pengunjung bila perlu

4) Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung


dan setelah berkunjung meninggalkan pasien

5) Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawtan

6) Tingktkan intake nutrisi

7) Berikan terapi antibiotik bila perlu

BAB IV

JURNAL ILMIAH
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai