A. DEFINISI
Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) adalah suatu kondisi yang sering terjadi sebagai
hasil dari pertumbuhan dan pengendalian hormon prostat (Yuliana Elin, 2011).
Benigna prostat hyperplasia adalah pertumbuhan nodul-nodul fibriadenomatosa
majemuk dalam prostate, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai
proliperasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa
(Sylvia A. Price, 2006).
B. ETIOLOGI
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasi prostat adalah :
1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia
lanjut.
2. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu pertumbuhan stroma
kelenjar prostat.
3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati. Diduga
hormon androgen berperan menghambat proses kematian sel karena setelah dilakukan
kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostate. Estrogen diduga
mampu memperpanjang usia sel-sel prostate.
4. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga
menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan.
C. PATOFISIOLOGI
Pada umumnya gangguan ini terjadi setelah usia pertengahan akibat perubahan
hormonal. Bagian paling dalam prostat membesar dengan terbentuknya adenoma yang
tersebar. Pembesaran adenoma yang progresif menekan atau mendesakn jaringan jaringan
prostat yang normal ke kapsula sejati yang menghasilkan kapsula bedah. Kapsula bedah
ini menahan perluasannya dan adenoma cenderung tumbuh ke dalam lumennya, yang
membatasi pengeluaran urin. Akhirnya diperlukan peningkatan penekanan untuk
mengosongkan kandung kemih. Serat – serat muskulus destrusor berespon hipertropi,
yang menghasilkan trabekulasi di dalam kanndung kemih. Pada beberapa kasus jika
obstruksi keluar terlalu hebat, terjadi dekompensasi kandung kemih menjadi struktur
yang flasid (lemah), berdilatasi dan sanggup berkontraksi secara efektif. Karena terdapat
sisa urin, maka terdapat peningkatan infeksi dan batu kandung kemih. Peningkatan
tekanan balik dapat menyebabkan hidronefrosis. Retensi progresif bagi air, natrium, dan
urea dapat menimbulkan edema hebat.
Pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan pada traktus urinarius, terjadi
perlahan-lahan. Pada tahap awal terjadi pembesaran prostat sehingga terjadi perubahan
fisiologis yang mengakibatkan resistensi uretra daerah prostat, leher vesika kemudian
detrusor mengatasi dengan kontraksi lebih kuat. Sebagai akibatnya serat destrusor akan
menjadi lebih tebal dan penonjolan serat destrusor ke dalam mukosa buli-buli akan
terlihat sebagai balok-balok yang tampai (trabekulasi). Jika dilihat dari dalam vesika
dengan sitoskopi, mukosa vesika dapat menerobos keluar di antara serat destusor
sehingga terbentuk tojolan mukosa yang apabila kecil dinamakan sekula dan apabila
besar disebut diverkel. Fase penebalan destrusor adalah fase kompensasi yang apabila
berlanjut destrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami dekompensasi dan
tidak mampu lagi untuk kontraksi, sehingga terjadi retensi urin total yang berlanjut pada
hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan
menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal.
Untuk dapat mengeluarkan urine, buli– buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan
tekanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli–
buli berupa hipertropi otot destrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan
divertikel buli–buli. Perubahan struktur pada buli-buli tersebut yang oleh pasien
dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract
symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus.
D. MANIFESTASI KLINIK
Adapun gejala dan tanda yang nampak pada pasien dengan BPH:
1. Retensi urine
2. Kurangnya atau lemahnya pancaran kencing
3. Miksi yang tidak puas
4. Frekuensi kencing bertambah terutama malam hari (nocturia)
5. Miksi harus mengejan
6. Terasa panas, nyeri atau sekitar waktu miksi (disuria)
7. Massa pada abdomen bagian bawah (hematuria)
8. Urgency (dorongan yang mendesak dan mendadak untuk mengeluarkan urin)
9. Kesulitan mengawali dan mengakhiri miksi
10. Kolik renal
11. Berat badan turun
E. KLASIFIKASI BPH
Kategori keparahan BPH berdasarkan gejala dan tanda
Keparahan penyakit Kekhasan gejala dan tanda
Ringan Asimtomatik
Kecepatan urinary puncak<10mL/s
Volume urin residual setelah pengosongan >25-50 mL
Peningkatan BUN dan kreatinin serum
Sedang Semua tanda diatas ditambah obstruktif penghilangan gejala
dan iritatif penghilangan gejala 9tanda dari destrusor yang tidak
stabil)
Parah Semua tanda diatas ditambah satu atau dua lebih komplikasi
BPH
Sumber: ISO farmakoterapi 2 hal: 146
Derajat berat BPH dibedakan menjadi 4 tingkat seperti terlihat dalam tabel diatas
yang dinilai berdasakan pemeriksaan fisik dengan colok dubur dan pemeriksaan sisa
volume urin/atau residu urin yang ada di kandung kemih setelah pasien berkemih dengan
menggunakan kateter.
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang seharusnya dilakukan pada pasien dengan BPH adalah:
1. Pemeriksaan colok dubur (Rectal Toucher)
Pemeriksaan colok dubur adalah memasukkan jari telunjuk yang sudah diberi pelicin
ke dalam lubang dubur. Pada pemeriksaan colok dubur dinilai:
a. Tonus sfingter ani dan refleks bulbo-kavernosus (BCR).
b. Mencari kemungkinan adanya massa didalam lumen rectum.
c. Menilai keadaan prostate.
2. Laboratorium
a. Urinalisa untuk melihat adanya infeksi, hematuria.
b. Ureum, creatinin, elektrolit untuk melihat gambaran fungsi ginjal.
3. Pengukuran derajat berat obstruksi
a. Menentukan jumlah sisa urin setelah penderita miksi spontan (normal sisa urin
kosong dan batas intervensi urin lebih dari 100 cc).
b. Pancaran urin (uroflowmetri) syarat : jumlah urin dalam vesika 125 s/d 150 ml.
angka normal rata-rata 10 s/d 12 ml/detik, obstruksi ringan 6-8 ml/detik.
4. Pemeriksaan lain
a. BNO/IVP untuk menentukan adanya divertikel, penebalan bladder
b. USG dengan transuretral ultrasonografi prostat (TRUS P) untuk menentukan
volume prostate.
c. Trans-abdominal USG : untuk mendeteksi bagian prostat yang menonjol ke buli-
buli yang dapat dipakai untuk meramalkan derajat berat obstruksi apabila ada
batu dalam vesika.
d. Cystoscopy untuk melihat adanya penebalan pada dinding bladder.
G. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung pada stadium-stadium dari gambaran
klinis, yaitu :
1. Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan
konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin.
Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak
mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini
tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
2. Stadium II
Ada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya
dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra).
3. Stadium III
Pada stadium III reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat
sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya
dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans
vesika, retropubik dan perineal.
4. Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi
urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan
Transurethral Resection (TUR) atau pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan pembedahan
dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat penghambat
adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan memberikan obat anti
androgen yang menekan produksi LH.
Nyeri
Inkontinensia urin
Destrusor menebal
Resiko Infeksi
Kurang pengetahuan
Resiko ketidakseimbangan
volume cairan
b. Pathway Post Operasi
BPH
Gangguan
Pembedahan Mobilitas Fisik
Adanya media masuk kuman
Resiko
Resiko Kerusakan
Nyeri Akut
Kekurangan
penurunan Hb
Resiko Infeksi
ketidakefektifan Perfusi
Jaringan perifer
3. Prioritas Diagnosa Masalah
a. Pre operasi
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi (resistensi vesika,
penebalan destrusor dan disuria).
2) Perubahan pola eliminasi urin berhubungan dengan obstruksi anatomik
(penebalan destrusor dan retensi urin).
3) Cemas berhubungan dengan status kesehatan (kemungkinan prosedur operasi).
4) Kurang pengetahuan berhubugan dengan keterbatasan paparan.
5) Resiko ketidakseimbangan volume cairan berhubungan dengan pemberian obat
diuretik serta distensi kandung kemih.
6) Resiko infeksi berhubungan dengan destruksi jaringan serta refluks vesiko
ureter.
b. Pasca operasi
1) Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca obstruksi dengan
diuresis dari drainase kandung kemih yang terlalu cepat.
2) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologi (terputusnya kontinuitas
jaringan akibat pembedahan).
3) Kerusakan mobolitas fisik berhubungan dengan kerusakan neurovakuler (nyeri).
4) Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik.
5) Resiko infeksi berhubungan dengan peningkatan paparan lingkungan terhadap
patogen (adanya media masuknya kuman akibat prosedur invasif).
4. Fokus Intervensi keperawatan
No. Dx NOC NIC
I Setelah dilakukan tindakan keperawatan NIC : Manajemen Nyeri
diharapkan nyeri berkurang atau hilang. a) Kaji secara menyeluruh
NOC 1 : Level Nyeri tentang nyeri termasuk
lokasi, durasi,
Indikator Awal Akhir
Laporkan frekuensi frekuensi, intensitas, dan
nyeri
faktor penyebab
Kaji frekuensi nyeri
Lamanya nyeri b) Observasi isyarat non
berlangsung
verbal dari
Ekspresi wajah
terhadap nyeri ketidaknyamanan
Perubahan vital terutama jika tidak
sign
dapat berkomunikasi
NOC 2 : Kontrol nyeri Kriteria Hasil : secara efektif
Indikator Awal Akhir c) Berikan analgetik
Mengenal faktor dengan tepat.
penyebab
Gunakan tindakan Berikan informasi
pencegahan tentang nyeri, seperti
Gunakan tindaka
non analgetik penyebab nyeri, berapa
Gunakan analgetik lama akan berakhir, dan
yang tepat
antisipasi
Keterangan : ketidaknyamanan dari
1. Ekstrim 4. Ringan prosedur.
2. Berat 5. Tidak ada d) Ajarkan teknik non
3. Sedang formakologi (misalnya;
relaksasi, distraksi).
No. Dx NOC NIC
II Setelah dilakukan tindakan keperawatan NIC : Manajemen Eliminasi
diharapkan pola eliminasi urin kembali a) Jelaskan pada klien
normal. tentang perubahan dari
NOC : pola Eliminasi pola eiminasi.
Indikator Awal Akhir b) Dorong klien untuk
Berkemih dalam berkemih tiap 2-4 jam
jumlah normal dan bila dirasakan.
Keterangan :
1. Ekstrim
2. Berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada
V Setelah dilakukan tindakan keperawatan NIC 1 : Fluid Management
diharapkan resiko ketidakseimbangan a) Pertahankan intake dan
volume cairan tidak terjadi. output yang akurat
NOC : Keseimbangan asam basa dan b) Monitor vital sign
elektrolit, keseimbangan cairan dan hidrasi c) pasang urine kateter
Kriteria hasil : jika perlu
Indikator Awal Akhir d) Monitor masukan
Terbebas dari edema makanan/cairan
Terbebas dari
kelelahan, e) Berikan diuretik sesuai
kecemasan instruksi
NIC 2 : Fluid Monitoring
Keterangan :
a) Monitor berat badan
1. Ekstrim 4. Ringan
b) Catat secara akurat
2. Berat 5. Tidak ada
intake dan output
3. Sedang
Keterangan :
1. Ekstrim 4. Ringan
2. Berat 5. Tidak ada
3. Sedang
II Setelah dilakukan tindakan keperawatan NIC : Manajemen Nyeri
diharapkan nyeri berkurang atau hilang. a) Kaji secara mnyeluruh
NOC 1 : Level Nyeri Kriteria hasil : tentang nyeri termasuk
lokasi, dursi, frekuensi,
Indikator Awal Akhir intensitas, dan faktor
Laporkan frekuensi
nyeri penyebab
Kaji frekuensi nyeri b) Observasi isyarat non
Elastis turgor kulit
baik verbal dari
Ekspresi wajah ketidaknyamanan
terhadap nyeri
Perubahan vital terutama jika tidak
sign dapat berkomunikasi
secara efektif
Keterangan :
c) Ajarkan teknik non
1. Ekstrim 4. Ringan
formakologi (misalnya;
2. Berat 5. Tidak ada
relaksasi, distraksi)
3. Sedang d) kolaborasi medis
pemberian analgetik
dengan tepat