Anda di halaman 1dari 17

KONSEP DASAR BENIGNA PROSTAT HYPERPLASIA

A. PENGERTIAN
Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) merupakan perbesaran atau hipertrofi
pada prostat. Banyak klien yang berusia diatas 50 tahun mengalami
perbesaran kelenjar prostat, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan
menyumbat aliran urin dengan menutupi urifisium uretra (Fillingham and
Douglas, 2000). Selain itu, BPH juga merupakan kondisi patologis yang
paling umum untuk pria lansia.
Benigna Prostat Hyperplasia adalah bertambah besarnya ukuran prostat
biasanya diiringi dengan bertambahnya usia pada laki-laki, membesarnya
prostat menyebabkan fungsi uretra pars prostatika menjadi terganggu,
menimbulkan gangguan pada saluran keluar kandung kemih (Iskandar, 2009).
Benigna Prostat Hyperplasia adalah terjadinya pelebaran pada prostat yang
menimbulkan penyempitan saluran kencing dan tekanan di bawah kandung
kemih dan menyebabkan gejala-gejala seperti sering kencing dan retensi urin
(Aulawi, 2014).

B. ANATOMI
Prostat merupakan organ genitalia pada laki-laki berbentuk seperti buah
kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram. Prostat
terletak di sebelah inferiorkandung kemih dan membungkus uretra posterior.
Kelenjar prostat terbagi atas beberapa zona yaitu zona perifer, zona sentral,
zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan zona periuretra.

C. ETIOLOGI
Menurut Muttaqin dan Sari (2014), beberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya BPH yaitu :
1. Dihydrostestosteron adalah pembesaran pada epitel dan stroma kelenjar
prostat yang disebabkan peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor
andorogen.
2. Adanya ketidakseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen
dimana terjadi peningkatan estrogen dan penurunan testosteron sehingga
mengakibatkan pembesaran pada prostat.
3. Interaksi antara stroma dan epitel. Peningkatan epidermal growth faktor
atau fibroblast growth faktor dan penurunan transforming faktor beta yang
menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel.
4. Peningkatan estrogen menyebabkan berkurangnya kematian sel stroma
dan epitel dari kelenjar prostat.
5. Teori sel stem, meningkatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi
berlebihan pada sel stroma maupun sel epitel sehingga menyebabkan
proliferasi sel sel prostat (Purnomo, 2008)

D. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Aulawi (2014) tanda gejala yang muncul pada pasien penderita
Benigna Prostat Hiperplasia adalah :
1. Kesulitan mengawali aliran urine karena adanya tekanan pada uretra dan
leher kandung kemih.
2. Kekuatan aliran urine yang melemah.
3. Aliran urine keluar yang tidak lancar.
4. Keluarnya urine bercampur darah.

E. PATOFISIOLOGI
Kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia seiring dengan pertambahan
usia, pada proses penuaan menimbulkan perubahan keseimbangan antara
hormon testosteron dan estrogen keadaan ini dapat menyebabkan pembesaran
prostat, jika terjadi pembesaran prostat maka dapat meluas ke kandung kemih,
sehingga akan mempersempit saluran uretra prostatica dan akhirnya akan
menyumbat aliran urine.
Penyempitan pada aliran uretra dapat meningkatkan tekanan pada
intravesikal. Munculnya tahanan pada uretra prostatika menyebabkan otot
detrusor dan kandung kemih akan bekerja lebih kuat saat memompa urine,
penegangan yang terjadi secara terus menerus menyebabkan perubahan
anatomi dari buli-buli berupa : pembesaran pada oto detrusor, trabekulasi
terbentuknya selula, sekula, dan diventrivel kandung kemih.
Tekanan yang terjadi terus menerus dapat menyebabkan aliran balik urine
ke ureter dan bila terjadi terus menerus mengakibatkan hidroureter,
hidronefrosis, dan kemunduran fungsi ginjal (Muttaqin dan Sari, 2014). Salah
satu upaya pengobatan pada penderita benigna prostat hiperplasia adalah
pembedahan terbuka merupakan tindakan pembedahan pada perut bagian
bawah, kelenjar prostat dibuka dan mengangkat kelenjar prostat yang
mengalami pembesaran, untuk mencegah pembentukan pembuluh darah
dialirkan cairan via selang melalui kandung kemih, selang biasanya dibiarkan
dalam kandung kemih sekitar 5 hari setelah operasi dan kemudian dikeluarkan
jika tidak ada pendarahan (Iskandar, 2009).

F. PATHWAY
G. FAKTOR RISIKO
1. Kadar hormon
Kadar hormon testosteron yang meningkat behubungan dengan
peningkatan kadar dihydrotestosteron yang memegang peranan penting
terjadinya BPH dan LUTS.
2. Usia
Benigna prostat hyperplasia memiliki prevalensi yang tinggi pada lansia.
Prevalensi BPH pada lansia Amerika usia 60 sampai 69 tahun diperkirakan
lebih dari 70%.
3. Obesitas
Obesitas berhubungan dengan ukuran prostat dan kecepatan pertumbuhan
prostat. Sebuah studi yang dilakukan pada 158 klien ditemukan
pembesaran prostat lebih sering ditemukan pada klien yang memiliki
masalah obesitas, hipertensi dan diabetes tipe 2.
4. Pola diet
Sebuah analisis data dari Health Profesional Follow-up Study, laki-laki
dengan total intake energi tinggi dan intake tinggi protein memiliki
peningkatan risiko BPH jika dibandingkan dengan laki-laki dengan
konsumsi energi dan protein yang rendah.
5. Aktivitas seksual
Saat kegiatan seksual, kelenjar prostat akan mengalami peningkatan
tekanan darah sebelum terjadi ejakulasi. Suplai darah yang tinggi akan
menyebabkan kelenjar prostat menjadi bengkak. Penelitian yang dilakukan
James Meigs (2001) menunjukkan laki-laki yang menikah dan hidup
bersama istri memiliki risiko 60% peningkatan gejala klinis BPH.
6. Kebiasaan merokok
Beberapa penelitian tidak menemukan dampak yang signifikan antara
aktivitas merokok dengan peningkatan risiko BPH. Namun, ada sebuah
studi yang menunjukkan perokok berat lebih mudah terkena LUTS jika
dibandingkan dengan bukan perokok. Rokok sendiri meningkatkan
konsentrasi testosteron. Peningkatan testosteron berhubungan dengan
peningkatan konsentrasi dihydrotestosteron yang berperan penting dalam
perkembangan BPH dan LUTS.
7. Kebiasaan minum-minum beralkohol
Minum-minum beralkohol dapat meningkatkan risiko terjadinya BPH.
8. Olahraga
Pada pria yang rutin melakukan aktivitas fisik berpeluang lebih kecil untuk
mengalami gangguan pembesaran prostat.
9. Penyakit diabetes militus
Sebuah studi yang dilakukan pada 158 klien ditemukan pembesaran
prostat lebih sering ditemukan pada klien yang memiliki masalah obesitas,
hipertensi, dan diabetes tipe 2.

H. KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi mungkin terjadi pada klien BPH yang telah
menjalani prosedur pembedahan, baik prostatektomi maupun TURP. Berikut
beberapa komplikasi yang mungkin terjadi :
1. Inkontinensia
Satu persen klien yang menjalani operasi prostatektomi mengalami
inkontinensia dalam jangka waktu yang lama.
2. Striktur
Striktur uretra dapat terjadi sepanjang prosedur operasi.
3. Impotensi
TURP yang diikuti terjadinya impotensi dilaporkan terjadi antara 4% dan
30%.
4. Hemoragi
Perdarahan post operatif terjadi hampir pada 4% klien post operatif.
Perdarahan berulang dapat saja terjadi yang menyebabkan klien harus
kembali ke rumah sakit.
5. Kematian
Secara keseluruhan, kematian akibat TURP kurang dari 1% dan biasanya
terjadi akibat permasalahan kardiovaskular atau komplikasi pernafasan.
Namun, risiko kematian juga dapat ditimbulkan jika terjadi sindroma TUR
dan tidak segera dilakukan penanganan secara tepat.

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Berdasarkan Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI), terdapat beberapa cara
untuk penegakkan diagnostik BPH, antara lain :
1. Pemeriksaan fisik
Digital rectal examination atau colok dubur merupakan salah satu
pemeriksaan fisik yang penting pada klien BPH. Pemeriksaan colok dubur
digunakan untuk memperkirakan adanya pembesaran prostat, konsistensi
prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu tanda dari keganasan
prostat.
2. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat menunjukkan adanya leukosituria dan
hematuria. Benigna prostate hyperplasia (BPH) yang sudah menimbulkan
komplikasi seperti infeksi saluran kemih, batu buli-buli yang
menimbulkan keluhan miksi akan menunjukkan adanya kelainan pada
pemeriksaan urinalisis. Oleh karena itu, jika dicurigai adanya infeksi
saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan kultur urine.
3. Pemeriksaan fungsi ginjal
Pemeriksaan faal ginjal dilakukan untuk menentukan perlu atau tidaknya
dilakukan pemeriksaan pencintraan pada saluran kemih bagian atas.
4. Pemeriksaan PSA (Prostate Spesific Antigen)
Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan
kadar PSA. Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan
pada peradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau
TURP), pada retensi urin akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia
yang makin tua. Serum PSA meningkat pada saat terjadi retensi urin akut
dan kadarnya perlahan-lahan menurun terutama setelah 72 jam dilakukan
kateterisasi. Rentang kadar PSA yang dianggap normal berdasarkan usia
adalah :
a. 40-49 tahun : 0-2,5 ng/ml
b. 50-59 tahun : 0-3,5 ng/ml
c. 60-69 tahun : 0-4,5 ng/ml
d. 70-79 tahun : 0-6,5 ng/ml
5. Catatan harian miksi (voiding diaries)
Catatan harian miksi dipakai untuk menilai fungsi traktus urinarius bagian
bawah dengan reliabilitas dan validitas yang baik. Pencatatan miksi
berguna pada klien yang mengeluh nokturia sebagai keluhan utama yang
menonjol.
6. Uroflowmetri
Uroflowmetri merupakan pencatatan pencaran urine selama proses miksi
secara elektronik. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui adanya
gejala obstruktif saluran kemih bagian bawah yang tidak invasif.
7. Pemeriksaan residual urin
Residual urin merupakan sisa urin yang tertinggal di dalam buli-buli
setelah miksi. Jumlah residual urine pada orang normal adalah 0,09-2,24
ml dengan rata-rata 0,53 ml. Sebanyak 78% pria normal memiliki residual
urine kurang dari 5 ml dan semua pria normal mempunyai residual urin
tidak lebih dari 12 ml.
8. Pencitraan traktur urinarius
Pencitraan traktur urinarius pada BPH meliputi pemeriksaan traktur
urinarius bagian atas maupun bawah dan pemeriksaan prostat.
Pemeriksaan USG prostat bertujuan untuk menilai bentuk, besar prostat,
dan mencari kemungkinan adanya karsinoma prostat.
9. Uretrosistoskopi
Pemeriksaan ini secara visual dapat mengetahui keadaan uretra prostatika
dan buli-buli. Uretrosistoskopi dilakukan pada saat akan dilakukan
tindakan pembedahan untuk menentukan tindakan akan diambil yakni
TUIP, TURP atau prostatektomi terbuka.
10. Pemeriksaan urodinamika
Berbeda dengan pemeriksaan uroflowmetri yang hanya dapat menilai
pancaran urin, pemeriksaan urodinamika dapat membedakan pancaran urin
yang lemah disebabkan karena obstruksi leher buli-buli dan uretra atau
kelemahan kontraksi otot detrusor. Pemeriksaan ini cocok untuk klien
yang akan menjalani prosedur pembedahan.

J. PENANGANAN
Berdasarkan Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI), terdapat beberapa cara
untuk penanganan BPH, antara lain :
1. Watchful waiting
Watchful waiting artinya klien tidak mendapatkan terapi apapun namun
perkembangan penyakitnya selalu di pantau oleh dokter. Pada watchful
waiting ini, klien diberikan penjelasan mengenai hal yang dapat
memperburuk keluhannya, misalnya mengkonsumsi kopi atau alkohol
setelah makan malam, membatasi konsumsi obat-obatan influenza yang
mengandung fenilpropanolamin, makan makanan pedas dan asin, dan
menahan kencing yang terlalu lama. Setiap 6 bulan, klien diminta untuk
memeriksakan diri dan memberitahukan mengenai perubahan keluhan
yang dirasakan. Watchful waiting dilakukan jik klien belum bermasalah
dengan pembesaran prostat yang dialami.
2. Medikamentosa
Terapi medikasi dilakukan jika BPH melai bergejala dan mencapai tahap
tertentu. Dalam pengobatan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
diantaranya jenis obat yang digunakan, pemilihan obat, dasar
pertimbangan terapi, dan evaluasi selama pemberian obat. Beberapa obat
yang biasa digunakan adalah antagonis adregenik a yang bertujuan
menghambat kontraksi otot polos prostat sehingga mengurangi resistensi
tonus leher buli-buli dan uretra. Beberapa obat dari golongan antagonis
adregenik a diantaranya pirazosin, terazosin, doksazosin, dan tamsulosin.
Selain itu ada obat dari golongan inhibator 5 a-reduktase yang bekerja
dengan cara menghambat pembentukan dihidrotestosteron (DHT).
3. Pembedahan
Pembedahan sampai saat ini menjadi solusi terbaik pengobatan BPH yakni
dengan mengangkat bagian kelenjar prostat yang menyebabkan obstruksi.
Terdapat tiga macam teknik pembedahan yang direkomendasikan
diantaranya Prostatektomi terbuka, insisi prostat terbuka (TUIP), dan
reseksi prostat transuretra (TURP).
a. Prostatektomi terbuka
Merupakan cara yang paling tua, paling invasif, dan paling efisien
diantara tindakan lainnya. Prosedur ini dapat memberikan perbaikan
hingga 95% gejala BPH. Prosedur ini dianjurkan pada prostat yang
volumenya diperkirakan lebih dari 80-100cm3. Namun, prosedur ini
dapat menimbulkan komplikasi striktur uretra dan inkontinensia urin
yang lebih sering jika dibandingkan dengan TURP atau TUIP.
b. Insisi prostat terbuka (TUIP)
Insisi leher buli-buli direkomendasikan pada prostat yang ukurannya
kecil (kurang dari 30 cm3). Waktu yang dibutuhkan lebih cepat dan
lebih sedikit menimbulkan komplikasi dibandingkan dengan TURP.
Prosedur ini mampu memperbaiki keluhan BPH meskipun tidak sebaik
TURP.
c. Reseksi prostat transuretra (TURP)
Prosedur TURP merupakan prosedur yang paling sering dilakukan
oleh ahli urologi yaknik sebanyak 95%. Prosedur TURP lebih sedikit
menimbulkan trauma jika dibandingkan dengan prosedur bedah
terbuka dan memerlukan masa pemulihan yang relatif lebih cepat.
Secara umum, TURP dapat memperbaiki gejala BPH hingga 90% dan
meningkatkan pancaran urin hingga 100%. Namun, komplikasi yang
sering terjadi adalah perdarahan. Timbulnya penyulit bisanya pada
reseksi prostat yang beratnya lebih dari 45 gram, usia yang lebih dari
80 tahun, klien dengan ASA II-IV, dan lamanya prosedur lebih dari 90
menit yang akan menimbulkan sindroma TUR.
ASUHAN KEPERAWATAN BPH

A. PENGAKJIAN
Pre Operatif
1. Identitas klien
Jenis kelamin laki-laki, umur >50 tahun, banyak dijumpai pada bangsa /
ras caucasian
2. Keluhan utama
Nyeri berhubungan dengan spasme buli-buli
3. Riwayat penyakit
a. Riwayat penyakit sekarang
LUTS (hesitansi, pancaran urine lemah, intermitensi, terminal
dribbing, terasa ada sisa setelah miksi, urgensi, frekuensi dan disuria)
b. Riwayat penyakit dahulu
DM (diabetes mellitus), hipertensi, PPOM (penyakit paru obstruksi
menahun), jantung koroner, decompensasi cordis dan gangguan faal
darah
c. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keturunan (hipertensi, DM, ashma)
d. Riwayat psikososial
Emosi, kecemasan, gangguan konsep diri
4. Pola Aktivitas
a. Pola sirkulasi
Pada kasus BPH sering dijumpai adanya gangguan sirkulasi; pada
kasus preoperasi dapat dijumpai adanya peningkatan tekanan darah
yang disebabkan oleh karena efek pembesaran ginjal. Penurunan
tekanan darah; peningkatan nadi sering dijumpai pada kasus post
operasi BPH yang terjadi karena kekurangan volume cairan.
b. Integritas Ego
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas
egonya karena memikirkan bagimana akan menghadapi pengobatan
yang dapat dilihat dari tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau mental,
perubahan perilaku.
c. Pola eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali
dialami oleh pasien dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan
dalam memulai aliran urin, aliran urin berkurang, pengosongan
kandung kemih inkomplit, frekuensi berkemih, nokturia, disuria dan
hematuria. Sedangkan pada post operasi BPH yang terjadi karena
tindakan invasif serta prosedur pembedahan sehingga perlu adanya
observasi drainase kateter untuk mengetahui adanya perdarahan
dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi warna urin, contoh :merah
terang dengan bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada bekuan,
peningkatan viskositas, warna keruh, gelap dengan bekuan. Selain
terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada kemungkinan terjadinya
konstipasi. Pada preoperasi BPH hal tersebut terjadi karena protrusi
prostat ke dalam rektum, sedangkan pada postoperasi BPH, karena
perubahan pola makan dan makanan.
d. Pola makanan dan cairan
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek
penekanan/nyeri pada abdomen (pada operasi), maupun efek dari
anastesi pada post operasi BPH, sehingga terjadi gejala : anoreksia,
mual, muntah, penurunan berat badan, tindakan yang perlu dikaji
adalah awasi masukan dan pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya.
e. Pola nyeri dan kenyamanan
Menurut hierarki maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan
dasar yang utama. Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan
yang harus dipenuhi. Pada pasien post operasi biasanya ditemukan
adanya nyeri suprapubik, pinggul tajam dan kuat, nyeri punggung
bawah.
f. Keselamatan/keamanan
Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor
keselamatan tidak luput dari pengkajian perawat karena hal ini sangat
penting untuk menghindari segala jenis tuntutan akibat kelalaian
paramedik, tindakan yang perlu dilakukan adalah kaji adanya tanda-
tanda infeksi saluran perkemihan seperti adanya demam (pada pre
operasi), sedang pada post operasi perlu adanya inspeksi balutan dan
juga adanya tanda-tanda infeksi baik pada luka bedah maupun pada
saluran perkemihannya.
g. Seksual
Pada pasien BPH baik pre operasi maupun post operasi terkadang
mengalami masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan
seksualnya, takut inkontinensia/menetas selama hubungan intim,
penurunan kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran atau
nyeri tekan pada prostat.
5. Pemeriksaan Fisik
a. Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu.
Nadi dapat meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin
akut, dehidrasi sampai syok pada retensi urin serta urosepsis
sampai syok - septik.
b. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk
mengetahui adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah
supra simfiser pada keadaan retensi akan menonjol. Saat palpasi
terasa adanya ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi.
Perkusi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya residual urin.
c. Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus,
striktur uretra, batu uretra, karsinoma maupun fimosis.
d. Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis.
e. Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk
menentukan konsistensi sistim persarafan unit vesiko uretra dan
besarnya prostat. Dengan rectal toucher dapat diketahui derajat
dari BPH, yaitu :
 Derajat I = beratnya  20 gram.
 Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.
 Derajat III = beratnya  40 gram.
6. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan
kadar gula digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan
umum klien.
b. Pemeriksaan urin lengkap dan kultur.
c. PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai
kewaspadaan adanya keganasan.
7. Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin.
Secara obyektif pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter
dengan penilaian :
a. Flow rate maksimal  15 ml / dtk = non obstruktif.
b. Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line.
c. Flow rate maksimal  10 ml / dtk = obstruktif.
8. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
a. BOF (Buik Overzich ) :Untuk melihat adanya batu dan metastase
pada tulang.
b. USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi,
volume dan besar prostat juga keadaan buli – buli termasuk
residual urin. Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal,
transuretral dan supra pubik.
c. IVP (Pyelografi Intravena)
Digunakan untuk melihat fungsi exkresi ginjal dan adanya
hidronefrosis.
d. Pemeriksaan Panendoskop
Untuk mengetahui keadaan uretra dan buli – buli.
Intra Operatif
Klien tidur terlentang di atas meja tindakan, baju operasi dibuka,
infus dipasang RL di grojok, kemudian klien diatur pada posisi miring kiri
untuk dilakukan tindakan anestesi spinal karena tindakan yang dilakukan
adalah prostatectomy. Anestesi dilakukan jam 10.30. Klien diatur pada
posisi terlentang lagi, klien mengatakan kakinya terasa lemas, susah untuk
diangkat. Dilakukan desinfeksi dengan betadine pada daerah operasi,
setelah itu daerah operasi ditutup dengan duk steril. Operasi dimulai pada
jam 10.40, memeriksa tekanan darah klien, Alat-alat disiapkan, karena
merupakan operasi besar alat-alat yang yang digunakan juga banyak antara
lain : klem bengkok dan klem lurus 12 buah, 2 buah gunting, 4 pincet dua
diantaranya pincet anatomis. Pisau dan gagangnya. Setelah itu dilakukan
tindakan insisi sepanjang 8 cm, dilakukan dengan perlahan-lahan dan lapis
demi lapis, dilakukan cesht pada arteri yang putus guna menghentikan
perdarahan, selanjutnya vesica urinaria dibuka dan dilakukan pemasangan
dawer cateter no 24 dan irigasi no 18, selama tindakan terjadi perdarahan
kurang lebih 400 cc dan klien di grojok guna menyeimbangi cairan yang
keluar agar tidak terjadi syok pada klien kurang lebih 1500 cc NaCl.
setelah selesai luka ditutup kembali dengan jahitan dua lapis. Bekas
operasi ditutup dengan gass steril diberi plester, duk diangkat, infus
dinormalkan kembali.

Post Operatif
Diruang RR klien terbaring lemah, klien mengatakan kakinya
terasa lemas tidak dapat diangkat, infus terpasang 20 tts/mnt, dawer cateter
terpasang, irigasi terpasang, klien merasa seperti orang tidur.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Pre Operatif
1. Nyeri akut b.d agens cedera biologis
Intra Operatif
2. Risiko perdarahan b.d tindakan opensif
Post Operatif
3. Intoleransi aktivitas b.d pengaruh anestesi spinal dan tindakan infasif

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Pre Operatif
Diagnosa Tujuan dan
Intervensi
Keperawatan Kriteria Hasil
Nyeri akut b.d Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi keadaan
agens cedera keperawatan selama 30 menit umum dan tanda-
biologis diharapkan gangguan rasa tanda vital klien
nyaman nyeri teratasi dengan 2. Atur posisi yang
kriteria nyaman untuk klien.
 Klien tidak mengeluhkan 3. Ajarkan pada klien
adanya nyeri teknik relaksasi dan
 Skala nyeri ada pada distraksi
angka 1 (0-10)
 Klien tidak meringis lagi

Intra Operatif
Diagnosa Tujuan dan
Intervensi
Keperawatan Kriteria Hasil
Risiko perdarahan Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi tekanan
b.d tindakan keperawatan pada klien darah klien
opensif diharapkan potensial 2. Observasi jumlah
terjadinya perdarahan tidak perdarahan klien
terjadi dengan kriteria 3. Atasi perdarahan
 Tekanan darah normal 4. Berikan cairan
 Perdarahan selama operasi melalui IV sesuai
kurang dari 500 cc protap
 Tidak ada tanda-tanda
syok

Post Operatif
Diagnosa
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
Intoleransi Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi vital sign
aktivitas b.d keperawatan pada klien 2. Posisikan pasien
pengaruh anestesi diharapkan intoleransi semi fowler
spinal dan aktivitas dapat dicegah dengan 3. Penuhi kebutuhan
tindakan infasif kriteria : pasien
 Mempercepat 4. Anjurkan pada
pengembalian fungsi gerak pasien untuk bedrest
dari pengaruh anestesi 24 jam.
 Aktivitas klien terpenuhi

Anda mungkin juga menyukai