Anda di halaman 1dari 63

PROPOSAL

PENERAPAN TEKNIK KOMBINASI RELAKSASI OTOT PROGRESIF

DAN TERAPI MUSIK TERHADAP TEKANAN DARAH PADA LANSIA

DENGAN HIPERTENSI DI PUSKESMAS ROWOSARI METESEH

SEMARANG

Diajukan Oleh :

Tantri Suryani

20101440117088

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

REPUBLIK INDONESIA

ADADEMI KEPERAWATAN KESDAM IV / DIPONEGORO SEMARANG

DIPLOMA III KEPERAWATAN

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas

(Utomo Agus, 2019). Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan bahwa Commented [DH1]: Pakai penulisan angka ya. Pake mendeley
juga. Rubah semua untuk ke bawahnya.

pada tahun 2018 terdapat sekitar 705 juta penduduk berusia di atas 65 tahun di

dunia. Berdasarkan hasil Badan Pusat Statistik tahun 2018, presentase lansia

di Indonesia mencapai 9,27% atau sekitar 24,49 jutang orang (Badan Pusat

Statistik, 2018). Data Badan Pusat Statistik Kota Semarang tahun 2019,

jumlah penduduk lansia hanya 497 ribu jiwa atau sekitar 18% dari jumlah

penduduk (BPS Kota Semarang, 2018).  tahunnya yg benar yg mana?

Penulisan aslinya gmn?

Indonesia saat ini sudah menuju kepada kondsi populasi menua dengan

persentase lansia 9,27% sedangkan negara-negara maju sudah melebihi 10%

bahkan Jepang sudah melebihi 30%. Seiring dengan bertambahnya usia

banyak perubahan yang terjadi pada lansia diantaranya tidak bisa melakukan

aktivitas sendiri, membtuhkan pengasuh, kognisi dan fungsional yang

menurun, masalah psikososial yang kompleks, dan memiliki multipel

penyakit.  dalam satu paragraph minimal 2-3 kata. Paragraph ini

literaturnya mana? Dalam 1 paragraf minimal 2 literatur. Cek untuk semua

paragraph, cek jg untuk di bab 2.


Adapun masalah-masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia akibat

perubahan sistem antara lain PPOK, tuberkulosis, penyakit jantung koroner,

osteoarthritis, rheumatoid arthritis, gout artritis, osteoporosis dan hipertensi.

Hipertensi merupakan penyakit yang paling sering di derita oleh lansia

(Utomo Agus, 2019).  tambahkan literature lagi.

Hipertensi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami

peningkatan tekanan darah diatas normal yang mengakibatkan peningkatan

angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian / mortalitas (Triyanto,

2014). Hipertensi adalah elevasi persisten dari tekanan darah sistolik (TDS)

pada level 140 mmHg atau lebih dan tekanan darah diastolik (TTD) pada level

90 mmHg atau lebih (Joyce, 2014). WHO menyebutkan bahwa batasan

tekanan darah yang masih dianggap normal adalah 140/90 mmHg, sedangkan

tekanan darah ≥ 160/95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi (Udjianti, 2009).

WHO 2018 menyebutkan bahwa prevalensi hipertensi di dunia sebesar

40% dan rata-rata dimulai pada usia 25 tahun. American Heart Association

(AHA) tahun 2017 mengatakan bahwa sekitar 6,5% telah mengalami

hipertensi pada usia lebih dari 45 tahun dan 37% memiliki hipertensi pada usia

65 tahun (Rikesdas, 2018). Asia Tenggara menyebutkan bahwa 36% orang

dewasa menderita hipertensi dan telah menbunuh 1,5 juta orang setiap

tahunnya. Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2018 prevalensi hipertensi di

Indonesia mencapai 34,1% dari jumlah penduduk Indonesia (Riskesdas,

2018). Data Profil Kesehatan Dinas Kota Semarang tahun 2018 angka

hipertensi sebanyak 161.283 kasus (Dinkes Semarang, 2018). Berdasarkan


data statistik di Puskesmas Rowosari tahun 2018 diperoleh data dengan

penderita hipertensi sebanyak 748 jiwa (Puskesmas Rowosari, 2018).

Masalah penyakit hipertensi dari tahun ke tahun semakin meningkat untuk

kondisi kesehatan, dampak jika tekanan darah tidak terkontrol maka tekanan

darah tinggi dapat membebani jantung dan pembuluh darah secara berlebihan

sehingga mempercepat penyumbatan pembuluh arteri. Penyumbatan yang

terus-menerus dan lama atau bertahun-tahun, mengakibatkan komplikasi

berbahaya, seperti serangan jantung, stroke, kegagalan jantung (heart failure),

dan kegagalan ginjal (kidney failure) (Widjadja, 2009). Penatalaksanaan

hipertensi saat ini dapat dikelompokkan dalam terapi nonfarmakologi dan

terapi farmakologi. Terapi farmakologi yang digunakan untuk mengontrol

tekanan darah adalah Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor,

Angiotensin Receptor Blocker (ARBs), beta-blocker, calcium chanel blocker,

direct renin inhibitor, diuretic, vasodilator. Terapi non farmakologi yang

dapat menurunkan tekanan darah yang dapat menurunkan tekanan darah

adalah terapi musik, senam aerobik dan yoga, terapi diet dan herbal, dan terapi

relaksasi otot progresif (Triyanto, 2014).

Terapi relaksasi dapat menciptakan keadaan rileks yang dapat mengontrol

sistem saraf, sehingga dapat menurunkan tekanan darah (Triyanto, 2014).

Pengontrolan tekanan darah dengan teknik relaksasi diantaranya dengan

kombinasi relaksasi otot progresif dan terapi musik (Riza, 2018).

Teknik relaksasi otot progresif adalah memusatkan perhatian pada suatu

aktivitas otot dengan mengidentifikasi otot yang tegang kemudian


menurunkan ketegangan dengan melakukan teknik relaksasi untuk

mendapatkan perasaan relaks (Setyoadi, 2011). Relaksasi otot progresif dapat

menghasilkan respon yang dapat mengurangi stres, dengan demikian saat

melakukan relaksasi otot progresif dengan rileks, tenang dan penuh

konsentrasi selama 30 menit maka akan terjadi penurunan sekresi hormon

CRH (Cotricotropin Releasing Hormone) dan ACTH (Adrenocorticotropic

Hormone) di hipotalamus. Penurunan kedua hormon tersebut akan

menurunkan aktivitas syaraf simpatis sehingga pengeluaran adrenalin dan

nonadrenalin akan berkurang. Kondisi ini akan menurunkan frekuensi denyut

jantung, melebarnya pembuluh darah, berkurangnya tahanan pada pembuluh

darah serta menurunnya pemompaan jantung. Proses tersebut akan

menurunkan tekanan darah jantung (Astuti, 2017). Menurut Erviana (2009),

terapi relaksasi otot progresif terbukti efektif dalam menurunkan tekanan

darah pada penderita hipertensi (Triyanto, 2014).  cari2 penulisannya

bgaimana klo ada 2 penulis yg berbeda.

Banyak penelitian yang menelaskan mengenai pengaruh relaksasi otot

progresif terhadap tekanan darah namun terapi ini akan lebih baik bila

dilakukan secara bersamaan dengan terapi relaksasi yang lain seperti terapi

musik. Terapi musik adalah sebuah proses interpersonal dimana tenaga yang

terlatih menggunakan musik untuk membantu meningkatkan dan

mempertahankan kesehatan pasien secara fisikal, emosional, intelektual, sosial

dan spiritual (Nurgiwiati, 2015). Musik dapat menghambat dan

menyeimbangkan gelombang otak dan mampu mengativasi sistem limbik


yang berhubungan dengan emosi. Ketika sistem limbik teraktivasi maka

individu akan merasa rileks. Alunan musik dapat mempengaruhi aktivitas

simpatoadrenergik yang memiliki peran dalam konsentrasi katekolamin

plasma dan juga mempengaruhi dalam pelepasan stress-released hormone

serta menstimulus tubuh untuk memproduksi molekul nitric oxide (NO) yang

bekerja pada tonus pembuluh darah. Mekanisme kerja tersebut berperan dalam

menurunkan tekanan darah (Astuti, 2017).

Penelitian di Italia menunjukkan kelompok penderita hipertensi yang

sedang minum obat antihipertensi bila diikuti dengan mendengarkan musik

klasik 30 menit / hari disertai dengan latihan nafas perut selama satu bulan

menunjukkan penurunan tekanan darah yang bermakna dibandingkan dengan

kelompok pasien yang hanya mengandalkan obat antihipertensi (Nurrahmani,

2017). Sebenarnya semua jenis musik dapat digunakan sebagai terapi musik

seperti lagu-lagu relaksasi, lagu popular maupun musik klasik. Nurrahmani

2017 menyebutkan dalam memilih lagu dengan tempo sekitar 60 ketukan /

menit yang bersifat rileks, karena apabila terlalu cepat maka secara tidak sadar

stimulus yang masuk akan membuat kita mengikuti irama tersebut, sehingga

keadaan istirahat yang optimal tidak tercapai (Nurrahmani, 2017).

Penelitian yang dilakukan oleh Riza tahun 2018 bahwa kombinasi teknik

relaksasi otot progresif dan terapi musik yang dilakukan selama 15-30 menit,

1 kali sehari selama 6 hari dapat memunculkan perasaan nyaman dan rileks.

Hasil dari kelompok intervensi setelah diberikan perlakuan rata-rata

penurunan tekanan darah sistole pada hari kesepuluh adalah 14,79 mmHg,
sedangkan rata-rata penurunan tekanan darah sistole pada kelompok kontrol

adalah 9 mmHg. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat penurunan yang

bermakna antara rata-rata tekanan darah sistole pada kelompok intervensi

dibandingkan kelompok kontrol (Riza, 2018). Penelitian lain yang dilakukan

oleh Astuti tahun 2017 tentang penurunan tekanan darah diastolik pada lanjut

usia melalui intervensi relaksasi otot progresif dan terapi musik (Resik),

bahwa rata-rata tekanan darah diastolik setelah dilakukan relaksasi otot

progresif dan terapi musik, menunjukkan adanya penurunan rata-rata tekanan

darah diastolik sebesar 16,2 mmHg. Adanya penurunan tekanan darah

diastolik sesudah dilakukan relaksasi otot progresif dan terapi musik. Artinya

ada pengaruh relaksasi otot progresif dan terapi musik pada penderita

hipertensi (Astuti, 2017).

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk

menerapkan teknik kombinasi relaksasi otot progresif dan terapi musik

terhadap tekanan darah pada lansia dengan hipertensi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan yang telah dijelaskan maka rumusan masalah

dalam studi kasus ini adalah “Bagaimana Penerapan Teknik Kombinasi

Relaksasi Otot Progresif dan Terapi Musik Terhadap Tekanan Darah pada

Lansia dengan Hipertensi”.


C. Tujuan

Menggambarkan penerapan Teknik Kombinasi Relaksasi Otot Progresif dan

Terapi Musik terhadap Tekanan Darah pada Lansia dengan Hipertensi.

D. Manfaat Studi Kasus

Studi kasus ini diharapkan memberikan manfaat bagi:

1. Masyarakat

Menambah wawasan tentang salah satu perawatan pada penyakit

hipertensi salah satunya dengan menerapkan teknik kombinasi relaksasi

otot progresif dan terapi musik.

2. Pengembangan Ilmu dan Teknologi Keperawatan

Menjadi salah satu bahan referensi untuk meningkatkan ilmu pengetahuan

yang berhubungan dengan keperawatan keluarga khususnya hipertensi.

3. Penulis

Menjadi proses pembelajaran dan menambah ilmu pengetahuan dalam

mengimplementasikan prosedur relaksasi otot progresif dan terapi musik

pada lansia dengan hipertensi.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA konsep lansia n HT jangan banyak2, perhatikan

jumlah halaman utk bab 2 di modul KTInya.

A. KONSEP DASAR LANSIA

1. Pengertian Lanjut Usia

Berdasarkan definisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia

(lansia) apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan suatu penyakit,

namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai

dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres

lingkungan. Lansia adalah keadaan yang di tandai oleh kegagalan

seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres

fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan

untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual (Efendi, 2009).

Pada lanjut usia akan terjadi proses menghilangnya kemampuan Commented [DH2]: ata sambung jangan di depan

jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan

fungsi normalnya secara perlahan-lahan sehingga tidak dapat bertahan

terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang terjadi. Oleh karena itu, Commented [DH3]: Kata sambung jangan di depan

dalam tubuh akan menumpuk makin banyak distorsi metabolik dan

struktural yang disebut penyakit degenaratif yang menyebabkan lansia

akan mengakhiri hidup dengan episode terminal (Sunaryo, 2015).

2. Klasifikasi Lanjut Usia


Depkes RI (2003) mengklasifikasikan lansia dalam kategori berikut : Commented [DH4]: Tahunnya sudah lama

a. Pralansia (prasenilis), seseorang yang berusia antara 45 – 59 tahun.

b. Lansia, seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.

c. Lansia resiko tinggi, seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih /

seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.

d. Lansia potensial, lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan /

atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang / jasa.

e. Lansia tidak potensial, lansia yang tidak berdaya mencari nafkah

sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.

Sedangkan klasifikasi lansia menurut WHO adalah sebagai berikut :

a. Elderly : 60-74 tahun

b. Old : 75-89 tahun

c. Very old : > 90 tahun

(Dewi, 2014) Commented [DH5]: Perhatikan letak penulisannya yg benar


gmn

3. Karakteristik Lansia

Lansia memiliki tiga karakteristik sebagai berikut :

a. Berusia lebih dari 60 tahun.

b. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai

sakit, dari kebutuhan biopsikososial hingga spiritual, serta dari kondisi

adaptif hingga kondisi maladaptif.

c. Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi (Dewi, 2014).


4. Perubahan Sistem Tubuh Lansia

a. Perubahan fisik

1) Sel

Pada lansia, jumlah selnya akan lebih sedikit dan ukurannya akan

lebih besar. Cairan tubuh dan cairan intraseluler akan berkurang,

proporsi protein di otak, otot, ginjal, darah, dan hati, juga ikut

berkurang. Jumlah sel otak akan menurun, mekanisme perbaikan

sel akan terganggu, dan otak menjadi atrofi.

2) Sistem persarafan

Rata-rata berkurangnya saraf neocortical sebesar 1 per detik,

hubungan persarafan cepat menurun, lambat dalam merespons baik

dari gerakan maupun jarak waktu, khususnya dengan stres,

mengecilnya saraf pancaindra, serta menjadi kurang sensitif

terhadap sentuhan.

3) Sistem pendengaran

Gangguan pada pendengaran (presbiakusis), membran timpani

mengalami atrofi, terjadi pengumpulan dan pengerasan serumen

karena peningkatan keratin, pendengaran menurun pada lanjut usia

yang mengalami ketegangan jiwa atau stres.

4) Sistem penglihatan

Timbul sklerosis pada sfingter pupil dan hilangnya respon terhadap

sinar, kornea lebih berbentuk seperti bola (sferis), lensa lebih


suram (keruh) dapat menyebabkan katarak, meningkatnya ambang,

pengamatan sinar dan daya adaptasi terhadap kegelapan menjadi

lebih lambat dan sulit untuk melihat dalam keadaan gelap,

hilangnya daya akomodasi, menurunnya lapang pandang, dan

menurunnya daya untuk membedakan antara warna biru dengan

hijau pada skala pemeriksaan.

5) Sistem kardiovaskular

Elastisitas dinding aorta menurun, katup jantung menebal dan

menjadi kaku, kemampuan jantung memompa darah menurun 1%

setiap tahun sesudah berumur 20 tahun, hal ini menyebabkan

menurunnya kontraksi dan volumenya. Kehilangan elastisitas

pembuluh darah, kurangnya efektivitas pembuluh darah perife

untuk oksigenasi, sering terjadi postural hipotensi, tekanan darah

meningkat diakibatkan oleh meningkatnya resistensi dari pembuluh

darah perifer.

6) Sistem pengaturan suhu tubuh

Suhu tubuh menurun (hipotermia) secara fisiologis ± 350C, hal ini

diakibatkan oleh metabolisme yang menurun, keterbatasan refleks

menggigil dan tidak dapat memproduksi panas yang banyak

sehingga terjadi rendahnya aktivitas otot.

7) Sistem pernapasan

Otot-otot pernapasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku,

menurunnya aktivitas dari silia, paru-paru kehilangan elastisitas


sehingga kapasitas residu meningkat, menarik napas lebih berat,

kapasitas pernapasan maksimum menurun, dan kedalaman

bernapas menurun. Ukuran alveoli melebar dari normal dan

jumlahnya berkurang, oksigen pada arteri menurun menjadi 75

mmHg, kemampuan untuk batuk berkurang, dan penurunan

kekuatan otot pernapasan.

8) Sistem gastrointestinal

Kehilangan gigi, indra pengecapan mengalami penurunan,

esofagus melebar, sensitivitas akan rasa lapar menurun, produksi

asam lambung dan waktu pengosongan lambung menurun,

peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi, fungsi absorbsi

menurun, hati (liver) semakin mengecil dan menurunnya tempat

penyimpanan, serta berkurangnya suplai aliran darah.

9) Sistem genitourinaria

Ginjal mengecil dan nefron menjadi strofi, aliran darah ke ginjal

menurun hingga 50%, fungsi tubulus berkurang (berakibat pada

penurunan kemampuan ginjal untuk mengonsentrasikan urine,

berat jenis urine menurun, proteinuria biasanya +1), blood urea

nitrogen (BUN) meningkat hingga 21mg%, nilai ambang ginjal

terhadap glukosa meningkat. Otot-otot kandung kemih (vesica

urinaria) melemah, kapasitasnya menurun hingga 200ml dan

menyebabkan frekuensi buang air kecil meningkat, kandung kemih

sulit dikosongkan sehingga meningkatkan retensi urine. Pria


dengan usia 65 tahun ke atas sebagian besar mengalami

pembesaran prostat hingga ± 75% dari besar normalnya.

10) Sistem endokrin

Menurunnya produksi ACTH, TSH, FSH, dan LH, aktivitas tiroid,

basal metabolic rate (BMR), daya pertukaran gas, produksin

aldosteron, serta sekresi hormon kelamin seperti progesteron,

estrogen dan testosteron.

11) Sistem integumen

Kulit menjadi keriput akibat kehilangan jaringan lemak,

permukaan kulit kasar dan bersisik, menurunnya respons terhadap

trauma, mekanisme proteksi kulit menurun, kulit kepala dan

rambut menipis serta brwarna kelabu, rambut dalam hidung dan

telinga menebal, berkurangnya elastisitas akibat menurunnya

cairan dan vaskularisasi, pertumbuhan kuku lebih lambat, kuku jari

menjadi keras dan rapuh, kuku kaki tumbuh secara berlebihan dan

seperti tanduk, kelenjar keringat berkurang jumlahnya dan

fungsinya, kuku menjadi pudar dan kurang bercahaya.

12) Sistem muskuloskeletal

Tulang kehilangan kepadatannya (density) dan semakin rapuh,

kifosis, persendian membesar dan menjadi kaku, tendon mengerut

dan mengalami sklerosis, atrofi serabut otot sehingga gerak

seseorang menjadi lambat, otot-otot kram dan menjadi tremor.


b. Perubahan mental

Faktor-faktor yang memengaruhi perubahan mental adalah

perubahan fisik, kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan

(bereditas), lingkungan, tingkat kecerdasan (intellegence quotient-I.Q),

dan kenangan (memory). Kenangan dibagi menjadi dua, yaitu

kenangan jangan panjang (berjam-jam sampai berhari-hari yang lalu)

mencakup beberapa perubahan dan kenangan angka pendek atau

seketika (0-10 menit) biasanya dapat berupa kenangan buruk.

c. Perubahan psikososial

Perubahan psikososial terjadi terutama setelah seseorang

mengalami pensiun. Berikut ini adalah hal-hal yang akan terjadi pada

masa pensiun :

1) Kehilangan sumber finansial atau pemasukan (income) berkurang.

2) Kehilangan status karena dulu mempunyai jabatan posisi yang

cukup tinggi, lengkap dengan segala fasilitasnya.

3) Kehilangan teman atau relasi.

4) Kehilangan pekerjaan atau kegiatan.

5) Merasakan atau kesadaran akan kematian (sense of awareness of

mortality).

(Efendi, 2009)
5. Tipe Lansia

Dalam Nugroho (2000), banyak ditemukan bermacam-macam tipe

lansia. Beberapa yang menonjol diantaranya :

a. Tipe arif bijaksana

Lansia ini kayadengan hikmah pengalaman, menyesuaikan diri dengan

perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati,

sederhana, dermawan, memenuhi undangan dan menjadi panutan.

b. Tipe mandiri

Lansia kini senang mengganti kegiatan yang hilang dengan kegiatan

yang baru, selektif dalammencari pekerjaan dan teman pergaulan, serta

memenuhi undangan.

c. Tipe tidak puas

Lansia yang selalu mengalami konflik lahir batin, menentang proses

penuaan yang menyebabkan kehilangan kecantikan, kehilangan daya

tarik jasmani, kehilangan kekuasaan, status, teman yang disayangi,

pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, menuntut, sulit dilayani, dan

pengkritik.

d. Tipe pasrah

Lansia yang selalu menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti

kegiatan beribadah, ringan kaki, melakukan berbagai jenis pekerjaan.

e. Tipe bingung

Lansia yang sering kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri,

merasa minder, menyesal, pasif, acuh tak acuh.


Lansia dapat pula dikelompokkan dalam beberapa tipe yang

bergantung pada karakter, pengalaman hidup, lingkungan, kondisi fisik,

mental, sosial dan ekonominya. Tipe ini antara lain :

a. Tipe optimis

Lansia santai dan periang, penyesuaian cukup baik, memandang lansia

dalam bentuk bebas dari tanggung jawab dan sebagai kesempatan

untuk menuruti kebutuhan pasifnya.

b. Tipe konstruktif

Mempunyai integritas baik, dapat menikmati hidup, mempunyai

toleransi tinggi, humoris, fleksibel dan sadar diri. Biasanya sifat ini

terlihat sejak muda.

c. Tipe ketergantungan

Lansia ini masih dapat diterima di tengah masyarakat, tetapi selalu

pasif, tidak berambisi, masih sadar diri, tidak mempunyai inisiatif, dan

tidak praktis dalam bertindak.

d. Tipe defensit

Sebelumnya mempunyai riwayat pekerjaan / jabtana yang tidak stabil,

selalu menolak bantuan, emosi sering tidakterkontrol, memegang

teguh kebiasaan, bersifat kompulsif aktif, takut menghadapi “menjadi

tua” dan menyenangi masa pensiun.

e. Tipe militan dan serius

Lansia yang tidak mudah menyerah, serius, senang berjuang dan bisa

menjadi panutan.
f. Tipe pemarah frustasi

Lansia yang pemerah, tidak sbar, mudah tersinggung, selalu

menyalahkan orang lain, menunjukkan penyesuaian yang buruk dan

sering mengekspresikan kepahitan hidupnya.

g. Tipe bermusuhan

Lansia yang selalu menganggap orang lain yang menyebabkan

kegagalan, selalu mengeluh, bersifat agresif dan curiga. Umunya

memiliki pekerjaan yang tidak stabil di saat muda, menganggap

menjadi tua sebagai hal yang tidak baik, takut mati, iri hati pada orang

yang masih muda, senang mengadu untung pekerjaan, dan aktif

menghindari masa yang buruk.

h. Tipe putus asa, membenci dan menyalahkan diri sendiri

Bersifat kritis dan menyalahkan diri sendiri, tidak memiliki ambisi,

mengalami penurunan sosio – ekonomis, tidak dapat menyesuaikan

diri, lansia tidak hanya mengalami kemarahan, tetapi juga

depresi,menganggap usia lanjut sebagai masa yang tidak menarik dan

berguna.

(Dewi, 2014)

6. Mitos dan Stereotip Seputar Lansia

Menurut Maryam (2008) mitos-mitos seputar lansia antara lain :

a. Mitos kedamaian dan ketenangan


Adanya anggapan bahwa lansia dapat santai menikmati hidup, hasil

kerja dan jerik payahnya di masa muda. Berbagai guncangan

kehidupan seakan-akan sudah berhasil dilewati. Kenyataannya sering

ditemui lansia yang mengalami stres karena kemiskinan dan berbagai

keluhan serta penderitaan karena penyakit.

b. Mitos konservatif dan kemunduran

Konservatid berarti kolot, bersikap memperatahankan kebiasaan,

tradisi dan keadaan yang berlaku. Adanya anggapan bahwa lansia tidak

kreatif, menolak inovasi, berorientasi ke masa silam, kembali ke masa

anak-anak, sulit berubah, keras kepala dan cerewet. Kenyataannya

tidak semua lansia bersikap dan memiliki pemikiran demikian.

c. Mitos berpenyakitan

Adanya anggapan bahwa masa tua dipandang sebagai masa degenerasi

biologis yang disertai berbagai penyakit dan sakit-sakitan.

Kenyataannya tidak semua lansia berpenyakitan. Saat ini sudah banyak

jenis pengobatan serta lansia yang rajin melakukan pemeriksaan

berkala sehingga lansia tetap sehat dan bugar.

d. Mitor senilitas

Adanya anggapan bahwa sebagian lansia mengalami pikun.

Kenyataannya banyak yang masih tetap cerdas dan bermanfaat bagi

masyarakat, karena banyak cara untuk menyesuaikan diri terhadap

penurunan daya ingat.


e. Mitos tidak jatuh cinta

Adanya anggapan bahwa para lansia tidak lagi jatuh cinta dan

bergairah kepada lawan jenis. Kenyataannya, perasaan dan emosi

setiap orang berubah sepanjang masa serta perasaan cinta tidak

berhenti hanya karena mejadi tua.

f. Mitos aseksualitas

Adanya anggapan bahwa pada lansia terjadi penurunan hubungan seks,

minat, dorongan, gairah, kebutuhan dan daya seks berkurang.

Kenyataannya kehidupan seks para lansia normal-normal saja dan

tetap bergairah. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya para lansia yang

meskipun telah ditinggal mati oleh pasangannya masih memiliki

keinginan untuk menikah lagi.

g. Mitos ketidakproduktifan

Adanya anggapan bahwa para lansia tidak produktif lagi.

Kenyataannya banyak para lansia yang mencapai kematangan,

kemantapan, dan produktivitas mental maupun material.

(Dewi, 2014)

7. Tugas Perkembangan Lansia

Menurut Eicksson, kesepian lansia untuk beradaptasi atau

menyesuaikan diri terhadap perkembangan usia lanjut dipengaruhi oleh

proses tumbuh kembang pada tahap sebelumnya.


Apabila seseorang pada tahap tumbuh kembang sebelumnya

melakukan kegiatan sehari-hari dengan teratur dan baik serta membina

hubungan yang serasi dengan orang-orang di sekitarnya, maka pada usia

lanjut ia akan tetap melakukan kegiatan yang biasa ia lakukan pada tahap

perkembangan sebelumnya seperti olahraga, mengembangkan hobi

bercocok tanam, dan lain-lain. Adapun tugas perkembangan lansia adalah

sebagai berikut :

a. Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun.

b. Mempersiapkan diri untuk pensiun.

c. Membentuk hubungan baik dengan orang yang seusianya.

d. Mempersiapkan kehidupan baru.

e. Melakukan penyesuaian terhadap kehidupan sosial / masyarakat secara

santai.

f. Mempersiapkan diri untuk kematiannya dan kematian pasangan.

(Dewi, 2014)

B. KONSEP DASAR HIPERTENSI

1. Pengertian Hipertensi

Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu peningkatan

abnormal tekanan darah dalam pembuluh darah arteri secara terus-menerus

lebih dari suatu periode (Udjianti, 2010). Hipertensi juga didefinisikan

sebagai evevasi persisten dari tekanan darah sistolik (TDS) pada level 140
mmHg atau lebih dan tekanan darah diastolik (TDD) pada level 90 mmHg

atau lebih (Black, 2014).

Menurut WHO, batas tekanan darah yang masih dianggap normal

adalah kurang dari 130/85 mmHg, sedangkan bila lebih dari 140/90

mmHg dinyatakan sebagai hipertensi; dan diantara nilai tersebut disebut

sebagai normal-tinggi. Pada hipertensi sistolik terisolasi, tekanan sistolik

mencapai 140 mmHg atau lebih, tetapi tekanan diastolik kurang dari 90

mmHg dan tekanan diatolik masih dalam kisaran normal. Hipertensi ini

sering ditemukan pada usia lanjut. Sejalan dengan bertambahnya usia,

hampir setiap orang mengalami kenaikan tekanan darah. Tekanan sistolik

terus meningkat sampai usia 80 tahun dan tekanan diastolik terus

meningkat sampai usia 55-60 tahun, kemudian berkurang secara perlahan

dan bahkan menurun drastis (Triyanto, 2014).

Kaplan memberikan batasan hipertensi dengan memperhatikan usia

dan jenis kelamin diantara :

a. Pria berusia < 45 tahun, dikatakan hipertensi bila tekanan darah pada

waktu berbaring ≥ 130/90 mmHg.

b. Pria berusia > 45 tahun, dikatakan hipertensi bila tekanan darahnya >

145/95 mmHg.

c. Wanita, hipertensi bila tekanan darah ≥ 160/95 mmHg. (Udjianti,

2010)
2. Klasifikasi Hipertensi

Sebelum penulisan tabel, berikan prolog kalimat2 yg mendukung. Jangan


tiba2 ada tabel gt aja.  Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi Pada Klien
Berusia ≥ 18 Tahun

Batas Tekanan Darah (mmHg) Kategori


Diastolik
< 85 Tekanan darah normal.
85 – 89 Tekanan darah normal – tinggi.
90 – 104 Hipertensi ringan.
105 – 114 Hipertensi sedang.
≥ 115 Hipertensi berat.
Sistolik, saat diastolik < 90 mmHg
< 140 Tekanan darah normal.
140 – 159 Garis batas hipertensi sistolik terisolasi.
≥ 160 Hipertensi sistolik terisolasi.

Tabel 2.2 Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan Level Tekanan Darah

Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik Blood Pressure


(SBP dan DBP)
Normotensi < 140 SBP dan < 90 DBP
Hipertensi ringan 140 – 180 SBP atau 90 – 105 DBP
Subgroup : garis batas 140 – 160 SBP atau 90 – 105 DBP
Subgroup : garis batas 140 – 160 SBP dan < 90 DBP
Hipertensi sedang dan berat >180 SBP atau > 105 DBP
Hipertensi sistolik terisolasi >140 SBP dan < 90 DBP
(Udjianti, 2010)

3. Penyebab Hipertensi

a. Hipertensi esensial atau primer

Penyebab pasti dari hipertensi esensial sampai saat ini masih belum

dapat diketahui. Kurang lebih 90% penderita hipertensi tergolong

hipertensi esensial sedangkan 10% nya tergolong hipertensi sekunder.

Pada hipertensi primer tidak ditemukan penyakit renovaskuler,

aldosteronism, pheochro-mocytoma, gagal ginjal, dan penyakit lainnya


(Triyanto, 2014). Beberapa faktor diduga berkaitan dengan

berkembangnya hipertensi esensial seperti berikut ini :

1) Genetik : individu yang mempunyai riwayat keluarga dengan

hipertensi, berisiko tinggi untuk mendapatkan penyakit ini.

2) Jenis kelamin dan usia : laki-laki berusia 35 – 50 tahun dan wanita

pasca menopause berisiko tinggi untuk mengalami hipertensi.

3) Diet : konsumsi diet tinggi garam atau lemak secara langsung

berhubungan dengan berkembangnya hipertensi.

4) Berat badan : obesitas (> 25% di atas BB ideal) dikaitkan dengan

berkembangnya hipertensi.

5) Gaya hidup : merokok dan konsumsi alkohol dapat meningkatkan

tekanan darah, bila gaya hidup menetap. ( Udjianti, 2010)

b. Hipertensi sekunder

Merupakan 10% dari seluruh kasus hipertensi adalah hipertensi

sekunder, yang didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah

karena suatu kondisi fisik yang ada sebelumnya seperti penyakit ginjal

atau gangguan tiroid. Faktor pencetus munculnya hipertensi sekunder

antara lain : penggunaan kontrasepsi oral, coarctation aorta, neurognik

(tumor otak, ensefalitis, gangguan psikiatris), kehamilan, peningkatan

volume intravaskular, lukabakar, dan stres (Udjianti, 2010).

4. Faktor Risiko Hipertensi

a. Faktor-faktor risiko yang tidak dapat diubah


1) Riwayat keluarga

Hipertensi dianggap poligenik dan multifaktorial yaitu,

pada seseorang dengan riwayat hipertensi keluarga, beberapa gen

mungkin berinteraksi dengan yang lainnya dan juga lingkungan

yang dapat menyebabkan tekanan darah naik dari waktu ke waktu.

Kecenderungan genetis yang membuat keluarga tertentu lebih

rentan terhadap hipertensi mungkin berhubungan dengan

peningkatan kadar natrium intraselular dan penurunan rasio

kalsium-natrium, yang lebih sering ditemukan pada orang berkulit

hitam. Klien dengan orang tua yang memiliki hipertensi berada

pada risiko hipertensi yang lebih tinggi pada usia muda.

2) Usia

Hipertensi primer biasanya muncul antara usia 30-50 tahun.

Peristiwa hipertensi meningkat dengan usia; 50-60% klien yang

berumur lebih dari 60 tahun memiliki tekanan darah lebih 140/90

mmHg. Hipertensi sistolik terisolasi umumnya terjadi pada orang

yang berusia lebih dari 50 tahun, dengan hampir 24% dari semua

orang terkena pada usia 80 tahun. Diantara orang dewasa,

pembacaan TDS lebih baik daripada TDD karena merupakan

predikator yang lebih baik untuk kemungkinan kejadian di masa

depan seperti penyakit jantung koroner, stroke, gagal jantung, dan

penyakit ginjal.
3) Jenis kelamin

Hipertensi lebih banyak terjadi pada pria dibandingkan

wanita sampai kira-kira usia 55 tahun. Risiko pada pria dan wanita

hampir sama antara usia 55 sampai 74 tahun; kemudian, setelah

usia 74 tahun, wanita berisiko lebih besar.

4) Etnis

Statistik mortalitas mengindikasikan bahwa angka kematian

pada wanitaberkulit putih dwasa dengan hipertensi lebih rendah

pada angka 4,7%; pria berkulit putih pada tingkat terendah

berikutnya yaitu 6,3%, dan pria berkulit hitam pada tingkat

terendah berikutnya yaitu 22,5%; angka kematian tertinggi pada

wanita berkulit hitam pada angka 29,3%. Alasan peningkatan

prevalensi hipertensi di antara orang berkulit hitam tidaklah jelas,

akan tetapi peningkatannya dikaitkan dengan kadar renin yang

lebih rendah, sensitivitas yang lebih besar terhadap vasopresin,

tingginya asupan garam, dan tingginya stres lingkungan. (Black.

2014)

b. Faktor-faktor risiko yang dapat diubah

1) Obesitas

Obesitas adalah suatu keadaan penumpukan lemak berlebih

dalam tubuh. Obesitas dapat diketahui dengan menghitung Indeks

Massa Tubuh (IMT). Seseorang dikatakan mengalami obesitas jika


hasil perhitungan IMT berada di atas 25 kg/m2. Hal tersebut

berdasarkan klasifikasi IMT menurut Depkes RI tahun 1994

sebagaimana tercantum pada tabel berikut.

Tabel 2.3 Kategori Indeks Massa Tubuh (IMT)

Kategori IMT (kg/m2)


Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0
Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,0 – 18,4
Normal 18,5 – 25,0
Kelebihan berat badan tingkat ringan 25,1 – 27,0
Kelebihan berat badan tingkat berat >27,0

Obesitas dapat memicu terjadinya hipertensi akibat

terganggunya aliran darah. Dalam hal ini, orang dengan obesitas

biasanya mengalami peningkatan kadar lemak dalam darah

(hiperlipidemia) sehingga berpotensi menimbulkan penyempitan

pembuluh darah (aterosklerosis).

2) Merokok

Merokok juga dapat menjadi salah satu faktor pemicu

terjadinya hipertensi. Merokok juga dapat menyebabkan denyut

jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot jantung

mengalami peningkatan. Bagipenderita yang memiliki

aterosklerosis atau penumpukan lemak pada pembuluh darah,

merokok dapat memperparah kejadian hipertensi dan berpotensi

pada penyakit degeneratif lain seperti stroke dan penyakit jantung.

Pada umumnya, rokok mengandung berbagai zat kimia

berbahaya seperti nikotin dan karbon monoksida. Zat tersebut akan


terisap melalui rokok sehingga masuk ke aliran darah dan

menyebabkan kerusakan lapisan endotel pembuluh darah arteri,

serta mempercepat terjadinya aterosklerosis.

Dalam hal ini, karbon monoksida menggantikan ikatan

oksigen dalam darah sehingga memaksa jantung memompa untuk

memasukkan oksigen yang cukup dalam organ dan jaringan tubuh.

Hal inilah yang dapat meningkatkan tekanan darah.

3) Konsumsi alkohol dan kafein berlebih

Alkohol juga diketahui menjadi salah satu faktor risiko

terjadinya hipertensi. Hal tersebut diduga akibat adanya

peningkatan kadar kortisol, peningkatan volume sel darah merah,

dan kekentalan darah yang mengakibatkan peningkatan tekanan

darah.

Sementara itu, kafein diketahui dapat membuat jantung

berpacu lebih cepat sehingga mengalirkan darah lebih banyak

setiap detiknya. Akan tetapi, dalam hal ini, kafein memiliki reaksi

yang berbeda pada setiap orang.

4) Konsumsi garam berlebih

Sudah banyak diketahui bahwa konsumsi garam berlebihan

dapat menyebabkan hipertensi. Hal tersebut dikarenakan garam

(NaCl) mengandung natrium yang dapat menarik cairan di luar sel

agar tidak dikeluarkan sehingga menyebabkan penumpukan cairan


dalam tubuh. Hal inilah yang membuat peningkatan volume dan

tekanan darah.

5) Stres

Stres juga dapat menjadi faktor risiko terjadinya hipertensi.

Kejadian hipertensi lebih besar terjadi pada individu yang memiliki

kecenderungan stres emosional. Keadaan seperti tekanan, murung,

dendam, takut, dan rasa bersalah dapat merangsang timbulnya

hormon adrenalin dan memicu jantung berdetak lebih kencang

sehingga memicu peningkatan tekanan darah.

6) Keseimbangan hormonal

Keseimbangan hormonal antara estrogen dan progesteron

dapat mempengaruhi tekanan darah. Dalam hal ini, wanita

memiliki hormon estrogen yang berfungsi mencegah terjadinya

pengentalan darah dan menjaga dinding pembuluh darah. Jika

terjadi ketidakseimbangan maka dapat memicu gangguan pada

pembuluh darah. Gangguan tersebut berdampak pada peningkatan

tekanan darah. Gangguan keseimbangan hormonal ini biasanya

dapat terjadi pada penggunaan alat kontrasepsi hormonal seperti pil

KB. (Tim Bumi Medika, 2017)

5. Patofisiologi

Meningkatnya tekanan darah di dalam arteri bisa terjadi melalui

beberapa cara yaitu jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan


lebih banyak cairan pada setiap detiknya arteri besar kehilangan

kelenturannya dan menjadi kaku sehingga mereka tidak dapat

mengembang pada saat jantung memompa darah melalui arteri tersebut.

Darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh yang

sempit daripada biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan. Inilah yang

terjadi pada usia lanjut, dimana dinding arterinya telah menebal dan kaku

karena arterioskalierosis.

Dengan cara yang sama, tekanan darah juga meningkat pada saat

terjadi vasokontriksi, yaitu jika arteri kecil (arteriola) untuk sementara

waktu mengkerut karena perangsangan saraf atau hormon di dalam darah.

Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan meningkatnya

tekanan darah. Hal ini terjadi jika terdapat kelainan fungsi ginjal sehingga

tidak mampu membuang sejumlah garam dan air dari dalam tubuh.

Volume darah dalam tubuh meningkat sehingga tekanan darah juga

meningkat.

Sebaliknya, jika aktivitas memompa jantung berkurang, arteri

mengalami pelebaran, banyak cairan keluar dari sirkulasi, maka tekanan

darah akan menurun. Penyesuaian terhadap faktor-faktor tersebut

dilaksanakan oleh perubahan di dalam fungsi ginjal dan sistem saraf

otonom (bagian dari sistem saraf yang mengatur berbagai fungsi tubuh

secara otomatis). Perubahan fungsi ginjal, ginjal mengendalikan tekanan

darah melalui beberapa cara : jika tekanan darah meningkat, ginjal akan
menambah pengeluaran garam dan air, yang akan menyebabkan

berkurangnya volume darah dan mengembalikan tekanan darah ke normal.

Jika tekanan darah menurun, ginjal akan mengurangi pembuangan

garam dan air, sehingga volume darah bertambah dan tekanan darah

kembali normal. Ginjal juga bisa meningkatkan tekanan darah dengan

menghasilkan enzim yang disebut renin, yang memicu pembentukan

hormon angiotensi, yang selanjutnya akan memicu pelepasan hormon

aldosteron. Ginjal merupakan organ penting dalam mengendalikan

tekanan darah; karena itu berbagai penyakit dan kelainan pada ginjal dapat

menyebabkan terjadinya tekanan darah tinggi. Misalnya penyempitan

arteri yang menuju ke salah satu ginjal (stenosis arteri renalis) bisa

menyebabkan hipertensi. Peradangan dan cidera pada salah satu atau

kedua ginjal juga bisa menyebabkan naiknya tekanan darah.

Sistem saraf simpatis merupakan bagian dari sistem saraf otonom

yang untuk sementara waktu akan meningkatkan tekanan darah selama

respon fight-or-flight (reaksi fisik tubuh terhadap denyut jantung; dan juga

mempersempit sebagian besar arteriola, tetapi memperlebar arteriola di

daerah tertentu (misalnya otot rangka yang memerlukan pasokan darah

yang lebih banyak); mengurangi pembuangan air dan garam oleh ginjal,

sehingga akan meningkatkan volume darah dalam tubuh; melepaskan

hormon epinefrin (adrenalin) dan norepinefrin (noradrenalin), yang

merangsang jantung dan pembuluh darah. Faktor stress merupakan satu


faktor pencetus terjadinya peningkatan tekanan darah dngan proses

pelepasan hormon epinefrin dan norepinefrin. (Triyanto, 2014)

6. Manifestasi Klinik

Biasanya tanpa gejala atau tanda-tanda peringatan untuk hipertensi

dan sering disebut “silent killer”. Pada kasus hipertensi berat, gejala yang

dialami klien antara lain : sakit kepala (rasa berat di tengkuk), palpitasi,

kelelahan, nausea, vomiting, ansietas, keringat berlebihan, tremor otot,

nyeri dada, epistaksis, pandangan kabur atau ganda, tinnitus (telinga

berdenging), serta kesulitan tidur (Udjianti, 2010).

Corwin (2000) menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis

timbul setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun berupa nyeri kepala

saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan

tekanan darah intracranial. Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai

kelainan apapun selain tekanan darah yang tinggi, tetapi dapat pula

ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan, eksudat (kumpulan

cairan), penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat, edema pupil

(edema pada diskus optikus). Gejala lain yang umumnya terjadi pada

penderita hipertensi yaitu pusing, muka merah, sakit kepala, keluaran

darah dari hidung secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal dan lain-lain

(Triyanto, 2014).

7. Komplikasi Hipertensi
Stroke dapat timbul akibat perdarahan tekanan tinggi di otak, atau

akibat embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan

tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-

arteri yang memperdarahi otak mengalami hipertropi dan menebal,

sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahinya berkurang.

Arteri-arteri otak yang mengalami arterosklerosis dapat menjadi lemah,

sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma. Gejala

terkena stroke adalah sakit kepala secara tiba-tiba seperti, orang bingung,

limbung atau bertingkah laku seperti orang mabuk, salah satu bagian tubuh

terasa lemah atau sulit digerakkan (misalnya wajah, mulut, atau lengan

terasa kaku, tidak dapat berbicara secara jelas) serta tidak sadarkan diri

secara mendadak.

Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang

arterosklerosis tidak dapat menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau

apabila terbentuk trombus yang menghambat aliran darah melalui

pembuluh darah tersebut. Hipertensi kronik dan hipertensi ventrikel, maka

kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat terpenuhi dan dapat

terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark. Demikian juga

hipertropi ventrikel dapat menimbulkan perubahan-perubahan waktu

hantaran listrik melintasi ventrikel sehingga terjadi disritmia, hipoksia

jantung, dan peningkatan resiko pembentukan bekuan.

Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat

tekanan tinggi pada kepiler-kapiler ginjal, glomerolus. Dengan rusaknya


glomerolus, darah akan mengalir ke unit-unit fungsional ginjal, nefron

akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksia dan kematian.

Dengan rusaknya membran glomerolus, protein akan keluar melalui urin

sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang, menyebabkan edema

yang sering dijumpai pada hipertensi kronik.

Ketidakmampuan jantung dalam memompa darah yang

kembalinya ke jantung dengan cepat mengakibatkan cairan terkumpul di

paru, kaki dan jaringan lain sering disebut edema. Cairan didalam paru-

paru menyebabkan sesak napas, timbunan cairan ditungkai menyebabkan

kaki bengkak atau sering dikatakan edema. Ensefalopati dapat terjadi

terutama pada hipertensi meligna (hipertensi yang cepat). Tekanan yang

tinggi pada kelainan ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan

mendorong cairan ke dalam ruang intertisium di seluruh susunan saraf

pusat. Neuron-neuron di sekitarnya kolap dan terjadi koma.

C. TERAPI RELAKSASI OTOT PROGRESIF

1. Pengertian Relaksasi Otot Progresif

Relaksasi otot progresif adalah teknik relaksasi otot dalam yang

tidak memerlukan imajinasi, ketekunan, atau sugesti. Terapi relaksasi otot

progresif memusatkan perhatian pada suatu aktivitas otot dengan

mengidentifikasi otot yang tegang kemudian menurunkan ketegangan

dengan melakukan teknik relaksasi untuk mendapatkan perasaan relaks

(Setyoadi, 2011).
Respon relaksasi diperkirakan menghambat sistem saraf otonom

dan sistem saraf pusat dan meningkatkan aktivitas parasimpatis yang

dikarakteristikkandengan menurunnya otot rangka, tonus otot jantung dan

menggangu fungsi neuroendokrin. Agar memperoleh manfaat dari respons

relaksasi, ketika melakukan teknik ini diperlukan lingkungan yang tenang,

posisi yang nyaman (Triyanto, 2014).

2. Tujuan Terapi Relaksasi Otot Progresif

Menurut Herodes (2010), Alim (2009), dan Potters (2005), tujuan Commented [DH6]: Tahunnya yg lama diganti saja. Cari yg
terbaru.

dari teknik ini adalah untuk :

a. Menurunkan ketegangan otot, kecemasan, nyeri leher dan punggung,

tekanan darah tinggi, frekuensi jantung, laju metabolik.

b. Mengurangi disritmia jantung, kebutuhan oksigen.

c. Meningkatkan gelombang alfa otak yang terjadi ketika klien sadar dan

tidak memfokuskan perhatian serta relaks.

d. Meningkatkan rasa kebugaran, konsentrasi.

e. Memperbaiki kemampuan untuk mengatasi stres.

f. Mengatasi insomnia, depresi, kelelahan, iritabilitas, spasme otot, fobia

ringan, gagap ringan.

g. Membangun emosi positif dari emosi negatif. (Setyoadi, 2011)

3. Indikasi Terapi Relaksasi Otot Progresif lha indikasi HT tdk ada.

a. Lansia yang mengalami gangguan tidur (insomnia).


b. Lansia yang sering mengalami stres.

c. Lansia yang mengalami kecemasan.

d. Lansia yang mengalami depresi (Setyoadi, 2011).

4. Kontraindikasi Terapi Relaksasi Otot Progresif

a. Lansia yang mengalami keterbatasan gerak, misalnya tidak bisa

menggerakkan badannya.

b. Lansia yang menjalani perawatan tirah baring (bed rest).

(Setyoadi, 2011).

5. Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan

Berikut adalah hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan

kegiatan terapi relaksasi otot progresif :

a. Jangan terlalu menegangkan otot berlebihan karena dapat melukai diri

sendiri.

b. Dibutuhkan waktu sekitar 20-50 detik untuk membuat otot-otot relaks.

c. Perhatikan posisi tubuh, lebih nyaman dengan mata tertutup. Hindari

dengan posisi berdiri.

d. Menegangkan kelompok otot dua kali tegangan.

e. Melakukan pada bagian kanan tubuh dua kali, kemudian bagian kiri

dua kali.

f. Memeriksa apakah klien benar-benar relaks.

g. Terus-menerus memberikan instruksi.

h. Memberikan instruksi tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat.


(Setyoadi, 2011)

6. Teknik Terapi Relaksasi Otot Progresif

a. Persiapan

Persiapan alat dan lingkungan : kursi, bantal, serta lingkungan yang

tenang dan sunyi.

Persiapan klien :

1) Jelaskan tujuan, manfaat, prosedur dan pengisian lembar

persetujuan terapi kepada klien.

2) Posisikan tubuh klien secara nyaman yaitu berbaring dengan mata

tertutup menggunakan bantal di bawah kepala dan lutut atau duduk

di kursi dengan kepala ditopang, hindari posisi berdiri.

3) Lepaskan asesoris yang digunakan seperti kacamata, jam dan

sepatu.

4) Longgarkan ikatan dasi, ikat pinggang atau hal lain yang sifatnya

mengikat ketat.

b. Prosedur

Gerakan 1 : ditujuka untuk melatih otot tangan.

1) Genggam tangan kiri sambil membuat suatu kepalan.

2) Buat kepalan semakin kuat sambil merasakan sensasi ketegangan

yang terjadi.
3) Pada saat kepalan dilepaskan, klien dipandu untuk merasakan

relaks selama 10 detik.

4) Gerakan pada tangan kiri ini dilakukan dua kali sehingga klien

dapat membedakan perbedaan antara ketegangan otot dan keadaan

rileks yang dialami.

5) Prosedur serupa juga dilatihkan pada tangan kanan.

Gerakan 2 : ditujukan untuk melatih otot tangan bagian belakang.

Tekuk kedua lengan ke belakang pada pergelangan tangan sehingga

otot di tangan bagian belakang dan lengan bawah menegang, jari-jari

menghadap ke langit-langit. Gerakan melatih otot tangan bagian depan

dan belakang ditunjukkan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Latihan Otot Progresif Gerakan 1 dan 2


Gerakan 3 : ditujukan untuk melatih otot biseps (otot besar pada

bagian atas pangkal lengan).

1) Genggam kedua tangan sehingga menjadi kepalan.

2) Kemudian membawa kedua kepalan ke pundak sehingga otot

biseps akan menjadi tegang.

Gambar 2.2 Latihan Otot Progresif Gerakan 3

Gerakan 4 : ditujukan untuk melatih otot bahu supaya mngendur.

1) Angkat kedua bahu setinggi-tingginya seakan-akan hingga

menyentuh kedua telinga.

2) Fokuskan perhatian gerakan pada kontras ketegangan yang terjadi

di bahu, punggung atas dan leher.


Gambar 2.3 Latihan Otot Progresif Gerakan 4

Gerakan 5 dan 6 : ditujukan untuk melemaskan otot-otot wajah (seperti

otot dahi, mata, rahang, dan mulut).

1) Gerakkan otot dahi dengan cara mengerutkan dahi dan alis sampai

otot terasa dan kulitnya keriput.

2) Tutup keras-keras mata sehingga dapat dirasakan ketegangan di

sekitar mata dan otot-otot yang mengendalikan gerakan mata.

Gerakan 7 : ditujukan untuk mengendurkan ketegangan yang dialami

oleh otot rahang. Karupkan rahang, diikuti dengan menggigit gigi

sehingga terjadi ketegangan di sekitar otot rahang.

Gerakan 8 : ditujukan untuk mengendurkan otot-otot sekitar mulut.

Bibir dimoncongkan sekuat-kuatnya sehingga akan dirasakan

ketegangan di sekitar mulut.


Gambar 2.4 Latihan Otot Progresif Gerakan 5-8

Gerakan 9 : ditujukan untuk merilekskan otot leher bagian depan

maupun belakang.

1) Gerakan diawali dengan otot leher bagian belakang baru kemudian

otot leher bagian depan.

2) Letakkan kepala sehingga dapat beristirahat.

3) Tekan kepala pada permukaan bantalan kursi sedemikian rupa

sehingga dapat merasakan ketegangan di bagian belakang leher dan

punggung atas.

Gerakan 10: ditujukan untuk melatih otot leher bagian depan.

1) Gerakan membawa kepala ke muka.

2) Benamkan dagu ke dada, sehingga dapat merasakan ketegangan di

daerah leher bagian muka.

Gerakan 11 : ditujukan untuk melatih otot punggung.

1) Angkat tubuh dari sandaran kursi.

2) Punggung dilengkungkan.

3) Busungkan dada, tahan kondisi tegang selama 10 detik, kemudian

rileks.

4) Saat rileks, letakkan tubuh kembali ke kursi sambil membiarkan

otot menjadi lemas.


Gerakan 12 : ditujukan untuk melemaskan otot dada.

1) Tarik napas panjang untuk mengisi paru-paru dengan udara

sebanyak-banyaknya.

2) Ditahan selama beberapa saat, sambil merasakan ketegangan di

bagian dada sampai turun ke perut, kemudian dilepas.

3) Saat ketegangan dilepas, lakukan napas normal dengan lega.

4) Ulangi sekali lagi sehingga dapat dirasakan perbedaan antara

kondisi tegang dan rileks.

Gambar 2.5 Latihan Otot Progresif Gerakan 9-12

Gerakan 13 : ditujukan untuk melatih otot perut.

1) Tarik dengan kuat perut ke dalam.


2) Tahan sampai kencang dan keras selama 10 detik, lalu dilepaskan

bebas.

3) Ulangi kembali seperti gerakan awal untuk perut ini.

Gerakan 14-15 : ditujukan untuk melatih otot-otot kaki (seperti paha

dan betis).

1) Luruskan kedua telapak kaki sehingga otot pada terasa tegang.

2) Lanjutkan dengan mengunci lutut sedemikian rupa sehingga

ketegangan pindah ke otot betis.

3) Tahan posisi tegang selama 10 detik, lalu dilepas.

4) Ulangi setiap gerakan masing-masing dua kali.

Gambar 2.6 Latihan Otot Progresif Gerakan 13-15

(Setyoadi, 2011)
D. TERAPI MUSIK perhatikan literature yg ada. 1 paragraf minimal 2-3

literatur.

1. Pengertian Terapi Musik

Terapi musik adalah sebuah proses interpersonal dimana tenaga

yang terlatih menggunakan musik untuk membantu meningkatkan dan

mempertahankan kesehatan pasien secara fisikal, emosional, intelektual,

sosial dan spiritual (Nurgiwiati, 2015). Hal ini dikarenakan, musik

memiliki beberapa kelebihan, seperti musik bersifat universal, nyaman,

menyenangkan dan berstruktur (Nurrahmani, 2017).

Intervensi dengan terapi musik dapat mengubah secara efektif

ambang otak kita yang dalam keadaan stres menjadi secara fisiologis lebih

adaptif. Musik tidak membutuhkan otak untuk berpikir maupun

menginterpretasi, tidak pula dibatasi oleh fungsi intelektual maupun

pikiran mental. Semua jenis musik sebenarnya dapat digunakan sebagai

terapi musik. Seperti lagu-lagu relaksasi, lagu popular maupun musik

klasik. Nurrahmi 2017 menyebutkan dalam memilih lagu dengan tempo

sekitar 60 ketukan / menit yang bersifat rileks, karena apabila terlalu cepat

maka secara tidak sadar stimulus yang masuk akan membuat kita

mengikuti irama tersebut, sehingga keadaan istirahat yang optimal tidak

tercapai. Musik klasik seringkali menjadi acuan untuk terapi musik,

diantaranya karya Mozart, karena hampir semua karya Mozart memiliki

nada-nada dengan frekuensi tinggi, rentang nada begitu luas dan tempo

yang dinamis (Nurrahmani, 2017).


Rangsangan musik tampak mengaktivasi jalur-jalur spesifik di

dalam beberapa area otak, seperti sistem limbikyang berhubungan dengan

perilaku emosional. Dengan mendengarkan musik, sistem limbik ini

teraktivasi dan individu tersebut pun menjadi rileks. Saat keadaan rileks

inilah tekanan darah menurun. Selain itu pula alunan musik dapat

menstimulus tubuh untuk memproduksi molekul yang disebut nitric oxide

(NO). Molekul ini bekerja pada tonus pembuluh darah sehingga dapat

mengurangi tekanan darah (Nurrahmani, 2017).

2. Tujuan Terapi Musik

Terapi musik yang diberikan kepada pasien bertujuan

mengembangkan fungsi kounikasi, kognitif, motorik, emosional dan

kemampuan sosial dengan cara mendengarkan, membayangkan dan

menyanyikan lagu, memainkan instrument musik, bergerak mengikuti

irama musik / berjoget, mendiskusikan / mengekspresikan fikiran dan

perasaan dan menciptakan lagu / musik. Jenis musik yang digunakan

dalam terapi musik adalah disesuaikan dengan tujuan terapi bagi pasien

(Nurgiwiati, 2015).

3. Manfaat Terapi Musik

Terapi musik merupakan pengobatan secara holistik yang langsung

menuju pada simptom penyakit. Terapi ini akan berhasil jika ada

kerjasama antara klien dengan terapis. Proses penyembuhan sepenuhnya


tergantung pada kondisi klien, apakah seseorang benar-benar siap

menerima proses secara keseluruhan. Terapi musik memiliki beberapa

manfaat, diantaranya :

a. Musik pada bidang kesehatan

1) Menurunkan tekanan darah

Melalui ritmik musik yang stabil memberi irama teratur pada

sistem kerja jantung manusia.

2) Menstimulasi kerja otak

Mendengar musik dengan harmony yang baik akan menstimulasi

otak untuk melakukan proses analisa terhadap lagu tersebut.

3) Meningkatkan imunitas tubuh

Suasana yang ditimbulkan oleh musik akan mempengaruhi sistem

kerja hormon manusia, jika kita mendengar musik yang baik /

positif maka hormon yang menigkatkan imunitas tubuh juga akan

berproduksi.

4) Memberi keseimbangan pada detak jantung dan denyut nadi.

b. Musik meningkatkan kecerdasan

1) Daya ingat

Menyanyi dengan menghafalkan lirik lagu, akan melatih daya

ingat.

2) Konsentrasi

Saat terlibat dalam bermusik (menyanyi, bermain instrumen) akan

menyebabkan otak bekerja secara terfokus.


3) Emosional

Musik mampu memberi pengaruh secara emosional terhadap

mahluk hidup.

c. Musik meningkatkan kerja otot - mengaktifkan motorik kasar dan

halus, musik untuk gerak tubuh (menari, olahraga dan sebagainya).

d. Musik meningkatkan produktifitas, kreatifitas dan imajinasi.

e. Musik menyebabkan tubuh menghasilkan hormon beta-endorfin.

Ketika mendengar suara kita sendiri yang indah maka hormon

‘kebahagiaan’ (beta-endorfin) akan berproduksi.

f. Musik membentuk sikap seseorang – meningkatkan mood. Karakter

mahlk hidup dapat terbentuk melalui musik, rangkaian nada yang

indah akan membangkitkan perasaan bahagia / semangat positif.

g. Musik mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan sosialisasi

karena dalam bermusik dibutuhkan komunikasi.

h. Meningkatkan visualisasi melalui warna musik – musik mampu

membangkitkan imajinasi melalui rangkaian nada-nada harmonisnya.

Terapi musik menyembuhkan secara fisik dan psikis manusia. Para

peneliti dari The Neuro, melalui MRI scan membuktikan bahwa otak

melepas zat dopamin (hormon yang terkait dengan sistem otak,

memberikan perasaan kenikmatan dan penguatan untuk memotivasi

seseorang secara proaktif melakukan kegiatan tertentu) saat melakukan

terapi musik dalam kapasitas yang tidak berlebihan (Natalina, 2013).


4. Prinsip Terapi Musik

Seluruh ahluk hidup yang terdapat dalam alam semesta di ciptakan

dari sebentuk energi. Energi tersebut bermanifestasi dalam bentuk raga

atau disebut wujud fisik. Dalam raga terdapat jiwa yang berinteraksi

dengan energi di sekelilingnya. Terapi musik adalah metode penyembuhan

dengan musik melalui energi yang dihasilkan dari musik itu sendiri.

Prinsip dalam terapimusik meliputi :

a. Semua mahluk hidup adalah musikal dan masing-masing memiliki

desain tersendiri dalam proses penyembuhan.

b. Musik merupakan ekspresi dari emosi yang ditimbulkan oleh faktor-

faktor dalam musik itu sendiri.

c. Musik merupakan fasilitator antara terapis dengan tubuh klien,

sehingga tubuh / fisik akan memberi respon terhadap energi yang

dialirkan.

d. Musik merupakan sumber emosi kebahagiaan, karena musik

menghasilkan hormon beta-endorphin dalam tubuh manusia.

e. Secara alamiah musik memberi hiburan bagi manusia, melalui tarian,

drama, nyanyian dan sebagainya.

f. Harus dibedakan dengan jelas antara terapi musik dan belajar

instrumen musik. Dua hal ini sangat berbeda, dalam terapi musik

seorang klien terlibat dalam bermusik untuk proses penyembuhan

dirinya sedangkan dalam belajar instrumen terdapat jenjang pendidikan

musik.
Terapi musik berkaitan erat dengan suara atau bunyi yang ada di

alam semesta ini. Prinsip dasar dari bunyi adalah :

a. Prinsip resonansi

Tubuh manusia akan memberi respon jika ada getaran atau frekuensi

yang masuk. Setiap sel yang terdapat dalam tubuh adalah merupakan

resonator bunyi. Sel-sel baru terbentuk pada setiap organ tubuh yang

menyebabkan sistem organ tubuh memiliki frekuensi masing-masing.

Pada saat kita sakit maka gelombang bunyi akan memberi harmoi pada

area yang terinfeksi sehingga frekuensi setiap sel bisa diperbaharui.

b. Prinsip ritmik

Ritmik mencerminkan denyut nadi manusia. Ritmik musik yang

berbeda akan memberi dampak yang berbeda terhadap sistem organ

tubuh manusia.

“no motion, no rhythm. No rhythm, no music”

c. Prinsip pitch dan timbre

Perbedaan pitch akan memberi pengaruh yang berbeda pada sistem

organ tubuh. Timbre - warna suara juga memberi respon yang berbeda,

tergantung jenis alat musik. Suara manusia memiliki warna yang

berbeda-beda.

d. Prinsip bunyi dan energi

Bunyi merupakan ekspresi dari energi, dan tubuh manusia terdiri dari

sistem energi. Maka tubuh akan dipengaruhi oleh berbagai jenis energi.

Bunyi sebagai gelombang suara juga bisa dipengaruhi oleh frekuensi


dari berbagai energi. Seperti frekuensi dari warna, aroma,

elektromagnetik, dan sebagainya. Getaran tersebut dapat bermanfaat

bagi tubuh atau justru merusak sistem yang telah ada.

(Natalina, 2013)

5. Langkah-langkah Terapi Musik

Langkah-langkah yang harus dilakukan meliputi persiapan,

pelaksanaan, evaluasi dan dokumentasi.

a. Persiapan

Persiapan terdiri dari identifikasi tentang masalah yang dirasakan,

kekuatan yang dimiliki oleh klien dan kebutuhan yang bersifat

terapeutik, mengkaji informasi dari klien tentang respon terhadap

musik / menyenangi musik, jenis musik yang disukai klien seperti

musik pop, jazz, rock, country, dangdut, irama melayu dan lain-lain,

serta latar belakang kehidupan klien. Berdasarkan pengkajian maka

terapis menetapkan tujuan yang kadang-kadang mendapatkan masukan

dari klien, keluarga atau dari tim kesehatan, dan tujuan harus realistik

yaitu dapat tercapai oleh klien dalam satuan waktu tertentu. Kemudian

terapis membuat perencanaan dengan berbagai strategis dan

pengalaman musik yang dapat membantu pencapaian kebutuhan

pasien. Selanjutnya menentukan setting / tatanan dan menentukan

apakah klien ditetapkan sebagai individual atau dalam kelompok.

b. Pelaksanaan
Pada situasi di klinik terapis dan tim kesehatan harus memiliki

kemampuan yang dalam, pengetahuan yang luas tentang jenis-jenis

musik untuk memenuhi kebutuhan klien secara pribadi maupun

kelompok diantaranya :

1) Mendengarkan musik

Yaitu melatih pasien untuk berkonsentrasi, bereaksi

terhadap musik. Mendengarkan musik melibatkan secara fisikal,

emosional, intelektual, estetik, dan spiritual dari musik dan pasien

akan bereaksi melalui aktifitas, seperti relaksasi atau meditasi,

memperlihatkan gerakan yang terstruktur atau bebas, asosiasi

bebas, berimajinasi, mengingat kejadian / memori lama,

menurunkan kecemasan, gejala stres, mengurangi rasa sakit,

mengatur fungsi tubuh seperti detak jantung dan pernafasan,

meningkatkan semangat.

Mendengarkan, mengingat lirik lagu dan melodi cocok

untuk klien dengan stroke yang mengalami gangguan intelektual,

gangguan pendengaran, sedangkan berjoget / menari bagi klien

yang mengalami gangguan keseimbangan dan dapat meningkatkan

kekuatan otot, sendi, serta koordinasi.

2) Improvisasi musik

Klien menyanyikan lagu dan merespon secara spontan

untuk merubah suara / nada dari musik yang dapat


mengekspresikan perasaan, kejadian-kejadian, situasi yang akan

dieksplorasi dalam terapi musik serta bertujuan untuk melatih klien

dalam artikulasi, irama dan mengontrol pernafasan, melatih

kemampuan interpersonal, berkomunikasi, eksplorasi perasaan.

Kegiatan ini cocok untuk klien yang tidak mampu berbicara seperti

stroke, demensia, multiple sclerosis, kanker, parkinson dan anak

dengan gangguan emosional.

3) Re-kreasi musik

Klien selain menyanyikan lagu, memproduksi suara musik,

memainkan alat musik, belajar bernyanyi melalui notasi,

melakukan pertunjukan musik. Kegiatan ini bertujuan memberikan

pengalaman bagi klien belajar adaptasi perilaku, mempertahankan

orientasi realita, belajar bekerja bersama orang lain, membentuk

kohesif dalam kelompok. Memainkan alat musik cocok bagi klien

yang mengalami gangguan sistem motorik seperti pada klien

dengan luka diotak.

4) Mendiskusikan tentang lagu / musik

Terapis membantu klien untuk mendiskusikan tentang

musik / lagu, bagaimana reaksi, perasaan, fikiran, imajinasi klien

terhadap lagu. Melalui berdiskusi akan membantu klien untuk

berkomunikasi, menyadari akan memori dan emosi yang dirasakan

serta perlu untuk dibicarakan, belajar untuk mengemukakan


perasaan, masalah dan belajar menerima dan memberikan pendapat

kepada orang lain.

5) Menciptakan musik

Terapis membantu klien untuk menulis lirik dan membuat

lagu, alat musik, menciptakan produk lagu yang direkam. Kegiatan

ini membantu klien untuk membuat keputusan, dan bekerja secara

ekonomis dalam keterbatasan dirinya, dapat mengekspresikan

pemikiran dan perasaannya melalui menulis lirik lagu atau

menciptakan lagu dan di komposisi menjadi sebuah musik.

Aktifitas ini cocok bagi klien dengan sakit terminal seperti kanker,

ketergantungan obat dan alkohol.

(Nurgiwiati, 2015)
BAB III

METODE STUDI KASUS

A. Rancangan Studi Kasus

Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan metode penelitian ini

menggunakan studi kasus deskriptif. Studi kasus deskriptif adalah penelitian

yang dilakukan terhadap sekumpulan objek yang biasanya bertujuan untuk

melihat gambaran fenomena (termasuk kesehatan) yang terjadi di dalam suatu

populasi tertentu (Notoatmodjo, 2010). Studi kasus deskriptif bertujuan untuk

mendeskripsikan atau memaparkan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi

pada masa kini. Deskripsi peristiwa dilakukan secara sistematis dan lebih

menekankan pada data faktual daripada penyimpulan (Nursalam, 2016). Studi

kasus ini bertujuan untuk menggambarkan penurunaan tekanan darah setelah

dilakukan pemberian terapi relaksasi otot progresif dan terapi musik (Riza,

2018).

B. Subjek Studi Kasus

Subjek dalam penelitian ini adalah dua orang lansia yang mengalami

hipertensi dengan kriteria inklusi : literaturnya mana??

1. Lansia berusia > 59 tahun.

2. Lansia bersedia menandatangani informed consent (atau ditandatangani

oleh orang yang mewakili).

3. Lansia yang mengalami hipertensi.  ada ketentuan ukuran TDnya tdk?


4. Lansia mendapatkan terapi farmakologi 12,5 mg.  obat apa?

5. Dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.  klo bisanya Jawa semua

gmn?

Sedangkan untuk kriteris eksklusi :

1. Lansia yang mengalami mobilitas fisik.

2. Lansia yang mengalami gangguan pendengaran total.

C. Fokus Studi

Fokus studi dalam penelitian ini adalah penerapan teknik kombinasi

relaksasi otot progresif dan terapi musik terhadap tekanan darah pada lansia

dengan hipertensi.

D. Definisi Operasional Studi Kasus ini kata2 penulis sendiri dengan

mengadop berbagai sumber. Kata2nya jangan sama persis dengan

literature.

1. Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.

2. Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu peningkatan abnormal

tekanan darah dalam pembuluh darah arteri secara terus-menerus lebih dari

suatu periode. Hipertensi juga didefinisikan sebagai evevasi persisten dari

tekanan darah sistolik (TDS) pada level 140 mmHg atau lebih dan tekanan

darah diastolik (TDD) pada level 90 mmHg atau lebih.

3. Relaksasi otot progresif adalah teknik relaksasi otot dalam yang tidak

memerlukan imajinasi, ketekunan, atau sugesti. Terapi relaksasi otot


progresif memusatkan perhatian pada suatu aktivitas otot dengan

mengidentifikasi otot yang tegang kemudian menurunkan ketegangan

dengan melakukan teknik relaksasi untuk mendapatkan perasaan relaks.

4. Terapi musik adalah sebuah proses interpersonal dimana tenaga yang

terlatih menggunakan musik untuk membantu meningkatkan dan

mempertahankan kesehatan pasien secara fisikal, emosional, intelektual,

sosial dan spiritual.

E. Instrumen Studi Kasus

Instrumen pada karya tulis ilmiah ini menggunakan spygnomanometer

digital, lembar pengkajian tentang umur, jenis kelamin, indeks massa tubuh,

riwayat hipertensi keluarga, lembar observasi tekanan darah untuk mencatat

hasil pengukuran tekanan pre dan post, standar operasional tehnik relaksasi

otot progresif dan speaker.

F. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data pada studi kasus ini

adalah dengan lembar pengkajian dan lembar observasi tekanan darah pre dan

post diberikan tehnik kombinasi terapi relaksasi otot progresif dan terapi

musik.

Langkah pengumpulan data :

1. Mengurus perijinan dengan institusi terkait untuk melakukan studi kasus.

2. Melakukan seleksi calon subjek studi kasus.


3. Memberi penjelasan terlebih dahulu kepada klien/keluarga tentang tujuan

penelitian dan jaminan kerahasiaannya dengan memberikan informed

consent.

4. Meminta klien/keluarga untuk menandatangani lembar informed consent

sebagai bukti persetujuan menjadi subjek.

5. Melakukan pengkajian awal dengan menggunakan lembar pengkajian

tentang umur, jenis kelamin, indeks massa tubuh, riwayat hipertensi pada

keluarga.

6. Memberikan intervensi terapi relaksasi otot progresif dan terapi musik

selama 15-30 menit dalam sehari.

7. Subjek studi kasus diberikan intervensi selama 10 hari berturut-turut setiap

pagi hari.

8. Melakukan pengecekan dan pencatatan hasil tekanan darah di lembar

observasi setiap pre dan post diberikan intervensi terapi relaksasi otot

progresif dan terapi musik.

9. Melakukan observasi tentang hasil pengukuran tekanan darah pre dan post

diberikan terapi relaksasi otot progesif dan terapi musik.

10. Melakukan pengolahan data.

11. Menyajikan hasil pengolahan data dalam bentuk tabel dan narasi.

G. Lokasi dan Waktu Studi Kasus

Studi kasus ini dilakukan di Puskesmas Rowosari pada tanggal 9 Maret

sampai 21 Maret 2020.


H. Analisis Data dan Penyajian Data

1. Analisis Data

Dalam studi kasus ini menggunakan analisis deskriptif. Analisis

deskriptif adalah suatu prosedur pengolahan data dengan menggambarkan

dan menganalisis data secara ilmiah dalam bentuk tabel dan grafik. Data

yang dianalisa pada kasus ini adalah hasil tekanan darah sebelum dan

sesudah diberikan terapi relaksasi otot progresif dan terapi musik.

Pengukuran tekanan darah menggunakan alat spygnomanometer digital

dan dicatat ke dalam lembar observasi (Riza, 2018).

2. Penyajian Data

Setelah dilakukan pengolahan data dan didapatkan hasil penelitian,

maka data atau hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk tabel dan

narasi.

I. Etika Studi Kasus

Etika studi kasus yang harus ditaati oleh penulis dalam melaksanakan studi

kasus ini meliputi :

1. Prinsip manfaat

a. Bebas dari penderitaan

Penelitian harus dilaksanakan tanpa mengakibatkan penderitaan

kepada subjek, khususnya jika menggunakan tindakan khusus.


b. Bebas dari eksploitasi

Partisipasi subjek dalam penelitian harus dihindari dari keadaan

yang tidak menguntungkan. Subjek harus diyakinkan bahwa

partisipasinya dalam penelitian atau informasi yang telah diberikan

tidak akan dipergunakan dalam hal-hal yang dapat merugikan subjek

dalam bentuk apapun.

c. Resiko (benefits ratio)

Peneliti harus hati-hati mempertimbangkan resiko dan keuntungan

yang akan berakibat kepada subjek pada setiap tindakan.

2. Prinsip menghargai hak asasi manusia (respect human dignity)

a. Hak untuk ikut/tidak menjadi responden (right to selfdetermination)

Subjek harus diperlakukan secara manusiawi. Subjek mempunyai

hak memutuskan apakah mereka bersedia menjadi subjek ataupun

tidak, tanpa adanya sanksi apapun atau akan berakibat terhadap

kesembuhannya, jika mereka seorang klien.

b. Hak untuk mendapatkan jaminan dari perlakuan yang diberikan (right

to full disclosure)

c. Informed consent

Pada informed consent juga dicantumkan bahwa data yang

diperoleh hanya akan dipergunakan untuk pengembangan ilmu.


3. Prinsip keadilan (right to justice)

a. Hak untuk mendapatkan pengobatan yang adil (right in fair treatment)

Subjek harus diperlakukan secara adil baik sebelum, selama dan

sesudah keikutsertaannya dalam penelitian tanpa adanya diskriminasi

apabila ternyata mereka tidak bersedia atau dikeluarkan dari penelitian.

b. Hak dijaga kerahasiaannya (right to privacy)

Subjek mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang diberikan

harus dirahasiakan, untuk itu perlu adanya tanpa nama (anonymity) dan

rahasia (confidentiality). (Nursalam, 2013)


DAFTAR PUSTAKA gunakan teknik penomoran.

Triyanto, Endang. Pelayanan Keperawatan bagi Penderita Hipertensi Secara

Terpadu. Yogyakarta. Graha Ilmu. 2014.

Joyce M. Black, Jane Hokanson Hawks. Keperawatan Medikal Bedah :

Manajemen Klinis untuk Hasil yang Diharapkan, Edisi 8 – Buku 2.

Singapura. Elsevier.

Udjianti, Wajan Juni. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta. Salemba Medika.

2010.

M. Asikin, M. Nuralamsyah, dan Susaldi. Keperawatan Medikal Bedah : Sistem

Kardiovaskuler. Jakarta. Penerbit Erlangga. 2018.

Widjadja, Rafelina. Penyakit Kronis Tindakan, Pencegahan Dan Pengobatan

Secara Medis Maupun Tradisional. Jakarta. Bee Media Indonesia. 2009.

Riskesdas. Profil Kesehatan Indonesia. 2018.

Dinkes Semarang. Profil Kesehatan Dinas Kota Semarang. 2018.

Data Statistik Puskesmas Rowosari Semarang. 2018.

Riza, Waluyo. A, dan Azzam. R. Pengaruh Teknik Kombinasi Relaksasi Otot

Progresif Dan Terapi Musik Terhadap Tekanan Darah Pada Lansia

Dengan Hipertensi. 63-70. 2018.

Setyoadi dan Kushariyadi. Terapi Modalitas Keperawatan Pada Klien

Psikogeriatrik. Jakarta. Salemba Medika. 2011.

Astuti F. Niken, Dwi Nurviyandari, dan Etty Rekawati. Penurunan Tekanan Darah

Diastolik Pada Lanjut Usia Melalui Intervensi Relaksasi Otot Progresif

dan Terapi Musik (RESIK). Volume 12, Nomor 1. 2017.


Nurgiwiati, Endeh. Terapi Alternatif dan Komplementer dalam Bidang

Keperawatan. Bogor. In Media. 2015.

Nurrahmani, Ulfah. Stop Hipertensi. Yogyakarta. Familia (Group Relasi Inti

Media). 2017.

Utomo, Agus Setyo. Status Kesehatan Lansia Berdayaguna. Surabaya. Penerbit

Media Sahabat Cendekia. 2019.

Badan Pusat Statistik. Satistik Penduduk Lanjut Usia. 2018.

Badan Pusat Statistik Kota Semarang. Jumlah Penduduk Kota Semarang. 2018.

Black, Joyce. M & Hawks, Jane, Hokanson. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8

Buku 2. Elsevier. 2014.

Tim Bumi Medika. Berdamai dengan Hipertensi. Jakarta. Bumi Medika. 2017.

Natalina, Dian. Terapi Musik Bidang Kesehatan. Jakarta. Penerbit Wacana Media.

2013.

Efendi, Ferry & Makhfudli. Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan Praktik

dalam Keperawatan. Jakarta. Salemba Medika. 2009.

Dewi, Sofia Rhosma. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Yogyakarta. Deepublish.

2014.

Sunaryo & Wijayanti, Rahayu, dsb. Asuhan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta.

CV Andi Offset. 2015.

Notoatmodjo, S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta. 2010.

Nursalam. Metodologi Ilmu Keperawatan : Pendekatan Praktis. Ed. 4. Jakarta.

Salemba Medika. 2016.


Nursalam. Konsep Penerapan Metode Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta.

Salemba Medika. 2013.

Anda mungkin juga menyukai