Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PENDAHULUAN

BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)

MATA KULIAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

Disusun oleh:

Nathalia Rose Fransisca Karma


NPM. 1906428442

Program Studi Profesi Ners


Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)

A. Anatomi Fisiologi Kelenjar Prostat

1. Anatomi Kelenjar Prostat


Prostat adalah organ genetalia pria yang terletak di bawah buli-buli, di depan
rectum, dan membungkus uretra posterior. Prostat berbentuk seperti buah kemiri
dengan ukuran 4x 3x 2,5cm dan beratnya kurang lebih 20 gram (Purnomo, 2012).
Prostat memiliki kapsula fibrosa yang padat dan dilapisi oleh jaringan ikat prostat
sebagai bagian fascia pelvis visceralis. Pada bagian superior, prostat berhubungan
dengan vesika urinaria sedangkan bagian inferior bersandar pada diafragma
urogenital. Permukaan ventral prostat terpisah dari simpisis pubis oleh lemak
retroperitoneal dalam spatium retropubicum dan permukaan dorsal berbatas pada
ampulla recti (Grossman & Porth, 2013).

2
Kelenjar prostat terdiri atas jaringan kelenjar dinding uretra yang mulai
menonjol pada masa pubertas, biasanya, kelenjar prostat dapat tumbuh seumur hidup.
Secara anatomi, prostat berhubungan erat dengan kandung kemih, uretra, vas
deferens, dan vesika seminalis. Prostat terletak di atas diafragma panggul sehingga
uretra terfiksasi pada diafragma tersebut, dapat terobek bersama diafragma bila terjadi
cedera. Prostat dapat diraba pada pemeriksaan colok dubur.
Selain mengandung jaringan kelenjar, kelenjar prostat mengandung cukup
banyak jarigan fibrosa dan jaringan otot polos. Kelenjar ini ditembus oleh uretra dan
kedua duktus ejakulatorius dan dikelilingi oleh suatu pleksus vena. Kelenjar limfe
regionalnya kelenjar limfe hipogastrik, sacral, obturator, dan iliaka eksterna.
Arteri-arteri untuk prostat terutama berasal dari arteri vesicalis inferior dan
arteria rectalis media, cabang arteria iliaca interna. Vena-vena bergabung
membentuk plexus venosus prostaticusi sekeliling sisi-sisi dan alas prostat. Plexus
venosus prostaticus yang terletak antara kapsula fibrosa dan kantung prostat,
ditampung oleh vena iliaka interna. Plexus venosus prostaticus juga berhubungan
dengan plexus venosus vesicalis dan plexus venosi vertebrales. Pembuluh limfe
terutama berakhir pada nodi lymphoidei iliaci interni dan nodi lymphoidei externi
(Grossman & Porth, 2013).

3
2. Histologi kelenjar Prostat
Secara histologi, prostat terdiri dari kelenjar yang dilapisi dua lapis sel, yakni
bagian basal adalah epitel kunoid yang ditutupi oleh lapisan sel sekretori kolumnar.
Pada beberapa daerah dipisahkan oleh stroma fibromuskular. Hormon androgen testis
berfungsi untuk mengontrol pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel-sel prostat
(Kumar et al., 2013).
Prostat merupakan suatu kumpulan 30-50 kelenjar tubualveolar yang bercabang.
Duktusnya bermuara ke dalam uretra pars prostatika, yang menembus prostat. Kelenjar
prostat terbagi dalam beberapa zona, antara lain: zona perifer, zona sentral, zona
transisional, zona fibromuskuler anterior, dan zona periurethra. Zona perifer adalah
zona yang paling besar, terdiri dari 70% jaringan kelenjar sedangkan zona sentral
terdiri dari 25% jaringan kelenjar dan zona transisional hanya terdiri dari 5% jaringan
kelenjar. Sebagian besar kejadian BPH terdapat pada zona transisional, sedangkan
pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer.
Kelenjar tubuloalveolar prostat dibentuk oleh epitel bertingkat silindris atau
kuboid. Stroma fibromuskular mengelilingi kelenjar-kelenjar. Prostat dikelilingi suatu
simpai fibroelatis dengan otot polos. Septa dari simpai ini menembus kelenjar dan
membaginya dalam lobus-lobus yang tidak berbatas tegas pada orang dewasa. Seperti
halnya vesika seminalis, struktur dan fungsi prostat bergantung pada kadar
testosterone.

4
3. Fisiologi Kelenjar Prostat
Kelenjar prostat menyekresi cairan encer, seperti susu yang mengandung
kalsium, ion sitrat, ion fosfat, enzim pembekuan, dan profibrinolisin. Selama
pengisian, simpai kelenjar prostat berkontraksi sejalan dengan kontraksi vas deferens
sehingga cairan encer seperti susu yang dikeluarkan oleh kelenjar prostat menambah
jumlah semen lebih banyak lagi. Sifat cairan prostat yang sedikit basa penting untuk
keberhasilan fertilisasi ovum, karena cairan vas deferens relative asam akibat adanya
asam sitrat dan hasil akhir metabolism sperma, dan sebagai akibatnya, akan
menghambat fertilisasi sperma. Selain itu, sekret vagina bersifat asam (pH 3,5-4).
Sperma tidak dapat bergerak optimal sampai pH sekitarnya meningkat 6-6,6.
Akibatnya, cairan prostat yang sedikit basa mungkin dapat menetralkan sifat asam
cairan seminalis lainnya selama ejakulasi, dan juga meningkatkan motilitas dan
fertilitas sperma (Sherwood, 2016).

B. Definisi Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)


Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran pada organ prostat yang
bersifat jinak, bukan suatu keganasan (kanker) atau kelanjutan dari kanker. BPH
merupakan tumor jinak yang umum yang berkembang pada pria dan mengganggu pada
pasien usia lanjut. Selain itu, Benign Prostate Hyperplasia adalah nama yang biasa
digunakan untuk kelainan jinak umum dari prostat. Ketika meluas, BPH akan
mengakibatkan berbagai tingkat obstruksi saluran kemih dan kadang membutuhkan

5
intervensi bedah. Penyakit ini merupakan pembesaran nodular kelenjar yang disebabkan
oleh hyperplasia dari kedua kelenjar dan komponen stromanya.
BPH dianggap sebagai bagian normal dari proses penuaan pada pria yang terjadi
akibat produksi dari hormon testosteron dan dihidrotestosteron (DHT). BPH terjadi
karena pertumbuhan yang berlebihan pada sel stroma prostat dan kelenjar epitel yang
menyebabkan pembesaran kelenjar prostat. BPH merupakan diagnosis penyakit poliferasi
sel-sel prostat dengan ditandai gejala klinis yaitu LUTS (Lower Urinary Tract
Symptoms).

C. Etiologi Terjadinya Benign Prostatic Hyperplasia


Hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya BPH.
Kendati demikian, ada beberapa pendapat dan fakta yang menunjukan hal ini berasal dan
proses yang rumit dari androgen dan estrogen. Dehidrotestosteron yang berasal dari
testosteron dengan bantuan enzim 5α-reduktase diperkirakan sebagai mediator utama
pertumbuhan prostat. Dalam sitoplasma sel prostat ditemukan reseptor dehidrotestosteron
(DHT).
Reseptor DHT jumlahnya akan meningkat dengan bantuan estrogen. DHT yang
dibentuk kemudian akan berikatan dengan reseptor membentuk DHT-reseptor kompleks.
Kemudian masuk ke inti sel dan mempengaruhi RNA untuk menyebabkan sintesis protein
sehingga terjadi proliferasi sel. Adanya anggapan bahwa sebagai dasar adanya gangguan
keseimbangan hormone androgen dan estrogen, dengan bertambahnya umur diketahui

6
bahwa jumlah androgen berkurang sehingga erjadi peninggian estrogen secara relative.
Diketahui estrogen mempengaruhi prostat bagian dalam (bagian tengah, lobus lateralis,
dan lobus medius) hingga pada hiperestrinisme, bagian inilah yang mengalami
hyperplasia. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya BPH adalah:
1. Teori Dehidrotestosteron
DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan sel-sel
kelenjar prostat. Dibentuk dengan testosterone di dalam sel prostat oleh enzim 5α-
reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk berikatan
dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan
selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel
prostat.

Perubahan testosterone menjadi dihidrotestosteron oleh enzim 5α-reduktase

Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh
berbeda dengan kadar pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5α-
reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini
menyebabkan sel prostat pada BPH lebih sensitive terhadap DHT sehingga replikasi
sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.

2. Teori keseimbangan estrogen dan testosterone


Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangkan kadar estrogen
relative tetap sehingga perbandingan antara estrogen dan testosterone relatif
meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen di dalam prostat berperan dalam
terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas
sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor

7
androgen, menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Hasil akhir dari
semua keadaan ini adalah, meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat
rangsangan testosterone menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai
umur lebih panjang sehingga massa prostat menjadi lebih besar.
3. Teori interaksi stroma dan epitel
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh
sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth factor) tertentu. Setelah sel-sel stroma
mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol , sel-sel stroma mensintesis growth
factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intrakin atau
autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu dapat
menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun stroma.

Aktivasi Hormon Testosteron Dalam Sel Stroma dan Sel Epitel Pada BPH

4. Berkurangnya kematian sel prostat


Program kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik
untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi
kondensasi dan fragmentasi sel yang selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis
akan difagositsis oleh sel-sel disekitarnya kemudian di degradasi oleh enzim lisosom.
Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan
kematian sel. Pertumbuhan prostat sampai prostat dewasa, penambahan jumlah sel
prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel

8
prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan sel-sel prostat secara keseluruhan
menjadi meningkat sehingga menyebabkan pertambahan massa prostat tersebut.
Sampai sekarang belum dapat diterangkan secara pasti factor-faktor yang
menghambat proses apotosis, diduga hormon androgen berperan dalam menghambat
proses kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas
kematian sel kelenjar prostat. Estrogen diduga mempu memperpanjang usia sel-sel
prostat, sedangkan factor pertumbuhan TGF-β berperan dalam proses apoptosis
(Purnomo, 2012).

5. Teori Stem sel


Untuk mengganti sel-sel yang mengalami apoptosis, akan dibentuk sel baru. Di
kelenjar prostat adanya sel stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan berploliferasi
sangat ekstensif. Kehidupan sel ini bergantung pada keberadaan hormon androgen,
jika hormon ini kadarnya menurun seperti pada kastrasi, dapat terjadi apoptosis.
Terjadinya proliferasi sel pada BPH diakibatkan ketidaktepata aktivitas sel stem
sehingga terjadi produksi berlebihan pada sel stroma maupun sel epitel (Purnomo,
2012).

D. Faktor Resiko Terjadinya Benign Prostatic Hyperplasia


Sebuah studi menganalisa data dari kelompok placebo dalam Prostate Cancer
Prevention Trial (PCPT). Dari data yang terdaftar, 18.880 pria berusia lebih dari 50
tahun, tingginya konsumsi daging merah dan diet lemak dapat meningkatkan resiko BPH,
dan tingginya konsumsi sayuran dikaitkan dengan penurunan resiko BPH. Lycopene dan

9
suplemen dengan vitamin D bisa menurunkan risiko pembesaran prostat, tetapi vitamin C,
E dan selenium dilaporkan tidak ada hubungannya dengan BPH. Aktivitas fisik juga
terbukti mengurangi kemungkinan pembesaran prostat dan Lower Urinary Tract
Symptom (LUTS).
Pria yang mengkonsumsi alcohol secara sedang memiliki risiko 30% lebih kecil
kemungkinan terjadi gejala BPH, 40% lebih kecil kemungkinann untuk mengalami
transurethral resection prostate, dan 20% lebih kecil kemungkinan gejala nokturia. Pria
yang mengkonsumsi 35 gram atau lebih alcohol per hari dapat menurunkan risiko BPH
sebesar 35% tetapi meningkatkan risiko LUTS dibandingkan dengan pria yang tidak
mengkonsumsi alkohol. Selain itu faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya BPH
antara lain:
1. Kadar Hormon
Kadar hormon testosterone yang tinggi berhubungan dengan peningkatan risiko
BPH. Testosteron akan diubah menjadi androgen yang lebih poten yaitu
dihidrotestosteron (DHT) oleh enzim 5α-reduktase, yang memegang peran penting
dalam proses pertumbuhan sel-sel prostat.
2. Usia
Pada usia tua terjadi kelemahan umum termasuk kelemahan pada buli (otot
detrusor) dan penurunan fungsi persarafan. Perubahan karena pengaruh usia tua
menurunkan kemampuan buli-buli dalam mempertahankan aliran urin pada proses
adaptasi oleh adanya obstruksi karena pembesaran prostat, sehingga menimbulkan
gejala. Testis menghasilkan beberapa hormone seks pria, yang secara keseluruhan
dinamakan androgen. Hormon tersebut mencakup testosterone, dihidrotestosteron
dan androstenesdion. Testosteron sebagian besar dikonversikan oleh enzim 5α-
reduktase menjadi dihidrotestosteron yang lebih aktif secara fisiologis di jaringan
sasaran sebagai pengatur fungsi ereksi.tugas lain testosterone adalah pemacu
libido, pertumbuhan otot dan mengatur deposit kalsium di tulang. Sesuai
pertumbuhan usia, kadar testosterone mulai menurun secara perlahan pada usia 30
tahun dan turun lebih cepat pada usia 60 tahun ke atas.
3. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga pada penderita BPH dapat meningkatkan risiko terjadinya
kondisi yang sama pada anggota keluarga yang laun. Semakin banyak anggota
keluarga yang mengidap penyakit ini, semakin besar risiko anggota keluarga yang
lain untuk dapat terkena BPH. Bila satu anggota keluarga mengidap penyakit ini,
10
maka risiko mengingkat dua kali bagi yang lain. Bila dua anggota keluarga, maka
risiko meningkat menjadi 2-5 kali.

E. Manifestasi Klinis Benign Prostatic Hyperplasia


Gejala klinis hanya sekitar 10% pada laki-laki yang mengidap kelainan ini. Hal ini
dikarenakan BPH mengenai bagian dalam prostat, manifestasinya yang tersering adalah
gejala obstruksi saluran kemih bawah (A. Kumar et al., 2009). Gejala klinis berkembang
lambat karena hipertrofi detrusor kandung kemih mengkompensasi untuk kompresi
uretra. Seiring dengan obstruksi berkembang, kekuatan pancaran urin menurun dan terjadi
keragu-raguan dalam memulai berkemih dan menetes diakhir berkemih. Dysuria dan
urgensi merupakan tanda klinis iritasi kandung kemih (mungkin sebagai akibat
peradangan atau tumor) dan biasanya tidak terlihat pada hyperplasia prostat. Ketika
residual pasca miksi bertambah, dapat timbul nokturia dan overflow incontinence.
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan
di luar saluran kemih, yaitu:
a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih bawah terdiri atas gejala voiding, storage, dan
pasca-miksi. Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih
bawah, dibuat sistem penilaian secara subjektif dapat diisi dan dihitung sendiri
oleh pasien. Sistem penilaian yang dianjurkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) adalah skor internasional gejala prostat atau International Prostatic
Symptom score (IPSS).
Sistem penilaian IPSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan
dengan keluhan miksi atau satu pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas
hidup pasien. Setiap pertanyaan yang berhubungan dengan keluha miksi diberi
nilai 0-5, sedangkan keluhan yang menyangkut kualitas hidup diberi nilai 1-7.
Dari skor IPSS itu dapat dikelompokan gejala LUTS dalam tiga derajat, yaitu
ringan (skor 0-7), sedang (skor 8-19), dan berat (skor 20-35).
b. Timbulnya dekompensasi buli-buli biasanya didahului oleh bebrapa faktor
pencetus, seperti volum kandung kemih tiba-tiba terisi penuh, yaitu pada saat
cuaca dingin, menahan kencing terlalu lama, mengkonsumsi obat-obatan atau
minuman yang mengandung diuretikum (alkohol, kopi, dan minum air dalam
jumlah yang berlebihan, massa prostat tiba-tiba membesar, yaitu setelah
melakukan aktivitas seksual atau mengalami infeksi prostat akut, setelah

11
mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi otot detrusor atau
dapat mempersempit leher buli-buli, antara lain golongan antikolinergik atau
adrenergic alfa.
1) Gejala obstruksi meliputi: retensi urin (urin tertahan di kandung kemih
sehingga urin tidak bisa keluar), sulit memulai miksi (hesitancy), pancaran
buang air kecil lemah (weak stream), kencing terputus-putus (intermittency),
merasa belum selesai berkemih (sense of residual urine), rasa ingin buang air
kecil lagi sesudah buang air kecil (double voiding), dan keluarnya sisa urin
pada akhir berkemih (terminal dribbling).
2) Gejala iritatif meliputi: frekuensi buang air kecil yang tidak normal (polyuria),
buang air kecil dengan frekuensi yang berlebihan pada malam hari (nocturia),
sulit menahan buang air kecil (urgency), rasa sakit saat buang air kecil
(dysuria) dan buang air kecil yang berdarah (hematuria).
c. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit hyperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas
berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang
merupakan tanda dari hidronefrosis), dan demam yang merupakan tanda dari
infeksi atau urosepsis.

d. Gejala di luar saluran kemih


Tidak jarang pasien mengeluh adanya hernia inguinalis atau hemoroid.
Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga
mengakibatkan peningkatan tekanan intra-abdominal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan buli-buli yang terisi penuh dan teraba
massa kistus di daerah supra simfisis akibat retensi urun. Kadang-kadang
didapatkan urin yang selalu menetes tanpa disadari oleh pasien yaitu merupakan
tanda inkontinensia paradoksa. Adapun gejala dan tanda lain yang tampak pada
pasien BPH, pada pemeriksaan prostat didapati membesar, kemerahan, dan nyeri
tekan, keletihan, anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak nyaman pada epigastrik,
dan gagal ginjal dapat terjadi dengan retensi kronis dan volume residual yang
besar.

12
F. Patofisiologi Terjadinya Benign Prostatic Hyperplasia
Bukti histologi pembesaran prostat saja tidak menegakkan masalah yang relevan
secara klinis. Selain itu, gangguan klinis yang berkaitan dengan BPH terjadi pembesaran
ini mengobstruksi jalan keluar kandung kemih, menyebabkan LUTS yang menggangu,
peningkatan risiko infeksi saluran kemih, dan mengganggu fungsi saluran kemih atas.
Dua proses menyebabkan obstruksi ini: hyperplasia dan hipertrofi. Hyperplasia berawal
pada sel-sel glanduler (stromal) di dekat uretra-zona transisi. Pada tingkat makroskopik,
hyperplasia prostat tampak noduler, namun efek pada palpasi adalah pembesaran kelenjar
simetris yang bebas dari karakteristik nodus yang terpalpasi pada kelenjar prostat.
Obstruksi terjadi saat hyperplasia menyempitkan lumen dari segmen uretra yang melalui
prostat. Obstruksi juga terjadi saat prostat melampaui di atas leher kandung kemih,
menurunkan kemampuannya untuk menyalurkan urine sebagai respons terhadap miksi,
dan saat pertumbuhan dari lobus median prostat meluas ke dalam uretra prostatika. BPH
juga dipengaruhi oleh kapsul prostat (jaringan ikat yang menutupi kelenjar); pada
sebagian laki-laki kapsul ini memungkinkan hyperplasia meluas keluar, meningkatkan
ukuran prostat, selanjutnya tingkat keparahan kompresi uretra dan obstruksi urine.
Hipertrofi otot polos memicu obstruksi uretra melalui tekanan aktif dan pasif. Hyperplasia
prostat disertai dengan hipertrofi otot polos kelenjar. Hipertrofi otot polos memicu
obstruksi urine dengan meningkatkan tonus otot pada leher kandung kemih dan uretra
proksimal (prostatika) dan meningkatkan secara mekanisme jaringan yang mengontriksi
lumen uretra.
Respons awal kandung kemih terhadap peningkatan resistensi uretra terhadap aliran
keluar adalah meningkatkan kekuatan kontraksi detrusor. Namun, pertumbuhan prostat
lebih lanjut dan eksaserbasi obstruksi uretra akhirnya melampaui kemampuan otot
detrusor untuk memastika evakuasi kendung kemih yang efektif melalui miksi. Hasilnya
dapat berupa penurunan kekuatan aliran urine, dan perasaan tidak lampias walaupun
setelah berkemih. LUTS sering kali berkaitan dengan kontraksi detrusor yang terlalu aktif
yang dapat menyebabkan urgensi, dan inkontinensia urine urgensi pada beberapa kasus.
Jika klien tidak mencari bantuan untuk LUTS ini dan proses pembesaran prostat
berlanjut, detrusor akan berdekompensasi menyebabkan volume resudial urine, dan pada
akhirnya kelemahan kontraksi otot, bahkan setelah obstruksi uretra hilang.
Dekompensasi otot detrusor dapat menyebabkan episode retensi urine akut, yang
didefinisikan sebagai ketidakmampuan total untuk berkemih. Kondisi ini adalah
kegawatdaruratan medis karena uremia atau rupture kandung kemih dan peritonitis akan

13
terjadi jika keadaan kandung kemih tidak diatasi. Selain itu, retensi urine akut berkaitan
dengan peningkatan risiko komplikasi pasca operasi setelah manajemen bedah BPH. Jika
obstruksi yang berkaitan dengan BPH berkepanjangan dan parah, klien akan mengalami
gangguan fungsi ginjal atau gagal ginjal.
Infeksi saluran kemih dan hematuria juga dapat berkaitan dengan BPH. Obstruksi
jalan keluar kandung kemih dan retensi urine meningkatkan risiko ISK. Risiko ini paling
besar jika dilakukan kateterisasi, sistoskopi, atau bedah transurethral, yang
memungkinkan bakteri di dalam asinus prostat mencapai kandung kemih. Retensi dan
obstruksi urine juga dapat mempersulit terapi ISK karena pengosongan kandung kemih
yang tidak lengkap mengganggu evakuasi urine, dan toksin dari kandung kemih.
Diketahui bahwa angiogenesis (pertumbuhan pembuluh darah) adalah bagian dari
hyperplasia dan bahwa pembuluh ini rentan terhadap kerusakan dan perdarahan.
Perdarahan yang berkepanjangan juga dapat terjadi setelah kateterisasi, sistoskopi, atau
bedah prostat transurethral.

G. Komplikasi Terjadinya Benign Prostatic Hyperplasia


Sjamsuhidajat& De jong (2005) mengatakan komplikasi BPH, yaitu:
1. Retensi urine akut, terjadi apabila buli-buli terdekompensasi
ketidakmampuan mendadak untuk buang air kecil. Kandung kemih menjadi bengkak
dan nyeri. Ini adalah keadaan darurat yang memerlukan perhatian medis segera.
2. Infeksi saluran kemih
Urin sisa yang disebabkan oleh BPH dapat menyebabkan infeksi saluran kemih
rekuren.
3. Involusi kontraksi kandung kemih.
BPH dapat meningkatkan risiko pembentukan batu kandung kemih. Pasir/batu dalam
urin BPH dapat menyebabkan perdarahan.
4. Refluk kandung kemih
BPH dapat menyebabkan obstruksi saluran kandung kemih. Bila kandung kemih
harus bekerja lebih keras untuk mendorong urin keluar dalam jangka waktu yang
lama, dinding otot kandung kemih membentang dan melemahkan dan tidak lagi
berkontraksi.
5. Hidroureter dan hidronefrosis

14
dapat terjadi karena produksi urine terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak
mampu lagi menampung urine yang akan mengakibatkan tekanan intravesika
meningkat.
6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi.
BPH berat dapat menyebabkan air seni kembali ke dalam dan merusak ginjal.
Hidronefrosis, uremia dan bahkan gagal ginjal bisa terjadi.
7. Hematuri, terjadi karena selalu ada sisa urin sehingga, dapat terbentuk batu endapan
dalam buli-buli, batu ini akan menabha keluhan iritasi. Batu tersebut pula dapat
menimbulkan sistitis dan bila terjadi refluks dapat mengakibatkan pielonefritis.
8. Hernia atau hemroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada waktu miksi
pasien harus mengedan.
9. Penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh obstruksi akibat BPH.
Dipercaya bahwa BPH tidak menyebabkan kanker, namun kedua kondisinya bisa ada
bersamaan
10. Perubahan patologis pada kandung kemih dan saluan kemih bagian atas.

15
H. Pentalaksanaan Pasien dengan Benign Prostatic Hyperplasia
1. Terapi
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah memperbaiki kualitas hidup pasien.Terapi
yang didiskusikan dengan pasien tergantung pada derajat keluhan, keadaan pasien,
serta ketersediaan fasilitas setempat. Pilihannya adalah:
a. Konservatif
Pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan penyakitnya
diawasi oleh dokter. Terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan keluhan
ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien diberi penjelasan
mengenai segala sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya
misalnya:
1) Jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan
malam.
2) Kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada
kandung kemih (kopi atau coklat)
3) Batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin
4) Jangan menahan kencing terlalu lama
5) Pasien diminta datang kontrol berkala untuk menilai perubahan keluhan.
b. Farmakoterapi
1) α 1 blocker yang bertujuan menghambat kontraksi otot polos prostat
sehingga mengurangi resistensi tonus leher kandung kemih dan uretra
2) 5α- reductase inhibitor 5α-reductase inhibitor bekerja dengan menginduksi
proses apoptosis sel epitelprostat yang kemudian mengecilkan volume
prostat hingga 20 – 30%
3) Antagonis resepto muskarinik pengobatan dengan menggunakan obat-obatan
antagonis reseptor muskarinik bertujuan untuk menghambat atau
mengurangi stimulasi reseptor muskarinik sehingga akan mengurangi
kontraksi sel otot polos kandung kemih
4) Phospodiesterase 5 inhibitor Phospodiesterase 5 inhibitor (PDE 5 inhibitor)
meningkatkan konsentrasi dan memperpanjang aktivitas dari cyclic
guanosine monophosphate (cGMP) intraseluler, sehingga dapat mengurangi
tonus otot polos detrusor, prostat, dan uretra

16
5) Terapi Kombinasi α1-blocker+ 5α-reductase inhibitor Terapi kombinasi α1-
blocker (alfuzosin, doksazosin, tamsulosin) dan 5α-reductase inhibitor
(dutasteride atau finasteride) bertujuan untuk mendapatkan efek sinergis
denganmenggabungkan manfaat yang berbeda dari kedua golongan obat
tersebut, sehingga meningkatkan efektivitas dalam memperbaiki gejala dan
mencegah perkembangan penyakit
6) Fitofarmaka Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai
untuk memperbaiki gejala, tetapi data farmakologik tentang kandungan zat
aktif yang mendukung mekanisme kerja obat fitoterapi sampai saat ini
belum diketahui dengan pasti. Di antara fitoterapi yang banyak dipasarkan
adalah: Pygeum africanum, Serenoa repens, Hypoxis rooperi, Radixurtica,
dan masih banyak lainnya.

2. Pembedahan
Indikasi tindakan pembedahan yaitu pada BPH yang sudah menimbulkan komplikasi
berupa:
1) Retensi urine akut
2) Gagal trial without catheter
3) Infeksi saluran kemih berulang
4) Hematuria makroskopik berulang
5) Batu kandung kemih
6) Penurunan fungsi ginjal yang disebabkan obstruksi oleh BPH
7) Perubahan patologis pada kadung kemih dan saluran kemih bagian atas.
Indikasi relatif lain untuk terapi pembedahan adalah keluhan sedang hingga berat,
tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian terapi non bedah.
a. Invasif minimal
1) Transurethral Resection of the Prostate (TURP)
2) Laser Prostatektomi
b. Operasi terbuka
3. Terapi Lain
a. Trial Without Catheterization (TWOC)
b. Clean Intermittent Catheterization (CIC)
c. Sistostomi
d. Kateter menetap
17
4. Pemantauan
a. Pasien yang dilakukan pemantauan harus dikaji ulang pada 6 bulan, setelah itu
setiap tahun untuk menilai perburukan klinis atau adanya indikasi absolut untuk
tindakan operatif.
b. Pasien yang mendapat alfa bloker, antagonis reseptor muskarinik, PDE5 inhibitor,
atau obat kombinasi, harus dinilai ulang setiap 4-6 minggu setelah inisiasi obat.
Apabila pasien mengalami perbaikan klinis tanpa efek samping yang mengganggu,
pengobatan bisa dilanjutkan dan dinilai ulang pada 6 bulan dan selanjutnya setiap
tahun untuk menilai perburukan klinis atau adanya indikasi absolut untuk tindakan
operatif
c. Pasien yang mendapat terapi 5 alfa reduktase inhibitor harus dinilai ulang setelah
12 minggu dan 6 bulan untuk menilai respon obat dan efek samping obat • Pasien
yang mendapat terapi desmopressin: konsentrasi natrium serum harus dinilai pada
hari ketiga, 7 dan 1 bulan. Apabila serum natrium tetap normal, serum natrium
dinilai setiap 3 bulan. Pemantauan harus diulang setiap ada penambahan dosis.
d. Setelah tindakan operatif, pasien harus dinilai ulang 4 hingga 6 minggu setelah
kateter dilepas untuk menilai respon tindakan dan efek samping. Apabila pasien
mengalami perbaikan gejala dan tanpa efek samping, penilaian ulang selanjutnya
tidak diperlukan.
5. Discharge Planning
a. Pola miksi normal
b. Nyeri berkurang
c. Keseimbangan cairan dan elektrolit
d. Mencegah dan meminimalisasi komplikasi
e. Dapat mengetahui kebutuhan
f. Mengerti tentang proses penyakit, prognosis penyakit dan terapi pulang
g. Memenuhi kebutuhan saat akan pulang

I. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Pada Pasien BPH Pra-Operasi TURP


1. Pengkajian
a. Data Subjektif
1) Informasi Kesehatan
2) Pengobatan: Suplementasi estrogen atau testosterone
3) Pembedahan atau perawatan lain: Pengobatan sebelumnya untuk BPH

18
4) Pola Kesehatan Fungsional
5) Persepsi kesehatan – manajemen kesehatan: Pengetahuan tentang kondisi
tersebut
6) Nutrisi-metabolik: Pembatasan cairan sukarela
7) Eliminasi: urgensi kencing, penurunan kaliber dan kekuatan kencing aliran;
keragu-raguan dalam memulai berkemih; dribbling postvoid; kemih
penyimpanan; inkontinensia
8) Tidur: Nokturia
9) Kognitif-persepsi: Disuria, sensasi berkemih tidak lengkap; ketidaknyamanan
kandung kemih
10) Seksualitas-reproduksi: Kecemasan tentang disfungsi seksual
b. Data Objektif Umum
1) Pria dewasa yang lebih tua
2) Kemih : Kandung kemih buncit saat palpasi; pembesaran halus, tegas,
elastisprostat pada pemeriksaan dubur
c. Kemungkinan Temuan Diagnostik
1) Prostat membesar pada ultrasonografi; obstruksi leher vesikel
2) Sistoskopi; sisa urin dengan kateterisasi postvoiding; putih
3) sel darah, bakteri, atau hematuria mikroskopis dengan infeksi;
4) Levels kadar kreatinin serum dengan keterlibatan ginjal

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dengan DRE dan studi diagnostik mungkin dilakukan untuk
menentukan sejauh mana prostat diperbesar, adanya perubahan di dinding kandung
kemih, dan efisiensi fungsi ginjal. Tes-tes ini mungkin termasuk urinalisis dan studi
urodinamik untuk menilai aliran urin. Tes fungsi ginjal, termasuk kadar kreatinin
serum, dapat dilakukan untuk menentukan jika ada gangguan ginjal dari tekanan balik
prostat dan untuk mengevaluasi cadangan ginjal. Pemeriksaan darah lengkap
dilakukan. Karena pendarahan adalah komplikasi utama dari operasi prostat,
semuanya cacat pembekuan harus diperbaiki. Persentase pasien yang tinggi dengan
BPH memiliki komplikasi jantung atau pernapasan, atau keduanya, karena usia
mereka; oleh karena itu, fungsi jantung dan pernapasan juga dinilai.
Kompleks gejala obstruktif dan iritasi (disebut sebagai prostatisme) termasuk
peningkatan frekuensi buang air kecil, nokturia, urgensi, keragu-raguan dalam
19
memulai buang air kecil, tegang perut dengan buang air kecil, penurunan volume dan
kekuatan kencing aliran, gangguan aliran kemih, dribbling (dribble urin keluar setelah
buang air kecil), sensasi bahwa kandung kemih belum benar-benar dikosongkan,
retensi urin akut (bila lebih dari 60 mL urin tertinggal di kandung kemih setelah
buang air kecil), dan berulang infeksi saluran kemih.
Pada akhirnya, azotemia (akumulasi produk limbah nitrogen) dan gagal ginjal
dapat terjadi dengan retensi urin kronis dan volume residu yang besar. Disamaratakan
gejala juga dapat dicatat, termasuk kelelahan, anoreksia, mual, muntah, dan
ketidaknyamanan epigastrium. Gangguan produksi lainnya gejala serupa termasuk
striktur uretra, kanker prostat, kandung kemih neurogenik, dan batu kandung kemih.

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Uji Antigen Prostat-Khusus
Kelenjar prostat menghasilkan zat yang dikenal sebagai prostat spesifik antigen
(PSA). Itu dapat diukur dalam spesimen darah, dan kadarnya meningkat dengan
kanker prostat. Banyak faktor yang bisa meningkat Kadar PSA, termasuk BPH,
kanker prostat, dan infeksi prostat dan saluran kemih. Level PSA diukur dalam
nanogram per mililiter (ng/ mL). Tes PSA dan DRE digunakan untuk mendeteksi
kanker prostat (Smith, Cokkinides, & Eschenbach, et al., 2002). Kisaran nilai
yang dianggap normal adalah 0,2 hingga 4,0 ng/mL. Nilai lebih dari 4.0 dianggap
tinggi. Level PSA yang ditinggikan adalah bukan indikator spesifik kanker
prostat. Sejumlah kondisi (misalnya, BPH, reseksi transurethral dari prostat, urin
akut retensi, dan prostatitis akut) juga dapat menyebabkan peningkatan Level PSA
dengan tidak adanya kanker prostat.
b. Ultrasonografi
Ultrasonografi transrektal (TRUS) dapat dilakukan pada pasien dengan kelainan
yang terdeteksi oleh DRE atau mereka yang mengalami peningkatan Tingkat
PSA. Setelah DRE, probe dubur yang dilumasi, tertutup kondom transduser
dimasukkan ke dalam rektum di sepanjang dinding anterior. Air dapat dimasukkan
ke kondom untuk membantu mentransmisikan suara gelombang ke prostat. TRUS
dapat digunakan dalam mendeteksi nonpalpable kanker prostat dan stadium
kanker prostat lokal. Biopsi jarum pada prostat biasanya dipandu oleh TRUS.
20
c. Analisa Cairan Atau Jaringan
Spesimen cairan atau jaringan prostat dapat diperoleh untuk biakan ketika
penyakit atau radang kelenjar prostat diduga. Biopsi kelenjar prostat mungkin
diperlukan untuk mendapatkan jaringan untuk pemeriksaan histologis. Ini dapat
dilakukan pada saat prostatektomi atau dengan biopsi jarum perineum atau
transrektal.
4. Diagnosis keperawatan untuk pasien dengan BPH sebelum operasi
a. Nyeri akut terkait distensi kandung kemih sekunder pembesaran prostat
b. Risiko infeksi terkait dengan kateter yang menetap, kemih stasis, atau patogen
lingkungan

5. Perawatan pra operasi


Drainase kemih harus dipulihkan sebelumnya operasi. Obstruksi prostat dapat
menyebabkan retensi akut atau ketidakmampuan untuk membatalkan. Kateter uretra
seperti coudé (curvedtip) kateter mungkin diperlukan untuk mengembalikan drainase.
Dalam banyak kesehatan pengaturan perawatan, 10 mL gel lidokain 2% steril
disuntikkan ke uretra sebelum pemasangan kateter. Gel lidokain tidak hanya bertindak
sebagai pelumas, tetapi juga menyediakan anestesi local dan membantu membuka
lumen uretra. Jika obstruksi cukup besar uretra ada, ahli urologi dapat memasukkan
kateter filiform dengan kekakuan yang cukup untuk melewati rintangan. Teknik
aseptic penting setiap saat untuk menghindari masuknya bakteri ke dalamnya kandung
kemih.
Antibiotik biasanya diberikan sebelum prosedur invasif. Setiap infeksi saluran
kemih harus diobati sebelumnya operasi. Mengembalikan drainase kemih dan
mendorong yang tinggi asupan cairan (2-3L/hari kecuali dikontraindikasikan) juga
membantu dalam mengelola infeksi. Pasien sering khawatir tentang dampak yang
akan terjadi operasi fungsi seksual. Berikan kesempatan untuk pasien dan pasangan
untuk mengungkapkan kekhawatiran mereka. Menginformasikan pasien bahwa
pembedahan dapat mempengaruhi fungsi seksual. Ejakulasi dapat dikurangi
jumlahnya atau sama sekali tidak ada. Sebagian besar jenis pembedahan prostat
menyebabkan beberapa tingkat ejakulasi mundur. Ini dapat mengurangi sensasi
orgasme yang dirasakan selama ejakulasi. Ejakulasi retrograde tidak berbahaya karena
air mani dihilangkan selama buang air kecil berikutnya.

21
J. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Pada Pasien BPH Pra-Operasi TURP
1. Pengkajian
White, Duncan,& Baumle (2013) menjabarkan pengambilan data pengkajian yang
dapat dilakukan perawat pada klien pasca tindakan TURP, yaitu:
a. Data Subjektif
Pengambilan data subjektif yang dapat dilakukan adalah dengan menanyakan
skala nyeri (dari 0 sampai 10) pada klien post TURP karena berkaitan dengan
risiko terjadinya kejang kandung kemih. Selain itu perlu dilakukan penilaian
status emosional klien, seperti ungkapan klien atas perasaannya akan kehilangan
“sesuatu” akibat pembedahannya, penggambaran diri akan citra tubuhnya, adanya
kecemasan, kekhawatirannya tentang perubahan dalam pola seksualitas atau
kemungkinan disfungsi seksual. Selain itu, kaji apakah klien masih ada keluhan
mengenai inkontinensia atau tidak. Amati bahasa verbal dan non-verbal klien
yang menunjukkan kebutuhan klien akan informasi lebih lanjut tentang
penyakitnya atau jaminan kondisi serta perawatannya.
b. Data Objektif
Sesaat setelah pembedahan, tugas utama perawat adalah mengobservasi
tanda-tanda vital klien dan mempertahankan drainase urin. Dokumentasikan
warna urin, termasuk keberadaan bekuan darah, setiap kali mencatat keluaran
urin. Warna urin merah cerah selama lebih dari beberapa jam setelah operasi
menandakan terjadinya pendarahan. Laporkan segera ke dokter bila menemukan
tanda-tanda pendarahan, hipertermia, hipotensi, dan takikardia.
Klien post TURP akan terpasang foley kateter tiga arah dan irigasi kandung
kemih terus menerus selama 24 jam. Penting bagi perawat untuk mencatat intake
output klien secara akurat untuk memastikan bahwa klien mendapatkan asupan
oral yang memadai untuk meningkatkan produksi urin dan mengurangi resiko
infeksi. Dalam mengukur haluaran urin, jumlah irrigant harus dikurangi dari total
haluaran urin yang sebenarnya. Setelah kateter dilepas, perawat perlu mengkaji
sisa postvoid dan apakah ada inkotinensia atau tidak. Palpasi perut untuk
mengetahui adanya distensi kandung kemih. Periksa linen tempat tidur dan
pakaian klien untuk tanda-tanda inkotinensia. Tanyakan pada klien apakah ia
mengalami kehilangan kontrol kemih atau tidak.
Kaji keracunan cairan, yang mungkin merupakan hasil dari penyerapan
cairan irigasi (bukan cairan IV). Gejala keracunan yang paling sering timbul

22
misalnya perubahan status mental klien ditandai dengan terjadinya agitasi,
kebingungan, dan kejang-kejang. Tanda keracunan yang lainnya adalah terjadinya
penurunan denyut nadi (bradikardia) disertai dengan peningkatan tekanan darah
sistolik dan penurunan diastolik.

2. Diagnosis Keperawatan
Setelah dilakukan pengkajian, langkah selanjutnya adalah penegakkan diagnosis
keperawatan. Berikut beberapa diagnosis keperawatan yang dapat ditegakkan pada
klien pasca dilakukan Tindakan TURP, yaitu:
a. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan obstruksi mekanis-darah clothing,
tindakan pembedahan atau tekanan dan iritasi kateter dan balon kateter (Doenges,
Moorhouse,& Murr, 2010).
b. Risiko cedera berhubungan dengan adanya kateter urine, hematuria, irigasi, atau
drain suprapubis (Black, 2014).
c. Nyeri akut berhubungan dengan pembedahan dan spasme kandung kemih (Black,
2014).
d. Risiko ketidakseimbangan volum cairan berhubungan dengan irigasi post operasi
(White, Duncan,& Baumle, 2013).
e. Stress atau inkotinensia urin berhubungan dengan control sfingter yang buruk
setelah pelepasan kateter post operasi (White, Duncan,& Baumle, 2013).
f. Disfungsi seksual berhubungan dengan pembedahan (White, Duncan,& Baumle,
2013).

3. Intervensi Keperawatan
1. Diagnosa 1:
Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan tindakan pembedahan dan adanya
balon kateter (Doenges, 2010).
NOC:
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam maka tidak ada gangguan
dalam eliminasi urin.
Kriteria Hasil:
- Pengeluaran urin normal tanpa retensi.
- Dapat mengontrol pengeluaran urin

23
- Dapat merasakan sensasi kandung kemih

Intervensi Rasional

24
Manajemen Eliminasi Urin Manajemen Eliminasi Urin
Mandiri Mandiri
1. Kaji keluaran urin dan sistem 1. Retensi dapat terjadi karena
drainase kateter, khususnya selama edema pada area bedah, gumpalan
irigasi kandung kemih. darah, dan kejang kandung kemih.
2. Mendorong keluarnya urin dan
2. Bantu klien untuk mengambil meningkatkan rasa normal.
posisi normal untuk membatalkan;
sebagai contoh, berdiri dan
berjalan ke kamar mandi secara
berkala setelahnya kateter dilepas.
3. Catat waktu, jumlah pembatalan,
dan ukuran aliran setelahnya 3. Kateter biasanya dilepas 2 sampai
kateter dilepas. Catat laporan 5 hari setelah operasi, tetapi
kepenuhan kandung kemih membatalkan dapat terus menjadi
ketidakmampuan untuk masalah untuk beberapa waktu
membatalkan, dan urgensi. karena edema uretra dan
hilangnya tonus kandung kemih.
4. Dorong klien untuk membatalkan 4. Berkemih dengan dorongan
berkemih, ketika dorongan maka mencegah retensi urin. Batasi
dicatat tetapi tidak lebih dari setiap untuk setiap 4 jam, jika
2 hingga 4 jam per protokol. ditoleransi, meningkatkan nada
dan alat bantu kandung kemih
dalam pelatihan kembali kandung
5. Dorong asupan cairan hingga kemih.
2.000 hingga 2.500 mL sesuai 5. Mempertahankan hidrasi dan
toleransi. Membatasi cairan di perfusi ginjal yang memadai
malam hari setelah kateter dilepas. untuk kencing mengalir. Asupan
cairan “penjadwalan” mengurangi
6. Instruksikan klien dalam latihan kebutuhan untuk membatalkan
perineum, seperti pengetatan selama malam.
pantat dan berhenti dan mulai 6. Membantu mendapatkan kembali
aliran urin. kontrol sphincter kandung kemih,
7. Beri tahu klien bahwa "dribbling" meminimalkan inkontinensia.
25
diharapkan setelah kateter dilepas 7. Informasi membantu klien
dan harus menyelesaikan seiring mengatasi masalah. Pasca operasi
pemulihan berlangsung. inkontinensia biasanya bersifat
Memberikan dan sementara, tetapi inkontinensia
menginstruksikan penggunaan stress dapat bocor, saat batuk,
bantalan kontinen saat tertawa, dan bisa mengangkat
ditunjukkan. bertahan tanpa batas.

Kolaborasi Kolaborasi
1. Pertahankan irigasi kandung kemih 1. Bilas kantung gumpalan darah dan
berkelanjutan (CBI), seperti yang puing-puing untuk
ditunjukkan, di periode pasca mempertahankan paten dari
operasi awal. kateter dan aliran kemih.
2. Ukur volume residu melalui 2. Memantau efektivitas
kateter suprapubik, jika ada, atau pengosongan kandung kemih.
dengan ultrasonografi Doppler Sisa lebih dari 50 mL
(Wilkinson, 2018). menyarankan perlunya kelanjutan
kateter sampa nada kandung
kemih membaik.

(Doenges,2010)

2. Diagnosa 2:
Risiko cedera berhubungan dengan adanya kateter urin dan irigasi (Doenges,
2010).
NOC:
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam maka tidak ada tanda
cidera.
Kriteria Hasil:
- Penyembuhan luka baik
- Tidak ada tanda-tanda infeksi
- Mencapai kesembuhan yang tepat waktu
Intervensi Rasional
Pengendalian Infeksi Pengendalian Infeksi
Mandiri Mandiri

26
1. Pertahankan sistem kateter steril; 1. Mencegah masuknya bakteri dan
sediakan kateter biasa dan infeksi yang dihasilkan.
perawatan meatus urin dengan
sabun dan air, oleskan salep
antibiotik di sekitar situs kateter
per protokol.
2. Ambulat dengan kantong drainase 2. Hindari refluks mundur urin,
yang tergantung. yang dapat menyebabkan bakteri
ke dalam kandung kemih.
3. Klien yang telah menjalani
3. Pantau tanda-tanda vital, sistoskopi atau TURP berisiko
perhatikan demam ringan, lebih tinggi untuk syok bedah
kedinginan, nadi cepat dan dan septik terkait dengan
pernapasan, gelisah, lekas marah, instrumentasi.
dan disorientasi. 4. Kehadiran saluran pembuangan
4. Amati drainase dari luka di sekitar dan sayatan suprapubik
kateter suprapubik. meningkatkan risiko infeksi,
seperti yang ditunjukkan oleh
eritema atau drainase purulen.
5. Dressing basah menyebabkan
iritasi kulit dan menyediakan
media untuk pertumbuhan
5. Ganti pembalut sayatan
bakteri, meningkatkan risiko
suprapubis/ retropubic dan
infeksi luka.
perineum sering, membersihkan
dan mengeringkan kulit secara
menyeluruh setiap kali.
6. Memberikan perlindungan untuk
6. Gunakan penghalang kulit tipe
kulit di sekitarnya, mencegah
ostomi.
eksoriasi dan mengurangi risiko
infeksi

Kolaborasi Kolaborasi
Berikan antibiotik, seperti yang Dapat diberikan secara profilaksis
ditunjukkan karena peningkatan risiko infeksi

27
(Doenges,2010) dengan prostatektomi
(Doenges,2010)

3. Diagnosa 3:
Nyeri akut berhubungan dengan tindakan pembedahan
NOC:
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam maka nyeri klien
berkurang.
Kriteria Hasil:
- Tingkat Nyeri
- Nyeri berkurang
- Klien tampak santai
- Klien dapat bisa tidur dan beristirahat dengan tenang

- Kontrol Nyeri
- Klien dapat melakukan relaksasi
- Nyeri dapat dikendalikan
- Klien dapat distraksi diri sendiri

Intervensi Rasional

28
Manajemen Nyeri Manajemen Nyeri
Mandiri Mandiri
1. Nilai rasa sakit, perhatikan lokasi, 1. Perubahan dalam laporan nyeri
intensitas (skala 0 hingga 10), dan dapat mengindikasikan adanya
karakteristik. komplikasi yang membutuhkan
evaluasi dan intervensi lebih
lanjut. catatan: Tajam, nyeri
intermiten dengan keinginan
untuk membatalkan dan
perjalanan urin di sekitar kateter
menunjukkan kejang kandung
kemih, yang cenderung menjadi
lebih parah dengan pendekatan
suprapubik atau TUR dan
biasanya berkurang dalam 48
jam.
2. Memelihara kateter dan drainase
yang berfungsi dengan baik
2. Pertahankan patensi kateter dan
sistem mengurangi risiko distensi
sistem drainase. Menjaga tabung
kandung kemih dan kejang.
bebas dari ketegaran dan
3. Mengurangi iritasi dengan
gumpalan.
mempertahankan aliran cairan
yang konstan di atas mukosa
3. Tingkatkan asupan hingga 3.000
kandung kemih.
mL/hari, sesuai toleransi.
4. Menghilangkan kecemasan dan
mempromosikan kerja sama
dengan yang diperlukan
4. Berikan klien informasi yang Prosedur.
akurat tentang kateter, drainase, 5. Mengurangi ketegangan otot,
dan kejang kandung kemih. memfokuskan kembali perhatian,
5. Berikan langkah-langkah dan mungkin meningkatkan
kenyamanan, seperti perubahan kemampuan mengatasi.
posisi, punggung gosok, Sentuhan

29
Terapi, dan aktivitas pengalihan.
Dorong penggunaan teknik
relaksasi, termasuk latihan
deepbreathing, visualisasi, dan
gambar yang dipandu.

Kolaborasi Kolaborasi
1. Berikan lampu panas, jika ada 1. Mempromosikan perfusi jaringan
indikasi. dan resolusi edema dan
meningkatkan penyembuhan
dalam pendekatan perineum.
2. Relakskan otot polos untuk
2. Berikan antispasmodik, seperti meredakan kejang dan nyeri
berikut ini: Oxybutynin (Ditropan), yang terkait.
flavoxate (Urispas), supositoria B
&O 3. Meredakan kejang kandung
3. Propantheline bromide (Pro- kemih dengan aksi
Banthine) antikolinergik. Biasanya
(Doenges,2010) dihentikan 24 hingga 48 jam
sebelum mengantisipasi
penghapusan kateter untuk
meningkatkan kontraksi kandung
kemih normal.

(Doenges,2010)

DAFTAR PUSTAKA

Black, J. M., Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah Ed. 8. Singapore: Elsevier.
Diguilio, M.,& Dona, J. (2014). Keperawatan Medical Bedah. Jakarta: Repha.

30
Doenges, M. E., Moorhouse, M. F.,& Murr, A., C. (2010). Nursing Care Plans (8th ed.).
Philadelphia: F. A. Davis Company.
Grossman, S. C., & Porth, C. M. (2013). Porth’s pathophysiology: Concepts of altered health
states: Ninth edition. In Porth’s Pathophysiology: Concepts of Altered Health States:
Ninth Edition.
Hinkle, J.L.,& Cheever, K.H. (2018). Brunner& Suddarth’s Textbook of Medical-Surgical
Nursing 13rd Ed. Philadelphia: Lippincott Williams& Wilkins.
Ikatan Ahli Urologi Indonesia. (2017). Panduan Penataan Klinis BPH. Jakarta.
Kumar, A., Jones, D. D., Hanna, M. A., Soediono, B., & Bartocci, A. C. (2009). Medical-
surgical nursing visual. In Journal of Chemical Information and Modeling (Vol. 53,
Issue 3). https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Kumar, V., Abbas, A. K., & Aster, J. C. (2013). Robbins basic pathology (Ninth). Elsevier.
Lewis, et al. (2013). Medical-Surgical Nursing Assessment and Management of Clinical
Problems. Missouri: Mosby.
Smeltzer, et al (2010). Brunner and Suddarth`s Textbook of Medical-Surgical Nursing.
China: Lippincott Williams & Wilkins.XSherwood, L. (2016). Human physiology: From
cells to systems (Ninth). Cengage Learning.

Wilkinson M, Judith (2018). Nursing Diagnoses Definitions and Classification 11st Ed. New
York: Thieme Publisher.
White, L., Duncan, G.,& Baumle, W. (2013). Medical-Surgical Nursing: An Integrated
Approach (3rd ed.). USA: Delmar Cengage Learning.

31

Anda mungkin juga menyukai