Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KEPERAWATAN PERIOPERATIF

BENIGNA PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH) DAN


TEKNIK INSTRUMENTASI TRANS URETRA RESECTION
OF PROSTAT (TURP)

Oleh
HASRINING TRI SUPRAPTI
1601460034

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG


JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI D-IV KEPERAWATAN MALANG
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
BENIGNA PROSTATE HYPERPLASI (BPH)

A. Definisi
 Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh
penuaan. Price&Wilson (2005)
 Hiperplasia prostat jinak adalah pembesaran kelenjar prostat nonkanker,
(Corwin, 2000)
 BPH adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami pembesaran
memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin
dengan cara menutupi orifisium uretra. (Smeltzer dan Bare, 2002)
 Hiperplasi prostat adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat
(secara umum pada pria > 50 tahun) yang menyebabkan berbagai derajat
obstruksi uretra dan pembiasan aliran urinarius. (Doenges, 1999)
 Menurut Doenges (1999) dan Engram (1998) untuk mengatasi BPH,
tindakan infasif medikal yang sering digunakan oleh Rumah Sakit adalah
prostatektomy, yaitu tindakan pembedahan bagian prostat
(sebagian/seluruh) yang memotong uretra bertujuan untuk memperbaiki
aliran urin dan menghilangkan retensi urinaria akut.
Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu
penyakit yang disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami
pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat
aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra. Prostatektomy
merupakan tindakan pembedahan bagian prostate (sebagian/seluruh) yang
memotong uretra, bertujuan untuk memeperbaiki aliran urin dan
menghilangkan retensi urinaria akut.

B. Etiologi
Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti
penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa
hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron
(DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab
timbulnya hiperplasi prostat adalah :
1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen
pada usia lanjut
2. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu
pertumbuhan stroma kelenjar prostat
3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang
mati
4. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem
sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat
menjadi berlebihan.
Pada umumnya dikemukakan beberapa teori :
- Teori Sel Stem, sel baru biasanya tumbuh dari sel stem. Oleh karena suatu
sebab seperti faktor usia, gangguan keseimbangan hormon atau faktor
pencetus lain.
Maka sel stem dapat berproliferasi dengan cepat, sehingga terjadi
hiperplasi kelenjar periuretral.
- Teori kedua adalah teori Reawekering (Neal, 1978) menyebutkan bahwa
jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologi
sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan
sekitarnya.
- Teori lain adalah teori keseimbangan hormonal yang menyebutkan bahwa
dengan bertambahnya umur menyebabkan terjadinya produksi testosteron
dan terjadinya konversi testosteron menjadi estrogen. (Kahardjo, 1995).

C. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala
yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal
berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran
miksi melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus
menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining) kencing terputus-
putus (intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi
retensio urin dan inkontinen karena overflow.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau
pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering
berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas
otot detrusor dengan tanda dan gejala antara lain: sering miksi (frekwensi),
terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang
mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria) (Mansjoer, 2000).
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4
stadium :
1. Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine
sampai habis.
2. Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine
walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa
tidak enak BAK atau disuria dan menjadi nokturia.
3. Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
4. Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine
menetes secara periodik (over flow inkontinen).
Menurut Brunner and Suddarth (2002) menyebutkan bahwa :
Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia,
dorongan ingin berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine
yang turun dan harus mengejan saat berkemih, aliran urine tak lancar, dribbing
(urine terus menerus setelah berkemih), retensi urine akut.
Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini :
1. Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
a. Grade 0 : Penonjolan prostate 0-1 cm ke dalam rektum.
b. Grade 1 : Penonjolan prostate 1-2 cm ke dalam rektum.
c. Grade 2 : Penonjolan prostate 2-3 cm ke dalam rektum.
d. Grade 3 : Penonjolan prostate 3-4 cm ke dalam rektum.
e. Grade 4 : Penonjolan prostate 4-5 cm ke dalam rektum.
2. Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh
kencing dahulu kemudian dipasang kateter.
a. Normal : Tidak ada sisa
b. Grade I : sisa 0-50 cc
c. Grade II : sisa 50-150 cc
d. Grade III : sisa > 150 cc
e. Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing

D. Patofisiologi
E. Komplikasi
1. Perdarahan
2. Inkotinensia
3. Batu kandung kemih
4. Retensi urine
5. Impotensi
6. Epididimitis
7. Haemorhoid, hernia, prolaps rectum akibat mengedan
8. Infeksi saluran kemih disebabkan karena catheterisasi
9. Hydronefrosis

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar
gula digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan klien.
b. Pemeriksaan urin lengkap dan kultur.
c. PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting
diperiksa sebagai kewaspadaan adanya keganasan.
2. Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara
obyektif pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan
penilaian :
a. Flow rate maksimal > 15 ml / dtk = non obstruktif.
b. Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line.
c. Flow rate maksimal < 10 ml / dtk = obstruktif.
3. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
a. BOF (Buik Overzich ) :
Untuk melihat adanya batu dan metastase pada tulang.
b. USG (Ultrasonografi),
c. IVP (Pyelografi Intravena)
Digunakan untuk melihat fungsi ekskresi ginjal & adanya hidrone
frosis
4. Pemeriksaan Panendoskop :
untuk mengetahui keadaan uretra dan buli – buli.
5. Pemeriksaan CT- Scan dan MRI
Computed Tomography Scanning (CT-Scan) dapat memberikan
gambaran adanya pembesaran prostat, sedangkan Magnetic Resonance
Imaging (MRI) dapat memberikan gambaran prostat pada bidang
transversal maupun sagital pada berbagai bidang irisan, namun
pameriksaan ini jarang dilakukan karena mahal biayanya.
6. Pemeriksaan sistografi
Dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan hematuria atau pada
pemeriksaan urine ditemukan mikrohematuria. pemeriksaan ini dapat
memberi gambaran kemungkinan tumor di dalam kandung kemih atau
sumber perdarahan dari atas apabila darah datang dari muara ureter atau
batu radiolusen di dalam vesica. Selain itu sistoscopi dapat juga memberi
keterangan mengenai besar prostat dengan mengukur panjang urethra pars
prostatica dan melihat penonjolan prostat ke dalam urethra.
G. Penatalaksanaan Medis
Modalitas terapi BPH adalah :
1. Observasi
Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3 –
6 bulan kemudian setiap tahun tergantung keadaan klien
2. Medikamentosa
Terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang, d
an berat tanpa disertai penyulit.Obat yang digunakan berasal dari:
phitoterapi (misalnya: Hipoxis rosperi, Serenoa
repens, dll), gelombang alfa blocker dan golongan supresor androge
n.
3. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
a. Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin
akut.
b. Klien dengan residual urin > 100 ml.
c. Klien dengan penyulit.
d. Terapi medikamentosa tidak berhasil.
e. Flowmetri menunjukkan pola obstruktif.
Pembedahan dapat dilakukan dengan :
a. TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui
sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.
b. Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada
kandung kemih.
c. Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen
bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung
kemih.
d. Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi
diantara skrotum dan rektum.
e. Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula
seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada
abdomen bagian bawah, uretra dianastomosiskan ke leher kandung
kemih pada kanker prostat.
4. Terapi Invasif Minimal
a. Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan
ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang melalui /pada ujung
kateter.
b. Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy
(TULIP)
c. Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian Fokus
a. Eliminasi
Gejala : Penurunan kekuatan/dorongan aliaran urin, tetes,
ragu-ragu berkemih, nokturia, disuria, hematuria.
Tanda : Massa padat dibawah abdomen bawah
(Distensi Kandung kemih, nyeri tekan kandung kemih ).
b. Nyeri/ kenyamanan
Gejala : Nyeri suprapubis, panggul,punggung bawah
c. Sirkulasi : Peninggian tekanan darah
d. Psikososial : Ekspresi takut akibat inkontinensia, gangguan
Seksualitas
e. Pemeriksaan Diagnostik
1) Urinalisa : Warna kuning,coklat gelap,merah gelap atau
terang ( berdarah ), pH 7 atau lebih.
2) Kultur urin : Ada staphylococcus Aureus, E.Colly, Proteus,
Pseudomonas.
3) BUN / Kreatinin: Meningkat pada gangguan ginjal
4) SDP : Lebih dari 11.000
5) Ultrasonografi transrektal dan suprapubic untuk mengetahui
ukuran prostat.
B. Diagnosa Keperawatan
Pre Operasi
1. Retensi urine berhubungan dengan obstruksi mekanik pembesaran
prostat
2. Nyeri Akut b.d. iritasi mukosa ; distensi kandung kemih, kolik ginjal;
infeksi urinaria; terapi radiasi.
3. Risiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan b.d. pasca obstruksi
diuresis dari drainase cepat.
Intra Operasi
4. Ketakutan / ansietas b.d perubahan status kesehatan : kemungkinan
prosedur/ malignansi
Post Operasi
5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan b.d kurang terpapar terhadap informasi, tidak mengenal
sumber informasi
C. Intervensi Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan Benigna
Prostate Hyperplasi (BPH), antara lain :
a. Retensi Urin ( Akut/kronik ) b.d. obstruksi mekanik, pembesaran
prostat, dekompensasi otot detrusor, ketidakmampuan kandung kemih
untuk berkontraksi dengan adekuat.
Data pendukung : Frekuensi, keragu-raguan, ketidakmampuan
mengosongkan kandung kemih dengan lengkap,
inkontinensia/menetes, distensi kandung kemih dan residu urin lebih
dari 50 cc.
Hasil yang diharapkan :
Pasien menunjukan :
- Peningkatan pola BAK
- Tidak teraba distensi abdomen
- Menunjukan residu setelah berkemih kurang dari 50 ml, tidak
adanya tetesan/kelebihan aliran.
Intervensi/tindakan:
1) Dorong pasien untuk berkemih tiap 2 – 4 jam atau bila pasien tiba-
tiba merasa untuk berkemih.
Rasional : Meminimalkan terjadinya retensi urin yang berlebihan
pada kandung kemih.
2) Awasi dan catat waktu, jumlah setiap berkemih, perhatikan
penurunan haluaran urin.
Rasional : Untuk mengetahui kemampuan ginjal untuk berfungsi
secara normal
3) Palpasi area supra pubik.
Rasional : Retensi urin dapat diketahui dengan palpasi daerah
suprapubik, yaitu teraba adanya masa pada daerah abdomen
bawah.
4) Anjurkan pasien untuk mengintake cairan 3000 ml/hari ( 10 – 15
gelas perhari.
Rasional : Peningkatan intake cairan dapat mempertahankan
perfusi ke ginjal dan kandung kemih dari pertumbuh bakteri
5) Observasi tanda-tanda vital setiap jam.Awasi terjadinya hipertensi,
edema perifer, perubahan mental.Timbang berat badan setiap
hari,ukur intake dan output cairan setiap hari.
Rasional : Kehilangan fungsi ginjal menyebabkan penurunan
eliminasi cairan dan akumulasi sisa toksik ; dapat berlanjut pada
terjadinya gagal ginjal total.
6) Lakukan kompres hangat atau rendam duduk.
Rasional : Untuk meningkatkan relaksasi otot, menurunkan edema
dan merangsang untuk berkemih.
7) Tindakan kateterisasi menggunakan Kateter coude
Rasional : Mengurangi dan mencegah retensi urin. Kateter Coude
diperlukan karena ujungnya lengkung sehingga memudahkan
masuknya selang melalui uretra prostat.
8) Kolaborasi pemberian antispasmodik misalnya oksibutinin klorida
(Ditropan).
Rasional : Menghilangkan spasme kandung kemih sehubungan
dengan iritasi kateter.
9) Memberiakan antibiotik
Rasional : Untuk melawan infeksi.
10) Siapkan untuk drainase urin, misalnya sistostomy.
Rasional : untuk mengalirkan urin selama episode akut dengan
azotemia.
11) Lakukan hipertermi transuretral ( pemanasan bagian sentral prostat
dengan memasukan elemen pemanas melalui uretra)
Rasional : Mengecilkan prostat ( 1 - 2 kali/ minggu )
b. Nyeri Akut b.d. iritasi mukosa ; distensi kandung kemih, kolik ginjal;
infeksi urinaria; terapi radiasi.
Data Pendukung :
Keluhan nyeri,penyempitan ureter; perubahan tonus otot, meringis,
gelisah, respon otonomik.
Kriteria evaluasi / hasil yang diharapkan :
Pasien akan :
- Memberitahukan nyeri hilang/ terkontrol
- Tampak rileks
- Istirahat dengan tenang.
Intervensi :
1) Kaji dan catat kualitas, lokasi dan durasi nyeri. Gunakan skala
nyeri (0-10) 0 (tidak ada nyeri) 10 (nyeri yang paling hebat).
2) Jelaskan penyebab rasa sakit dan cara menguranginya
3) Kolaborasi terapi dengan pemberian Analgesik sesuai program.
4) Ajarkan teknik mengatasi rasa nyeri : napas dalam untuk
menurunkan stress dan membantu rilaks otot yang tegang
5) Kompres es pada daerah yang sakit untuk mengurangi nyeri
6) Ciptakan lingkungan yang tenang
c. Risiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan b.d. pasca obstruksi
diuresis dari drainase cepat, kandung kemih yang terlalu distensi
secara kronis ; Endokrin, ketidakseimbangan elektrolit ( disfungsi
ginjal )
Data pendukung : (Tidak dapat diterapkan ; adanya tanda-tanda dan
gejala-gejala membuat diagnosa aktual ).
Hasil yang diharapkan / kriteria evaluasi :
Pasien akan mempertahankan hidrasi yang adekuat yang dibuktikan
dengan tanda-tanda vital dalam batas normal, pengisian kapiler baik,
dan membran mukosa lembab.
Intervensi / rencana tindakan :
1) Monitor pengeluaran urin tiap jam.
Rasional : Diuresis dapat meneyababkan kekurangan volume
cairan, karena natrium tidak cukup diabsorbsi dalam tubulus
ginjal.
2) Monitor tanda-tanda vital : nadi, tekanan darah; evaluasi pengisian
kapiler dan membran mukosa oral
Rasional : untuk mendeteksi terjadinya hipovolemik.
3) Motivasi pasien untuk meningkatkan intake cairan peroral
Rasional : untuk mengimbangi cairan yang keluar akibat diuresis
4) Berikan posisi semi fowler kepala pasien
Rasional : Menurunkan kerja jantung, memudahkan homeostasis
sirkulasi.
5) Berikan cairan IV
Rasional : Menggantikan cairan yang hilang.
d. Ketakutan / ansietas b.d perubahan status kesehatan : kemungkinan
prosedur/ malignansi
Data pendukung : Perut tegang
Hasil yang diharapkan :
Rasa takut dan tegang berkurang, pasien tampak rileks.
Intervensi :
1) Selalu bersama – sama dengan pasien bina hubungan saling
percaya
Rasional : Menunjukan perhatian dan keinginan untuk membantu
2) Berikan informasi tentang tanda / prosedur dan tes khusus seperti
pemasangan kateter, urin berdarah, iritasi pada kandung kemih.
Rasional : Meningkatkan pemahaman pasien tentang tujuan dari
apa yang dilakukan, sehingga dapat mengurangi rasa takut dan
kecemasan
3) Anjurkan kepada pasien untuk mengungkapkan perasaannya
kepada orang terdekat
Rasional : mengurangi kecemasan
e. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan b.d kurang terpapar terhadap informasi, tidak mengenal
sumber informasi
Data pendukung :
Pasien sering bertanya tentang penyakit, pasien tidak melakukan
intervensi sesuai instruksi.
Hasil yang diharapkan / Kriteria evaluasi :
- Pasien akan memahami tentang proses penyakit
- Pasien akan dapat mengidentifikasi tentang tanda dan gejala proses
penyakit
- Pasien akan berpartisipasi dalam program pengobatan.
Tindakan/Intervensi : Pendidikan Kesehatan
1) Berikan informasi tentang penyakit : pengertian,etiologi, tanda dan
gejala penyakit.
2) Berikan informasi kepada pasien bahwa penyakit ini tidak
ditularkan secara seksual atau melalui hubungan seksual.
3) Anjurkan pasien untuk menghindari makanan berbumbu, kopi,
alkohol, mengemudikan dalam waktu yang lama, karena dapat
menyebabkan iritasi dan meningkatkan produksi urin sehingga
terjadi distensi otot bladder.
4) Berikan latihan berkemih kepada pasien post pemasangan kateter.
5) Anjurkan kepada pasien untuk melakukan kunjungan ulang selama
6 bulan sampai 1 tahun.
TEKNIK INSTRUMENTASI
TURP

A. Definisi
TURP adalah tindakan operasi pengerokan sebagian/ seluruh jaringan
prostat yang terjadi pembesaran sehingga menyebabkan penderita tidak
bisa BAK, dilakukan secara endoskopi dengan menggunakan alat
pemotong (cuttingloop).
B. Indikasi
 Pembedahan prostat
 Volume prostat kurang dari 60 gr
 Sumbatan prostat yang tidak bisa diobati dengan terapi obat
C. Tujuan
 Mengatur alat secara sistematis di meja instrumen.
 Memperlancar handling instrument.
 Mempertahankan kesterilan alat – alat instrumen selama operasi.
D. Persiapan
a. Persiapan Alat:
1) Alat On Steril:
 Desinfektan (betadin) 10% pada tempatnya.
 Hypafix.
 Gunting Verban.
 Plat Diatermi endoscopy.
 Mesin Diatermi endoscopy (alat koagulasi + reseksi listrik).
 Meja Operasi.
 Meja Mayo.
 Meja Instrumen.
 Standar Infus.
 Tempat Sampah.
 Lampu operasi.
 Saringan, timba, selang air, ceret.
 Lampu storz (lampu endoscopy/ colid light fontain standar)
 Benower (penopang kaki).
 TV + monitor.
2) Alat steril
a) Set dasar
 Desinfeksi Klem 1
 Doek Klem 5.
 Krom 1.
b) Set tambahan
 Linen set TUR.
 Handschoen (sesuai ukuran operator).
 Desinfektan bethadin 10%.
 Kasa, deper, cucing, bengkok, korentang pada tempatnya.
c) Alat / set khusus
 Kran air untuk spoel (irrigator).
 Selang irigasi (pipa air dengan luer lock).
 Kabel lampu storz (kabel cahaya fiber optik).
 Kabel ces diathermi endoscopy.
 Sikat steril.
 Jelly k-y.
 Bugie roser 3 biji (no.21, 23, 25).
 Sheath no.27.
 Working elemen yang sudah di set dengan cutting loop
no.27 (no.24, 27) beserta optiknya (30°) (0° atau 30°)/
telescope.
 Elix evacuator + balon karet.
 Three way catheter 24 F.
 Urobag.
 Spuit 20 cc.
 Blood set.
 Kamera + kabel.
b. Persiapan Penderita
 Persetujuan operasi.
 Alat-alat dan obat-obatan.
 Meja operasi diposisikan untuk operasi TUR-P meja bagian
kaki ditekuk ke bawah.
 Pasang benower (penopang kaki), posisi tidur lithotomic.
 Pasang plat diathermi endoscopy di bawah kaki penderita,
sambung kabel ke mesin diathermi endoscopy.
 Pasang kotak saringan + selang + timba tempat air di bawah
meja operasi.
 Siapkan infus PZ pada standar infus.
 Siapkan kran air pada standar infus + isi dengan aqua steril
± 10 liter.
 Siapkan ceret tempat water steril + saringan + timba.
E. Teknik Instrumentasi
 Perawat instrumen cuci tangan, memakai baju operasi, handschoen
steril.
 Perawat Instrumen memberi + memakaikan baju operasi +
handschoen steril pada operator + asisten yang sudah cuci tangan.
 Perawat instrumen mengatur instrumen di meja mayo secara
sistematis sesuai kebutuhan.
 Perawat instrumen memberikan desinfeksi klem + deper betadin 1%
untuk desinfeksi lapangan operasi pada operator. (penis, scrotum,
kedua paha, perut sebatas umbilicus).
 Perawat instrumen menyiapkan + memberikan doek kecil 3 buah,
bensloop 2 buah, doek lubang besar 1 buah, doek klem 4 buah untuk
drapping.
 Perawat instrumen memasang + mengatur kabel lampu storz, selang
air irigasi, kabel diathermi endoscopy, kabel kamera, pasang doek
klem dan disambungkan ke TV, mesin lampu, mesin diathermi
endoscopy + kran air oleh omploop dan memberitahu bahwa
instrumen siap.
 Perawat instrumen memberikan bugie roser dari ukuran terkecil
(3buah)/ no.21, 23, 25 dan ujungnya diolesi jelly, kemudian berturut-
turut memberikan obturator + sheath no.27 dimasukkan lewat urethra
sampai masuk ke buli-buli, kemudian obturator dilepas diganti
dengan working element, optik 30° dan cutting loop sesuai dengan
ukuran sheath nya.
 Operator lalu melakukan evaluasi buli-buli apakah ada tumor, batu,
trabekulasi, dan divertikel buli. Selanjutnya dilakukan reseksi prostat
sambil merawat perdarahan.
 Chips prostat dikeluarkan dengan menggunakan elix evacuator +
bahan karet yang yang sudah diisi dengan cairan water steril (spoel)
sampai bersih,
 Selanjutnya dilakukan perawatan perdarahan.
 Perawat instrumen mengambil hasil kerokan (chips) dengan krom
dan dimasukkan dalam cucing untuk di PA (sesuai instruksi dokter).
 Pemotongan + penghentian perdarahan sudah selesai, perawat
instrumen memberikan three way catheter 24F + jelly, operator
memasang menyambung dengan urobag,
 Perawat instrumen memberi balon 40 cc + spoel PZ (sesuai instruksi
dokter).
 Operator memfixasi catheter secara lurus, agak ditarik pada paha dan
pada gland penis diberi kasa.
 Perawat instrumen melakukan inventarisasi pada instrumen yang
telah dipakai.
F. Evaluasi
 Spoeling lancar tidak ada sumbatan
 Alat-alat lengkap dan tidak mengalami kerusakan
DAFTAR PUSTAKA

Pearce, Evelyn C.2008.Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama.
Harrison. Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Editor dalam bahasa Inggris : kurt
J.Lessebacher. Et. Al : editor bahasa Indnesia Ahmad H. Asdie. Edisi
13. Jakarta :EGC. 1999.
Suzanne, C, Smeltzer, Brenda G Bare. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah.
Bruner and Suddarth. Ali Bahasa Agung Waluyo. ( et,al) Editor bahasa
Indonesia : MonicaEster. Edisi 8 jakarta : EGC,2001
Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2013. Aplikasi Askep Berdasarkan
Diagnosa medis & NANDA NIC NOC. Yogyakarta : Mediaction
Publishing

Anda mungkin juga menyukai