Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

BPH POST OPERASI TURP


(TRANS URETHRAL RESECTION PROSTAT)

OLEH :

ASTIANI SAFITRI
P00320022053

CI INSTITUSI CI RUANGAN

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES KENDARI
JURUSAN KEPERAWATAN
2024
A. KONSEP MEDIS
1. Pengertian
Benigna Prostate Hiperplasia ( BPH) merupakan pembesaran progresif dari
kelenjar prostat, bersifat jinak disebabkan oleh hyperplasia beberapa atau semua
komponen prostat yang mengakibatkan penyumbatan uretra parts prostatika
(Muttaqin, 2011).
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah keadaan kondisi patologis yang paling
umum pada pria lansia dan penyebab kedua yang paling sering ditemukan intervensi
medis pada pria di atas usia 50 tahun ( Wijaya& Putri 2013).
BPH merupakan penyakit pembesaran prostat yang seringkali menyebabkan
gangguan eleminasi urine dimana prostat ini cenderung mengarah kearah depan
sehingga menekan vesika urinaria ( Prabowo& Pranata, 2014) .

2. Etiologi
Menurut Muttaqin dan Sari (2014) beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya
BPH yaitu:
a. Dihydrostetosteron adalah pembesaran pada epitel dan stroma kelenjar prostat
yang disebabkan oleh peningkatan 5 alfa reductase dan reseptor androgen .
b. Adanya ketidakseimbangan antara hormone testosteron dan estrogen dimana
terjadi peningkatan estrogen dan penurunan testosterone sehingga mengakibatkan
pembesaran pada prostat.
c. Interaksi antara stroma dan epitel, peningkatan epidermal growth factor atau
fibroblast growth faktor dan penurunan transforming faktor beta menyebabkan
hyperplasia stroma dan epitel.
d. Peningkatan estrogen menyebabkan berkurangnya kematian sel stroma dan epitel
dari kelenjar prostat.
e. Teori sel stem, dengan meningkatnya aktivitas sel stem maka akan terjadi
produksi yang berlebihan pada sel stroma maupun sel epitel sehingga
menyebabkan poliferasi sel-sel prostat.

3. Manifestasi Klinik
a. Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun di luar
saluran kemih, menurut Purnomo (2011) untuk tanda dan gejala dari BPH yaitu :
keluhan pada saluran kemih bagian bawah, gejala pada saluran kemih bagian atas
dan gejala diluar saluran kemih.
b. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah :
1) Gejala obstruksi meliputi : retensi urin (urin tertahan dikandung kemih
sehingga urin tidak bisa keluar), hesistansi urin ( sulit memulai miksi),
pancaran miksi lemah, intermitten ( kencing terputus-putus) dan miksi tidak
puas ( menetes setelah miksi).
2) Gejala iritasi meliputi : frekuensi, nokturia, urgensi ( perasaan ingin miksi
yang sangat mendesak) dan disuria ( nyeri pada saat miksi).
c. Keluhan pada saluran kemih bagian atas :
Keluhan akibat hyperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas berupa adanya
gejala obstruksi, seperti nyeri pinggang, adanya benjolan di pinggang (
merupakan tanda dari hidronefrosis).
d. Keluhan diluar saluran kemih :
Pasien datang dengan keluhan penyakit hernia ingunialis atau hemoroid.
Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan pada saat miksi sehingga
mengakibatkan tekanan pada intraabdominal. Adapun gejala dan tanda lain dari
BPH ialah pada pemeriksaan prostat didapati membesar, kemerahan dan tidak
nyeri tekan, terjadi keletihan, anoreksia, mual dan muntah serta rasa tidak nyaman
pada epigrastik dan gagal ginjal dapat terjadi dengan retensi kronis juga volume
residual yang besar dan juga dapat terjadi demam dengan suhu diatas normal
dimana kulit teraba panas yang merupakan tanda infeksi atau urosepsis.

4. Patofisiologi
Prostat sebagai kelenjar ejakulat memiliki hubungan fisiologis yang sangat erat
dengan dihidrotestosteron (DHT). Hormon ini merupakan hormon yang memacu
pertumbuhan prostat sebagai kelenjar ejakulasi yang nantinya akan mengoptimalkan
fungsinya. Hormon ini disintesis dalam kelenjar prostat dari hormon testoteron dalam
darah. Proses sintesis dibantu oleh inzim reduktase tipe 2. Selain DHT yang sebagai
prekursor, estrogen juga memiliki pengaruh terhadap pembesaran kelenjar prostat.
Seiring dengan peambahan usia,maka prostat akan lebih sensitifdengan stimulasi
androgen, sedangkan estrogen mampu memberikan proteksi terhadap BPH. Dengan
pempesaran yang sudah memiliki normal, maka akan terjadi desakan pada traktus
urinarius. Pada tahap awal, obstruksi traktus urinarius jarang menimbulkan keluhan,
karena dengan dorongan mengejan dan kontraksi yang kuat. Detrusor mampu
mengeluarkan urine secara spontan. (Asuhan Keperawatan Sisten Perkemihan,2014
hlm:132)

5. Pemeriksaan Penunjang
Untuk menegakan diagnosis BPH dilakukan beberapa cara antara lain :
a. Anamnesa
Kumpulan gejala pada BPH dikenal dengan LUTS ( Lower Urinary Tract
Symptoms) antara lain : hesitansi, pancaran urin lemah, intermittensi, terminal
dribbling, terasa ada sisa setelah miksi disebut gejala obstruksi dan untuk gejala
iritatif dapat berupa urgensi, frekuensi serta disuria.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi dapat
meningkat pada keadaan kesakitan saat terjadi retensi urin akut, dehidrasi
sampai syok pada retensi urin serta urosepsis sampai syok septik.
2) Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan teknik bimanual untuk mengetahui
adanya hidronefrosis dan pyelonefrosis pada daerah supra simfiser akan
tampak adanya tonjolan jika terjadi retensiurin. Saat palpasi terasa adanya
ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk
mengetahui ada tidaknya residual urin.
3) Pemeriksaan pada penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose
meatus, struktur uretra, batu uretra, karsinoma maupun finosis.
4) Pemeriksaan skrotum untuk mengetahui adanya epididymitis.
5) Rectal Touch/ pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan
konsistensi sistim persyarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat.
Dengan rectal toucher dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :
a) Derajat I = beratnya +_ 20 gram.
b) Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.
c) Derajat III = beratnya > 40 gram.

c. Pemeriksaan Laboratrium
a) Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar gula
digunakan untuk memperoleh darta dasar keadaan umum klien.
b) Pemeriksaan urin lengkap dan kultur.
c) PSA ( Prostatik Spesific Antigen ) penting diperiksa sebagai kewaspadaan
adanya keganasan.
d) Pemeriksan Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin maka secara
obyektif pancaran urin dapat diperiksa dengan penilaian berdasarkan
uroflowmetri yaitu:
1) Flow rate maksimal > 15 ml/detik = non obstruktif
2) Flow rate maksimal 10 – 15 ml detik = border line
3) Flow rate maksimal< 10 ml/detik = obstruktif

d. Pemeriksaan Imaging dan Rongentgenologik


1) BOF (Buik Overzich), untuk melihat adanya batu dan metastase pada
tulang.
2) USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume dan
besar prostat juga keadaan buli-buli termasuk residual urin. Pemeriksaan ini
dapat dilakukan secara transrektal, transurethral dan suprapubik.
3) IVP (Pyelografi Intravena), digunakan untuk melihat fungsi eksresi ginjal
dan adanya hidronefrosis.
4) Pemeriksaan Panendoskop, untuk mengetahui keadaan uretra dan buli-buli
(Purwanto, 2016).

6. Penatalaksanaan Medis
Modalitas terapi BPH adalah :
a. Observasi
Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3-6 bulan kemudian setiap tahun
tergantung keadaan klien.
Medikamentosa Terapi ini diindikasikan pada klien BPH dengan keluhan ringan,
sedang dan berat tanpa disertai penyulit. Obat yang digunakan berasal dari
phitoterapi, (misalnya : Hipoxis rosperi, Serenoa repens, dll ) , gelombang alfa
blocker dan golongan supresor androgen. Pemijatan prostat, berendam sampai ke
batas pinggang (sitz bath), restriksi cairan jangka pendek (untuk mencegah distensi
kandung kemih) dan antimikroba untuk infeksi. Aktivitas seksual teratur (untuk
melegakan kongesi prostate). Terazosin (Hytrin), finasteride (propecia) dan
tamsulosin (flomax).Reaksi transurea ( untuk prostat dengan berat kurang dari 57
gram, vaporisasi prostat atau insisi prostat dengan skalpel atau laser (Robinson &
Saputra, 2014).
b. Pembedahan
Indikasi pemebedahan pada klien BPH adalah :
1) Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut.
2) Klien dengan residual urin > 100ml.
3) Klien dengan penyulit.
4) Terapi medikamentosa tidak berhasil.
5) Flowmetri menunjukan pola obstruktif.
Pembedahan dapat dilakukan dengan cara:
1) TURP ( Trans Uretral Reseksi Prostat) adalah Reaksi transurea (untuk prostat
dengan berat kurang dari 57 gram, vaporisasi prostat atau insisi prostat dengan
skalpel atau laser.
2) Prostatektomi suprapubic (transvesika) jika pembengkakan prostat terbatas
pada area kandung kemih.
3) Prostatektomi perineal (untuk kelenjar prostat berukuran besar pada pasien
usia lanjut), bisanya mengakibatkan impotensia dan inkontinensia.
4) Prostatektomi retropubik (ekstravesika) memungkinkan visualisasi langsung
biasanya fungsi seksual tetap terjaga dan tidak terjadi inkontinensia.
5) Gelombang mikro transuretra (terapi pemanasan) efektivitas tindakan tersebut
berada diantara terapi penghambat a-adrenergik dan pembedahan (Robinson
& Saputra, 2014).

7. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain seiring semakin beratnya
derajat BPH maka dapat terjadi obsrtuksi saluran kemih karena urin tidak mampu
melewati prostat sehingga dapat menyebabkan infeksi saluran kencing (ISK) dan
apabila tidak diobati dapat mengakibatkan gagal ginjal ( Wibowo, 2012).
Komplikasi lainnya ialah traktus urinarius bagian atas akibat obstruksi kronik
sehingga mengakibatkan pasien harus mengejan pada miksi dikarenakan adanya
peningkatan tekanan intraabdomen dan dapat menimbulkan hemoroid, stasis urin
dalam vesika urinaria juga menjadi media bagi pertumbuhan mikroorganisasi dan
dapat menyebabkan sistitis serta jika ada refluks maka akan terjadi pyelenofritis
(Wibowo, 2012).

B. ASUHAN KEPERAWATAN
I. Pengkajian
1) Identitas
BPH merupakan pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada
pria lebih tua dari 50 tahun) yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi
uretral dan pembatasan aliran urinarius (Muttaqin, 2012).
2) Keluhan utama
Keluhan yang paling dirasakan oleh klien pada umumnya adalah nyeri pada saat
kencing atau disebut dengan disuria , hesistensi yaitu memulai kencing dalam
waktu yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan disebabkan karena otot
detrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan
intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika dan setelah
post operasi TURP klien biasanya mengalami nyeri di bagian genetalianya . Untuk
penilaian nyeri berdasarkan PQRST yaitu
P = oleh luka insisi
Q = seperti ditusuk-tusuk/ disayat-sayat pisau/terbakar panas, R = di daerah
genetalia bekas insisi
S = dari kategori 0 = tidak nyeri, 1-3 = nyeri ringan,4-6 = nyeri sedang, 7-9 =
nyeri berat, 10 = sangat berat tidak bias ditoleransi.
T = Sering timbul/tidak sering/sangat sering. (Muttaqin, 2012).
3) Riwayat penyakit sekarang
Klien datang dengan keluhan adanya nyeri tekan pada kandung kemih, terdapat
benjolan massa otot yang padat dibawah abdomen bawah (distensi kandung
kemih), adanya hernia inguinalis atau hemoroid yang menyebabkan peningkatan
tekanan abdominal yang memerlukan pengosongan kandung kemih dalam
mengatasi tahanan (Dongoes, 2012).
4) Riwayat penyakit dahulu
Klien dengan BPH biasanya sering mengkonsumsi obat-obatan seperti
antihipetensif atau antidepresan, obat antibiotic urinaria atau agen antibiotik, obat
yang dijual bebas untuk flu/alergi serta obat yang mengandung simpatomimetik
(Dongoes, 2012).
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Adanya riwayat keluarga yang pernah mengalami kanker prostat, hipertensi dan
penyakit ginjal (Doengoes, 2012).
6) Keadaan umum
Keadaan klien BPH biasanya mengalami kelemahan setelah dilakukan tindakan
post operasi prostatektomi, untuk tingkat kesadaran composmentis tanda-tanda
vital : tekanan darah meningkat, nadi meningkat akibat nyeri yang dirasakan oleh
klien , RR umumnya dalam batas normal 18-20x/ menit .
7) Pemeriksaan fisik( Mustika,dkk, 2012)
a) B1 (Breathing)
Inspeksi:
Bentuk hidung simetris keadaan bersih dan tidak ada secret, pergerakan dada
simetris, irama nafas regular tetapi ketika nyeri timbul kemungkinan dapat
terjadi nafas pendek dan cepat dan tidak ada retraksi otot bantu nafas, tidak
ada nafas cuping hidung,frekuensi pernfasan dalam batas normal
18-20x/menit.
Palpasi :
Taktil fermitus antara kanan dan kiri simetris.
Perkusi :
Pada thoraks didapatkan hasil sonor.
Auskultasi:
Suara nafas paru vesikuler.
b) B2 (Blood) Inspeksi :
Tidak terdapat sianosis , tekanan darah meningkat, tidak ada varises, phelbritis
maupun oedem pada ekstremitas.
Palpasi:
Denyut nadi meningkat akibat nyeri setelah pembedahan, akral hangat,CRT <
3 detik, tidak ada vena jugularis dan tidak ada clubbing finger pada kuku.
Perkusi:
Terdengar dullness
Auskultasi :
BJ 1tunggal terdengar di ICS 2Mid klavikula kiri dan mid sternalis kiri , BJ 2
tunggal terdengar di ICS 5 sternaliskiri dan sternalis kanan.
c) B3 (Brain) Inspeksi :
Kesadaran composmentis, GCS 4-5-6 ,bentuk wajah simetris, pupil isokor.
Palpasi :
Tidak ada nyeri kepala.
d) B4 (Bladder) Inspeksi :
Terdapat bekas luka post operasi TURP di daerah genetalia,bisa terjadi retensi
urin karena adanya kloting (post-op), terpasang kateter DC yang terhubung
urin bag, warna urin bisa kemerahan akibat bercampur dengan darah
( hematuria), umumnya klien juga terpasang drainase dibawah umbilicus
sebelah kanan.
Palpasi :
Terdapat nyeri tekan di bagian genetalia.
e) B5 (Bowel) Inspeksi :
Nafsu makan klien baik,bentuk abdomen simetris, tidak ada asites,terdapat
luka jahit di area supra pubic (kuadran VIII), tidak mual muntah, tonsil tidak
oedem dan mukosa bibir lembab, anus tidak terdapat hemoroid.
Palpasi :
Tidak terdapat massa dan benjolan, tidak ada nyeri tekan pada abdomen dan
tidak ada pembesaran organ.
Perkusi :
Terdengar suara tympani.
Auskultasi:
Bising usus normal 15- 35x/menit.
f) B6 (Bone) Inspeksi :
Terdapat luka insisi di bagian supra pubis akibat operasi prostat klien
umumnya tidak memiliki gangguan pada system musculoskeletal tetapi tetap
perlu dikaji kekuatan otot ekstremitas atas dan bawah dengan berdasarkan
pada nilai kekuatan otot 0-5, di kaji juga adanya kekuatan otot atau
keterbatasan gerak, warna kulit normal,rambut warna hitam keturanan asia,
kaji keadaan luka apa terdapat pus atau tidak, kaji ada tidaknya infeksi, dan
kaji keadaan luka bersih atau tidak.
Palpasi :
Turgor kulit elastis, akral teraba hangat.
g) B7 ( Indera) Inspeksi :
Kelima panca indera yaitu penglihatan hanya terjadi sedikit berkurang dalam
sistem penglihatan karena faktor usia, pendengaran juga mulai berkurang
karena faktor usia, perasa dalam keadaan normal, perabajuga dalam keadaan
normal dan penciuman juga dalam keadaan batas normal.
Palpasi :
Pada telinga tidak ditemukan nyeri tekan dan tidak terdapat luka serta pada
hidung tidak ada nyeri tekan maupun luka.
h) 8 ( Endokrin)
Inspeksi :
Terlihat dari postur tubuh klien proposional sesuai jenis kelamin dan usianya,
tidak terlihat hiperpigmentasi kulit, terdapat jakun pada klien, tidak ada
pembesaran payudara klien, tidak terdapat pembesaran abdomen karena
lemak, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, GDS dalam batas normal.
Palpasi :
Tidak ada nyeri tekan kecuali pada supra pubis akibat insisi.

II. Diagnosa Keperawatan


Menurut (Nurarif & Kusuma 2015),diagnosa Keperawatan yang yang akan dialami
klien BPH:
1) Gangguan eleminasi urin berhubungan dengan obstruksi mekanikal: bekuan
darah , edema.
2) Nyeri akut berhubungan dengan agent injury fisik (Insisi Pembedahan).
3) Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan sebagai efek sekunder
dari prosedur pembedahan.
4) Resiko perdarahan berhubungan dengan trauma efek samping pembedahan.
5) Hambatan mobilitas fisik b.d nyeri akut
III. Intervensi Keperawatan
1. Diagnosa Pertama :Gangguan eleminasi urin berhubungan dengan obstruksi
mekanikal: bekuan darah , oedem.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
pola berkemih klien kembali normal dan jumlah keluaran urin norml tanpa
adanya retensi urin.
Kriteria Hasil :
1) Klien dan keluarga klien memahami tentang pentingnya sediaan waktu yang
cukup untuk pengosonagan kandung kemih (10 menit).
2) Klien dan keluarga klien melaporkn hasil output urin.
3) Klien mampu mendemosntrasikan ulang cara untuk mnghindari konstipasi.
4) Kandung kemih kosong secara penuh ,tidak ada residu urine >100-200 cc,
intake cairan dalam rentang normal, tidak ada spasme bladder , blance cairan
seimbang ,bebas dari ISK
Intervensi :
1) Jelaskan pada klien dan keluarga klien tentang pentingnya sediaan
waktu yang cukup untuk pengosongankandung kemih (10 menit).
R/Untuk menambah pengetahuan klien dan keluarga klien dan
mencegah terjadinya gangguan eleminasi urine
2) Anjurkan klien dan keluarga klien untuk merekam output urin.
R/ Untuk membantu merekam hasil output urine.
3) Ajarkan klien cara-cara untuk menghindari konstipasi atau impaksi
tinja.
R/ Menghindari terjadinya pengeluaran tinja bersama urin
4) Pantau asupan dan keluaran urin
R/ Untuk mengetahui perkembangan keseimbangan cairan
5) Pantau tingkat distensi kandung kemih dengan palpasi dan perkusi
R/ Memantau apakah ada penimbunan urin di kandung kemih.
6) Memantau penggunaan obat dengan dengan sifat antikolinergik atau
property alpha agonis
R/ Untuk mempermudah klien dalam BAK setelah operasi
7) Merujuk ke spesisialis kontinensia kemih
R/Untuk mencegah terjadinya inkontinensia urin.
2. Diagnosa kedua :Nyeri akut berhubungan dengan agent injury fisik ( Insisi
Pembedahan).
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
nyeri klien berkurang /terkontrol.
Kriteria Hasil :
1) Klien dan keluarga klien memahmi tentang penyebab nyeri dan cara
mengatasi bila timbul rasa nyeri
2) Keluarga klien melaporkan bahwa nye0ri yang dirasakan klien berkurang /
terkontrol
3) Klien mampu mendemonstrasikan ulang teknik distraksi dan relaksasi
dengan benar
4) TTV dalam batas normal =
TD : Sistole = 100-120 mmhg, Diastole = 60-80 mmhg S = 36,8-37,4 °C,
N= 60-80x/menit RR = 18-24x/menit, skala nyeri berkurang berdasarkan
penilaian 0 = tidak nyeri, 1-3 = nyeri ringan, 4-6 = nyeri sedang, 7-9 = nyeri
berat, 10 = nyeri sangat berat dan klien tampak rileks serta nyaman, klien
akan tidur / istirahat dengan tenang.
Intervensi :
1) Jelaskan kepada klien dan keluarga tentang penyebab nyeri yang timbul
pada klien.
R/ Menambah pengetahuan klien dan keluarga klien.
2) Anjurkan penggunaan teknik distraksi dan relaksasi pada klien dan
keluarga.
R/ Untuk membantu meningkatkan kenyamaanan klien.
3) Ajarkan teknik ditraksi dan relakssi serta latihan nafas dalam bila nyeri
timbul.
R/ Untuk mengurangi rasa nyeri klien. Observasi tanda-tanda vital:
TD : Sistole = 100-120 mmhg, Diastole = 60-80 mmhg S = 36,8-37,4 °C,
N= 60-80x/menit RR = 18-24x/menit,
observasi skala : skala nyeri berkurang berdasarkan penilaian 0 = tidak
nyeri, 1-3 = nyeri ringan, 4-6 = nyeri sedang, 7-9 = nyeri berat, 10 = nyeri
sangat berat
R/ Untuk mengetahui perkembangan klien
4) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat antispasmodic dan
analgesik.
R/ Meningkatkan kenyamanan yang mempengaruhi status psikologi dan
meningkatkan status mobilisasi.
3. Diagnosa Ketiga :Resiko infeksi brhubungan dengan kerusakan jaringan sebagai
efek sekunder dari prosedur pembedahan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
klien terbebas dari tanda dan gejala infeksi.
Kriteria Hasil :
1) Klien dan keluarga klien mampu memahami tentang proses penularan
penyakit, faktor yang memengaruhi penularan serta penatalaksanaanya.
2) Klien dan keluarga klien melaporkan bahwa klien mau menambah intake
cairan
3) Klien menunjukan kemampuannya untuk mencegah timbulnya infeksi.
4) TTV dalam batas normal : TD : Sistole = 100-120 mmhg, Diastole = 60-80
mmhg, S = 36,8-37,4 °C, N= 60-80x/menit RR = 18-24x/menit, klien dapat
mencapai waktu penyembuhan, tidak ada tanda-tanda syok dan demam.
Intervensi :
1) Jelaskan kepada klien dan keluarga klien tentang cara penularan penyakit,
factor yang memengaruhi penularannya serta penatalaksanaannya
R/ Untuk meningkatkan pengetahuan klien dan keluarga klien.
2) Anjurkan pada klien untuk intake cairan (2500-3000ml). Sehingga dapat
menurunkan potensi infeksi.).
R/ Untuk meningkatkan asupan cairan sehingga menurunkan potensi
terjadinya infeksi.
3) Ajarkan kepada klien cara-cara menghindari infeksi.
R/ Membantu klien agar terhindar dari infeksi baik di rumah sakit maupun
dirumah.
4) Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan fecal.
R/ Memantau keadaan klien dan perkembanganya.
5) Monitorhitung granulosit , WBC.
R/Memantau jumlah leukosit meningkat/menurun.
6) Observasi Urin : warna, jumlah dan bau. R/ Mengobservasi pengeluaran
klien.
7) Observasi TTV , laporkan jika ada tanda-tanda syok dan demam.
R/ Mengetahui perkembangan klien dan mencegah terjadinya demam dan
syok.
8) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian antibiotic
R/Pemberian antibiotic untuk mencegah terjadi suati infeksi yang tidak
diharapkan.
4. Diagnosa Keempat : Resiko perdarahan berhubungan dengan trauma efek samping
pembedahan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan pada
klien tidak terjadi perdarahan.
Kriteria Hasil :
1) Klien memahami penyebab dari perdarahan.
2) Klien melaporkan mau melakukan diet makanan sesuai saran tenagamedis.
3) Klien mengikuti instruksi untuk membatasi aktivitas setelah pembedahan.
4) Tidak ada hematuria dan hematemesis.
5) TTV dalam batas Normal: TD : Sistole = 100-120 mmhg,
Diastole = 60- 80 mmhg, S = 36,8-37,4 °C, N= 60-80x/menit
RR = 18-24x/menit
6) Hemoglobin dan hematocrit dalam batas normal, plasma,
PT,PTT dalam batas normal
Intervensi :
1) Jelaskan pada klien tentang penyebab terjadi perdarahan setelah pembedahan dan
tanda-tanda perdarahan.
R/ Menurunkan kecemasan klien dan mengetahui tanda-tanda perdarahan
2) Anjurkan pada klien untuk diet makanan tinggi serat dan rutin minum obat untuk
memudahkan defekasi.
R/Dengan peningkatan tekanan pada fosa prostatic dapat mengendapkan
perdarahan.
3) Instruksikan klien untuk membatasi aktivitas
R/Dengan peningkatan tekanan pada fosa prostatic dapat mengendapkan
perdarahan.
4) Pantau traksi kateter : catat waktu traksi dipasang dan kapan traksi akan dilepas.
R/Untuk mengurangi resiko perdarahan pada luka insisi pembedahan.
5) Observasi TTV tiap 4 jam, observasi masukan dan haluaran serta warna urin.
R/Traksi kateter menyebabkan pengembangan balon ke sisi fosa prostatic,
menurunkan perdarahan, umumnya 3-6 jam stelah pembedahan.
6) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian produk darah (platelet/ fresh frozen
plasma).
R/Deteksi awal terhadap komplikasi dengan intervensi yang tepat dan untuk
mencegah terjadinya kerusakan jaringan permanen.
5. Diagnosa kelima : Hambatan mobilitas fisik b.d nyeri akut
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
klien dapat beraktivitas
Kriteria Hasil :
1) Klien memahami tujuan dari peningkatan mobilitas.
2) Klien melaporkan mau melakukan mobilisasi sesuai kemampuan.
3) Klien mampu meningkatkan aktivitas fisiknya, mampu
mengubah posisi,memenuhi kebutuhan ADL sehari-hari secara
mandiri.
4) Tanda vital dalam batas normal:
Tekanan darah : Sistole : 100-120 mmhg ,Diastole : 60-80 mmhg ,nadi : 80 -
100x/menit , suhu : 36,4-37,4 °C , RR : 15-24x/menit
Intervensi :
1) Jelaskan tujuan dari meningkatkan mobilitas fisik untuk proses penyembuhan.
R/ Dengan meningkatkan kemampuan mobilitas fisik dapat memperbaiki fungsi
otot seperti semula.
2) Motivasi klien untuk berlatih dalam memenuhi kebutuhan ADLs secara mandiri.
R/ Dengan adanya motivasi membuat klien semangat dalam proses penyembuhan
dan secara mandiri meningkatkan kemampuan pemenuhan ADLs tanpa bantuan
orang lain.
3) Dampingi dan bantu klien dalam mobiliasi dan bantu penuhi kebutuhan ADL
klien.
R/ Pendampingan dilakukan untuk membantu klien dalam memenuhi ADLs.
4) Kaji tanda vital klien setelah melakukan latihan.
R/ Memantau perkembangan kondisi klien agar tidak terjadi masalah lain.
IV. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan
yang telah disusun pada tahap perencanaan(Setiadi,2012).
Implementasi keperawatan merupakan langkah keempat dari proses keperawatan yang
telah direncanakan oleh perawat untuk dikerjakan dalam rangkah membantu klien untuk
mencegah, mengurangi dan menghilangkan dampak atau respon yang ditimbulkan oleh
masalah keperawatan dan kesehatan (Zidin Ali, 2014).
V. Evaluasi Keperawatan
Tahap Penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan terencana tentang
kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara
berkesinambungan dengan melibatkan klien, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya
(Setiadi, 2012).
Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaan pasien ( hasil
yang diamati ) dengan tujuan dan kriteria hasil yang di buat (Rohmah, N. 2014).
DAFTAR PUSTAKA
Muttaqin, Arif. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan SistemPerkemihan. Jakarta: Salemba
Medika
Muttaqin,A & Sari,K. 2014. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan.Jakarta :Salemba Medika
Prabowo,Eko, dkk.2014.Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan.Yogyakarta: Nuha Medika
Purnomo, Basuki.2011.Dasar-Dasar Urologi .Edisi 3.Jakarta: CV Infomedika
Samsuhidajat.2010. Buku Ajar Ilmu Bedah.Edisi 3. Jakarta: EGC
Purwanto, Hadi.2016. Keperawatan Medikal Bedah II .Jakarta : Kemenkes RI Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia 2013
Setiadi.2012.Konsep & Penulisan Dokumentasi Asuhan Keperawatan (Teori & Praktik).
Yogyakarta: Graha Ilmu
Wijaya, S.A & Putri, M.Y.2013.Keperawatan Medikal Bedah: Keperawatan Dewasa, Teori,
Contoh Askep.Yogyakarta: Nuha Medika
Dongoes, E Marlyn ,dkk.2012.Rencana Asuhan Keperawatan.Jakarta:EGC Nurarif &
Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Hadi.2016.Keperawatan Medikal Bedah II.Jakarta:Kemenkes RI Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia 2013.
LAPORAN PENDAHULUAN

BPH POST OPERASI TURP


(TRANS URETHRAL RESECTION PROSTAT)

OLEH :

ASTIANI SAFITRI
P00320022053

CI INSTITUSI CI
RUANGAN

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES KENDARI
JURUSAN KEPERAWATAN
2024

Anda mungkin juga menyukai