Anda di halaman 1dari 55

BAB I

TINJAUAN TEORI

A. PENGERTIAN

BPH (Benigna Prostat Hipertropi) adalah pembesaran atau hypertropi prostat.


Kelenjar prostat membesar, memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih dan
menyumbat aliran keluar urine, dapat menyebabkan hydronefrosis dan hydroureter. Istilah
Benigna Prostat Hipertropi sebenarnya tidaklah tepat karena kelenjar prostat tidaklah
membesar atau hipertropi prostat, tetapi kelenjar-kelenjar periuretra lah yang mengalami
hiperplasian (sel-selnya bertambah banyak). Kelenjar-kelenjar prostat sendiri akan terdesak
menjadi gepeng dan disebut kapsul surgical. Maka dalam literatur di benigna hiperplasia of
prostat gland atau adenoma prostat, tetapi hipertropi prostat sudah umum dipakai.
Hipertropi Prostat adalah hiperplasia dari kelenjar periurethral yang kemudian
mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah. (Jong, Wim de,
1998).
Benigna Prostat Hipertropi ( BPH ) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat,
disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan
kelenjar / jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika
(Lab / UPF Ilmu Bedah RSUD dr. Sutomo, 1994 : 193).

B. ETIOLOGI
Penyebab BPH belum jelas namun terdapat faktor resiko umur dan hormon androgen
(Mansjoer, 2000, hal 329).
Ada beberapa hipotesis yang menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya
dengan peningkatan kadar Dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua).
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat
adalah:
1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia
lanjut
2. Peranan dari growth faktor sebagai pemicu pertumbuhan stroma kelenjar prostat
3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati
4. Teori sel steam menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel steam sehingga
menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan
(Poernomo, 2000, hal 74-75).

C. MANIFESTASI KLINIS
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di
luar saluran kemih.
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinari Tract
Symptoms(LUTS) terdiri atas gejala iritatif dan gejala obstruktif.
Gejala iritatif yaitu sering miksi (frekuensi) terbangun untuk miksi pada malam hari
(nokturia), perasaan ingin miksi yang sangat mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi
(disuria).
Gejala obstruktif meliputi: pancaran lemak, rasa tidak lampias sehabis miksi, kalau
miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining) anyang-anyangen
(intermittency) dan waktu miksi yang memanjang yang akhirnya menjadi retensi urine dan
inkontinensia karena overflow.
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan saluran kemih sebelah bawah, beberapa
ahli urology membuat sistem scoring yang secara subyektif dapat diisi dan dihitung sendiri
oleh pasien.
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas, berupa
gejala obstruksi antara lain: nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda
dari hidronefrosis), yang selanjutnya dapat menjadi gagal ginjal dapat ditemukan uremia,
peningkatan tekanan darah, perikarditis, foetoruremik dan neuropati perifer.
3. Gejala di luar saluran kemih
Pasien yang berobat ke dokter biasanya mengeluh adanya hernia inguinalis dan
hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga
mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal (Poernomo, 2000, hal 77 – 78;
Mansjoer, 2000, hal 330).
Menurut Long (1996, hal. 339-340), pada pasien post operasi BPH, mempunyai tanda
dan gejala:
a. Hemorogi
1) Hematuri
2) Peningkatan nadi
3) Tekanan darah menurun
4) Gelisah
5) Kulit lembab
6) Temperatur dingin
b. Tidak mampu berkemih setelah kateter diangkat
c. Gejala-gejala intoksikasi air secara dini:
1) bingung
2) agitasi
3) kulit lembab
4) anoreksia
5) mual
6) muntah
d. warna urin merah cerah, pada hari ke-2 dan ke-3 post operasi menjadi lebih tua.

D. PATOFISIOLOGI
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan seiring dengan bertambahnya
usia sehingga terjadi perubahan keseimbangan hormonal yaitu terjadi reduksi testosteron
menjadi Dehidrotestosteron dalam sel prostat yang kemudian menjadi faktor terjadinya
penetrasi DHT ke dalam inti sel. Hal ini dapat menyebabkan inskripsi pada RNA sehingga
menyebabkan terjadinya sintesis protein yang kemudian menjadi hiperplasia kelenjar prostat
(Mansjoer, 2000 hal 329; Poernomo, 2000 hal 74).
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, maka akan terjadi penyempitan
lumen uretra prostatika dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan
peningkatan tekanan intra vesikel. Untuk dapat mengeluarkan urine buli-buli harus
berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan tersebut, sehingga akan terjadi resistensi pada
buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan meregang sehingga
timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila
keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan
tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urine (Mansjoer, 2000, hal 329;
Poernomo, 2000 hal 76).
Tekanan intravesikel yang tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak
terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan
aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks-vesiko ureter. Keadaan ini jika
berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis bahkan akhirnya dapat
terjadi gagal ginjal (Poernomo, 2000, hal 76).

E. PATHWAY
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Analisis urine dan pemeriksaan mikroskopik urine penting untuk melihat adanya sel
leukosit, bakteri, dan infeksi. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan
informasi dasar dari fungsi ginjal dan fungsi metabolik.
Pemeriksaan prostate specific Antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan
perlunya biopsy atau sebagai deteksi dini keganasan.
2. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi intravena,
USG dan sistoskopi. Tujuan pemeriksaan pencitraan ini adalah untuk memperkirakan volume
BPH, menentukan derajat disfungsi buli-buli dan volume residu urine. Dari foto polos dapat
dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal dan buli-buli. Dari pielografi
intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter.
3. Pemeriksaan Uroflowmetri dan Colok Dubur
a. Uroflowmetri
Untuk mengetahui derajat obstruksi, yaitu dengan mengukur pancaran urine pada
waktu miksi. Kecepatan aliran urine dipengaruhi oleh kekuatan kontraksi detrusor, tekanan
intra buli-buli, dan tahanan uretra.
b. Colok Dubur
Pada perabaan colok dubur, harus diperhatikan konsistensi prostat (biasanya kenyal),
adakah asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas teraba (Mansjoer, 2000, hal
332).

G. PENATALAKSANAAN
Menurut Mansjoer (2000, hal 333):
1. Observasi (Watchfull Waiting)
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan, nasehat yang diberikan yaitu
mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nocturia, menghindari obat-
obatan dekongestan, mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol.
2. Terapi medikamentosa
a. Penghambat adrenergic alfa, contoh: prazosin, doxazosin, terazosin, afluzosin.
b. Penghambat enzim 5 alfa reduktasi, contoh: firasterid (proscar).
c. Fitoterapi
Pengobatan fototerapi yang ada di Indonesia antara lain: eviprostat. Substansinya misalnya
pygeum africanum, sawpalmetto, serenoa repelus.
3. Terapi bedah
a. TURP
b. TUIP
c. Prostatektomi terbuka
4. Terapi invasif minimal
a. TUMT (Trans Urethral Micro web Thermotherapy)
b. Dilatasi balon trans uretra (TUBD)
c. High Intensity Focus Ultrasound
d. Ablasi jarum trans uretra
e. Stent Prostat
KONSEP DASAR KEPERAWATAN
BENIGNA PROSTAT HIPERTROFI (BPH)

A. Pengkajian

Dalam melakukan pengkajian ini penulis menggunakan teori konseptual menurut


GORDON dengan 11 pola kesehatan fungsional sesuai dengan post operasi benigna prostat
hipertrophy.
1. Pola persepsi kesehatan dan management kesehatan
Menggambarkan pola pikir kesehatan pasien, keadaan sehat dan bagaimana memelihara
kondisi kesehatan. Termasuk persepsi individu tentang status dan riwayat kesehatan,
hubungannya dengan aktivitas dan rencana yang akan datang serta usaha-usaha preventif
yang dilakukan pasien untuk menjaga kesehatannya.
2. Pola Nutrisi – Metabolik
Mengambarkan pola konsumsi makanan dan cairan untuk kebutuhan metabolik dan suplai
nutrisi, kualitas makanan setiap harinya, kebiasaan makan dan makanan yang disukai maupun
penggunaan vitamin tambahan. Keadaan kulit, rambut, kuku, membran mukosa, gigi, suhu,
BB, TB, juga kemampuan penyembuhan.
3. Pola Eliminasi
Yang menggambarkan:
a. pola defekasi (warna, kuantitas, dll)
b. penggunaan alat-alat bantu
c. penggunaan obat-obatan.
4. Pola Aktivitas
a. pola aktivitas, latihan dan rekreasi
b. pembatasan gerak
c. alat bantu yang dipakai, posisi tubuhnya.
5. Pola Istirahat – Tidur
Yang menggambarkan:
a. Pola tidur dan istirahat
b. Persepsi, kualitas, kuantitas
c. Penggunaan obat-obatan.

6. Pola Kognitif – Perseptual


a. Penghilatan, pendengaran, rasa, bau, sentuhan
b. Kemampuan bahasa
c. Kemampuan membuat keputusan
d. Ingatan
e. Ketidaknyamanan dan kenyamanan
7. Pola persepsi dan konsep diri
Yang menggambarkan:
a. Body image
b. Identitas diri
c. Harga diri
d. Peran diri
e. Ideal diri.
8. Pola peran – hubungan sosial
Yang menggambarkan:
a. Pola hubungan keluarga dan masyarakat
b. Masalah keluarga dan masyarakat
c. Peran tanggung jawab.
9. Pola koping toleransi stress
Yang menggambarkan:
a. Penyebab stress
b. Kemampuan mengendalikan stress
c. Pengetahuan tentang toleransi stress
d. Tingkat toleransi stress
e. Strategi menghadapi stress.
10. Pola seksual dan reproduksi
Yang menggambarkan:
a. Masalah seksual
b. Pendidikan seksual.
11. Pola nilai dan kepercayaan
Yang menggambarkan:
a. Perkembangan moral, perilaku dan keyakinan
b. Realisasi dalam kesehariannya.

B. Diagnosa Keperawatan

1. Sebelum Operasi
a. Obstruksi akut / kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran
prostat,dekompensasi otot destrusor dan ketidakmapuan kandung kemih untuk berkontraksi
secara adekuat.
Tujuan : tidak terjadi obstruksi
Kriteria hasil : Berkemih dalam jumlah yang cukup, tidak teraba distensi kandung kemih
Rencana tindakan dan rasional
1. Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan.
R/ Meminimalkan retensi urina distensi berlebihan pada kandung kemih
2. Observasi aliran urina perhatian ukuran dan kekuatan pancaran urina
R / Untuk mengevaluasi ibstruksi dan pilihan intervensi
3. Awasi dan catat waktu serta jumlah setiap kali berkemih
R/ Retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan yang dapat
mempengaruhi fungsi ginjal
4. Berikan cairan sampai 3000 ml sehari dalam toleransi jantung.
R / Peningkatkan aliran cairan meningkatkan perfusi ginjal serta membersihkan ginjal
,kandung kemih dari pertumbuhan bakteri
5. Berikan obat sesuai indikasi ( antispamodik)
R/ mengurangi spasme kandung kemih dan mempercepat penyembuhan
b. Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli, distensi kandung kemih,
kolik ginjal, infeksi urinaria.
Tujuan : Nyeri hilang / terkontrol.
Kriteria hasil : Klien melaporkan nyeri hilang / terkontrol, menunjukkan ketrampilan rel
aksasi dan aktivitas terapeutik sesuai indikasi untuk situasi individu. Tampak
rileks, tidur / istirahat dengan tepat.
Rencana tindakan dan rasional
1. Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas ( skala 0 - 10 ).
R /
Nyeri tajam, intermitten dengan dorongan berkemih / masase urin sekitar kateter menu
njukkan spasme buli-buli, yang cenderung lebih berat pada pendekatan TURP (
biasanya menurun dalam 48 jam ).
2. Pertahankan
patensi kateter dan sistem drainase. Pertahankan selang bebas dari lekukan dan bekuan
.
R/
Mempertahankan fungsi kateter dan drainase sistem, menurunkan resiko distensi / spas
me buli - buli.
3. Pertahankan tirah baring bila diindikasikan
R/ Diperlukan selama fase awal selama fase akut.
4. Berikan tindakan kenyamanan (
sentuhan terapeutik, pengubahan posisi, pijatan punggung ) dan aktivitas terapeutik.
R / Menurunkan tegangan otot, memfokusksn kembali perhatian
dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
5. Berikan rendam duduk atau lampu penghangat bila diindikasikan.
R/
Meningkatkan perfusi jaringan dan perbaikan edema serta meningkatkan penyembuhan
( pendekatan perineal ).
6. Kolaborasi dalam pemberian antispasmodik
R / Menghilangkan spasme
c. Resiko tinggi kekurangan cairan yang berhubungan dengan pasca obstruksi diuresis.
Tujuan : Keseimbangan cairan tubuh tetap terpelihara.
Kriteria hasil : Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan dengan: tanda -
tanda vital stabil, nadi perifer teraba, pengisian perifer
baik, membran mukosa lembab dan keluaran urin tepat.
Rencana tindakan dan rasional
1. Awasi keluaran tiap jam bila diindikasikan. Perhatikan keluaran 100-200 ml/.
R/ Diuresisi yang cepat dapat mengurangkan volume total karena ketidakl cukupan jumlah
natrium diabsorbsi tubulus ginjal.
2. Pantau masukan dan haluaran cairan.
R/ Indikator keseimangan cairan dan kebutuhan penggantian.
3. Awasi tanda-tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan pernapasan, penurunan tekanan
darah, diaforesis, pucat,
R/ Deteksi dini terhadap hipovolemik sistemik
4. Tingkatkan tirah baring dengan kepala lebih tinggi
R/ Menurunkan kerja jantung memudahkan hemeostatis sirkulasi.
5. Kolaborasi dalam memantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi, contoh: Hb /
Ht, jumlah sel darah merah. Pemeriksaan koagulasi, jumlah trombosi
R/ Berguna dalam evaluasi kehilangan darah / kebutuhan penggantian. Serta
dapat mengindikasikan terjadinya komplikasi
misalnya penurunan faktor pembekuan darah,
d. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi prosedur
bedah.
Tujuan : Pasien tampak rileks.
Kriteria hasil : Menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi, menunjukkan rentang
yang yang tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takut.
Rencana tindakan dan rasional
1. Dampingi klien dan bina hubungan saling percaya
R/ Menunjukka perhatian dan keinginan untuk membantu
2. Memberikan informasi tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan.
R / Membantu pasien dalam memahami tujuan dari suatu tindakan.
3. Dorong pasien atau orang terdekat untuk menyatakan masalah atau perasaan.
R/ Memberikan kesempatan pada pasien dan konsep solusi pemecahan masalah

e. Kurang pengetahuan tentang kondisi ,prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan


dengan kurangnya informasi
Tujuan : Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan prognosisnya.
Kriteria hasil : Melakukan perubahan pola hidup atau prilasku ysng perlu, berpartisipasi
dalam program pengobatan.
Rencana tindakan dan rasional
1. Dorong pasien menyatakan rasa takut persaan dan perhatian.
R / Membantu pasien dalam mengalami perasaan.
2. Kaji ulang proses penyakit,pengalaman pasien
R/ Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan informasi terapi.

2. Sesudah operasi

a. Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada TUR-P
Tujuan: Nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria hasil :
1. Klien mengatakan nyeri berkurang / hilang.
2. Ekspresi wajah klien tenang.
3. Klien akan menunjukkan ketrampilan relaksasi.
4. Klien akan tidur / istirahat dengan tepat.
5. Tanda – tanda vital dalam batas normal.
Rencana tindakan :
1. Jelaskan pada klien tentang gejala dini spasmus kandung kemih.
R/ Kien dapat mendeteksi gajala dini spasmus kandung kemih.
2. Pemantauan klien pada interval yang teratur selama 48 jam, untuk mengenal gejala – gejala
dini dari spasmus kandung kemih.
R/ Menentukan terdapatnya spasmus sehingga obat – obatan bisa diberikan
3. Jelaskan pada klien bahwa intensitas dan frekuensi akan berkurang dalam 24 sampai 48 jam.
R/ Memberitahu klien bahwa ketidaknyamanan hanya temporer.
4. Beri penyuluhan pada klien agar tidak berkemih ke seputar kateter.
R/ Mengurang kemungkinan spasmus.
5. Anjurkan pada klien untuk tidak duduk dalam waktu yang lama sesudah tindakan TUR-P.
R / Mengurangi tekanan pada luka insisi
6. Ajarkan penggunaan teknik relaksasi, termasuk latihan nafas dalam, visualisasi.
R / Menurunkan tegangan otot, memfokuskan kembali perhatian dan dapat meningkatkan
kemampuan koping.
7. Jagalah selang drainase urine tetap aman dipaha untuk mencegah peningkatan tekanan pada
kandung kemih. Irigasi kateter jika terlihat bekuan pada selang.
R/ Sumbatan pada selang kateter oleh bekuan darah dapat menyebabkan distensi kandung
kemih dengan peningkatan spasme.
8. Observasi tanda – tanda vital
R/ Mengetahui perkembangan lebih lanjut.
9. Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat – obatan (analgesik atau anti spasmodik )
R / Menghilangkan nyeri dan mencegah spasmus kandung kemih.

b. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan, kateter,
irigasi kandung kemih sering.
Tujuan: Klien tidak menunjukkan tanda – tanda infeksi .
Kriteria hasil:
1. Klien tidak mengalami infeksi.
2. Dapat mencapai waktu penyembuhan.
3. Tanda – tanda vital dalam batas normal dan tidak ada tanda – tanda shock.
Rencana tindakan:
1. Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter dengan steril.
R/ Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi
2. Anjurkan intake cairan yang cukup ( 2500 – 3000 ) sehingga dapat menurunkan potensial
infeksi.
R/ . Meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi ISK dikurangi dan mempertahankan
fungsi ginjal.
3. Pertahankan posisi urobag dibawah.
R/ Menghindari refleks balik urine yang dapat memasukkan bakteri ke kandung kemih.
4. Observasi tanda – tanda vital, laporkan tanda – tanda shock dan demam.
R/ Mencegah sebelum terjadi shock.
5. Observasi urine: warna, jumlah, bau.
R/ Mengidentifikasi adanya infeksi.
6. Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat antibiotik.
R/ Untuk mencegah infeksi dan membantu proses penyembuhan.
c. Resiko tinggi cidera: perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan .
Tujuan: Tidak terjadi perdarahan.
Kriteria hasil:
1. Klien tidak menunjukkan tanda – tanda perdarahan .
2. Tanda – tanda vital dalam batas normal .
3. Urine lancar lewat kateter .
Rencana tindakan:
1. Jelaskan pada klien tentang sebab terjadi perdarahan setelah pembedahan dan tanda – tanda
perdarahan .
R/ Menurunkan kecemasan klien dan mengetahui tanda – tanda perdarahan
2. Irigasi aliran kateter jika terdeteksi gumpalan dalm saluran kateter
R/ Gumpalan dapat menyumbat kateter, menyebabkan peregangan dan perdarahan kandung
kemih

3. Sediakan diet makanan tinggi serat dan memberi obat untuk memudahkan defekasi .
R/ Dengan peningkatan tekanan pada fosa prostatik yang akan mengendapkan perdarahan .
4. Mencegah pemakaian termometer rektal, pemeriksaan rektal atau huknah, untuk sekurang –
kurangnya satu minggu .
R/ Dapat menimbulkan perdarahan prostat .
5. Pantau traksi kateter: catat waktu traksi di pasang dan kapan traksi dilepas .
R/ Traksi kateter menyebabkan pengembangan balon ke sisi fosa prostatik, menurunkan
perdarahan. Umumnya dilepas 3 – 6 jam setelah pembedahan .
6. Observasi: Tanda – tanda vital tiap 4 jam,masukan dan haluaran dan warna urine
R/ Deteksi awal terhadap komplikasi, dengan intervensi yang tepat mencegah kerusakan
jaringan yang permanen .
d. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan akan impoten akibat dari
TUR-P.
Tujuan: Fungsi seksual dapat dipertahankan
Kriteria hasil:
1. Klien tampak rileks dan melaporkan kecemasan menurun .
2. Klien menyatakan pemahaman situasi individual .
3. Klien menunjukkan keterampilan pemecahan masalah .
4. Klien mengerti tentang pengaruh TUR – P pada seksual.
Rencana tindakan :
1. Beri kesempatan pada klien untuk memperbincangkan tentang pengaruh TUR – P terhadap
seksual .
R/ Untuk mengetahui masalah klien .
2. Jelaskan tentang : kemungkinan kembali ketingkat tinggi seperti semula dan kejadian
ejakulasi retrograd (air kemih seperti susu)
R/ Kurang pengetahuan dapat membangkitkan cemas dan berdampak disfungsi seksual
3. Mencegah hubungan seksual 3-4 minggu setelah operasi .
R/ Bisa terjadi perdarahan dan ketidaknyamanan
4. Dorong klien untuk menanyakan kedokter salama di rawat di rumah sakit dan kunjungan
lanjutan .
R / Untuk mengklarifikasi kekhatiran dan memberikan akses kepada penjelasan yang
spesifik.
e. Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi
Tujuan: Klien dapat menguraikan pantangan kegiatan serta kebutuhan berobat lanjutan
Kriteria hasil:
1. Klien akan melakukan perubahan perilaku.
2. Klien berpartisipasi dalam program pengobatan.
3. Klien akan mengatakan pemahaman pada pantangan kegiatan dan kebutuhan berobat
lanjutan .
Rencana tindakan:
1. Beri penjelasan untuk mencegah aktifitas berat selama 3-4 minggu .
R/ Dapat menimbulkan perdarahan .
2. Beri penjelasan untuk mencegah mengedan waktu BAB selama 4-6 minggu; dan memakai
pelumas tinja untuk laksatif sesuai kebutuhan.
R/ Mengedan bisa menimbulkan perdarahan, pelunak tinja bisa mengurangi kebutuhan
mengedan pada waktu BAB
3. Pemasukan cairan sekurang–kurangnya 2500-3000 ml/hari.
R/ Mengurangi potensial infeksi dan gumpalan darah .
4. Anjurkan untuk berobat lanjutan pada dokter.
R/. Untuk menjamin tidak ada komplikasi .
5. Kosongkan kandung kemih apabila kandung kemih sudah penuh .
R/ Untuk membantu proses penyembuhan .
f. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek pembedahan
Tujuan: Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi.
Kriteria hasil:
1. Klien mampu beristirahat / tidur dalam waktu yang cukup.
2. Klien mengungkapan sudah bisa tidur .
3. Klien mampu menjelaskan faktor penghambat tidur .
Rencana tindakan:
1. Jelaskan pada klien dan keluarga penyebab gangguan tidur dan kemungkinan cara untuk
menghindari.
R/ meningkatkan pengetahuan klien sehingga mau kooperatif dalam tindakan perawatan .
2. Ciptakan suasana yang mendukung, suasana tenang dengan mengurangi kebisingan .
R/ Suasana tenang akan mendukung istirahat
3. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur.
R/ Menentukan rencana mengatasi gangguan
4. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat yang dapat mengurangi nyeri
( analgesik ).
R/ Mengurangi nyeri sehingga klien bisa istirahat dengan cukup .

DAFTAR PUSTAKA
Basuki B Purnomo, 2000, Dasar-Dasar Urologi, Perpustakaan Nasional RI, Katalog Dalam Terbitan
(KTD), Jakarta.
Carpenito Linda Juan. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. EGC: Jakarta.
Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan Keperawatan
: Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta,
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. EGC: Jakarta.
Kumpulan Kuliah, 2010, Modul Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem
Perkemihan, Cirebon.
Schwartz, dkk, 2000, Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Editor : G. Tom Shires dkk, EGC ;
Jakarta.
BAB II
TINJAUAN KASUS

A. PENGKAJIAN

1. Identitas
a. Biodata pasien
Nama : Tn. A
Umur : 49 th
Pendidikan : SMP
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
Pekerjaan : Wiraswasta
No MR : 0233xxx
Ruang Rawat ; Marwah
Tanggal Masuk : 21 Desember 2016
Tanggal Pengkajian : 22 Desember 2016
Diagnosa Medik : BPH
Alamat : Blorong 03/01 ngunut jumantnokab. karanganyar

b. Penanggung Jawab
Nama : Ny.S
Hubungan : Istri
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Blorong 03/01 Ngunut Jumantno Kab. Karanganyar

2. Keluhan utama
Pasien mengatakan nyeri, pengkajian nyeri
P : ketika bergerak
Q :nyeri seperti terbakar
R : daerah supra pubis
S:8
T : terus menerus
3. Riwayat penyakit

a. Riwayat penyakit sekarang


Pasien mengeluhkan sulit untuk kencing sejak 3 hari yang lalu, kencing hanya menetes, lalu
oleh keluarga, pasien dibawa ke rumah sakit PKU Muhammadiyah karanganyar.

b. Riwayat penyakit dahulu


Pasien mengatakan belum pernah dirawat di rumah sakit. Apabila sakit hanya membeli obat
warung atau dibawa ke puskesmas. Pasien mengatakan tidak mempunyai riwayat penyakit
menurun(DM, hipertensi, asma) atau penyakit menular (HIV.TBC). Pasien mengatakan
sebelumnya belum pernah mengalami penyakit seperti ini.

c. Riwayat kesehatan keluarga


Pasien mengatakan dalam keluarganya tidak ada anggota keluarga mempunyai riwayat
penyakit menurun(DM, hipertensi, asma) atau penyakit menular (HIV.TBC). Pasien
mengatakan sebelumnya belum pernah ada anggota keluarga mengalami penyakit seperti ini.

4. Pola Fungsional

a. Pola Persepsi Kesehatan


Pasien mengatakan kalau ada keluarga yang sakit langsung dibawa kerumah sakitterdekat.

b. Pola Nutrisi
1. Sebelum masuk ke rumah sakit: pasien mengatakan makan 3 kali sehari dengan menu nasi,
sayur, dan lauk pauk seadanya. Makan 1 porsi habis. Pasien minum botol air mineral
kurang lebih 1,5 liter, pasien mengatakan juga minum teh.
2. Selama di rumah sakit: makan dengan menu rumah sakit yaitu diet bubur tinggi serat dan
buah. Pasien makan habis 1 porsi, minum 5-6 gelas air putih dan minum teh, volume 1800
cc/hari.

c. Pola Eliminasi
1. Sebelum masuk kerumah sakit : pasien mengatakan BAK 3-4 kali/hari warnah urin kuning
jernih, bau khas. BAB 1 kali/hari.
2. Setelah berada di rumah sakit: BAK melalui kateter 500cc dari jam 06.00-90.00, aliran urin
lancar, warnah agak kemerahan dan agak keruh terdapat sedikit stosel terkadang BAK tidak
terasa dan sulit ditahan. BAB 1 kali dalam 2 hari ini. Konsistensi feces lunak, warna kuning.

d. Pola Aktivitas dan Latihan


1. Sebelum sakit : pasien mengatakan dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari, seperti makan,
minum, mandi, toileting, berpakaian, mobilitas dilakukan sendiri.
2. Selama sakit : pasien mengatakan hanya terbaring di tempat tidur dan aktivitas pemenuhan
kebutuhan sehari-hari dibantu oleh keluarga dan perawat.

e. Pola Istirahat dan Tidur


1. Sebelum sakit : pasien mengatakan tidur mulai jam 23.00 WIB, bangun jam 05.00 WIB.
Waktu siang kadang tidur 1 jam. (tidak ada gangguan tidur).
2. Selama sakit : pasien mengatakan tidur hanya 5-6 jam/hari, kadang terbangun karena nyeri.
f. Pola Kognitif
Pasien mengetahui tentang kondisi penyakitnya saat ini dan keluarga mampu merawatnya
sesuai dengan apa yang dianjurkan oleh dokter maupun perawat.

g. Pola Konsep Diri


1. Gambaran diri : pasien mengatakan sedih dengan keadaan penyakitnya. Pasien merasa telah
banyak merepotkan orang, pasien menerima kondisinya saat ini.
2. Harga diri: pasien tidak merasa rendah diri dengan sakitnya sekarang, karena pasien merasa
bahwa ada yang lebih parah darinya. Pasien berjenis kelamin laki-laki umur 49 tahun.
3. Peran: pasien mengatakan sebagai kepala keluarga
4. Ideal diri: pasien ingin cepat sembuh dan berkumpul dengan keluarga.

h. Pola Hubungan Pasien


1. sebelum sakit: pasien mengatakan hubungan dengan keluarga baik-baik saja, tidak ada
masalah, begitu juga dengan tetangga dan lingkungan sekitar.
2. Selama sakit : pasien mengatakan hubungan dengan keluarga, orang lain, petugas rumah
sakit cukup baik.

i. Pola seksual dan reproduksi


pasien seorang lak-laki berumur 49 tahun terjadi pembesaran kelenjar prostat yang mendesak
dan penyumbatan uretra, pasien tidak cemas tentang keterbatasan yang akan datang pada
penampilan seksual.

j. Pola Koping dan Stress


pasien mengatakan bila ada masalah diselesaikan dengan cara baik- baik bersama
keluarganya.

k. Pola nilai dan keyakinan


1. sebelum sakit: pasien mengatakan beragama Islam rajin shalat dan berdoa
2. selama sakit: pasien mengatakan tetap melaksanakan sholat,walaupun dengan berbaring
diatas temmpat tidur dan selalu berdoa supaya cepat sembuh.

5. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
1. keadaan umum: sedang
2. Tanda – tanda vital : TD:140/90 mmhg S: 36,6 C
N:80x/mnt RR: 22 x/mnt
3. Kesadaran : composmentis
b. Kepala dan wajah : bentuk normal,ada sianosis
c. Mata: simestris. Sclera anikterik, tidak terdapat gangguan penglihatan,konjungtiva
nonanemis.
d. Telinga : simetris, bersih, tida ada gangguan pendengaran.
e. Hidung: simetris bersih, tidak ada serumen, tidak ada gangguan penciuman.
f. Mulut: mukosa bibir lembab, tidak ada stomatitis, gigi bersih, lidah bersih.
g. Abdomen (Perut)
1. Inspeksi :simetris kiri dankanan, tidak ada tonjolan,
tidak ada kelainanumbilicus dan adanya pergerakan didindng abdomen
2. Palpasi: terdapat nyeri tekan pada dareah kelejar prostat.
3. Auskultasi :terdengar bunyi peristaltic usus 16x/mnt
h. Thorak (dada)
1. Inspeksi : bentuk simetris kanan dan kiri
2. Palpasi : Tidak ada tonjolan
3. Perkusi : vocal fremitus sama antara kanan dan kiri
4. Auskultasi : tidak didapatkan suara ronki

i. Genetalia:
Pasien jenis kelamin laki-laki, terpasang three way kateter pada penis, urine keluar warna
kuning kemerahan,jumlah 500 cc.
j. Ekstermitas
1. Ekstermitas atas : tangan kanan terpasang infus RL dan kedua tangan tidak ada kelainan.
2. Ekstermitas bawah: kedua kaki belum bisa di gerakan.

6. Data Penunjang
a. Data Laboratorium
Jumlah sel darah
Jumlah Nilai normal
Leukosit 6,65 ribu/ul 3,8 – 10,6
Erutrosit 5,43 juta/ul 4,5 – 6.5
Hemoglobin 13,3 g/dl 13,0 – 18,0
Hematocrit 40,8 % 40 – 62
Trombosit 290 ribu/mm3 150 - 440
Mpv + 7,94 fl
Pct 0,2 %

INDEX

MCV - 75,0 fl 80 – 100

MCH - 24,4 pg 26 – 34

MCHC 32,5 % 32 - 36

DIFFERENTIAL
BASOFIL 04% 0–1
MONOSIT 7.4% 2- 8
EOSINOFIL 2.2% 1-6
LIMFOSIT 37.5% 30-45
NEUTROFIL 52.2% 50-70

JUMLAH TOTAL SEL


Total Basofil 0.03 ribu/ul
Total Monsit 0.49 ribu/ul
Total Eosinofil 0.15 ribu/ul
Total Netrofil 0.49 ribu/ul
Total Lymposit 0.49 ribu/ul

b. TERAPI

1. Ceftriaxone 1gr/12jm
2. Santagestik 1am/12jm

B. Analisa data
No Data Etiologi Problem
1. DS: Agen injury fisik Nyeri akut
- pasien mengatakan nyeri pada bekas
luka post op
- Pengkajian nyeri
P: factor yang memicu nyeri adalah
ketika bergerak.
Q: rasa nyeri seperti terbakar
R: daerah supra pubis
S: 8
T: terus menerus

DO:
- TTV: TD: 140/90mmhg
N: 80 x/mnt
S:36,6c
Rr:22x/mnt
- Pasien tampak lemah,
- Pasien tampak meringis kesakitan

2. DS: Program pembatasan Hambatan mobilitas


- Pasien mengatakan dalam aktivitas di gerak fisik
bantu keluarganya.

DO:
- pasien tampak lemah,berbaring
ditempat tidur
- pasien terpasang threeway cateter.
- Aktivitas pasien tampak di bantu
keluarga

3. DS: - Prosedur Invasif Resiko Infeksi

DO:
- Terpasang three way cateter
- Terpasang NACL untuk spul cateter
- Urine berwarna kemerahan
- Terpasang infus D5

C. Diagnosa keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury fisik


2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan program pembatsan gerak
3. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur infasif

D. Intervensi keperawatan
No DX Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1. Setealah dialakukan asuhan- Lakukam pengkajian nyeri secara
keperawatan selama 3x24 komprehensif.
jam,diharapkan masalah pasien - Observasi reaksi nonverbal dari
dapat teratasi dengan kriteria hasil ketidaknyamanan
: - Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu mengetahui pendalaman nyeri pasien
penyebab nyeri, mampu - Evaluasi pengalaman nyeri masa lalu.
menggunakan teknik
- Gunakan teknik nonfarmakologis untuk
nonfarmakologi nuntuk mengurangi rasa nyeri
mengurangi nyeri) - Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan
2. Melaporkan bahwa nyeri lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri
berkurang dengan menggunakan masa lampau.
manajemen nyeri. - Kolaborasi dalam pemberian analgetik untuk
3. Mampu mengenali nyeri memgurangi nyeri
(skala,intensitas,frekuensi dan
tanda nyeri).
4. Menyatakan nyaman setelah
nyeri berkuramg.
2. Setelah dialkukan asuhan- Kaji status nyeri saat beraktifitas
keperawatan selama 3x24jam - Motivasi pasien untuk melakukan ubah posisi
diharapkan masalah pasien dapat secara bertahap sesuai kemampuan
teratasi dengan kriteria hasil: - Memotivasi untuk melakukan gerakan ringan
1. Klien meningkat dalam aktivitas - Berikan gerak latihan aktif / pasif.
fisik - Perhatikan waktu, jumlah aliran kateter dan
- 2. Aktifitas dapat dilakukan kesulitan berkemih
sendiri s
ecara bertahap tanpa bantuan
keluarga

3. Setelah dilakuakan asuhan


- Bersikan lingkungan secara tepat setelah
keperatwatan selama 3x24 jam, digunakan oleh klien
diharapkan masalah pasien dapat - Ganti peralatan klien setiap selesai tindakan
teratasi dengan kriteria hasil : - Batasi jumlah pengunjung
1. Pengetahuan klien tentang
- Ajarkan cuci tangan untuk menjaga kesehatan
kontrol infeksi meningkat individu
2. Pengetahuan tentang deteksi - Anjurkan klien untuk cuci tangan dengan
infeskdi meningkat tepat
3. Menunjukkan perilaku hidup - Gunakan sabun antimikrobial untuk cuci
sehat tangan
- Anjurkan pengunjung untuk mencuci tangan
sebelum dan setelah meninggalkan ruangan
klien
- Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
dengan klien
- Lakukan universal precautions
- Gunakan sarung tangan steril
- Lakukan perawatan aseptic pada semua jalur
IV
- Lakukan teknik perawatan luka yang tepat
- Tingkatkan asupan nutrisi

E. IMPLEMENTASI
Hari, tanggal, No. Implementasi Respon ttd
jam Dx
Kamis, 22 1 - Mengkajian nyeri secara DS: pasien mengatakan Asfan
desember 2016 komprehensif. nyeri pada bekas luka
Jam 16.00 post op
P: factor yang memicu
nyeri adalah
ketika bergerak.
Q: rasa nyeri seperti
terbakar
R: daerah supra pubis
S: 8
T: terus menerus
DO:
- Pasien tampak lemah
- Pasien tampak
meringis kesakitan

DS : Pasien mengatakan
bersedia seprainya di
Jam 19.00 3 - Melakukan tindakan ganti Annas
mengganti seprai
DO : Pasien terlihat
nyaman setelah di ganti
seprai

DS : pasien mengatakan
bersedia untuk diajari
Jam 20.00 1 - Mengajari pasien untuk teknik nafas dalam Asfan
mengontrol nyeri
dengancara teknik DO : pasien dapat
relaksasi nafas dalam memperagakan teknik
nafas dalam dengan
baik

DS : pasien mengatakan
- Memberikan bersedia untuk
Jum’at ,23 1. injeksi untuk dilakukan injeksi Annis
desember 2016 mengurangi nyeri
jam 16.00 DO : injeksiSantagestik
1am/12jam

DS : pasien mengatakan
- Motivasi pasien untuk bersedia diberikan
melakukan ubah posisi motivasi Annas
Jam 17.00 3 secara bertahap sesuai
kemampuan DO : pasien terlihat
mengerti dengan apa
yang sudah dijelaskan
- mengkaji status nyeri saat
beraktifitas DS : pasien mengatakan
masih nyeri
Jam 20.00 1 P: factor yang memicu Annis
nyeri adalah
ketika bergerak.
Q: rasa nyeri seperti
terbakar
R: daerah supra pubis
S: 6
T: terus menerus
DO : Pasien tampak
meringis kesakitan
- Memberikan
injeksi untuk DS : pasien mengatakan
mengurangi nyeri bersedia untuk
Jam 22.00 1 dilakukan injeksi Asfan

DO : injeksiSantagestik
1am/12jam
- Melakukan perawatan
infus DS : Pasien mengatakn
bersedia di lakukan
Jam 23.00 3 perawatan infus Asfan

DO : Pasien terlihat
senang karena tidak ada
darah di sekitar infus
yang terpasang di
tangan.
- Mengajari dan
menganjurkanklien, DS : klien, Keluarga
pengunjung dan dan pengunjung
Sabtu,24 3 keluarga untuk cuci tangan mengatakan sudah Annas
desember 2016 dengan tepat menggunakan mengerti cara mencuci
Jam 07.30 sabun/ handscrab tangan dengan benar.

DO : Pasien, keluarga,
dan pengunjung dapat
mempraktikan kembali
cara mencuci tangan
dengan benar
menggunakan
- Melakukan perawatan sabun/handsrub
infus
DS : Pasien mengatakn
bersedia di lakukan
Jam 09.00 3 perawatan infus Annas

DO : Pasien terlihat
senang karena tidak ada
darah di sekitar infus
yang terpasang di
- Melakukan teknik tangan.
perawatan luka yang tepat
DS : Pasien mengatakan
bersedia di lakukan
perawatan luka POST Annas
Jam 10.00 3 OP

DO : Pasien terlihat
- Memberikan Motivasi menahan nyeri ketika di
kepada klien untuk makan lakukan perawatan
sedikit tapi sering
DS : Pasien mengatakan
bersedia makan sedikit
Jam 11.00 2. tapi sering Annas

DO : Pasien terlihat
makan sedikit tapi
- Memberikan sering
injeksi untuk
mengurangi nyeri

DS : pasien mengatakan
bersedia untuk
Jam 16.00 1. dilakukan injeksi Asfan
- Motivasi pasien untuk
melakukan ubah posisi DO : injeksiceftriaxone
secara bertahap sesuai
kemampuan DS : pasien mengatakan
bersedia diberikan
Jam 20.00 2. motivasi Annis

DO : pasien terlihat
mengerti dengan apa
yang sudah dijelaskan

F. EVALUASI
Hari, tanggal, jam No dx Evaluasi ttd

Kamis,22 desember 1 S : pasien mengatakan nyeri pada bekas Annas


2016 jam 21.00 luka post op berkurang
P: factor yang memicu nyeri adalah
ketika bergerak.
Q: rasa nyeri seperti terbakar
R: daerah supra pubis
S: 6
T: terus menerus
O : pasien tampak meringis menahan rasa
nyeri nya
A : masalah teratasi sebagian
P : intervensi dilanjutkan
- Gunakan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
- Kolaborasi dalam pemberian analgetik
untuk memgurangi nyeri

2 S : pasien mengatakan masih nyeri saat


beraktifitas
P: factor yang memicu nyeri adalah
ketika bergerak.
Q: rasa nyeri seperti terbakar
R: daerah supra pubis
S: 6
T: terus menerus
O : pasien tampak meringis kesakitan
A : masalah belum teratasi
P : intervensi dilanjutkan
- Motivasi pasien untuk melakukan ubah
posisi secara bertahap sesuai kemampuan
- Memotivasi untuk melakukan gerakan
ringan

S : pasien mengatakan luka membaik


3 O : luka post operasi terlihat kering, tidak
ada push, tidak ada jaringan nekrotik
A : masalah teratasi sebagian
P : intervensi dilanjutkan
- Lakukan teknik perawatan luka yang
tepat
- Anjurkan pengunjung untuk mencuci
tangan sebelum dan setelah meninggalkan
ruangan klien
- Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
dengan klien
Jum’at 23 1. S : pasien mengatakan nyeri pada bekas Annis
desember 20916 luka post op berkurang
Jam 21.00 P: factor yang memicu nyeri adalah
ketika bergerak.
Q: rasa nyeri seperti terbakar
R: daerah supra pubis
S: 5
T: terus menerus
O : pasien tampak meringis menahan rasa
nyeri nya
A : masalah teratasi sebagian
P : intervensi dilanjutkan
- Gunakan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
- Kolaborasi dalam pemberian analgetik
untuk memgurangi nyeri

2. S : pasien mengatakan masih nyeri saat


beraktifitas,tapi dilatih untuk kiring kanan
dan miring kiri
O : pasien tampak lebih tenang
A : masalah belum teratasi
P : intervensi dilanjutkan
- Motivasi pasien untuk melakukan ubah
posisi secara bertahap sesuai kemampuan
- Memotivasi untuk melakukan gerakan
ringan

S : pasien mengatakan luka membaik


3. O : luka post operasi terlihat kering, tidak
ada push, tidak ada jaringan nekrotik
A : masalah teratasi sebagian
P : intervensi dilanjutkan
- Lakukan teknik perawatan luka yang
tepat
- Anjurkan pengunjung untuk mencuci
tangan sebelum dan setelah meninggalkan
ruangan klien
- Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
dengan klien
Sabtu, 24 desember 1. S : pasien mengatakan nyeri pada bekas
2016 luka post op berkurang
Jam 21.00 O : pasien tampak lebih tenang
A : masalah teratasi sebagian
P : intervensi dilanjutkan
- Gunakan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
- Kolaborasi dalam pemberian analgetik
untuk memgurangi nyeri

2. S : pasien mengatakan masih nyeri saat


beraktifitas,tapi dilatih untuk muali duduk
O : pasien tampak lebih tenang
A : masalah belum teratasi
P : intervensi dilanjutkan
- Motivasi pasien untuk melakukan ubah
posisi secara bertahap sesuai kemampuan
- Memotivasi untuk melakukan gerakan
ringan

S : pasien mengatakan luka membaik


O : luka post operasi terlihat kering
3.
A : masalah teratasi sebagian
P : intervensi dilanjutkan
- Lakukan teknik perawatan luka yang
tepat
- Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
dengan klien
TINJAUAN MEDIS

A. Definisi
1. Hipertropi prostat adalah pembesaran dari kelenjar prostat yang disebabkan oleh
bertambahnya sel-sel glandular dan interstitial yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi
uretral dan gangguan aliran urine, dan kebanyakan terjadi pada umur lebih dari 50 tahun.
2. Benigna Prostat Hipertropi (BPH) adalah pertumbuhan dari nodula-nodula fibroadenomatosa
majemuk dalam prostat, jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma
fibrosa yang jumlahnya berbeda-beda. (Price, 2005 : 1154).
3. BPH adalah suatu keadaan dimana kelenjar prostat mengalami pembesaran, memanjang ke
atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urine dengan menutupi orifisium uretra
(Brunner and Suddart, 2001 : 1625).
Dari beberapa pengertian diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Benigna
Prostat Hipertropi (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat yang disebabkan oleh
bertambahnya sel-sel glanduler dan interstitial atau pertumbuhan dari nodula-nodula
fibroadenomatosa yang menutupi orifisium uretra sehingga menyumbat aliran urine,
dan biasanya terjadi pada pria diatas usia 50 tahun.
B. Etiologi
Ada beberapa teori yang mengemukakan penyebab terjadinya hipertropi prostat
antara lain :
1. Teori sel Stem ( Isaacs 1984,1987 )
Berdasarkan teori ini jaringan prostat pada orang dewasa berada pada keseimbangan antara
pertumbuhan sel dan sel yang mati.Keadaan ini disebut Steady State. Pada jaringan prostat
terdapat sel stem yang dapat berproli serasi lebih cepat sehingga terjadi hiperplasia kelenjar
penuretral.
2. Teori Mc Neal ( 1987 )
Menurut Mc Neal pembesaran prostat jinak dimulai dari zona transisi yang letaknya sebelah
proksimal dan spinater eksternal pada kedua sisi verumen tatum di zona periuretral.
3. Teori Di Hidro Testosteron ( DHT )
Testosteron yang diohasilkan oleh sel leyding jumlah testosteron yang dihasilkan oleh testis
kira-kira 90 % dari seluruh produksi testosteron. Sedang yang 10 % dihasilkan oleh kelenjar
adrenal. Sebagian besar testosteron dalam keadaan terikat dengan protein dalam bentuk
serum. Bendung hormon ( SBH ) sekitar 20 % testosteron berada dalam keadaan bebas dan
testosteron bebas inilah yang memegang peranan peranan dalam proses terjadinya
pembesaran prostat testosteron bebas dapat masuk ke dalam sel prostat dengan menembus
membran sel ke dalam sitoplasma sel prostat sehingga membentuk DHT heseplar kompleks
yang akan mempengaruhi asam RNA yang menyebabkan terjadinya sintyesis protein
sehingga dapat terjadi profilikasi sel.
C. Patofisiogi
Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan testoteron estrogen,
karena produksi testoteron menurun dan terjadi konversi testoteron menjadi estrogen pada
jaringan adiposa diperifer. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang akan terjadi
perubahan patologi anatomik. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi
pada leher vesika dan daerah prostat meningkat, dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan
serat detrusor kedalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang
disebut tuberkulasi. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding.
Apabila kedaan ini berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi berkontraksi sehingga terjadi retensi urine.
Biasanya ditemukan gejala obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor
gagal berkontraksi sehingga kontraksi menjadi terputus.Gejala iritasi terjadi karena
pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna saat miksi atau pembesaran prostat yang
menyebabkan rangsangan pada kandung kemih, vesika sering berkontraksi meskipun belum
penuh.
Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urine sihingga pada akhir
miksi masih ditemukan sisa urine dalam kandung kemih dan timbul rasa tidak tuntas pada
akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga
penderita tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urine terus terjadi maka vesika tidak
mampu lagi menampung urine sehingga tekanan intra vesika terus meningkat melebihi
tekanan tekanan sfingter dan obstruksi sehingga menimbulkan inkontinensia paradoks.
Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko-ureter, hidroueter, hidronefrosis dan gagal ginjal.
Proses kerusakan ginjal dipercepat apabila terjadi infeksi. Sisa urine yang terjasi selama
miksi akan menyebabkan terbentuknya batu endapan yang dapat menyebabkan hematuria,
sistisis dan pielonefritis.
D. Manifestasi Klinis
Adapun gejala kilinis dari hipertropi prostat dapat terbagi 4 grade yaitu :
1. Pada grade I (congestif)
a. Mula-mula pasien berbulan-bulan atau bertahun-tahun susah kencing dan mulai mengedan.
b. Kalau miksi merasa tidak puas.
c. Urine keluar menetes dan puncuran lemah.
d. Nocturia.
e. Ereksi lebih lama dari normal dan libido lebih dari normal.
f. Pada Citoscopy kelihatan hiperemia dan orifreum urether internal lambat laun terjadi varises
akhirnya bisa terjadi pendarahan (blooding).

2. Pada Grade 2 (residual)


a. Bila miksi terasa panas
b. Nocturi bertambah berat
c. Tidak dapat buang air kecil (kencing tidak puas)
d. Bisa terjadi infeksi karena sisa air kencing
e. Tejadi panas tinggi dan bisa meninggal
f. Nyeri pada daerah pinggang dan menjalar keginjal.
3. Pada grade 3 (retensi urine)
a. Ischuria paradorsal
b. Incontinential paradorsal
4. Pada grade 4
a. Kandung kemih penuh.
b. Penderita merasa kesakitan.
c. Air kencing menetes secara periodik (overflow incontinential).
d. Pada pemeriksaan fisik yaitu palpasi abdomen bawah untuk meraba ada tumor kerena
bendungan hebat.
e. Dengan adanya infeksi penderita bisa meninggal dan panas tinggi sekitar 40-41 C.
f. Kesadaran bisa menurun.
g. Selanjutnya penderita bisa koma
E. Pemerisaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Laboratorium
Analisis urine dilakukan untuk mengetahui adanya silinder, kristal-kristal, sel darah pada
hipertropi prostat yang disertai infeksi maka pada urine ditemukan adanya leukosit dan
adanya bakteri. Untuk mengetahui fungsi ginjal dilakukan pemerisaan BUN dan kreatin.
Selain itu untuk mengetahui fungsi ginjal dapat dilakukan dengan pemeriksaan Phenol Sulfo
Phtalein (PSP) test. Setelah penyuntikan PSP lebih dari 30 menit, jika PSP yang dikeluarkan
melalui urine ± 50 % berarti normal tetapi jika PSP yang keluar hanya 25 % kemungkinan
terdapat sisa urine dalam kandung kemih atau fungsi ginjal menurun (Rumahorbo, 2000 : 73).
2. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan Blass Nier Overzicht (BNO) untuk melihat ada tidak komplikasi dari BPH
yang berupa batu dalam kandung kemih. Pada pemeriksaan IVP ditemukan lekukan pada
dasar kandung kemih yang disebabkan karena desakan kelenjar prostat yang membesar
(Rumahorbo, 2000 : 73).
3. Pemeriksaan Cystoscopy/Panendoscopy
Cystoscopy adalah pemeriksaan langsung pada kandung kemih dengan menggunakan
alat yang disebut cystoskop. Dengan pemeriksaan ini kita dapat melihat derajat pembesaran
dari kelenjar prostat dan perubahan sekunder pada dinding kandung kemih, misalnya
trabekulasi, divertikulasi, infeksi, batu atau tumor (Rumahorbo, 2000 : 73).
4. USG transabdominal atau transrektal (transrectal ultrasonography), untuk mengetahui
pembesaran prostat, menentukan volume buli-buli, mengukur sisa urine dan keadaan patologi
lain (tumor, divertikel, batu).
F. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin
beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati
prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat
mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000).
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan
penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen
yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan
membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis
urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat,
2005).

G. Penatalaksanaan
1. Farmakoterapi (Tindakan Non Operatif)
Tindakan non operatif dilakukan bila pembesaran prostat masih ringan atau stadium
dini, dimana residual urine belum ditemukan atau tidak ada. Bila ditemukan adanya
peradangan prostat diberikan antimikrobial dan sizt bath, untuk klien dengan resiko tinggi
seperti infark jantung, decompensatio cordis berat tindakan yang dilakukan yaitu kateterisasi
dower dan memperbaiki keadaan umum.
Kateterisasi juga dilakukan pada kien yang mengalami retensi urine akut dan pada klien
yang tidak bisa mengosongkan kandung kemih secara spontan, kateter ini dipasang terus
menerus dan diganti setiap 4 hari (Rumahorbo, 2000 : 74).
2. Tindakan Operatif (Pembedahan)
Pembedahan dilakukan jika terdapat residual lebih dari 50 ml adanya trabekulasi yang
jelas. Pembedahan yang dilakukan untuk mengangkat prostat disebut prostatektomi.
Prostatektomi dibagi kedalam 4 jenis yaitu sebagai berikut :
a. Trans Urethral Resection (TUR)
Trans Urethral Resection (TUR) dilakukan pada BPH yang kecil dengan berat 35-50
gram dan pembesaran terjadi pada lobus tengah yang langsung melingkari uretra. TUR juga
dilakukan pada klien yang tidak bisa dilakukan Open Prostatctomy karena keadaan umum
yang buruk. Operasi ini dengan menggunakan alat resectoskop yang dimasukan ke dalam
kandung kemih melalui uretra dengan mereseksi lobus median dan satu lobus lateral sehingga
klien dapat BAK dengan baik (Rumahorbo, 2000 : 74).
b. Suprapubic Transversal Prostatctomy (Prostatektomi Suprapubis)
Suprapubic Transversal Prostatctomy adalah salah satu metode mengangkat kelenjar
melalui insisi abdomen yang dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat
dari atas (Brunner & Suddart, 2001 : 1626). Operasi ini dilakukan bila berat prostat 40 gram
atau lebih, adanya trabekulasi yang sangat besar dan prostat yang sangat besar intra vesikal
(Rumahorbo, 2000 : 74).
c. Retropubic Ekstravesikal Prostatctomy (Prostatektomi Retropubik)
Tindakan operasi ini dilakukan dengan membuat insisi abdomen rendah mendekati
kelenjar prostat yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tetapi tidak memasuki kandung
kemih.
d. Perineal Prostatektomy
Mengangkat kelenjar prostat melalui insisi perineum, fossa ischiarectalis langsung ke
prostat (Rumahorbo, 2000 : 75).
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas
Dikaji tentang identitas klien yang meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa, pendidikan terakhir, status perkawinan, alamat, diagnosa medis, nomor medrek,
tanggal masuk rumah sakit dan tanggal pengkajian, juga identitas penganggungjawab klien
yang meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan terakhir, dan hubungan dengan
klien.
2. Riwayat kesehatan klien
a. Alasan masuk
Merupakan alasan yang mendasari klien dibawa ke rumah sakit atau kronologis yang
menggambarkan perilaku klien dalam mencari pertolongan.
b. Keluhan utama
Merupakan keluhan yang dirasakan oleh klien saat dilakukan pengkajian, dimana pada
klien dengan BPH keluhan yang dirasakan sebelum operasi diantaranya nyeri pada saat
BAK, urine keluar dengan menetes, pancaran urine lemah dan sulit saat memulai BAK.
Sedangkan keluhan yang mungkin dirasakan setelah operasi diantaranya nyeri pada luka
operasi (Brunner & Suddart, 2001 : 1629).
Data subjektif dan objektif sebelum operasi
1) Data Subyektif
a) Klien mengatakan nyeri saat berkemih
b) Sulit kencing
c) Frekuensi berkemih meningkat
d) Sering terbangun pada malam hari untuk miksi
e) Keinginan untuk berkemih tidak dapat ditunda
f) Nyeri atau terasa panas pada saat berkemih
g) Pancaran urin melemah
h) Merasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan baik
i) Kalau mau miksi harus menunggu lama
j) Jumlah urin menurun dan harus mengedan saat berkemih
k) Aliran urin tidak lancar/terputus-putus
l) Urin terus menetes setelah berkemih
m) Merasa letih, tidak nafsu makan, mual dan muntah
n) Klien merasa cemas dengan pengobatan yang akan dilakukan
2) Data Obyektif
a) Ekspresi wajah tampak menhan nyeri
b) Terpasang kateter
Data subjektif dan objektif sesudah operasi
1) Data Subyektif
a) Klien mengatakan nyeri pada luka post operasi
b) Klien mengatakan tidak tahu tentang diet dan pengobatan setelah operas
2) Data Obyektif
a) Ekspresi tampak menahan nyeri
b) Ada luka post operasi tertutup balutan
c) Tampak lemah
d) Terpasang selang irigasi, kateter, infus
c. Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan pengembangan dari keluhan utama yang dirasakan klien.
d. Riwayat kesehatan masa lalu
Dikaji tentang penyakit yang pernah diderita klien seperti penyakit jantung, ginjal, dan
hipertensi, juga riwayat pembedahan yang pernah dialami saat dulu, baik yang berhubungan
dengan timbulnya BPH, maupun yang tidak (Brunner & Suddart, 2001 : 1629).
e. Riwayat kesehatan keluarga
Dikaji apakah aggota dalam keluarga klien ada yang menderita penyakit seperti klien,
penyakit menular seperti TBC, dan penyakit keturunan seperti DM, Hipertensi, Jantung, dan
Asma. Jika ada riwayat penyakit keturunan maka dibuat genogram (AKPER Kota Sukabumi,
2005 : 52).
3. Data biologis dan fisiologis
a. Pola aktivitas harian
Dalam aktivitas sehari-hari dikaji pola aktivitas sebelum sakit dan setelah sakit.
1) Pola makan dan minum
a). Makan
Dikaji tentang frekuensi makan, jenis diit, porsi makan, riwayat alergi terhadap suatu
jenis makanan tertentu, pada klien BPH biasanya terjadi penurunan napsu makan akibat mual
(Brunner & Suddart, 2001 : 1625).
b). Minum
Dikaji tentang jumlah dan jenis minuman setiap hari. Minuman yang harus dihindari
pada klien BPH yaitu minuman yang mengandung kafein dan alkohol, karena dapat
meningkatkan diuresis sehingga kemungkinan sisa urine dapat bertambah banyak dalam
kandung kemih (retensi urine).
2) Pola eliminasi
a). Buang air besar (BAB)
Frekuensi BAB, warna, bau, konsistensi feses dan keluhan klien yang berkaitan dengan BAB.
Pada klien BPH biasanya terjadi konstipasi akibat protrusi prostat kedalam rektum (Doenges,
2000 : 671).
b). Buang air kecil (BAK)
Pada klien BPH terjadi peningkatan BAK, nokturia, hematuria, nyeri saat BAK, urine keluar
dengan menetes, sulit saat BAK dan terjadi retensi urine (Brunner & Suddart, 2001 : 1625).
3) Pola istirahat tidur
Waktu tidur, lamanya tidur setiap hari, apakah ada kesulitan dalam tidur. Pada klien
BPH terjadi nokturia dan hal ini mungkin akan mengganggu istirahat tidur klien (Brunner &
Suddart, 2001 : 1625).
4) Pola personal higiene
Dikaji mengenai frekuensi dan kebiasaan mandi, keramas, gosok gigi dan
menggunting kuku. Pada klien BPH yang sudah mengalami komplikasi dan juga faktor usia
yang sudah tua kemungkinan dalam perawatan dirinya tersebut memerlukan bantuan baik
sebagian maupun total.
5) Pola mobilisasi fisik
Dikaji tentang kegitan dalam pekerjaan, mobilisasi, olah raga, kegiatan diwaktu luang
dan apakah keluhan yang dirasakan klien mengganggu aktivitas klien tersebut.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dalam keperawatan dipergunakan untuk memperoleh data objektif dari
riwayat keperawatan klien, dalam pemeriksaan fisik terdapat 4 teknik yaitu Inspeksi, Palpasi,
Perkusi dan Auskultasi.
1). Sistem Persarafan
Pada klien BPH baik pre dan post operasi terdapat rangsangan nyeri akibat dari
obstruksi, retensi urine dan luka insisi. Tingkat kesadaran pada klien BPH compos mentis
(Brunner & Suddart, 2001 : 1629).

2). Sistem Endokrin


Pada klien BPH terjadi penurunan jumlah hormon testosteron (Samsuhidajat, 2004 :
782).
3). Sistem Perkemihan
Pre operasi pada klien BPH ditemukan peningkatan frekuensi BAK, nokturia,
hematuria, nyeri pada saat BAK, urin keluar dengan menetes, retensi urine dan terdapat nyeri
tekan pada area CVA serta terjadi pembesaran ginjal jika sudah terdapat kerusakan ginjal
(Brunner & Suddart, 2001 : 1625).
Biasanya klien post operasi 1-5 hari dipasang kateter dan irigasi kandung kemih
kontinyu (spooling) (Brunner & Suddart, 2001 : 1630).
4). Sistem Pencernaan
Pada klien BPH dengan pre operasi terjadi mual dan muntah akibat dari penekanan
lambung (Brunner & Suddart, 2001 : 1625), konstipasi dan kebiasaan mengedan saat BAK
akan menyebabkan hernia dan hemoroid (Samsuhidajat, 2004 : 783). Sedangkan pada post
operasi dapat terjadi mual karena efek anestesi sehingga timbul anoreksia.
5). Sistem Kardiovaskuler
Pada klien BPH dengan pre operasi, kaji tentang riwayat penyakit jantung dan
hipertensi. Jika sudah ada kerusakan ginjal maka akan terjadi peningkatan tekanan darah
tetapi peningkatan tekanan darah dan nadi juga dapat terjadi bila klien merasa nyeri.
Sedangkan pada post operasi dapat terjadi penurunan tekanan darah, peningkatan frekuensi
nadi, anemis, dan pucat jika klien mengalami syok (Brunner & Suddart, 2001 : 1623).
6). Sistem Pernapasan
Pada klien BPH dengan pre operasi dan post operasi dapat terjadi peningkatan
frekuensi napas akibat nyeri yang dirasakan klien.
7). Sistem Muskuloskeletal
Pada klien BPH dengan pre operasi dan post operasi terjadi keterbatasan pergerakan
dan immobilisasi akibat nyeri yang dirasakan oleh klien.
8). Sistem Integumen
Pada klien BPH dengan pre operasi dapat terjadi peningkatan suhu tubuh akibat
terjadi proses infeksi, sedangkan pada post operasi terdapat luka insisi jika dilakukan
prostatektomi terbuka (Brunner & Suddart, 2001 : 1629).
9). Sistem Reproduksi
Pada klien BPH dengan post operasi dapat terjadi disfungsi seksual bahkan sampai
terjadi impotensi. Pada saat ejakulasi cairan sperma dapat bercampur dengan urine sehingga
dapat terjadi infeksi tetapi hal ini tidak mengganggu fungsi seksual (Brunner & Suddart, 2001
: 1629).
4. Data psikologis
a. Status emosional
Dikaji tentang keadaan emosi klien. Pada klien BPH dengan pre operasi, biasanya
terjadi ansietas sehubungan dengan prosedur pembedahan.
b. Konsep diri
1). Citra tubuh
Sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar maupun tidak sadar.
2). Identitas diri
Kesadaran tentang diri sendiri yang dapat diperoleh individu dari observasi dan
penilaian terhadap dirinya menyadari inidividu bahwa dirinya berbeda dengan orang lain.
3). Peran
Serangkaian pola sikap perilaku, nilai dan tujuan yang diharapkan oleh masyarakat
dihubungkan dengan fungsi individu didalam kelompok sosialnya.
4). Ideal diri
Persepsi individu tentang bagaimana ia seharusnya bertingkah laku berdasarkan
standar pribadi.
5). Harga diri
Penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisis seberapa banyak
kesesuaian tingkah laku dengan dirinya.
c. Mekanisme koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri sendiri dari pengalaman yang
menakutkan berhubungan dengan respon neurobiologik. Mekanisme koping terdiri dari :
a. Regresi berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk menganggulangi
ansietas dan upaya untuk menanggulangi ansietas.
b. Projeksi sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi
c. Menarik diri
5. Data sosial dan budaya
a. Pola komunikasi dan interaksi
Kejelasan klien dalam kebiasaan berbicara, kemampuan dan keterampilan klien
berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain.
b. Support sistem
Dikaji bagaimana dukungan keluarga dan orang terdekat dalam proses penyembuhan
penyakit klien.

6. Data spiritual
a. Pola religius
Agama yang dianut klien, kegiatan agama dan kepercayaan yang dilakukan klien selama
ini apakah ada gangguan aktivitas beribadah selama sakit.
b. Kepercayaan dan keyakinan
Bagaimana sikap klien terhadap petugas kesehatan dan keyakinan klien terhadap penyakit
yang dideritanya.
7. Data penunjang
Data penunjang meliputi farmakoterapi dan prosedur diagnostik medik seperti
pemeriksaan darah, urine, radiologi dan cystoscopy.
B. Diagnosa
1. Gangguan rasa nyaman nyeri sehubungan dengan retensi urine, infeksi urinaria dan distensi
kandung kemih, luka pembedahan (post op).
2. Ansietas berhubungan dengan perubahan dalam status kesehatan atau prosedur pembedahan
(pre op).
3. Resiko kekurangan volume cairan dan elektrolit sehubungan dengan pendarahan.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, immobilitas, pemasangan alat
kateter
5. Resiko infeksi sehubungan dengan retensi urine dan terpasangnya dower kateter
6. Kurang pengetahuan tentang proses penyakit, tanda dan gejala serta perawatan dirumah
sehubungan dengan kurang informasi.

C. Penyimpangan KDM
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth, 2001, Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol. 3, EGC, Jakarta.

Corwin, J. Elizabeth, 2001, Buku Saku Pathofisiologi, EGC, Jakarta.


Doenges, Moorhouse & Geissler, 2001, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerbit EGC, Jakarta.

Price & Wilson, 1995, Pathofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Penerbit EGC, Jakarta.

Sjamsuhidajat & Wim de Jong, 1997, Ilmu Bedah, Penerbit EGC, Jakarta.

Staf Pengajar Patologi Anatomi FKUI, 1993, Patologi, Jakarta.

Ada beberapa pengertian penyakit Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) menurut


beberapa ahli adalah :
1. Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) merupakan perbesaran kelenjar prostat, memanjang ke
atas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium uretra
akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap
(Smeltzer dan Bare, 2002).
2. BPH merupakakan pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat,
pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan
tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa, prostat tersebut mengelilingi uretra
dan, dan pembesaran bagian periuretral menyebabkan obstruksi leher kandung kemih dan
uretra parsprostatika yang menyebabkan aliran kemih dari kandung kemih (Price dan Wilson,
2006).
3. BPH merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada pria umur 50 tahun atau lebih yang
ditandai dengan terjadinya perubahan pada prostat yaitu prostat mengalami atrofi dan
menjadi nodular, pembesaran dari beberapa bagian kelenjar ini dapat mengakibatkan
obstruksi urine ( Baradero, Dayrit, dkk, 2007).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Benigna Prostat Hiperplasi (BPH)
merupakan penyakit pembesaran prostat yang disebabkan oleh proses penuaan, yang biasa
dialami oleh pria berusia 50 tahun keatas, yang mengakibatkan obstruksi leher kandung
kemih, dapat menghambat pengosongan kandung kemih dan menyebabkan gangguan
perkemihan.
Berdasarkan perkembangan penyakitnya menurut Sjamsuhidajat dan Dejong (2005)
secara klinis penyakit BPH dibagi menjadi 4 gradiasi :
Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan penonjolan
prostat, batas atas mudah teraba dan sisa urin kurang dari 50 ml
Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur dan batas atas dapat
dicapai, sedangkan sisa volum urin 50- 100 ml.
Derajat 3 : Pada saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas prostat tidak dapat diraba
dan sisa volum urin lebih dari 100ml.
Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi urine total

B. Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi/penyebab terjadinya
BPH, namun beberapa hipotesisi menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya dengan peningkatan
kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Terdapat perubahan mikroskopik pada
prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang,
akan terjadi perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka
kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya sekitar 80%, dan usia 90
tahun sekiatr 100% (Purnomo, 2011)
Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga menjadi
penyebab timbulnya Benigna Prosat, teori penyebab BPH menurut Purnomo (2011) meliputi,
Teori Dehidrotestosteron (DHT), teori hormon (ketidakseimbangan antara estrogen dan
testosteron), factor interaksi stroma dan epitel-epitel, teori berkurangnya kematian sel
(apoptosis), teori sel stem.
1. Teori Dehidrotestosteron (DHT)
Dehidrotestosteron/ DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan
sel-sel kelenjar prostat. Aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron menjadi
dehidrotestosteron (DHT) dalam sel prostad merupakan factor terjadinya penetrasi DHT
kedalam inti sel yang dapat menyebabkan inskripsi pada RNA, sehingga dapat menyebabkan
terjadinya sintesis protein yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai
penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada
prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5alfa –reduktase dan jumlah reseptor
androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih
sensitive terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan
prostat normal.
2. Teori hormone ( ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron)
Pada usia yang semakin tua, terjadi penurunan kadar testosterone sedangkan kadar estrogen
relative tetap, sehingga terjadi perbandingan antara kadar estrogen dan testosterone relative
meningkat. Hormon estrogen didalam prostat memiliki peranan dalam terjadinya poliferasi
sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan
menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Meskipun rangsanganterbentuknya
sel-sel baru akibat rangsangan testosterone meningkat, tetapi sel-sel prostat telah ada
mempunyai umur yang lebih panjang sehingga masa prostat jadi lebih besar.
3. Faktor interaksi Stroma dan epitel epitel.
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel
stroma melalui suatu mediator yang disebut Growth factor. Setelah sel-sel stroma
mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth
factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri intrakrin dan autokrin, serta
mempengaruhi sel-sel epitel parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel
epitel maupun sel stroma. Basic Fibroblast Growth Factor (bFGF) dapat menstimulasi sel
stroma dan ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran
prostad jinak. bFGF dapat diakibatkan oleh adanya mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau
infeksi.
4. Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik untuk
mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi dan
fragmentasi sel, yang selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh
sel-sel di sekitarnya, kemudian didegradasi oleh enzim lisosom. Pada jaringan normal,
terdapat keseimbangan antara laju poliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi
pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru
dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat baru dengan
prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan
menjadi meningkat, sehingga terjadi pertambahan masa prostat.
5. Teori sel stem
Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru. Didalam kelenjar prostat
istilah ini dikenal dengan suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan berpoliferasi
sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormone androgen,
sehingga jika hormone androgen kadarnya menurun, akan terjadi apoptosis. Terjadinya
poliferasi sel-sel BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga
terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.
C. Manifestasi Klinis
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan
diluar saluran kemih. Menurut Purnomo (2011) dan tanda dan gejala dari BPH yaitu :
keluhan pada saluran kemih bagian bawah, gejala pada saluran kemih bagian atas, dan gejala
di luar saluran kemih.
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
a. Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan dikandung kemih sehingga urin
tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai miksi), pancaran miksi lemah, Intermiten (kencing
terputus-putus), dan miksi tidak puas (menetes setelah miksi)
b. Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan ingin miksi yang sangat
mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat hiperplasi prostat pada sluran kemih bagian atas berupa adanya gejala
obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan dipinggang (merupakan tanda dari hidronefrosis),
atau demam yang merupakan tanda infeksi atau urosepsis.
3. Gejala diluar saluran kemih
Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis atau hemoroid. Timbulnya
penyakit ini dikarenakan sering mengejan pada saan miksi sehingga mengakibatkan tekanan
intraabdominal. Adapun gejala dan tanda lain yang tampak padanpasien BPH, pada
pemeriksaan prostat didapati membesar, kemerahan, dan tidak nyeri tekan, keletihan,
anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak nyaman pada epigastrik, dan gagal ginjal dapat terjadi
dengan retensi kronis dan volume residual yang besar.

D. Patofisiologi
Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk
dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang
terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa. Jaringan hiperplastik
terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa dan otot polos yang jumlahnya berbeda-
beda. Proses pembesaran prostad terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada
saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran
prostad, resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostad meningkat, serta otot destrusor
menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan destrusor
disebut fase kompensasi, keadaan berlanjut, maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi/terjadi dekompensasi
sehingga terjadi retensi urin. Pasien tidak bisa mengosongkan vesika urinaria dengan
sempurna, maka akan terjadi statis urin. Urin yang statis akan menjadi alkalin dan media
yang baik untuk pertumbuhan bakteri ( Baradero, dkk 2007).
Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat mengakibatkan aliran
urin tidak deras dan sesudah berkemih masih ada urin yang menetes, kencing terputus-putus
(intermiten), dengan adanya obstruksi maka pasien mengalami kesulitan untuk memulai
berkemih (hesitansi). Gejala iritasi juga menyertai obstruksi urin. Vesika urinarianya
mengalami iritasi dari urin yang tertahan tertahan didalamnya sehingga pasien merasa bahwa
vesika urinarianya tidak menjadi kosong setelah berkemih yang mengakibatkan interval
disetiap berkemih lebih pendek (nokturia dan frekuensi), dengan adanya gejala iritasi pasien
mengalami perasaan ingin berkemih yang mendesak/ urgensi dan nyeri saat berkemih /disuria
( Purnomo, 2011).
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi
inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko ureter, hidroureter,
hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada
waktu miksi penderita harus mengejan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau
hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat menyebabkan terbentuknya batu endapan
didalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan
hematuria. Batu tersebut dapat juga menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk akan
mengakibatkan pielonefritis (Sjamsuhidajat dan De jong, 2005).

E. Pathway

Perubahan Usia

Perubahan kesimbangan estrogen dan Progesteron

Testosteron menurun

Estrogen meningkat
Perubahan patologik anatomik

BPH

Retensi pada leher buli-buli dan prostat meningkat

Obstruksi saluran kemih yang bermuara di VU

Kompensasi otot detruktor Dekompensasi otot detruktor

Spasme otot sfinkter Penebalan dinding VU Retensi Urine

Nyeri suprapublik Kontraksi otot Aliran urine ke ginjal

(refluks VU)

Gg. Rasa nyaman nyeri Kesulitan berkemih

Tekanan ureter ke ginjal

Resiko infeksi
Kerusakan fungsi ginjal
Insisi prostat

Perdarahan Perubahan Eliminasi Resiko Resiko


Berkemih Infeksi disfungsi seksual

Keseimbangan Peregangan
Cairan terganggu
Spasme otot VU

Resiko kekurangan Nyeri(akut)


Volume cairan

(Mansjoer Arief, 2000, Long BC, 1996. Doengoes, 2000)

F. Penatalaksanaan
1. Observasi
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien dianjurkan untuk mengurangi
minum setelah makan malam yang ditujukan agar tidak terjadi nokturia, menghindari obat-
obat dekongestan (parasimpatolitik), mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan
minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Pasien dianjurkan untuk menghindari
mengangkat barang yang berat agar perdarahan dapat dicegah. Ajurkan pasien agar sering
mengosongkan kandung kemih (jangan menahan kencing terlalu lama) untuk menghindari
distensi kandung kemih dan hipertrofi kandung kemih. Secara periodik pasien dianjurkan
untuk melakukan control keluhan, pemeriksaan laboratorium, sisa kencing dan pemeriksaan
colok dubur (Purnomo, 2011).
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat menurut Purnomo (2011) dapat diperkirakan dengan
mengukur residual urin dan pancaran urin:
a. Residual urin, yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin dapat diukur dengan cara
melakukan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan pemeriksaan USG setelah miksi.
b. Pancaran urin (flow rate), dapat dihitung dengan cara menghitung jumlah urin dibagi
dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat urofometri yang menyajikan
gambaran grafik pancaran urin.
2. Terapi medikamentosa
Menurut Baradero dkk (2007) tujuan dari obat-obat yang diberikan pada penderita BPH
adalah :
a. Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi untuk mengurangi
tekanan pada uretra
b. Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan alfa blocker
(penghambat alfa adrenergenik)
c. Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone testosterone/
dehidrotestosteron (DHT).
Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH, menurut Purnomo (2011)
diantaranya : penghambat adrenergenik alfa, penghambat enzin 5 alfa reduktase, fitofarmaka.
1) Penghambat adrenergenik alfa
Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin,terazosin,afluzosin atau yang lebih
selektif alfa 1a (Tamsulosin). Dosis dimulai 1mg/hari sedangkan dosis tamsulosin adalah 0,2-
0,4 mg/hari. Penggunaaan antagonis alfa 1 adrenergenik karena secara selektif dapat
mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas detrusor. Obat ini
menghambat reseptor-reseptor yang banyak ditemukan pada otot polos di trigonum, leher
vesika, prostat, dan kapsul prostat sehingga terjadi relakasi didaerah prostat. Obat-obat
golongan ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju pancaran urin. Hal ini akan
menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-
gejala berkurang. Biasanya pasien mulai merasakan berkurangnya keluhan dalam 1-2 minggu
setelah ia mulai memakai obat. Efek samping yang mungkin timbul adalah pusing, sumbatan
di hidung dan lemah. Ada obat-obat yang menyebabkan ekasaserbasi retensi urin maka perlu
dihindari seperti antikolinergenik, antidepresan, transquilizer, dekongestan, obatobat ini
mempunyai efek pada otot kandung kemih dan sfingter uretra.
2) Pengahambat enzim 5 alfa reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan dosis 1X5 mg/hari. Obat golongan ini
dapat menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan mengecil.
Namun obat ini bekerja lebih lambat dari golongan alfa bloker dan manfaatnya hanya jelas
pada prostat yang besar. Efektifitasnya masih diperdebatkan karena obat ini baru
menunjukkan perbaikan sedikit/ 28 % dari keluhan pasien setelah 6-12 bulan pengobatan bila
dilakukan terus menerus, hal ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan pancaran miksi. Efek
samping dari obat ini diantaranya adalah libido, impoten dan gangguan ejakulasi.
3) Fitofarmaka/fitoterapi
Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain eviprostat. Substansinya misalnya
pygeum africanum, saw palmetto, serenoa repeus dll. Afeknya diharapkan terjadi setelah
pemberian selama 1-2 bulan dapat memperkecil volum prostat.
3. Terapi bedah
Pembedahan adalah tindakan pilihan, keputusan untuk dilakukan pembedahan didasarkan
pada beratnya obstruksi, adanya ISK, retensio urin berulang, hematuri, tanda penurunan
fungsi ginjal, ada batu saluran kemih dan perubahan fisiologi pada prostat. Waktu
penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi.
Menurut Smeltzer dan Bare (2002) intervensi bedah yang dapat dilakukan meliputi :
pembedahan terbuka dan pembedahan endourologi.
a. Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi terbuka yang biasa
digunakan adalah :
1) Prostatektomi suprapubik
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Insisi dibuat
dikedalam kandung kemih, dan kelenjar prostat diangat dari atas. Teknik demikian dapat
digunakan untuk kelenjar dengan segala ukuran, dan komplikasi yang mungkin terjadi ialah
pasien akan kehilangan darah yang cukup banyak dibanding dengan metode lain, kerugian
lain yang dapat terjadi adalah insisi abdomen akan disertai bahaya dari semua prosedur bedah
abdomen mayor.
2) Prostatektomi perineal
Adalah suatu tindakan dengan mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum.
Teknik ini lebih praktis dan sangat berguan untuk biopsy terbuka. Pada periode pasca operasi
luka bedah mudah terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat dengan rectum. Komplikasi
yang mungkin terjadi dari tindakan ini adalah inkontinensia, impotensi dan cedera rectal.
3) Prostatektomi retropubik
Adalah tindakan lain yang dapat dilakukan, dengan cara insisi abdomen rendah mendekati
kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung
kemih. Teknik ini sangat tepat untuk kelenjar prostat yang terletak tinggi dalam pubis.
Meskipun jumlah darah yang hilang lebih dapat dikontrol dan letak pembedahan lebih mudah
dilihat, akan tetapi infeksi dapat terjadi diruang retropubik.
b. Pembedahan endourologi, pembedahan endourologi transurethral dapat dilakukan
dengan memakai tenaga elektrik diantaranya:

1) Transurethral Prostatic Resection (TURP)


Merupakan tindakan operasi yang paling banyak dilakukan, reseksi kelenjar prostat dilakukan
dengan transuretra menggunakan cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan dioperasi
tidak tertutup darah. Indikasi TURP ialah gejala-gejala sedang sampai berat, volume prostat
kurang dari 90 gr.Tindakan ini dilaksanakan apabila pembesaran prostat terjadi dalam lobus
medial yang langsung mengelilingi uretra. Setelah TURP yang memakai kateter threeway.
Irigasi kandung kemih secara terus menerus dilaksanakan untuk mencegah pembekuan darah.
Manfaat pembedahan TURP antara lain tidak meninggalkan atau bekas sayatan serta waktu
operasi dan waktu tinggal dirumah sakit lebih singkat.Komplikasi TURP adalah rasa tidak
enak pada kandung kemih, spasme kandung kemih yang terus menerus, adanya perdarahan,
infeksi, fertilitas (Baradero dkk, 2007).
2) Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)
Adalah prosedur lain dalam menangani BPH. Tindakan ini dilakukan apabila volume prostat
tidak terlalu besar atau prostat fibrotic. Indikasi dari penggunan TUIP adalah keluhan sedang
atau berat, dengan volume prostat normal/kecil (30 gram atau kurang). Teknik yang
dilakukan adalah dengan memasukan instrument kedalam uretra. Satu atau dua buah insisi
dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan
mengurangi konstriksi uretral. Komplikasi dari TUIP adalah pasien bisa mengalami ejakulasi
retrograde (0-37%) (Smeltzer dan Bare, 2002).

G. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Purnomo (2011) dan Baradero dkk (2007) pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan pada penderita BPH meliputi :
1) Laboratorium
a) Analisi urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting dilakukan untuk melihat adanya
sel leukosit, bakteri dan infeksi. Pemeriksaan kultur urin berguna untuk menegtahui kuman
penyebab infeksi dan sensitivitas kuman terhadap beberapa antimikroba.
b) Pemeriksaan faal ginjal, untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit yang
menegenai saluran kemih bagian atas. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan
informasi dasar dari fungsin ginjal dan status metabolic.
c) Pemeriksaan prostate specific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya
biopsy atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA <4ng/ml tidak perlu dilakukan
biopsy. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, hitunglah prostate specific antigen density
(PSAD) lebih besar sama dengan 0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsy prostat, demikian
pula bila nila PSA > 10 ng/ml.
2) Radiologis/pencitraan
Menurut Purnomo (2011) pemeriksaan radiologis bertujuan untuk memperkirakan volume
BPH, menentukan derajat disfungsi bulibuli dan volume residu urin serta untuk mencari
kelainan patologi lain, baik yang berhubungan maupun tidak berhubungan dengan BPH.
a) Foto polos abdomen, untuk mengetahui kemungkinan adanya batu opak di saluran
kemih, adanya batu/kalkulosa prostat, dan adanya bayangan buli-buli yang penuh dengan urin
sebagai tanda adanya retensi urin. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda
metastasis dari keganasan prostat, serta osteoporosis akbibat kegagalan ginjal.
b) Pemeriksaan Pielografi intravena ( IVP ), untuk mengetahui kemungkinan adanya
kelainan pada ginjal maupun ureter yang berupa hidroureter atau hidronefrosis. Dan
memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan dengan adanya indentasi prostat
(pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter dibagian distal yang berbentuk seperti
mata kail (hooked fish)/gambaran ureter berbelok-belok di vesika, penyulit yang terjadi pada
buli-buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli-buli.
c) Pemeriksaan USG transektal, untuk mengetahui besar kelenjar prostat, memeriksa masa
ginjal, menentukan jumlah residual urine, menentukan volum buli-buli, mengukur sisa urin
dan batu ginjal, divertikulum atau tumor buli-buli, dan mencari kelainan yang mungkin ada
dalam buli-buli.
H. Pengkajian Fokus
Pengkajian fokus keperawatan yang perlu diperhatikan pada penderita BPH merujuk pada
teori menurut Smeltzer dan Bare (2002) , Tucker dan Canobbio (2008) ada berbagai macam,
meliputi :
a. Demografi
Kebanyakan menyerang pada pria berusia diatas 50 tahun. Ras kulit hitam memiliki resiko
lebih besar dibanding dengan ras kulit putih. Status social ekonomi memili peranan penting
dalam terbentuknya fasilitas kesehatan yang baik. Pekerjaan memiliki pengaruh terserang
penyakit ini, orang yang pekerjaanya mengangkat barang-barang berat memiliki resiko lebih
tinggi.
b. Riwayat penyakit sekarang Pada pasien BPH keluhan keluhan yang ada adalah frekuensi
, nokturia, urgensi, disuria, pancaran melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, hesistensi ( sulit
memulai miksi), intermiten (kencing terputus-putus), dan waktu miksi memanjang dan
akhirnya menjadi retensi urine
c. Riwayat penyakit dahulu Kaji apakah memilki riwayat infeksi saluran kemih (ISK),
adakah riwayat mengalami kanker prostat. Apakah pasien pernah menjalani pembedahan
prostat / hernia sebelumnya.
d. Riwayat kesehatan keluarga Kaji adanya keturunan dari salah satu anggota keluarga yang
menderita penyakit BPH.
e. Pola kesehatan fungsional
1) Eliminasi
Pola eliminasi kaji tentang pola berkemih, termasuk frekuensinya, ragu ragu, menetes, jumlah
pasien harus bangun pada malam hari untuk berkemih (nokturia), kekuatan system
perkemihan. Tanyakan pada pasien apakah mengedan untuk mulai atau mempertahankan
aliran kemih. Pasien ditanya tentang defikasi, apakah ada kesulitan seperti konstipasi akibat
dari prostrusi prostat kedalam rectum.
2) Pola nutrisi dan metabolism
Kaji frekuensi makan, jenis makanan, makanan pantangan, jumlah minum tiap hari, jenis
minuman, kesulitan menelan atau keadaan yang mengganggu nutrisi seperti anoreksia, mual,
muntah, penurunan BB.
3) Pola tidur dan istirahat
Kaji lama tidur pasien, adanya waktu tidur yang berkurang karena frekuensi miksi yang
sering pada malam hari ( nokturia ).
4) Nyeri/kenyamanan
Nyeri supra pubis, panggul atau punggung, tajam, kuat, nyeri punggung bawah
5) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Pasien ditanya tentang kebiasaan merokok, penggunaan obatobatan, penggunaan alkhohol.
6) Pola aktifitas
Tanyakan pada pasien aktifitasnya sehari – hari, aktifitas penggunaan waktu senggang,
kebiasaan berolah raga. Pekerjaan mengangkat beban berat. Apakah ada perubahan sebelum
sakit dan selama sakit. Pada umumnya aktifitas sebelum operasi tidak mengalami gangguan,
dimana pasien masih mampu memenuhi kebutuhan sehari – hari sendiri.

7) Seksualitas
Kaji apakah ada masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksual akibat adanya
penurunan kekuatan ejakulasi dikarenakan oleh pembesaran dan nyeri tekan pada prostat.
8) Pola persepsi dan konsep diri
Meliputi informasi tentang perasaan atau emosi yang dialami atau dirasakan pasien sebelum
pembedahan dan sesudah pembedahan pasien biasa cemas karena kurangnya pengetahuan
terhadap perawatan luka operasi.

I. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada penyakit BPH menurut Carpenito (2007) dan Tucker dan
Canobbio (2008) adalah :
1. Pre Operasi
a. Retensi urin akut/kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran prostat,
dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan
adekuat.
b. Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf, distensi kandung kemih,
infeksi urinaria, efek mengejan saat miksi sekunder dari pembesaran prostat dan obstruksi
uretra.
c. Ansietas/cemas berhubungan dengan krisis situasi, perubahan status kesehatan,
kekhawatiran tentang pengaruhnya pada ADL atau menghadapi prosedur bedah.
d. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan
kurangnya informasi.

2. Post Operasi
a. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik: bekuan darah, edema, trauma,
prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter.
b. Nyeri akut berhubungan dengan spasme kandung kemih dan insisi sekunder pada
pembedahan
c. Resiko perdarahan berhubungan dengan insisi area bedah vaskuler ( tindakan
pembedahan) , reseksi bladder, kelainan profil darah.
d. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan, kateter,
irigasi kandung kemih.
e. Resiko terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan impoten akibat dari
pembedahan.
f. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri sebagai efek pembedahan

J. Perencanaan keperawatan
Intervensi keperawatan pada penyakit BPH menurut Carpenito (2007), dan Tucker dan
Canobbio (2008) adalah:
1. Pra operasi
a. Retensi urin akut/kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran prostat,
dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan
adekuat.
Tujuan : Tidak terjadi retensi urine
Kriteria hasil : Pasien menunjukkan residu pasca berkemih kurang dari 50 ml, dengan tidak
adanya tetesan atau kelebihan cairan.
Intervensi :
1) Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam atau bila tiba-tiba dirasakan
Rasional : meminimalkan retensi urin distensi berlebihan pada kandung kemih.
2) Observasi aliran urin, perhatikan ukuran dan kekuatan.
Rasional : berguna untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi
3) Awasi dan catat waktu tiap berkemih dan jumlah tiap berkemih perhatikan penurunan
haluaran urin dan perubahan berat jenis.
Rasional : retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan atas, yang dapat
mempengaruhi fungsi ginjal. Adanya deficit aliran darah keginjal menganggu kemampuanya
untuk memfilter dan mengkonsentrasi substansi.
4) Lakukan perkusi/palpasi suprapubik
Rasional : distensi kandung kemih dapat dirasakan diarea Suprapubik
5) Dorong masukan cairan sampai 3000 ml sehari
Rasional : peningkatan aliran cairan mempertahankan perfusi ginjal dan membersihkan ginjal
dan kandung kemih dari pertumbuhan bakteri
6) Kaji tanda-tanda vital, timbang BB tiap hari, pertahankan pemasukan dan pengeluaran
yang akurat Rasional : kehilangan fungsi ginjal mengakibatkan penuruna eliminasi cairan dan
akumulasi sisa toksik, dapat berlanjut kepenuruan ginjal total
7) Lakukan rendam duduk sesuai indikasi
Rasional : meningkatkan relaksasi otot, penuruan edema, dan dapat meningkatkan upaya
berkemih.
8) Kolaborasi pemberian obat :
· Supositorial rectal
Rasional : supositorial dapat diabsorbsi dengan mudah melalui mukosa kedalam jaringan
kandung kemih untuk menghasilkan relaksasi otot/menghilangkan spasme
· Antibiotic dan antibakteri
Rasional : digunakan untuk melawan infeksi
· Fenoksibenzamin (Dibenzyline)
Rasional : diberikan untuk mempermudah berkemih dengan merelaksasi otot polos prostat
dan menurunkan tahanan terhadap aliran urine.
b. Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf, distensi kandung kemih,
infeksi urinaria, efek mengejan saat miksi sekunder dari pembesaran prostat dan obstruksi
uretra.
Tujuan : nyeri hilang, terkontrol
Kriteria hasil : pasien melaporkan nyeri hilang dan terkontrol pasien tampak rileks, mampu
untuk tidur dan istirahat dengan tepat
Intervensi :
1) Kaji tipe nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10) lamanya.
Rasional : memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan/keefektifan
intervensi
2) Pertahankan tirah baring bila diindikasikan
Rasional : tirah baring mungkin diperlukan pada awal selama fase retensi akut. Namun
ambulasi dini dapat memperbaiki pola berkemih normal dan menghilangkan nyeri kolik
3) Berikan tindakan kenyamanan, distraksi selama nyeri akut seperti, pijatan punggung :
membantu pasien melakukan posisi yang nyaman: mendorong penggunaan relaksasi/latihan
nafas dalam: aktivitas terapeutik
Rasional : meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dan dapat meningkatkan
kemampuan koping
4) Dorong menggunakan rendam duduk, gunakan sabun hangat untuk perineum
Rasional : meningkatkan relaksasi otot
5) Kolaborasi pemberian obat pereda nyeri ( analgetik)
Rasional : menurunkan adanya nyeri, dan kaji 30 menit kemudian untuk mengetahui
keefektivitasnya.
c. Ansietas/cemas berhubungan dengan krisis situasi, perubahan status kesehatan,
kekhawatiran tentang pengaruhnya pada ADL atau menghadapi prosedur bedah.
Tujuan : pasien tampak rileks.
Kriteria Hasil : menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi, menunjukkan rentang
tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takut
Intervensi :
1) Damping pasien dan bina hubungan saling percaya
Rasional : menunjukkan perhatian dan keinginan untuk membantu.
2) Berikan informasi tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan Rasional : Membantu
pasien dalam memahami tujuan dari suatu tindakan.
3) Dorong pasien/orang terdekat untuk menyatakan masalah/perasaan
Rasional : Memberikan kesempatan pada pasien dan konsep solusi pemecahan masalah
4) Beri informasi pada pasien sebelum dilakukan tindakan
Rasional : memungkinkan pasien untuk menerima kenyataan dan menguatkan kepercayaan
pada pemberi perawatan dan pemberian informasi.
d. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan
kurangnya informasi. Tujuan : Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan
prognosisnya.
Kriteria Hasil : Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam program
pengobatan
Intervensi :
1) Dorong pasien menyatakan rasa takut perasaan dan perhatian.
Rasional : Membantu pasien dalam mengalami perasaan.
2) Kaji ulang proses penyakit, pengalaman pasien
Rasional : memberi dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan terapi
3) Berikan informasi tentang penyakit yang diderita pasien
Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien terhadap penyakit yang dideritanya
4) Berikan penjelasan tentang tindakan/pengobatan yang akan dilakukan
Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien terhadap tindakan untuk menyembuhkan
penyakitnya.
2. Post operasi
a. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik: bekuan darah, edema, trauma,
prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter.
Tujuan : Pasien berkemih dengan jumlah normal tanpa retensi
Kriteria Hasil : Menunjukkan perilaku yang meningkatkan control kandung kemih/urinaria,
pasien mempertahankan keseimbangan cairan : asupan sebanding dengan haluaran.
Intervensi :
1) Kaji haluaran urine dan system drainase, khususnya selama irigasi berlangsung
Rasional : retensi dapat terjadi karena edema area bedah, bekuan darah dan spasme kandung
kemih.
2) Bantu pasien memilih posisi normal untuk berkemih
Rasional : mendorong pasase urine dan menngkatkan rasa normalitas.
3) Perhatikan waktu, jumlah berkemih dan ukuran aliran setelah kateter dilepas.
Rasional : kateter biasa lepas 2-5 hari setelah bedah, tetapi berkemih dapat berlanjut sehingga
menjadi masalah untuk beberapa waktu karena edema uretral dan kehilangan tonus.
4) Dorong pemasukan cairan 3000 ml sesuai toleransi, batasi cairan pada malam hari
setelah kateter dilepas
Rasional : mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk aliran urine
“penjadwalan” masukan cairan menurunkan kebutuhan berkemih/gangguan tidur selama
malam hari.
5) Pertahankan irigasi kandung kemih continue (continous bladder irrigation)/CBI sesuai
indikasi pada periode pascaoperasi
Rasional : mencuci kandung kemih dari bekuan darah dan debris untuk mempertahankan
patensi kateter

c. Nyeri akut berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada
pembedahan, dan pemasangan kateter.
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil :
1) Pasien mengatakan nyeri berkurang
2) Ekspresi wajah pasien tenang
3) Pasien akan menunjukkan ketrampilan relaksasi.
4) Pasien akan tidur / istirahat dengan tepat.
5) Tanda – tanda vital dalam batas normal.
Intervensi :
1) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10)
Rasional : nyeri tajam, intermitten dengan dorongan berkemih sekitar kateter menunjukkan
spasme kandung kemih.
2) Jelaskan pada pasien tentang gejala dini spasmus kandung kemih.Rasional : Kien dapat
mendeteksi gajala dini spasmus kandung kemih.
3) Pertahankan patensi kateter dan system drainase. Pertahankan selang bebas dari lekukan
dan bekuan
Rasional : mempertahankan fungsi kateter dan drainase system. Menurunkan resiko
distensi/spasme kandung kemih
4) Berikan informasi yang akurat tentang kateter, drainase, dan spasme kandung kemih
Rasional : menghilangkan ansietas dan meningkatkan kerjasama.
5) Kolaborasi pemberian antispasmodic contoh :
· Oksibutinin klorida (Ditropan), supositoria
Rasional : merilekskan otot polos, untuk memberikan penurunan spasme dan nyeri
· Propantelin bromide (pro-bantanin) Rasional : menghilangkan spasme kandung kemih
oleh kerja antikolinergik.
d. Resiko perdarahan berhubungan dengan insisi area bedah vaskuler (tindakan
pembedahan) , reseksi bladder, kelainan profil darah
Tujuan : Tidak terjadi perdarahan
Kriteria Hasil :
1) Pasien tidak menunjukkan tanda – tanda perdarahan
2) Tanda – tanda vital dalam batas normal .
3) Urine lancar lewat kateter
Intervensi :
1) Jelaskan pada pasien tentang sebab terjadi perdarahan setelah pembedahan dan tanda –
tanda perdarahan .
Rasional : Menurunkan kecemasan pasien dan mengetahui tanda – tanda perdarahan.
2) Irigasi aliran kateter jika terdeteksi gumpalan dalm saluran kateter .
Rasional : Gumpalan dapat menyumbat kateter, menyebabkan peregangan dan perdarahan
kandung kemih
3) Sediakan diet makanan tinggi serat dan memberi obat untuk memudahkan defekasi .
Rasional : Dengan peningkatan tekanan pada fosa prostatic yang akan mengendapkan
perdarahan
4) Mencegah pemakaian termometer rektal, pemeriksaan rectal atau huknah, untuk
sekurang – kurangnya satu minggu .
Rasional : Dapat menimbulkan perdarahan prostat
5) Pantau traksi kateter: catat waktu traksi di pasang dan kapan traksi dilepas .
Rasional : Traksi kateter menyebabkan pengembangan balon ke sisi fosa prostatik,
menurunkan perdarahan. Umumnya dilepas 3 – 6 jam setelah pembedahan
6) Observasi tanda – tanda vital tiap 4 jam, masukan dan haluaran Warna urine
Rasional : Deteksi awal terhadap komplikasi, dengan intervensi yang tepat mencegah
kerusakan jaringan yang permanen.
e. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan, kateter,
irigasi kandung kemih sering
Tujuan : Pasien tidak menunjukkan tanda – tanda infeksi Kriteria Hasil :
1) Pasien tidak mengalami infeksi.
2) Dapat mencapai waktu penyembuhan.
3) Tanda – tanda vital dalam batas normal dan tidak ada tanda – tanda syok.
Intervensi :
1) Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter dengan steril.
Rasional : Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi.
2) Anjurkan intake cairan yang cukup ( 2500 – 3000 ) sehingga dapat menurunkan
potensial infeksi.
Rasional : Meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi ISK dikurangi dan
mempertahankan fungsi ginjal
3) Pertahankan posisi urinebag dibawah
Rasional : Menghindari refleks balik urine yang dapat memasukkan bakteri ke kandung
kemih.
4) Observasi tanda – tanda vital, laporkan tanda – tanda shock dan demam.
Rasional : Mencegah sebelum terjadi shock.
5) Observasi urine: warna, jumlah, bau.
Rasional : Mengidentifikasi adanya infeksi.
6) Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat antibiotic
Rasional :Untuk mencegah infeksi dan membantu proses penyembuhan.
f. Resiko terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan impoten akibat dari
pembedahan.
Tujuan : Tampak rileks dan melaporkan ansietas menurun sampai tingkat dapat diatasi
Kriteria Hasil : Menyatakan pemahaman situasional individu, menunjukan pemecahan
masalah dan menunjukkan rentang yang tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takut.
Intervensi :
1) Dampingi pasien dan bina hubungan saling percaya
Rasional : Menunjukka perhatian dan keinginan untuk membantu
2) Berikan informasi yang tepat tentang harapan kembalinya fungsi Seksual
Rasional : impotensi fisiologis terjadi bila syaraf perineal dipotong selama prosedur radikal.
3) Diskusikan ejakulasi retrograde bila pendekatan transurethral/suprapubik digunakan
Rasional : cairan seminal mengalir kedalam kandung kemih dan disekresikan melalui urine,
hal ini tidak mempengaruhi fungsi seksual tetapi akan menurunkan kesuburan dan
menyebabkan urine keruh
4) Anjurkan pasien untuk latihan perineal dan interupsi/continue aliran urinRasional :
meningkatkan peningkatan control otot kontinensia urin dan fungsi seksual.
g. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri sebagai efek pembedahan
Tujuan : Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi. Kriteria hasil :
· Pasien mampu beristirahat / tidur dalam waktu yang cukup.
· Pasien mengungkapan sudah bisa tidur
· Pasien mampu menjelaskan factor penghambat tidur .

Intervensi :
1) Jelaskan pada pasien dan keluarga penyebab gangguan tidur dan kemungkinan cara
untuk menghindari.
Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien sehingga mau kooperatif dalam tindakan
perawatan
2) Ciptakan suasana yang mendukung, suasana tenang dengan mengurangi kebisingan
Rasional : Suasana tenang akan mendukung istirahat
3) Beri kesempatan pasien untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur.
Rasional : Menentukan rencana mengatasi gangguan
4) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat yang dapat mengurangi nyeri/analgetik.
Rasional : Mengurangi nyeri sehingga pasien bisa istirahat dengan cukup .

DAFTAR PUSTAKA
Johnson, M; Maas, M; Moorhead, S. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC). Mosby:

Philadelphia

Mansjoer, A, et all, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid I, Media Aesculapis, Jakarta

McCloskey, J dan Bulechek, G. 2000. Nursing Interventions Classification (NIC). Mosby:

Philadelphia

Nanda (2000), Nursing Diagnosis: Prinsip-Prinsip dan Clasification, 2001-2002,

Philadelphia, USA.

Smeltzer, S.C, 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth, Vol 2,

EGC, Jakarta

Anonim. 2012. Diakses 5 Mei 2012 pada http://www.scribd.com/doc/54979478/ASKEP-

BPH

Anda mungkin juga menyukai