Anda di halaman 1dari 18

HALAMAN 1

Mata Kuliah : Nama : Tingkat/Semester : Tempat Praktek :


Keperawatan Medikal Bedah Nova Rima Imani Profesi/1
Disetujui RSU Indriati Solobaru Sukoharjo
Clinical Instructure Clinical Teacher
LAPORAN KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
MEDIKAL BEDAH DENGAN BENIGN
PENDAHULUAN PROSTATIC HYPERPLASIA

KONSEP PENYAKIT (Pengertian dan Manifestasi Klinis)

A. PENGERTIAN

Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah keadaan kondisi patologis yang paling umum pada lansia dan penyebab kedua yang paling
sering ditemukan untuk intervensi medis pada pria di atas usia 50 tahun (Wijaya & Putri, 2016). Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) merupakan
pembesaran kelenjar prostat, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium uretra
akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap (Mochtar CA, et.all.2015).

B. ETIOLOGI

Penyebab dari BPH belum diketahui secara pasti. Namun terdapat beberapa teori yang dapat mendukung penyebab terjadinya BPH
(Purnomo, 2014):

C. Teori Dehidrotestosteron (DHT)

Dehidrotestosteron (DHT) adalah metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Aksis hipofisis testis
dan reduksi testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT) dalam sel prostat merupakan faktor terjadinya penetrasi DHT ke dalam inti sel
yang dapat menyebabkan inskripsi pada RNA, sehingga dapat menyebabkan terjadinya sintesis protein yang menstimulasi pertumbuhan
sel prostat. Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal,
hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5 alfa–reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-
sel prostat pada BPH lebih sensitive terhadap DHT sehingga replikasi sel
lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.

D. Teori hormon (ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron)


Pada usia yang semakin tua, terjadi penurunan kadar testosteron sedangkan kadar estrogen relatif tetap, sehingga terjadi perbandingan
antara kadar estrogen dan testosteron relatif meningkat. Hormon estrogen di dalam prostat memiliki peranan dalam terjadinya poliferasi
sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis).
Meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosteron meningkat, tetapi sel-sel prostat telah ada mempunyai
umur yang lebih panjang sehingga masa prostat lebih besar.
E. Faktor interaksi Stroma dan epitel-epitel
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator yang disebut
Growth factor. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang
selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel parakrin.
F. Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Program kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik untuk mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada
apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi sel, yang selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di
sekitarnya, kemudian didegradasi oleh enzim lisosom. Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju poliferasi sel dengan
kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang
mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat baru dengan prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah
sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi
meningkat, sehingga terjadi pertambahan masa prostat.
G. Teori sel stem
Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru. Di dalam kelenjar prostat istilah ini dikenal dengan suatu sel stem,
yaitu sel yang mempunyai kemampuan berpoliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormone
androgen, sehingga jika hormone androgen kadarnya menurun, akan terjadi apoptosis.
C. MANIFESTASI KLINIS

Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar saluran kemih. Menurut Purnomo (2014) tanda dan
gejala dari BPH yaitu : keluhan pada saluran kemih bagian bawah, gejala pada saluran kemih bagian atas, dan gejala di luar saluran kemih.
- Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
a. Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan di kandung kemih sehingga urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai
miksi), pancaran miksi lemah, intermiten (kencing terputus-putus), dan miksi tidak puas (menetes setelah miksi/terminal dribbling)
dan rasa tidak puas setiap
selesai BAK.
b. Gejala iritasi meliputi : Frekuensi (penderita memiliki frekuensi miksi lebih sering dari biasanya bahkan saat malam hari yang
disebut nokturia), urgensi (perasaan ingin miksi yang sangat mendesak) dan disuria (nyeri
pada saat miksi).
D. Gejala pada saluran kemih bagian atas

Keluhan akibat hiperplasi prostat pada saluran kemih bagian atas berupa adanya gejala obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan di
pinggang (merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda infeksi atau urosepsis.
E. Gejala di luar saluran kemih

Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis atau hemoroid. Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan pada
saat miksi sehingga mengakibatkan tekanan intraabdominal. Adapun gejala dan tanda lain yang tampak pada pasien BPH, pada
pemeriksaan prostat didapati membesar, kemerahan, dan tidak nyeri tekan, keletihan, anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak nyaman
pada epigastrik, dan gagal ginjal dapat terjadi dengan retensi kronis dan volume residual yang besar.

D. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Untuk menegakkan diagnosa BPH, dilakukan beberapa cara antara lain:

i. Anamnesa
Kumpulan gejala pada BPH dikenal sebagai nama LUTS (Lower Urinary Tract Syndrome) antara lain: gejala obstruktif seperti hesitansi, pancaran
urin lemah, intermitten, terminal dribling, terasa ada sisa urin setelah miksi. Serta gejala iritatif seperti urgensi, frekuensi, disuria.
ii. Pemeriksaan fisik
Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu, nadi dapat meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi
sampai syok pada retensi urin serta urosepsis sampai syok- septik
- Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan teknik bimanual untuk mengetahui adanya hidronefrosis dan pyelonefrosis. Pada daerah
supra simfisor pada keadaan retensi akan menonjol. Saat palpasi terasa adanya ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi.
Perkusi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya residual urin
- Penis dan uretra untuk mendeteksi kemunginan stenose meatus, striktur uretra, batu ureter, karsinoma maupun fimosis
- Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididymitis
- Rectal touch. Pemeriksaan colok dubur bertjuan untuk menentukan
konsistensi sistem persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat. Dengan colok dubur dapat diketahui derajat BPH, yaitu:
iii. Derajat I : beratnya ±20 gr
iv. Derajat II : beratnya antara 20-4- gr
v. Derajat III : beratnya >40 gr
c. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar

gula digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien


b. Pemeriksaan urin lengkap dan kultur
c. PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai

kewaspadaan adanya keganasan


d. Pemeriksaan uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancara urin. Pancaran urin dapat diukur dengan uroflowmeter
 Flow rate maksimal >15 ml.dtk : non obstruktif
 Flow rate maksimal 10-15 ml/dtk : border line
 Flow rate maksimal <10 ml/detik : obstruktif
e. Pemeriksaan imaging
f. BOF (Busk Overzich): untuk melihat adanya batu dan metastase pada tulang

g. USG (Ultrasonografi): digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume besar prostat juga keadaan kandung kemih termasuk residual urin,
pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal, transuretral dan
supra pubik
h. IVP (Pyelografi Intravena): untuk melihat ekskresi ginjal dan adanya

hidronefrosis
i. Pemeriksaan funandoskop: untuk mengetahui keadaan uretra dan kandung kemih

E. PENATALAKSANAAN

OBSERVASI (Watchfull Waiting)

Tatalaksana pada penderita BPH saat ini tergantung pada LUTS yang diukur dengan sistem skor IPSS. Pada pasien dengan skor
ringan (IPSS ≤ 7 atau Madsen Iversen ≤ 9), dilakukan watchfull waiting atau observasi yang mencakup edukasi, reasuransi, kontrol
periodik, dan pengaturan gaya hidup. Bahkan bagi pasien dengan LUTS sedang yang tidak terlalu terganggu dengan gejala LUTS yang
dirasakan juga dapat memulai terapi dengan malakukan watchfull waiting. Saran yang diberikan antara lain :
a. mengurangi minum setelah makan malam (mengurangi nokturia)
b. menghindari obat dekongestan (parasimpatolitik)
c. mengurangi minum kopi dan larang minum alkohol (mengurangi frekuensi miksi)
TERAPI BEDAH / INVASIF
a. Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi terbuka

yang biasa digunakan adalah :


- Prostatektomi suprapubik

Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Insisi dibuat di dalam kandung kemih, dan kelenjar
prostat diangkat dari atas.
- Prostatektomi perineal

Adalah suatu tindakan dengan mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum.
- Prostatektomi retropubik

Adalah tindakan lain yang dapat dilakukan, dengan cara insisi abdomen rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus
pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.
b. Pembedahan endourologi, pembedahan endourologi transurethral

dapat dilakukan dengan memakai tenaga elektrik diantaranya:


- Transurethral Prostatic Resection (TURP)

Merupakan tindakan operasi yang paling banyak dilakukan, reseksi kelenjar prostat dilakukan dengan transuretra menggunakan cairan irigan
(pembilas) agar daerah yang akan dioperasi tidak tertutup darah. Indikasi TURP ialah gejala-gejala sedang sampai berat, volume prostat kurang dari
90 gr. Tindakan ini dilaksanakan apabila pembesaran prostat terjadi dalam lobus medial yang langsung mengelilingi uretra.
- Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)

Adalah prosedur lain dalam menangani BPH. Tindakan ini dilakukan apabila volume prostat tidak terlalu besar atau prostat fibrotic. Indikasi dari
penggunaan TUIP adalah keluhan sedang atau berat, dengan volume prostat normal/kecil (30 gram atau kurang).
F. KOMPLIKASI

Menurut (Wijaya & Putri, 2016) komplikasi BPH adalah :

1. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi


2. Infeksi saluran kemih
3. Involusi kontraksi kandung kemih
4. Refluk kandung kemih
5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi
menampung urin
yang akan mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk batu endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah
keluhan iritasi. Batu tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat
mengakibatkan pielonefritis.

HALAMAN 2
HALAMAN 3
Sumber MODEL KONSEP
Referensi ASKEP
: Wu :
Y, Davidian MH, DeSimone EM, Guidelines for the Treatment of Benign Prostatic Hyperplasia. US Pharmacist. 2016;41(8):36-41.
DHF……………………………………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………….
A. PENGKAJIAN
Pengkajian pasien menurut Wijaya, & Putri, 2016 sebagai berikut :
a. Data Subyektif

1) Klien mengatakan nyeri pada luka post operasi


2) Klien mengatakan tidak tahu tentang diet dan pengobatan setelah operasi

b. Data Obyektif

1) Ekspresi tampak menahan nyeri

2) Ada luka post operasi tertutup balutan

3) Tampak lemah

4) Terpasang selang irigasi, kateter, infus

1. Riwayat kesehatan : riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit keluarga, pengaruh BPH terhadap gaya

hidup, apakah masalah urinari yang dialami pasien.

2. Pengkajian fisik

a. Gangguan dalam berkemih seperti : Sering berkemih, terbangun pada malam hari untuk berkemih, perasaan ingin miksi yang

sangat mendesak, Nyeri pada saat miksi, pancaran urin melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, jumlah air kencing menurun

dan harus mengedan saat berkemih, aliran urin tidak lancar/terputus-putus, urin terus menetes setelah berkemih, ada darah

dalam urin, kandung kemih terasa penuh, nyeri di pinggang, punggung, rasa tidak nyaman di perut, urin tertahan di kandung

kencing, terjadi distensi kandung kemih

b. Gejala umum seperti keletihan, tidak nafsu makan, mual muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik
c. Kaji status emosi : cemas, takut

d. Kaji urin : jumlah, warna, kejernihan, bau

e. Kaji tanda vital


3. Kaji pemeriksaan diagnostik

a. Pemeriksaan radiografi

b. Urinalisa

c. Lab seperti kimia darah, darah lengkap, urine

4. Kaji tingkat pemahaman dan pengetahuan klien dan keluarga tentang keadaan dan proses penyakit, pengobatan dan cara

perawatan di rumah.

Setiap 3 bulan dilakukan kontrol keluhan, sisa kencing, dan pemeriksaan colok dubur

1. Terapi medikamentosa

a. Penghambat adrenergik  (prazosin, tetrazosin) : menghambat reseptor pada otot polos di leher vesika, prostat sehingga

terjadi relaksasi. Hal ini

b. Infus diberikan untuk maintenance dan memberikan obat injeksi selama 2 hari, bila pasien sudah mampu makan dan minum

dengan baik obat injeksi bisa diganti dengan obat oral.

c. Tirah baring selama 24 jam pertama. Mobilisasi setelah 24 jam post operasi
d. Dilakukan perawatan luka dan perawatan DC hari ke-3 post oprasi dengan betadin

e. Anjurkan banyak minum (2-3l/hari)

f. DC bisa dilepas hari ke-9 post operasi

g. Hecting Aff pada hari k-10 post operasi.

h.Cek Hb post operasi bila kurang dari 10 berikan tranfusi

i. Jika terjadi spasme kandung kemih pasien dapat merasakan dorongan untuk berkemih, merasakan tekanan atau sesak pada

kandung kemih dan perdarahan dari uretral sekitar kateter. Medikasi yang dapat melemaskan otot polos dapat membantu

mengilangkan spasme. Kompres hangat pada pubis dapat membantu menghilangkan spasme.

j. Jika pasien dapat bergerak bebas pasien didorong untuk berjalan-jalan tapi tidak duduk terlalu lama karena dapat meningkatkan

tekanan abdomen, perdarahan

k. Latihan perineal dilakukan untuk membantu mencapai kembali kontrol berkemih. Latihan perineal harus dilanjutkan sampai

passien mencapai kontrol berkemih.

l. Drainase diawali sebagai urin berwarna merah muda kemerahan kemudian jernih hingga sedikit merah muda dalam 24 jam

setelah pembedahan.

m.Perdarahan merah terang dengan kekentalan yang meningkat dan sejumlah bekuan biasanya menandakan perdarahan arteri.

Darah vena tampak lebih gelap dan kurang kental. Perdarahan vena diatasi dengan memasang traksi pada kateter sehingga
balon yang menahan kateter pada tempatnya memberikan tekannan pada fossa prostatik.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. D.0077 Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
2. D.0050 Retensi urin berhubungan dengan disfungsi neurologis
3. D.0056 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan

C. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


N EVALUASI
Dx Keperawatan Intervensi (KRITERIA KEBERHASILAN)
o
1. D.0077 1.8238 Manajemen Nyeri Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x6 jam
Nyeri akut berhubungan Observasi diharapkan masalah pasien teratasi dengan kriteria
dengan agen pencedera fisik 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, hasil:
durasi, frekuensi, kualitas, intensitas L.08066 Tingkatan Nyeri  menurun dan
nyeri membaik
2. Identifikasi skala nyeri 1. Keluhan nyeri
3. Identifikasi respons nyeri non verbal 2. Meringis
4. Identifikasi faktor yang memperberat 3. Gelisah
dan memperingan nyeri 4. Kesulitan tidur
5. Monitor keberhasilan terapi 5. Mual
komplementer yang sudah diberikan 6. Frekuensi nadi
6. Monitor efek samping penggunaan 7. Tekanan darah
analgetik
Terapeutik
1. Berikan teknik nonfarmakologis 1.
untuk mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hipnosis. upresur, terapi
musik, biofeedback, terapi pijat,
aromaterapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres hangatidingin,
terapi bermain)
2. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis, suhu
ruangan, pencahayaan,kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan sumber
nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri
2. Jelaskan stralegi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri
4. Anjurkan menggunakan analgetk
secara tepat
5. Ajarkan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgetik, jika
perlu

2. D.0050 Retensi urin I.04148 Kateterisasi urine Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x6 jam
berhubungan dengan Observasi diharapkan masalah pasien teratasi dengan kriteria
disfungsi neurologis 1. Periksa kondisi pasien (misal: hasil:
kesadaran , tanda-tanda vital, L.040234 Eliminasi urine -> membaik
daerah perineal, distensi kandung 1. Sensasi berkemih
kemih,inkontenensia urin, reflex 2. Desakan berkemih (urgensi)
berkemih) 3. Berkemih tidak tuntas (hesitancy)
Terapeutik 4. Urine menetes (dribbling)
1. Siapkan perlatan, bahan-bahan dan 5. Dysuria
ruang tindakan 6. Karakteristik urine
2. Siapkan pasien : bebaskan pakaian
bawah dan posisikan dorsal
rekumben
3. Pasang sarung tangan
4. Bersihkan daerah perineal atau
preposium dengan cairan Nacl atau
aquades
5. Lakukan insersi kateter urine
dengan menerapkan prinsip aseptic
6. Sambungkan kateter urine dengan
urine bag
7. Isi balon dengan nacl 0.9% sesuai
anjuran pabrik
8. Fiksasi selang kateter diatas
simfisis atau di paha
9. Pastikan kantong urine ditempatkan
lebih rendah dari kandung kemih
10. Berikan label waktu pemasangan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan prosedur
pemasagan urine
2. Anjurkan menarik napas saat insersi
3. D.0056 I.05186 Terapi Aktivitas Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x6 jam
Intoleransi aktivitas Observasi diharapkan masalah pasien teratasi dengan kriteria
berhubungan dengan 1. Identifikasi deficit tingkat hasil:
kelemahan aktivitas L.05047 Toleransi Aktivitas -> membaik dan
2. Identifikasi sumber daya untuk menurun
aktivitas yang diinginkan 1. Frekuensi nadi
3. Identifikasi strategi 2. Kemudahan dalam melakukan aktivitas
meningkatkan partisipasi dalam 3. Keluhan lelah
aktivitas 4. perasaan lemah
4. Monitor respon emosional, fisik,
social, dan spiritual terhadap aktivitas
Terapeutik
1. Fasilitasi focus pada kemampuan,
bukan deficit yang dialami
2. Fasilitasi memilih aktivitas dan
tetapkan tujuan aktivitas yang
konsisten sesuai kemampuan fisik,
psikologis, dan social
3. Koordinasikan pemilihan aktivitas
sesuai usia
4. Fasilitasi pasien dan keluarga dalam
menyesuaikan lingkungan untuk
mengakomodasikan aktivitas yang
dipilih
5. Fasilitasi aktivitas fisik rutin (mis.
ambulansi, mobilisasi, dan perawatan
diri), sesuai kebutuhan
6. Fasilitasi aktivitas motorik untuk
merelaksasi otot
7. Libatkan dalam permaianan kelompok
yang tidak kompetitif, terstruktur, dan
aktif
8. Libatkan kelarga dalam aktivitas, jika
perlu

Edukasi
1. Ajarkan cara melakukan aktivitas yang
dipilih
2. Anjurkan melakukan aktivitas fisik,
social, spiritual, dan kognitif, dalam
menjaga fungsi dan kesehatan
3. Anjurkan keluarga untuk member
penguatan positif atas partisipasi
dalam aktivitas

DAFTAR PUSTAKA

Mochtar CA, Umbas R, Soebadi DM, Rasyid N, Noegroho BS, Poernomo BB, dkk. Panduan Penatalaksanaan Klinis Pembesaran Prostat Jinak
(Benign Prostatic Hyperplasia/BPH). edisi ke-2. Ikatan Ahli Urologi Indonesia; 2015.
Wu Y, Davidian MH, DeSimone EM, Guidelines for the Treatment of Benign Prostatic Hyperplasia. US Pharmacist. 2016;41(8):36-41.
Purnomo, B. (2014). Dasar-Dasar Urologi. Jakarta: Sagung Seto.
Wijaya, S. A. & Putri, M. Y. 2016. Keperawatan Medikal Bedah: Keperawatan Dewasa, Teori, Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha Medika
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Anda mungkin juga menyukai