Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN INDIVIDU

RESUME PADA PASIEN Ny. “H” DENGAN GANGGUAN

SISTEM KARDIOVASKULER: CHF

DI RUANG POLI PENYAKIT DALAM RSUD SLEMAN

HALAMAN JUDUL

Disusun oleh

AULIA NUR DARMAWANTI

2820173002

2A

AKADEMI KEPERAWATAN NOTOKUSUMO


YOGYAKARTA

2019
LEMBAR PERSETUJUAN

Resume pada pasien Ny.H dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler: CHF di Ruang Poli
Penyakit Dalam RSUD Sleman. Laporan ini disusun untuk memenuhi tugas individu PRAKTIK
KLINIK KEPERAWATAN Medikal Bedah 1 pada semester IV, pada:

Hari : Senin

Tanggal : 20 Mei- 25 Mei 2019

Tempat : Di Ruang Poli Penyakit Dalam RSUD Sleman

Praktikan

(Aulia Nur Darmawanti)

Pembimbing Lahan (CI) Pembimbing Akademik

(Nur Suelmi,Amd.Kep) (Linda Widyarani, M. Kep)


A. Definisi
Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di bawah dari buli-buli, di depan
rektum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah kemiri dengan ukuran
4x3x2,5 cm dan beratnya kurang lebih 20 gram. Ukuran 4x3x2,5 cm dan beratnya kurang
lebih 20 gram (Purnomo, 2012).
Hipertrofi prostat benigna adalah pembesaran granula dan jaringan seluler kelenjar
prostat yang berhubungan dengan perubahan endokrin berkenaan dengan proses
penuaan;kelenjar prostat mengitari leher kandung kemih dan uretra;sehingga hipertrofi
prostat seringkali menghalangi pengosongan kandung kemih(standar perawatan pasien edisi
V volume 3,penerbit EGC)

Pembesaran progresif dari kelenjar prostat(secara umum pada pria lebih tua dari 50
tahun)menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius
(Doenges M.E.rencana asuhan keperawatan,hal 671)

B. Etiologi

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi/penyebab terjadinya


BPH, namun beberapa hipotesisi menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya dengan peningkatan
kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Terdapat perubahan mikroskopik pada
prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang,
akan terjadi perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka
kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya sekitar 80%, dan usia 90
tahun sekiatr 100% (Purnomo, 2011).

Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga menjadi
penyebab timbulnya Benigna Prosat, teori penyebab BPH menurut Purnomo (2011).

C. Manifestasi Klinis
a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS) terdiri atas gejala voiding,
storage, dan pasca-miksi. Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran
kemih bagian bawah, beberapa ahli dan organisasi urologi membuat sistem penilaian
yang secara subjektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh pasien. Sistem penilaian
yang dianjurkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah Skor Internasional
Gejala Prostat atau International Prostatic Symptom Score (IPSS) (Purnomo, 2012).
Sistem penilaian IPSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan
keluhan miksi dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien.
Setiap pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi diberi nilai 0−5,
sedangkan keluhan yang menyangkut kualitas hidup diberi nilai 1−7. Dari skor IPSS
itu dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu ringan (skor 0−7),
sedang (skor 8−19), dan berat (skor 20−35) (Purnomo, 2012). 24 Timbulnya
dekompensasi buli-buli biasanya didahului oleh beberapa faktor pencetus, seperti
volume kandung kemih tiba-tiba terisi penuh, yaitu pada saat cuaca dingin, menahan
kencing terlalu lama, mengkonsumsi obat-obatan atau minuman yang mengandung
diuretikum (alkohol, kopi), dan minum air dalam jumlah yang berlebihan, massa
prostat tiba-tiba membesar, yaitu setelah melakukan aktivitas seksual atau mengalami
infeksi prostat akut, setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan
kontraksi otot detrusor atau dapat mempersempit leher buli-buli, antara lain: golongan
antikolinergik atau adrenergik alfa (Purnomo, 2012).
b. Gejala pada saluran kemih bagian atas Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat
pada saluran kemih bagian atas berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang,
benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis), dan demam yang
merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis (Purnomo, 2012). c. Gejala di luar
saluran kemih Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia
inguinalis atau hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada
saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra-abdominal (Purnomo,
2012).
c. Gejala di luar saluran kemih sehingga tidak jarang pasien berobat ke dokter karena
mengeluh adanya hernia inguinalis atau hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini
karena sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan
tekanan intra-abdominal (Purnomo, 2012).

D. Pathway
BPH

Invasi mikroorganisme ke uretra

Kolonisasi bakteri pada area periuretral


Imflamasi Hipertermi

Uretritis

Peradangan uretra

Nyeri sepanjang
waktu berkemih

Nyeri Akut

E. Patofisiologi
Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk
dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi
yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa. Jaringan
hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa dan otot polos yang
jumlahnya berbeda-beda. Proses pembesaran prostad terjadi secara perlahan-lahan
sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap
awal setelah terjadi pembesaran prostad, resistensi pada leher buli-buli dan daerah
prostad meningkat, serta otot destrusor menebal dan merenggang sehingga timbul
sakulasi atau divertikel. Fase penebalan destrusor disebut fase kompensasi, keadaan
berlanjut, maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak
mampu lagi untuk berkontraksi/terjadi dekompensasi sehingga terjadi retensi urin. Pasien
tidak bisa mengosongkan vesika urinaria dengan sempurna, maka akan terjadi statis urin.
Urin yang statis akan menjadi alkalin dan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri (
Baradero, dkk 2007).
Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat mengakibatkan
aliran urin tidak deras dan sesudah berkemih masih ada urin yang menetes, kencing
terputus-putus (intermiten), dengan adanya obstruksi maka pasien mengalami kesulitan
untuk memulai berkemih (hesitansi). Gejala iritasi juga menyertai obstruksi urin. Vesika
urinarianya mengalami iritasi dari urin yang tertahan tertahan didalamnya sehingga
pasien merasa bahwa vesika urinarianya tidak menjadi kosong setelah berkemih yang
mengakibatkan interval disetiap berkemih lebih pendek (nokturia dan frekuensi), dengan
adanya gejala iritasi pasien mengalami perasaan ingin berkemih yang mendesak/ urgensi
dan nyeri saat berkemih /disuria ( Purnomo, 2011).
F. Pemeriksaan penunjang
Menurut Purnomo (2011) dan Baradero dkk (2007) pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan pada penderita BPH meliputi :
1. Laboratorium
a. Analisi urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting dilakukan untuk
melihat adanya sel leukosit, bakteri dan infeksi. Pemeriksaan kultur urin
berguna untuk menegtahui kuman penyebab infeksi dan sensitivitas
kuman terhadap beberapa antimikroba.
b. Pemeriksaan faal ginjal, untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit
yang menegenai saluran kemih bagian atas. Elektrolit, kadar ureum dan
kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsin ginjal dan status
metabolic.
c. Pemeriksaan prostate specific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar
penentuan perlunya biopsy atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai
PSA 10 ng/ml.
2. Radiologis/pencitraan Menurut Purnomo (2011) pemeriksaan radiologis bertujuan
untuk memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi bulibuli dan
volume residu urin serta untuk mencari kelainan patologi lain, baik yang
berhubungan maupun tidak berhubungan dengan BPH.
A. Foto polos abdomen, untuk mengetahui kemungkinan adanya batu opak di saluran
kemih, adanya batu/kalkulosa prostat, dan adanya bayangan buli-buli yang penuh
dengan urin sebagai tanda 27 adanya retensi urin. Dapat juga dilihat lesi
osteoblastik sebagai tanda metastasis dari keganasan prostat, serta osteoporosis
akbibat kegagalan ginjal.
B. Pemeriksaan Pielografi intravena ( IVP ), untuk mengetahui kemungkinan adanya
kelainan pada ginjal maupun ureter yang berupa hidroureter atau hidronefrosis.
Dan memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan dengan adanya
indentasi prostat (pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter dibagian
distal yang berbentuk seperti mata kail (hooked fish)/gambaran ureter berbelok-
belok di vesika, penyulit yang terjadi pada buli-buli yaitu adanya trabekulasi,
divertikel atau sakulasi buli-buli.
C. Pemeriksaan USG transektal, untuk mengetahui besar kelenjar prostat,
memeriksa masa ginjal, menentukan jumlah residual urine, menentukan
volum buli-buli, mengukur sisa urin dan batu ginjal, divertikulum atau tumor
buli-buli, dan mencari kelainan yang mungkin ada dalam buli-buli.

G. Komplikasi
Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2005) komplikasi BPH adalah :
i. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
ii. Infeksi saluran kemih
iii. Involusi kontraksi kandung kemih
iv. Refluk kandung kemih
v. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus berlanjut
maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin yang akan
mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
vi. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi

H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada klien benigna prostat hiperplasia terdiri dari penatalaksanaan
medis, penatalaksanaan keperawatan dan penatalaksanaan diit.
1. Penatalaksanaan medis
Pemberian obat-obatan antara lain Alfa 1-blocker seperti : doxazosin, prazosin
tamsulosin dan terazosin. Obat-obat tersebut menyebabkan pengenduran otot-otot pada
kandung kemih sehingga penderita lebih mudah berkemih. Finasterid, obat ini
menyebabkan meningkatnya laju aliran kemih dan mengurangi gejala. Efek samping dari
obat ini adalah berkurangnya gairah seksual. Untuk prostatitis kronis diberikan antibiotik.
a. Pembedahan
i. Trans Urethral Reseksi Prostat ( TUR atau TURP ) prosedur pembedahan
yang dilakukan melalui endoskopi TUR dilaksanakan bila pembesaran
terjadi pada lobus tengah yang langsung melingkari uretra. Sedapat
mungkin hanya sedikit jaringan yang mengalami reseksi sehingga
pendarahan yang besar dapat dicegah dan kebutuhan waktu untuk bedah
tidak terlalu lama. Restoskop sejenis instrumen hampir serupa dengan
cystoscope tapi dilengkapi dengan alat pemotong dan couter yang
disambungkan dengan arus listrik dimasukan lewat uretra. Kandung kemih
dibilas terus menerus selama prosedur berjalan. Pasien mendapat alat
untuk masa terhadap shock listrik dengan lempeng logam yang diberi
pelumas yang ditempatkan pada bawah paha. Kepingan jaringan yang
halus dibuang dengan irisan dan tempat tempat pendarahan dihentikan
dengan couterisasi. Setelah TUR dipasang folley kateter tiga saluran (
three way cateter ) ukuran 24 Fr yang dilengkapi balon 30-40 ml. Setelah
balon kateter dikembangkan, kateter ditarik kebawah sehingga balon
berada pada fosa prostat yang bekerja sebagai hemostat. Kemudian
ditraksi pada kateter folley untuk meningkatkan tekanan pada daerah
operasi sehingga dapat mengendalikan pendarahan. Ukuran kateter yang
besar dipasang untuk memperlancar membuang gumpalan darah dari
kandung kemih.
ii. Prostatektomi suprapubis adalah salah satu metode mengangkat kelenjar
prostat dari uretra melalui kandung kemih.
iii. Prostatektomi perineal adalah mengangkat kelenjar prostat melalui suatu
insisi dalam perineum yaitu diantara skrotum dan rektum.
iv. Prostatektomi retropubik adalah insisi abdomen mendekati kelenjar
prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki
kandung kemih.
v. Insisi prostat transuretral (TUIP) adalah prosedur pembedahan dengan
cara memasukkan instrumen melalui uretra.
vi. Trans Uretral Needle Ablation ( TUNA ), alat yang dimasukkan melalui
uretra yang apabila posisi sudah diatur, dapat mengeluarkan 2 jarum yang
dapat menusuk adenoma dan mengalirkan panas sehingga terjadi
koagulasi sepanjang jarum yang menancap dijaringan prostat.

2. Penatalaksanaan keperawatan menurut Brunner and Suddart, (2000)


a. Mandi air hangat
b. Segera berkemih pada saat keinginan untuk berkemih muncul.
c. Menghindari minuman beralkohol
d. Menghindari asupan cairan yang berlebihan terutama pada malam hari.
e. Untuk mengurangi nokturia, sebaiknya kurangi asupan cairan beberapa jam sebelum
tidur.
3. Penatalaksanaan diit menurut Brunner and Suddart, (2000)
Klien dengan benigna prostat hiperplasia dianjurkan untuk menghindari minuman
beralkohol, kopi, teh, coklat, cola, dan makanan yang terlalu berbumbu serta menghindari
asupan cairan yang berlebihan terutama pada malam hari.
I. Pengkajian Fokus
Pengkajian fokus keperawatan yang perlu diperhatikan pada penderita BPH merujuk pada
teori menurut Smeltzer dan Bare (2002) , Tucker dan Canobbio (2008) ada berbagai
macam, meliputi :
a. Demografi Kebanyakan menyerang pada pria berusia diatas 50 tahun. Ras kulit
hitam memiliki resiko lebih besar dibanding dengan ras kulit putih. Status social
ekonomi memili peranan penting dalam terbentuknya fasilitas kesehatan yang baik.
Pekerjaan memiliki pengaruh terserang penyakit ini, orang yang pekerjaanya
mengangkat barang-barang berat memiliki resiko lebih tinggi.
b. Riwayat penyakit sekarang Pada pasien BPH keluhan keluhan yang ada adalah
frekuensi , nokturia, urgensi, disuria, pancaran melemah, rasa tidak puas sehabis
miksi, hesistensi ( sulit memulai miksi), intermiten (kencing terputus-putus), dan
waktu miksi memanjang dan akhirnya menjadi retensi urine.
c. Riwayat penyakit dahulu Kaji apakah memilki riwayat infeksi saluran kemih (ISK),
adakah riwayat mengalami kanker prostat. Apakah pasien pernah menjalani
pembedahan prostat / hernia sebelumnya.
d. Riwayat kesehatan keluarga Kaji adanya keturunan dari salah satu anggota keluarga
yang menderita penyakit BPH.
e. Pola kesehatan fungsional
1. Eliminasi Pola eliminasi kaji tentang pola berkemih, termasuk frekuensinya, ragu
ragu, menetes, jumlah pasien harus bangun pada malam hari untuk berkemih
(nokturia), kekuatan system perkemihan. Tanyakan 25 pada pasien apakah
mengedan untuk mulai atau mempertahankan aliran kemih. Pasien ditanya
tentang defikasi, apakah ada kesulitan seperti konstipasi akibat dari prostrusi
prostat kedalam rectum.
2. Pola nutrisi dan metabolisme Kaji frekuensi makan, jenis makanan, makanan
pantangan, jumlah minum tiap hari, jenis minuman, kesulitan menelan atau
keadaan yang mengganggu nutrisi seperti anoreksia, mual, muntah, penurunan
BB.
3. Pola tidur dan istirahat Kaji lama tidur pasien, adanya waktu tidur yang
berkurang karena frekuensi miksi yang sering pada malam hari ( nokturia ).
4. Nyeri/kenyamanan Nyeri supra pubis, panggul atau punggung, tajam, kuat, nyeri
punggung bawah.
5. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat Pasien ditanya tentang kebiasaan
merokok, penggunaan obatobatan, penggunaan alkhohol.
6. Pola aktifitas Tanyakan pada pasien aktifitasnya sehari – hari, aktifitas
penggunaan waktu senggang, kebiasaan berolah raga. Pekerjaan mengangkat
beban berat. Apakah ada perubahan sebelum sakit dan selama sakit. Pada
umumnya aktifitas sebelum operasi tidak mengalami gangguan, dimana pasien
masih mampu memenuhi kebutuhan sehari – hari sendiri.
7. Seksualitas Kaji apakah ada masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampua
seksual akibat adanya penurunan kekuatan ejakulasi dikarenakan oleh
pembesaran dan nyeri tekan pada prostat.
8. Pola persepsi dan konsep diri Meliputi informasi tentang perasaan atau emosi
yang dialami atau dirasakan pasien sebelum pembedahan dan sesudah
pembedahan 26 pasien biasa cemas karena kurangnya pengetahuan terhadap
perawatan luka operasi.

J. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul :

a. Nyeri Akut b.d. iritasi mukosa ; distensi kandung kemih, kolik ginjal; infeksi urinaria;
terapi radiasi.
Data Pendukung :
Keluhan nyeri,penyempitan ureter; perubahan tonus otot, meringis, gelisah, respon
otonomik.

Kriteria evaluasi / hasil yang diharapkan :


Pasien akan :
- Memberitahukan nyeri hilang/ terkontrol
- Tampak rileks
- Istirahat dengan tenang.
Intervensi :
1) Kaji dan catat kualitas, lokasi dan durasi nyeri. Gunakan skala nyeri (0-10) 0
(tidak ada nyeri) 10 (nyeri yang paling hebat).
2) Jelaskan penyebab rasa sakit dan cara menguranginya
3) Kolaborasi terapi dengan pemberian Analgesik sesuai program.
4) Ajarkan teknik mengatasi rasa nyeri : napas dalam untuk menurunkan stress dan
membantu rilaks otot yang tegang
5) Kompres es pada daerah yang sakit untuk mengurangi nyeri
6) Ciptakan lingkungan yang tenang
b. Risiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan b.d. pasca obstruksi diuresis dari
drainase cepat, kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis ; Endokrin,
ketidakseimbangan elektrolit ( disfungsi ginjal )
Data pendukung : (Tidak dapat diterapkan ; adanya tanda-tanda dan gejala-gejala
membuat diagnosa aktual ).

Hasil yang diharapkan / kriteria evaluasi :


Pasien akan mempertahankan hidrasi yang adekuat yang dibuktikan dengan tanda-
tanda vital dalam batas normal, pengisian kapiler baik, dan membran mukosa lembab.

Intervensi / rencana tindakan :


1) Monitor pengeluaran urin tiap jam.
Rasional : Diuresis dapat meneyababkan kekurangan volume cairan, karena
natrium tidak cukup diabsorbsi dalam tubulus ginjal.
2) Monitor tanda-tanda vital : nadi, tekanan darah; evaluasi pengisian kapiler dan
membran mukosa oral Rasional : untuk mendeteksi terjadinya hipovolemik.
3) Motivasi pasien untuk meningkatkan intake cairan peroral
Rasional : untuk mengimbangi cairan yang keluar akibat diuresis
4) Berikan posisi semi fowler kepala pasien
Rasional : Menurunkan kerja jantung, memudahkan homeostasis sirkulasi.

5) Berikan cairan IV
Rasional : Menggantikan cairan yang hilang.
c. Ketakutan / ansietas b.d perubahan status kesehatan : kemungkinan prosedur/
malignansi Data pendukung : Perut tegang Hasil yang diharapkan :
Rasa takut dan tegang berkurang, pasien tampak rileks.
Intervensi :
1) Selalu bersama – sama dengan pasien bina hubungan saling percaya
Rasional : Menunjukan perhatian dan keinginan untuk membantu
2) Berikan informasi tentang tanda / prosedur dan tes khusus seperti pemasangan
kateter, urin berdarah, iritasi pada kandung kemih. Rasional : Meningkatkan
pemahaman pasien tentang tujuan dari apa yang dilakukan, sehingga dapat
mengurangi rasa takut dan kecemasan
3) Anjurkan kepada pasien untuk mengungkapkan perasaannya kepada orang
terdekat
Rasional : mengurangi kecemasan
d. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b.d
kurang terpapar terhadap informasi, tidak mengenal sumber informasi Data
pendukung :
Pasien sering bertanya tentang penyakit, pasien tidak melakukan intervensi sesuai
instruksi.

Hasil yang diharapkan / Kriteria evaluasi :


- Pasien akan memahami tentang proses penyakit
- Pasien akan dapat mengidentifikasi tentang tanda dan gejala proses penyakit
- Pasien akan berpartisipasi dalam program pengobatan.
Tindakan/Intervensi : Pendidikan Kesehatan
1) Berikan informasi tentang penyakit : pengertian,etiologi, tanda dan gejala
penyakit.
2) Berikan informasi kepada pasien bahwa penyakit ini tidak ditularkan secara
seksual atau melalui hubungan seksual.
3) Anjurkan pasien untuk menghindari makanan berbumbu, kopi, alkohol,
mengemudikan dalam waktu yang lama, karena dapat menyebabkan iritasi dan
meningkatkan produksi urin sehingga terjadi distensi otot bladder.
4) Berikan latihan berkemih kepada pasien post pemasangan kateter.
5) Anjurkan kepada pasien untuk melakukan kunjungan ulang selama 6 bulan
sampai 1 tahun.

DAFTAR PUSTAKA

Indah, Puspita 2016. Asuhan Keperawatan pada Pasien BPH. Melalui


http://digilib.unila.ac.id/6532/115/BAB%20II.pdf (Di akses pada 28 Mei 2018, pukul
22.00)

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/134/jtptunimus-gdl-amandatama-6700-2-babii.pdf (Di
akses pada 28 Mei 2018, pukul 22.10)

Purnomo, B. 2011. Dasar-dasar Urologi,. Jakarta: Sagung Seto

Ikatan Apoteker Indonesia. 2012. ISO Indonesia. Jakarta: PT. ISFI Penerbitan

Baradero, M dan Dayrit, M. 2007. Seri Asuhan Keperawatan Pasien Gangguan Sistem
Reproduksi & Seksualitas. Jakarta: EGC

Baradero, M dan Dayrit, M. 2007. Seri Asuhan Keperawatan Pasien Gangguan Sistem
Reproduksi & Seksualitas. Jakarta: EGC

Purnomo B. (2012). Dasar-Dasar Urologi. Ed. 3. Jakarta. Sagung Seto.

Sjamsuhidajat, dkk. (2012). Buku ajar ilmu bedah Samsuhidajat-De Jong. Edisi ke-3. Jakarta:
EGC

Anda mungkin juga menyukai