Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

Benigna Prostatic Hypertrophy (BPH)

Oleh:

VILDA AMALIAH

70300116047

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2018-2019

BAB I

KONSEP DASAR MEDIS

A. Definisi
Benigna Prostatic Hypertrophy (BPH) adalah pembesaran prostat
yang jinak, pembesaran prostat menyebabkan penyempitan saluran kencing
dan tekanan dibawah kandung kemih (Mary, dkk 2014). Menurut Schwartz
(2009), BPH adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami pembesaran
memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin
dengan cara menutupi orifisium uretra.

Prevalensi BPH di dunia menurut data WHO, memperkirakan terdapat sekitar


70 juta kasus degeneratif. Salah satunya adalah BPH, dengan insidensi di
negara maju sebanyak 19%, sedangkan di negara berkembang sebanyak
5,35% kasus, yang ditemukan pada pria dengan usia lebih dari 65 tahun dan
dilakukan pembedahan setiap tahunnya. (WHO, 2013)

B. Etiologi
Bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan testosterone
estrogen karena produksi testosterone menurun dan terjadi konversi
testosterone menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. 8 Berdasarkan
angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat ditemukan
pada usia 30-40 tahun. Perubahan mikroskopik ini terus berkembang, akan
terjadi patologik anatomik. Pada lelaki usia 50 tahun, angka kejadiannya
sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka
tersebut diatas akan menyebabkan dan tanda klinis. Proses pembesaran prostat
terjadi secara perlahan-lahan, efek perubahan juga terjadi perlahan-lahan.
Pembesaran prostat terjadi pada tahap awal, resistensi pada leher vesika dan
daerah prostat meningkat, dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat
detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti
balok yang disebut trabekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos
keluar diantara serat detrusor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula,
sedangkan yang besar disebut divertikum. Fase penebalan detrusor ini disebut
fase kompensasi otot dinding. Apabila keadaan berlanjut, detrusor menjadi
lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi sehingga terajdi retensi urin (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005).

C. Patofisiologi
Saat keadaan prostat membesar akan menekan uretra sehingga timbul
obstruksi urine, yang juga mengakibatkan hipertrofi otot-otot vesika urina 10
sebagai kompensasi. Hipertrofi otot membentuk kantong yang berisi urin.
Tidak semua urine yang ada dalam kantong ini dapat dikeluarkan ketika
pasien berkemih (retensi urine dalam kantong). Makin lama tonus otot-otot
vesika urinaria menjadi jelek. Pasien tidak bisa mengosongkan vesika urinaria
dengan sempurna, maka ada statis urine, karena statis urine menjadi alkalin
dan bisa menjadi medium yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Obstruksi
urin berkembang secara perlahan. Aliran urin tidak banyak dan tidak deras.
Sesudah berkemih, masih ada urine yang menetes. Pasien juga merasa bahwa
vesika urinari tidak menjadi kosong setelah berkemih. Gejala iritasi juga
menyertai obstruksi urine. Vesika urinaria mengalami iritasi dari urine yang
tertahan di dalamnya. Pasien ini juga mengalami nokturia, disuria, urgensi,
dan sering berkemih. Hematuria bisa timbul karena ruptur pembuluh darah.
Refluks dari urine bisa menyebabkan masalah ginjal seperti hidronefrosis dan
piolonefritis (Baradero dkk, 2007).
D. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala penyakit BPH secara terperinci menurut Mary dkk,
(2014).
1) Hesitansi perkemihan - kesulitan mengawali aliran urin karena tekanan
pada uretra dan kandung kemih. 9
2) Frekuensi perkemihan - sering kencing karena adanya penekanan pada
kandung kemih.
3) Urgensi perkemihan - perlu ke kamar mandi segera karena adanya tekanan
pada kandung kemih.
4) Nocturia - perlu bangun malam karena adanya penekanan pada kandung
kemih.
5) Turunnya kekuatan aliran air kemih
6) Aliran urin tidak lancar
7) Hematuria Adapun jenis penanganan pada pasien dengan tumor prostat
tergantung pada berat gejala kliniknya.
Berat derajat klinik dibagi menjadi empat gradasi berdasarkan penemuan pada
colok dubur dan sisa volume urin. Seperti yang tercantum dalam bagan
berikut ini:
a) Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan protatismus, pada colok dubur
ditemukan penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan sisa urin kurang
dari 50 ml
b) Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok ubur dan
batas atas dapat tercapai, sedangkan sisa volume urin 50 – 100 ml
c) Derajat 3 : Saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas prostat tidak
dapat diraba dan sisa volume urin lebih dari 100 ml
d) Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi urin
E. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Patrick (2008), pemeriksaan penunjang pada pasien BPH
meliputi. 1) Pengukuran kadar kreatinin serum. 2) Ultrasonografi saluran
ginjal. 3) Urodinamika. 4) Penentuan kadar antigen spesifik-prostat (prostate-
specific antigen [PSA]) karena nilainya akan meningkat saat terjadi pada
keganasan prostat
F. Komplikasi
Menurut Arifiyanto (2008), komplikasi yang dapat terjadi pada
BPH adalah:

1) Retensi kronik dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter,


hidroureter, hidronefrosis, gagal ginjal.

2) Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu


miksi.
3) Karena selalu terdapat sisa urin sehingga menyebabkan
terbentuknya batu.
4) Hematuria.
5) Disfungsi seksual.
G. Penatalaksaan medis dan keperawatan
Menurut Sjamsuhidajat (2013), pembagian besar prostat digunakan
derajat I-IV untuk menentukan cara penanganan benigna prostat hyperplasia
dan dapat juga dengan tindakan invasive minimal dengan Transurethral
Microwave Thermoterapy (TUMT), Thransurethral Ultrasuond Guided Laser
Prostatectomy (TULIP), Thransurethral Ballon Dilatation (TUBD), Open
Prostatectomy.

H. Prognosis
Indikator yang paling penting untuk prognosis kanker prostat adalah
sistem Gleason, tingkat volume tumor, dan adanya penetrasi kapsul atau
positif marjin pada saat prostatektomi. HGPIN dan grading Gleason 4 dan 5
berkaitan dengan temuan patologi yang merugikan pasien. Sebaliknya LGPIN
bisa juga menyebabkan prognosis yang buruk (Krupski, 2012). Lebih dari
90% pasien dengan lesi stadium T1 atau T2 bertahan hidup 10 tahun atau
lebih (Kumar, 2007).

BAB II

ASKEP

A. Pengkajian
Menurut Nursalam (2008), asuhan keperawatan pada kasus BPH.
1) Kaji gejala riwayat adanya gejala meliputi serangan, frekuensi urinaria
setiap hari, berkemih pada malam hari, sering berkemih, perasaan tidak
dapat mengosongkan vasika urinaria, dan menurunya pancaran urin.
2) Gunakan indeks gejala untuk menentukan gejala berat dan dampak
terhadap gaya hidup.
3) Lakukan pemeriksaan rektal (palpasi ukuran, bentuk, dan konsistensi)
dan pemeriksaan abdomen untuk mendeteksi distensi kandung kemih serta
derajat pembesaran prostat.
4) Lakukan pengukuran erodinamika yang sederhana, uroflowmetry, dan
pengukuran residual prostat, jika diindikasikan.

B. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan merupakan penilaian klinis tentang respon


individu, keluarga, atau komunitas terhadap masalah esehatan atau proses
kehidupan aktual ataupun potensial sebagai dasar pemilihan intervensi
keperawatan untuk mencapai hasil tempat perawat bertanggung jawab.
Diagnosa keperawatan yang muncul:
Pre operasi :

1. Retensi urin berhubungan dengan sumbatan: obstruksi kandung kemih (Herdman


& Heather, 2012)

2. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik: spasme kandung kemih
(Herdman & Heather, 2012)

3. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasife: kateterisasi (Herdman &


Heather, 2012) 4. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional (Herdman &
Heather, 2012)

b. Post Operasi:

1) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik: spasme kandung kemih
(Herdman & Heather, 2012)

2) Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasife: kateterisasi (Herdman &


Heather, 2012)

3) Defisit perawatan diri: higiene berhubungan dengan kelemahan, nyeri (Wilkinson


& Judith, 2011)

Intervensi keperawatan
Intervensi fokus intervensi keperawatan untuk Benign Prostatic Hyperplasia atau BPH
adalah:

a) Pre operasi:
1) Retensi urin berhubungan dengan sumbatan: obstruksi kandung kemih (Herdman
& Heather, 2012)

Tujuan: klien dapat buang air kecil tanpa mengunakan alat bantu atau kateter

Kriteria hasil: klien mengatakan dapat buang air kecil secara mandiri

Intervensi:

a) Mengajarkan blader training pada klien

Rasional: membantu merangsang keinginan untuk buang air kecil

b) Memasang kateter bila ada indikasi


Rasional: membantu mengeluarkan urin
c) Memberikan obat sesuai program terapi
Rasional: membantu memperlancar sirkulasi dan merangsang syaraf

2) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik; spasme kandung kemih
(Herdman & Heather, 2012)

Tujuan: nyeri klien berkurang

kriteria hasil: klien tampak rileks dan klien melaporkan status nyeri berkurang

intervensi :

a) Kaji status nyeri pasien

Rasional: mengetahui tingkat nyeri yang dirasakan klien

b) Ajarkan teknik relaksasi


Rasional: teknik relaksasi membantu mengurangi nyeri pada klien

c) Bantu klien mengidentifikasai tindakan kenyamanan yang efektif dimasa lalu.


Rasional: identifikasi kenyamanan masa lalu membantu menentukan metode
mengurangi rasa sakit

3) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasife: kateterisasi (Herdman &


Heather, 2012)

Tujuan : klien terbebas dari infeksi

Kriteria hasil: klien bebas dari tanda gejala infeksi

Intervensi:

a) Observasi tanda gejala infeksi

Rasional: mengetahui tanda awal infeksi

b) pertahankan lingkungan aseptik

Rasional:lingkungan aseptik mengurangi tingkat penyebaran patogen

c) Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan

Rasional: meminimalisir penyebaran patogen melalui media tangan

4) Ansietas berhubungan dengan krisis situasional (Herdman & Heather, 2012)

Tujuan: klien mampu mengontrol cemas

Kriteria hasi: kecemasan klien berkurang,wajah tampak rileks, klien tau tentang
prosedur tindakan.

Intervensi :
a) Kaji pengetahuan klien

Rasional:mengetahui sejauh mana tingkat pengetahuan klien tentang penyakit


b) Gunakan pendekatan yang menenangkan
Rasional: pendekatan yang menenangkan dapat 7 membuat perasaan klien lebih
tenang

b. Post op

1) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik; spasme kandung kemih
(Herdman & Heather, 2012)

Tujuan: nyeri klien berkurang

kriteria hasil: klien tampak rileksdan klien melaporkan status nyeri berkurang

intervensi

a) Kaji status nyeri pasien


Rasional: mengetahui tingkat nyeri yang dirasakan klien
b) Ajarkan teknik relaksasi
Rasional: teknik relaksasi membantu mengurangi nyeri pada klien

c) Bantu klien mengidentifikasai tindakan kenyamanan yang efektif dimasa lalu


Rasional: identifikasi kenyamanan masa lalu membantu menentukan metode
mengurangi rasa sakit

2) Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasife: kateterisasi (Herdman &


Heather, 2012)

Tujuan : klien terbebas dari infeksi Kriteria hasil: klien infeksi

Intervensi:
a) Observasi tanda gejala inveksi rasional: mengetahui tanda awal infeksi b)
pertahankan lingkungan aseptik rasional:lingkungan aseptik mengurangi tingkat
penyebaran patogen

c) Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan Rasional:meminimalisir penyebaran


patogen melalui media tangan

3) Defisit perawatan diri: higiene berhubungan dengan kelemahan fisik, nyeri


(Wilkinson & Judith, 2011)

Tujuan: klien menunjukkan aktivitas perawatan diri seharihari

Kriteria hasil: klien dapat membersihkan tubuh secara mandiri dengan atau tanpa alat
bantu.

Intervensi :

a) Kaji kemampuan untuk menggunakan alat bantu

Rasional: kemampuan klien menggunakan alat bantu akan mempermudah dalam


pemenuhan kebutuhan higiene klien

c) kaji membran mukosa oral dan kebersihan tubuh setiap hari


Rasional: untuk mengetahui tingkat kebersihan klien

DAFTAR PUSTAKA
Mery Digiolino, Donna Jackson, Jim Keogh. 2014. Keperawatan Medikal
Bedah. Yogyakarta: Rapha
Schwartz. 2009. Nursing Management Of Postoperative Pain Use Of
Relaction Techniques. Jakarta: EGC Setiadi. 2012. Konsep dan Penulisan
Dokumentasi Asuhan Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu
World Health Organization (WHO). 2013. International Medical Guide
for Ships halaman 182-183. Diakses: 15 April 2017 dari
apps.who.int/iris/bitstream/10665/43814/1/9789240682313_eng.pdf
Sjamjuhidajat, R & Jong Wim De. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta:
EGC
Baradero. M. 2007. Gangguan System Reproduksi & Seksualitas.Buku
Kedokteran. Jakarta: EGC
Patrick, Pevey. 2008. At A Glance Medicine. Jakarta: Erlangga
Arifiyanto. 2008. Patient Satisfaction With Acute Pain Management.
Diperoleh Dari Http://Proquest.Umi.Com.
Sjamsuhidajat, R. 2013, Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC
Herdman & Heather. 2012. Diagnosa Keperawatan Defenisi dan
Klasifikasi. Jakarta: EGC.
Mubarak & Chayatin. 2008. Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia Teori
dan Aplikasi dalam Praktik. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Anda mungkin juga menyukai