Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

TENTANG POST TURP

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah I

Jurusan Akademi Keperawatan D III

Dosen pengampu:

Wahyu Widodo.,S.Kep.Ns.M.Kep

Disampaikan Oleh :

ANDI ARSYAD AMIRUDDIN

21010

AKADEMI KEPERAWATAN

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

TAHUN AKADEMIK 2022/2023


LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan ini disusun sebagai persyaratan memenuhi tugas


kompetensi mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah semester ganjil Akademi
Keperawatan D III dengan judul “Laporan Pendahuluan Post Turp”, tahun
2022/2023:

Menyetujui,

Clinic Instructor, Penyusun,

Aldo Sugiharto Amd.Kep Andi Arsyad Amiruddin


A. DEFINISI

1. Pengertian benign prostate hiperplasia (BPH)


Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran kelenjar
prostat non-kanker. Ini adalah gangguan urologi yang umum pada pria
yang berusia di atas 50 tahun yang ditandai dengan terjadinya perubahan
pada prostat yaitu prostat mengalami atrofi dan menjadi
nodular,pembesaran dari beberapa bagian kelenjar ini dapat
mengakibatkanobstruksi urin. Pembesaran prostat ini menyebabkan uretra,
saluran yang mengalirkan air kemih keluar dari penis, terjepit dan
menyempit. Ini menyumbat pembuangan air kemih keluar dari kandung
kemih dan diperlukan tekanan lebih besar untuk membuang air
kemih.Kandung kemih mulai berkontraksi, bahkan bila kantung ini tidak
penuh seluruhnya, dan kemudian lambat-laun kehilangan kemampuan
untuk mengosongkan sendiri. Gejala Pembesaran Prostat Jinak dikaitkan
dengan penyempitan uretra dan pengosongan kantung kemih yang tidak
tuntas.

BPH merupakakan pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa


majemuk dalamprostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian
periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan
kelenjar normal yang tersisa, prostat tersebut mengelilingi uretra dan, dan
pembesaran bagian periuretral menyebabkan obstruksi leher kandung
kemih dan uretra parsprostatika yang menyebabkan aliran kemih dari
kandung kemih (Price dan Wilson, 2006).

Hiperplasia prostat jinak (benigna prostatic hyperplasia, BPH)


adalah pertumbuhan tak-ganas stroma dan kelenjar epitel prostat yang
menyebabkan pembesaran kelenjar prostat. Pada kasus yang parah,
kelenjar ini tumbuh perlahan selama beberapa dekade, yang semula
berukuran 20 gram untuk ukuran normal orang dewasa dan akhirnya dapat
mencapai ukuran 10 kali lipatnya. Hiperplasia prostat jinak adalah
penyakit terkait usia yang sering dijumpai. Sebagian besar pria tidak
memperlihatkan gejala, tetapi gejala dan tanda klinis terjadi hampir
sepertiga pria berusia lebih dari 65 tahun, dan setiap tahun lebih dari
400.000 pria di Amerika Serikat menjalani TURP (Ganong dan Mcphee,
2010).

Jadi BPH ( Benigna Prostat Hyperplasia) merupakan pembersaran


kelenjar prostat yang sering terjadi pada laki-laki berusia 50 tahun keatas
yang ditandai dengan terjadinya perubahan pada prostat yaitu prostat
mengalami atrofi dan menjadi nodular. Pembesaran ini menyebabkan
penyumbatan pembuangan air kemih dari kendung kemih sehingga sulit
untuk buang air kecil.

B. ETIOLOGI

Beberapa hipotesisi menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya


dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua.
Terdapat perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia
30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi
perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka
kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya sekitar
80%, dan usia 90 tahun sekiatr 100%.

Dengan bertambahnya usia, akan menyebabkan perubahan


keseimbangan testosteron menjadi esterogen pada jaringan adiposa
diperifer. Karena proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan,
efek perubahan juga terjadi perlahan. Saat ini, tidak ada konsensus tentang
etiologi BPH. Ada banyak pendapat, seperti perubahan fungsi urodinamik
karena meningkatnya uretra angulasi prostat.
Beberapa telah mengidentifikasi peristiwa molekuler, seperti
peningkatan stress oksidatif, kerusakan iskemik akibat gangguan
pembuluh darah, hilangnya regulator negatif kontrol siklus sel, atau
perubahan kadar hormon terkait usia. Namun, sebagian besar postulasi
etiologi mengarah ke peradangan prostat sebagai inisiator BPH. Meskipun
masih belum ada kesepakatan apakah peradangan hanyalah sebuah
kejadian paralel atau penyebab langsung, beberapa dalam penelitian telah
menemukan hubungan yang signifikan antara peradangan dan BPH
(Schauer & Rowley, 2012).

C. PATOFISIOLOGI

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra


prostatika dan menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan
peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-
buli harus berkontraksi lebih kuat untuk melawan tahanan itu. Kontraksi
yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomi buli-buli berupa
hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan
divertikel buli- buli. Perubahan struktur pada buli-buli tersebut, oleh
pasien dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau
Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) yang dahulu dikenal dengan
gejala prostatismus(Purnomo, 2012).
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-
buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara
ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau
terjadi refluks vesikoureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan
mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh
kedalam gagal ginjal. Obstruksi pada leher kandung kemih mengakibatkan
berkurangnya atau tidak adanya aliran kemih, dan ini memerlukan
intervensi untuk membuka jalan keluar urin.
Pada BPH terjadi rasio peningkatan komponen stroma terhadap
kelenjar.Pada prostat normal rasio stroma dibanding dengan kelanjar
adalah 2:1,sedangkan pada BPH, rasionya meningkat menjadi 4:1, hal ini
menyebabkan pada BPH terjadi peningkatan tonus otot polos prostat
dibandingkan dengan prostat normal. Dalam hal ini massa prostat yang
menyebabkan obstruksi komponen statik sedangkan tonus otot polos yang
merupakan komponen dinamik sebagai penyebab obstruksi prostat
D. PATHWAYS
E. MANIFESTASI KLINIS
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih
maupun keluhan diluar saluran kemih. Menurut Purnomo (2011) dan tanda
dan gejala dari BPH yaitu : keluhan pada saluran kemih bagian bawah,
gejala pada saluran kemih bagian atas, dan gejala di luar saluran kemih.
a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
1. Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahandikandung
kemih sehingga urin tidak bisa keluar), hesitansi(sulit memulai
miksi), pancaran miksi lemah, Intermiten (kencing terputus-putus),
dan miksi tidak puas (menetes setelah miksi)
2. Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan ingin
miksi yang sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).
b. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat hiperplasi prostat pada sluran kemih bagian atas berupa
adanya gejala obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan dipinggang
(merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam yang merupakan
tanda infeksi atau urosepsis.
c. Gejala diluar saluran kemih
Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis atau
hemoroid. Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan pada
saan miksi sehingga mengakibatkan tekanan intraabdominal. Adapun
gejala dan tanda lain yang tampak pada pasien BPH, pada pemeriksaan
prostat didapati membesar, kemerahan, dan tidak nyeri tekan,
keletihan, anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak nyaman pada
epigastrik, dan gagal ginjal dapat terjadi dengan retensi kronis dan
volume residual yang besar.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang
Menurut (Haryono, 2012) pemeriksaan penunjang BPH meliputi :

a.Pemeriksaan colok dubur

Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan kesan keadaan tonus sfingter


anus mukosa rectum kelainan lain seperti benjolan dalam rectum dan
prostat.
b.Ultrasonografi(USG)
Digunakan untuk memeriksa konsistensi volume dan besar prostat juga
keadaan buli-buli termasuk residual urine.

c.Urin alisis dan kultur urine

Pemeriksaan ini untuk menganalisa ada tidaknya infeksi dan RBC (Red
Blood Cell) dalam urine yang memanifestasikan adanya pendarahan atau
hematuria(Prabowo&Pranata,2014).
d.Ureum,Elektrolit,danserumkreatinin
Pemeriksaan ini untuk menentukan status fungsi ginjal. Hal ini sebagai
data pendukung untuk mengetahui penyakit komplikasi dari BPH.
e.PA(PatologiAnatomi)
Pemeriksaan ini dilakukan dengan sampel jaringan pasca operasi. Sampel
jaringan akan dilakukan pemeriksaan mikroskopis untukmengetahui
apakah hanya bersifat benigna atau maligna sehingga akan menjadi
landasan untuk treatment selanjutnya.
G. PENATALAKSANAA KLINIS

Menurut (Haryono, 2012) penatalaksanaan Benign Prostat


Hyperplasia
(BPH)meliputi :
a.Terapimedikamentosa
1) Penghambat adrenergik, misalnya: prazosin, doxazosin, dan
afluzosin
2) Penghambat enzim, misalnya finasteride) Fitoterapi, misalnya
eviprostat

b.Terapibedah
Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung beratnya
gejala dan komplikasi, adapun macam-macam tindakan bedah
meliputi:
1)Prostatektomi
a) Prostatektomi suprapubis, adalah salah satu metode mengangkat
kelenjarmelalui insisi abdomen yaitu suatu insisi yang dibuat ke dalam
kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas.
b) Prostaktektomi perineal, adalah mengangkat kelenjar melalui suatu
insisidalamperineum.
c) Prostatektomi retropubik, adalah suatu teknik yang lebih umum
dibanding tindakan suprapubik di mana insisi abdomen lebih rendah
mendekati kelenjar prostat yaitu antara arkuspubis dan kandung kemih
tanpamemasukikandungkemih.
2)InsisiProstatTransurethra(TUIP)
Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan
instrument melalui uretra. Cara ini diindikasikan ketika kelenjar
prostat berukuran kecil (30 g / kurang) dan efektif dalam mengobati
banyak kasusdalamBPH.
3)TransuretralReseksiProstat(TURP)
Adalah operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra
menggunakan resektroskop di mana resektroskop merupakan
endoskopi dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang
dilengkapi dengan alat pemotong dan counter yang disambungkan
dengan arus listrik (waryono,2012). Transurethral Resection of the
Prostate (TURP) merupakan operasi tertutup

tanpa insisi, serta tidak mempunyai efek merugikan terhadap potensi


kesembuhan, dilakukan pada prostat yang mengalami pembesaran antara
30-60 gram, kemudian dilakukan reseksi. Cairan irigasi digunakan secara
terus menerus dengan cairan isotonis selama prosedur. Setelah dilakukan
reseksi,. dipasang kateter foley tiga saluran nomer 24 yang dilengkapi
balon 30 ml.

Untuk memperlancar pembuangan gumpalan darah dari kandung


kemih. Irigasi kandung kemih yang konstan dilakukan setelah 24 jam bila
tidak keluar bekuan darah lagi. Kemudian kateter dibilas tiap 4 jam sampai
cairan jernih. Kateter setelah 3-5 hari setelah operasi dan pasien sudah
berkemih dengan lancer. Penyembuhan terjadi dengan granula dan
reepitelisasi uretra pars prostatika (Nuari & Widayati, 2017).

G. PENGKAJIAN FOKUS KEPERAWATAN


Proses keperawatan adalah metode sistemik untuk mengkaji respon
manusia terhadap masalah-masalah dan membuat rencana keperawatan
bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Masalah-masalah
kesehatan dapat berhubungan dengan klien keluarga juga orang terdekat atau
masyarakat. Proses keperawatan mendokumentasikan kontribusi perawat
dalam mengurangi atau mengatasi masalah-masalah kesehatan. Proses
keperawatan terdiri dari lima tahapan, yaitu : pengkajian, diagnosa
keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi (Bararah & Jauhar,
2013).

A) Pengkajian
a. Identitas
Data tentang identitas klien meliputi nama, tempat tanggal lahir, umur,
jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, dan golongan
darah.

b. Alasan utama masuk RS


Alasan utama yang menyebabkan klien masuk rumah sakit.

c. Keluhan Utama
Keluhan yang paling dirasakan menggangu oleh pasien pada saat
dilakakukan pengkajian oleh perawat.

d. Diagnosa Medis
Berisi tentang diagnosa (penyakit) yang ditegakan oleh dokter.

Riwayat Kesehatan/ Penyakit


e. Riwayat Kesehatan/ Penyakit Sekarang
Kronologis penyakit yang diderita saat ini mulai awal hingga dibawa ke
RS secara lengkap. Tindakan apa saja yang sudah dilakukan oleh
klien untuk mengobati sakitnya sebelum ke RS.

f. Riwayat Kesehatan/ Penyakit Lalu


Riwayat penyakit yang pernah dialami klien beberapa waktu sebelumnya.
Apakah ada hubungannya atau tidak dengan penyakit sekarang?
Berapa kali klien pernah sakit sebelum sakit yang sekarang?
Bagaimana cara klien mencari pertolongan? Apakah klien pernah
menderita DM (Diabetes Melitus), HT (Hipertensi), TBC
(Tuberkulosis Paru), Kanker, dan lain-lain?

g. Riwayat Kesehatan/ Penyakit Keluarga


Apakah dalam keluarga ada yang memiliki penyakit yang sama?
Tanyakan pada klien/ keluarga mengenai penyakit yang pernah
diderita anggota keluarga.

h. Genogram
Genogram adalah peta atau riwayat keluarga yang menggunakan simbol-
simbol khusus untuk menjelaskan hubungan, peristiwa penting, dan
dinamika keluarga dalam beberapa generasi.

B) Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
Keadaan secara umum yang tampak dari fisik klien ketika
perawat melakukan pengkajian. Berisi pengkajian sakit/ nyeri (Gejala
(Subjektif) dan Tanda (Objektif)), status gizi, sikap, dan personal
hygine.
Lakukan pengukuran GCS (Glasgow Coma Scale) untuk menilai
tingkat kesadaran klien. cara mengukur tingkat kesadaran dengan
skala GCS adalah sebagai berikut: (Ahmad Muhlisin, 2019)
Mata (Eye – E)

Berikut ini adalah panduan pemeriksaan mata untuk menentukan


angka GCS:

 (1): tidak ada respon


 (2): mata terbuka setelah menerima rangsangan.
 (3): mata terbuka hanya dengan mendengar suara atau dapat
mengikuti perintah untuk membuka mata.

 (4): mata terbuka secara spontan tanpa perintah atau sentuhan.


Suara (Verbal – V)
Untuk pemeriksaan respons suara, panduan untuk menentukan
nilai GCS adalah sebagai berikut:

 (5): orientasi baik, bicaranya jelas


 (4): bingung, berbicara mengacau (berulang-ulang), disorientasi
tempat dan waktu

 (3): mengucapkan kata-kata yang tidak jelas


 (2): suara tanpa arti (mengerang
 (1): tidak ada respon
Gerakan (Motorik – M)

Panduan penentuan angka GCS untuk pemeriksaan respons


gerakan adalah sebagai berikut:

 (6): mengikuti perintah pemeriksa


 (5): melokalisir nyeri, menjangkau dan menjauhkan stimulus
saat diberi rangsang nyeri

 (4): withdraws, menghindar atau menarik tubuh untuk menjauhi


stimulus saat diberi rangsang nyeri

 (3): flexi abnormal, salah satu tangan atau keduanya


menekuk saat diberi rangsang nyeri

 (2): extensi abnormal, salah satu tangan atau keduanya bergerak


lurus (ekstensi) di sisi tubuh saat diberi rangsang nyeri

 (1): tidak ada respon


 Nilai GCS dan Intrepretasi Hasilnya
Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan
dalam simbol E-V-M dan selanjutnya nilai GCS tersebut dijumlahkan.
Nilai GCS yang tertinggi atau GCS normal adalah 15 yaitu E4V5M6 ,
sedangkan yang terendah adalah 3 yaitu E1V1M1.

Berikut beberapa penilaian GCS dan interpretasinya terhadap


tingkat kesadaran: (Ahmad Muhlisin, 2019)
 Nilai GCS (15-14) : Composmentis
 Nilai GCS (13-12) : Apatis
 Nilai GCS (11-10) : Delirium
 Nilai GCS (9-7) : Somnolen
 Nilai GCS (6-5) : Sopor
 Nilai GCS (4) : Semi-coma
 Nilai GCS (3) : Coma

a) Composmentis, yaitu kondisi seseorang yang sadar sepenuhnya,


baik terhadap dirinya maupun terhadap lingkungannya dan dapat
menjawab pertanyaan yang ditanyakan pemeriksa dengan baik.
b) Apatis, yaitu kondisi seseorang yang tampak segan dan acuh tak
acuh terhadap lingkungannya.
c) Delirium, yaitu kondisi seseorang yang mengalami kekacauan
gerakan, siklus tidur bangun yang terganggu dan tampak gaduh
gelisah, kacau, disorientasi serta meronta-ronta.
d) Somnolen yaitu kondisi seseorang yang mengantuk namun masih
dapat sadar bila dirangsang, tetapi bila rangsang berhenti akan
tertidur kembali.
e) Sopor, yaitu kondisi seseorang yang mengantuk yang dalam,
namun masih dapat dibangunkan dengan rangsang yang kuat,
misalnya rangsang nyeri, tetapi tidak terbangun sempurna dan
tidak dapat menjawab pertanyaan dengan baik.
f) Semi-coma yaitu penurunan kesadaran yang tidak memberikan
respons terhadap pertanyaan, tidak dapat dibangunkan sama
sekali, respons terhadap rangsang nyeri hanya sedikit, tetapi
refleks kornea dan pupil masih baik.
g) Coma, yaitu penurunan kesadaran yang sangat dalam,
memberikan respons terhadap pertanyaan, tidak ada gerakan, dan
tidak ada respons terhadap rangsang nyeri.
2. Data Sistemik
a. Sistem Persepsi Sensori
Berisi data kondisi pendengaran dan penglihatan klien

b. Sistem Pernafasan
Berisi data gejala (subjektif): dyspnea, riwayat Bronchitis,
Asma, TBC, Emfisema, perokok, penggunaan alat bantu
pernapasan. Tanda (objektif): frekuensi, suara nafas,
penggunaan otot-otot assesoris, napas cuping hidung, fremitus,
sianosis, spuntum.

c. Sistem Kardiovaskuler
Berisi data tekanan darah, nadi, irama, kekuatan, akral,
edema.

d. Sistem Saraf Pusat


Berisi data tingkat nilai GCS, bicara, pupil, orientasi waktu,
tempat, orang.

e. Sistem Gastrointestinal
Berisi data gejala (subjektif): diit, jumlah makan per hari,
makan terakhir, pola diit, kehilangan selera makan, mual/ muntah,
nyeri ulu hati, alergi, masalah mengunyah/ menelan, gigi, berat
badan, perubahan berat badan, penggunaan diuretik. Tanda
(objektif): berat badan sekarang, tinggi badan, bentuk badan,
kelembaban mukosa, edema, periobital, asites, kondisi gigi/ gusi,
penampilan lidah.

f. Sistem Muskuloskeletal
Berisi data rentang gerak, keseimbangan cara berjalan,
kemampuan memenuhi ADL, kekuatan otot.

Pemeriksaan kekuatan otot dilakukan untuk menilai


disfungsi kekuatan otot. Berikut interpretasi pengukuran derajat
kekuatan otot:

 (0): tidak ada kontraksi otot sama sekali atau lumpuh total.
 (1): ada sedikit kontraksi otot tetapi persendian tidak bisa
digerakkan.

 (2): pasien bisa menggerakkan ekstremitas tetapi gerakan ini


tidak mampu melawan gaya berat, misalnya pasien bisa

menggeser lengan tetapi tidak dapat mengangkatnya.

 (3): kekuatan otot sangat lemah tetapi anggota tubuh dapat


digerakkan melawan gaya gravitasi.

 (4): kekuatan otot lemah tetapi anggota tubuh dapat


digerakkan melawan gaya gravitasi dan dapat menahan

sedikit tahanan yang diberikan.

 (5): tidak ada kelumpuhan maupun kelemahan (kondisi


normal).

g. Sistem Integumen
Berisi data warna kulit, tugor kulit, memar/ luka.

h. Sistem Reproduksi
Berisi data infertil, masalah menstruasi, rabas vagina, rabas
penis, gangguan prostat.

i. Sistem Perkemihan
Berisi data BAK: frekuensi, dysuria, nokturia, retensi,
hematuria, terpasang DC: no, tanggal, jumlah/ volume, warna

3. Data Penunjang
Berisi data hasil laboratorium dan data pemeriksaan penunjang
lainnya.

4. Terapi yang Diberikan


Berisi data waktu, terapi farmakologi/ non farmakologi.

5. Data Psikososial
Berisi data status emosi, gaya komunikasi, pola pertahanan/
mekanisme kopping, dampak di rawat di RS, dan kondisi perasaan
klien.

6. Data Spiritual
Kebutuhan untuk beribadah (terpenuhi/ tidak), masalah-masalah
dalam pemenuhan kebutuhan spiritual? Upaya mengatasi masalah
pemenuhan kebutuhan spiritual?
H. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan merupakan cara memutuskan masalah kesehatan


aktual atau potensial sebagai dasar untuk menyeleksi respon individu pasien atau
masyarakat tentang intervensi keperawatan dalam mencapai tujuan asuhan
keperawatan sesuai dengan kewenangan (Wahyuni, 2016). Diagnosa yang muncul
pada pasien post TURP yaitu:

a. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis D.0077


b. Defisit Pengetahuan b.d Kurang Terpapar Informasi (D. 0111)

I. EVALUASI

Evaluasi atau tahap penilaian merupakan tindakan perbandingan yang


sistematis dan terencana yang memiliki tujuan tentang kesehatan pasien.
Dilakukan dengan cara bersinambungan dengan melibatkan klien, keluarga, dan
tenaga kesehatan. Tujuan dari evaluasi yaitu untuk mengetahui kemampuan klien
dalam mencapai tujuan yang telah direncanakan dengan kriteria hasil pada tahap
perencanaan (Wahyuni, 2016).
DAFTAR PUSTAKA

Kapoor. (2012). Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) Management In The


Primary Care Setting. Can. J. Urol.

Anggraini, M. (2013). Pengaruh Mobilisasi Dini Terhadap Keberhasilan


Penyembuhan Luka pada Pasien Pasca Operasi di RS PKU Muhammadiyah
Yogyakarta, Jurnal Kesehatan Komunitas, pp. 1–18.

Bramantya, B. (2016). Pengaruh Spiritual Emotion Freedem Technique (SEFT)


terhadahap Penurunan Nyeri dan Kecemasan Pada Pasien Pasca Bedah TURP di
RSUD dr Soekardjo Kota Tasikmalaya. Thesis, Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai