Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

BENIGNA PROSTATIC HYPERTROPHY (BPH)

DOSEN PEMBIMBING : ANDI BUDIYANTO ADI PUTRA, S.Kep.,Ns., M.Kep

OLEH:

NAHDAH PURNAH NUGRAHA

70300117020

JURUSAN KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2020
BAB I

KONSEP DASAR

A. Definisi

Benigna Prostat Hiperplasi adalah perbesaran prostat, kelenjar prostat

membesar memanjang kearah depan ke dalam kandung kemih dan

menyumbat aliran urine, dapat mengakibatkan hidronefrosis dan hidroureter

(Brunner & Suddarth, 2000).

Benigna prostatic hypertrophy ( BPH ) adalah pembesaran


adenomatous dari kelenjar prostat ( Long, 1996 ).Benigna Prostat Hiperplasi adalah
pembesaran dari beberapa dari kelenjar ini yang mengakibatkan obstruksi urine
(Mary Buradero dkk, 2000).
BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada

pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan

pembatasan aliran urinarius (Marilynn, E.D, 2000).

Hipertropi adalah pembesaran sel, sedangkan hiperplasi adalah

pertambahan jumlah sel, sehingga terjadi pembentukan jaringan yang berlebihan.

Benigna Prostat Hiperplasi adalah pembesaran kelenjar prostat, memanjang ke

arah depan ke dalam kandung kemih, yang mengakibatkan

obstruksi urine (Poppy, 1998).

Dari pengertian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa benigna prostat

hyperplasia adalah pembesaran dari prostat yang biasanya terjadi pada orang

berusia lebih dari 50 tahun yang mendesak saluran perkemihan.


B. Etiologi/Predisposisi

Penyebab terjadinya Benigna Prostat Hipertropi belum diketahui secara

pasti. Prostat merupakan alat tubuh yang bergantung kepada endokrin dan dapat

pula dianggap undangan (counter part). Oleh karena itu yang dianggap etiologi

adalah karena tidak adanya keseimbangan endokrin. Namun menurut

Syamsu Hidayat dan Wim De Jong tahun2004 etiologi dari Benigna Prostat

Hiperplasia (BPH) adalah :

 Adanya hiperplasia periuretral yang disebabkan karena perubahan

keseimbangan testosteron dan estrogen. Dengan meningkatnya usia pada pria

terjadi peningkatan hormon Estrogen dan penurunan testosteron sedangkan

estradiol tetap yang dapat menyebabkan terjadinya hyperplasia stroma.

 Ketidakseimbangan endokrin.

 Faktor umur / usia lanjut.

Biasanya terjadi pada usia diatas 50 tahun.

 Unknown / tidak diketahui secara pasti.

Penyebab BPH tidak diketahui secara pasti (idiopatik), tetapi biasanya disebabkan oleh
keadaan testis dan usia lanjut.

C. Patofisiologi

Menurut Syamsuhidayat dan Wim De Jong tahun 2004, umumnya

gangguan ini terjadi setelah usia pertengahan akibat perubahan hormonal. Bagian

paling dalam prostat membesar dengan terbentuknya adenoma yang tersebar.

Pembesaran adenoma progresif menekan atau mendesak jaringan prostat yang

normal ke kapsula sejati yang menghasilkan kapsula bedah.

Kapsula bedah ini menahan perluasannya dan adenoma cenderung tumbuh

ke dalam menuju lumennya, yang membatasi pengeluaran urin. Akhirnya


diperlukan peningkatan penekanan untuk mengosongkan kandung kemih. Serat-

serat muskulus destrusor berespon hipertropi, yang menghasilkan trabekulasi di

dalam kandung kemih. Pada beberapa kasus jika obsruksi keluar terlalu hebat,

terjadi dekompensasi kandung kemih menjadi struktur yang flasid, berdilatasi dan

sanggup berkontraksi secara efektif. Karena terdapat sisi urin, maka terdapat

peningkatan infeksi dan batu kandung kemih.

Peningkatan tekanan balik dapat menyebabkan hidronefrosis. Retensi

progresif bagi air, natrium, dan urea dapat menimbulkan edema hebat. Edema ini

berespon cepat dengan drainage kateter. Diuresis paska operasi dapat terjadi pada

pasien dengan edema hebat dan hidronefrosis setelah dihilangkan obstruksinya.

Pada awalnya air, elekrolit, urin dan beban solut lainya meningkatkan diuresis ini,

akhirnya kehilangan cairan yang progresif bisa merusakkan kemampuan ginjal

untuk mengkonsentrasikan serta menahan air dan natrium akibat kehilangan cairan

dan elekrolit yang berlebihan bisa menyebabkan hipovelemia.

Menurut Mansjoer Arif tahun 2000 pembesaran prostat terjadi secara

perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara

perlahan-lahan.

Pada tahap awal terjadi pembesaran prostat. Resistansi pada leher buli-buli

dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan merenggang

sehingga timbul sakulasi atau diverkel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase

kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya

mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga

terjadi retensio urin yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan

disfungsi saluran kemih atas.


Adapun patofisiologi dari masing-masing gejala adalah:

 Penurunan kekuatan dan kaliber aliran yang disebabkan resistensi uretra adalah

gambaran awal dan menetap dari BPH.

 Hesitancy terjadi karena detrusor membutuhkan waktu yang lama untuk dapat

melawan resistensi uretra.

 Intermittency terjadi karena detrusor tidak dapat mengatasi resistensi ureta

sampai akhir miksi. Terminal dribbling dan rasa belum puas sehabis miksi terjadi

karena jumlah residu urin yang banyak dalam buli-buli.

 Nokturia dan frekuensi terjadi karena pengosongan yang tidak lengkap pada tiap

miksi sehingga interval antar miksi lebih pendek.

 Frekuensi terutama terjadi pada malam hari (nokturia) karena hambatan normal

dari korteks berkurang dan tonus sfingter dan uretraberkurang selama tidur.

 Urgensi dan disuria jarang terjadi, jika ada disebabkan oleh ketidakstabilan
detrusor sehingga terjadi kontraksi involunter.

Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan berkembangnya penyakit urin
keluar sedikit-sedikit secara berkala karena setelah buli-buli mencapai compliance
maksimum, tekanan dalam buli-buli akan cepat naik melebihi tekanan sfingter.

D.Manifestasi klinis

Keluhan pada saluran kemih bagian bawah :

 Obstruksi :

 Hesistensi (harus menggunakan waktu lama bila mau miksi)

 Pancaran waktu miksi lemah

 Intermitten (miksi terputus)

 Miksi tidak puas

 Distensi abdomen
 Volume urine menurun dan harus mengejan saat berkemih.

 Iritasi : sering miksi( frekuensi), nokturia, urgensi, disuria.

 Gejala pada saluran kemih bagian atas Nyeri pinggang, demam (infeksi),
hidronefrosis.

 Gejala di luar saluran kemih :

Keluhan pada penyakit hernia/hemoroid sering mengikuti penyakit hipertropi

prostat. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi

sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal (Sjamsuhidayat,

2004).

Benigna Prostat Hipertropi selalu terjadi pada orang tua, tetapi tak selalu

disertai gejala-gejala klinik, hal ini terjadi karena dua hal yaitu:

 Penyempitan uretra yang menyebabkan kesulitan berkemih.

 Retensi urin dalam kandung kemih menyebabkan dilatasi kandung

kemih,hipertrofi kandung kemih dan cystitis (Hidayat, 2009).

Adapun gejala dan tanda yang tampak pada pasien dengan Benigna Prostat
Hipertrofi:

 Retensi urin (urine tertahan di kandung kemih, sehingga urin tidak bisa keluar).

 Kurangnya atau lemahnya pancaran kencing.

 Miksi yang tidak puas.

 Frekuensi kencing bertambah terutama malam hari (nocturia).

 Pada malam hari miksi harus mengejan.

 Terasa panas, nyeri atau sekitar waktu miksi (disuria).

 Massa pada abdomen bagian bawah.

 Hematuria (adanya darah dalam urin).

 Urgency (dorongan yang mendesak dan mendadak untuk mengeluarkan urin).


 Kesulitan mengawali dan mengakhiri miksi.

 Kolik renal (kerusakan renal, sehingga renal tidak dapat berfungsi).

 Berat badan turun.

 Anemia, kadang-kadang tanpa sebab yang diketahui.

 Pasien sama sekali tidak dapat berkemih sehingga harus dikeluarkan


dengankateter.

Karena urin selalu terisi dalam kandung kemih, maka mudah sekali terjadi

cystitis dan selaputnya merusak ginjal (Arifiyanto, 2008).

Gejala generalisata juga mungkin tampak, termasuk keletihan, anoreksia, mual

dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik (Brunner & Suddarth, 2001).

E. Pemeriksaan Penunjang

1. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat menentukan adanya leukosituria dan hematuria.
Apabila ditemukan hematuria, maka perlu dicari penyebabnya. Bila dicurigai adanya
infeksi saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan kultur urine.
Rekomendasi berdasarkan urinalisis:

LE GR
Urinalisis harus dilakukan untuk penegakan diagnosis pada pasien pria
dengan keluhan LUTS 3 A

2. Pemeriksaan fungsi ginjal

Obstruksi infravesika akibat BPH dapat menyebabkan gangguan pada saluran


kemih bagian atas. Gagal ginjal akibat BPH terjadi sebanyak 0,3-30% dengan rata-rata
13,6%. Pemeriksaan faal ginjal berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan
pemeriksaan pencitraan pada saluran kemih bagian atas.
Rekomendasi untuk pemeriksaan fungsi ginjal:

LE GR

Penilaian fungsi ginjal harus dilakukan jika dicurigai adanya gangguan


fungsi ginjal, berdasarkan riwayat dan pemeriksaan klinis atau dengan
3 A
adanya hidronefrosis atau ketika mempertimbangkan tindakan bedah
untuk LUTS pada laki-laki

3. Pemeriksaan PSA (Prostate Specific Antigen)

PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi bukan
cancer specific. Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada
keradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi
urine akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua.
Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit dari BPH; dalam
hal ini jika kadar PSA tinggi berarti:

 pertumbuhan volume prostat lebih cepat,


 keluhan akibat BPH/ laju pancaran urine lebih jelek, dan (c)
lebih mudah terjadi retensi urine akut

Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar


PSA. Semakin tinggi kadar PSA, maka semakin cepat laju pertumbuhan prostat. Laju
pertumbuhan volume prostat rata-rata setiap tahun pada kadar PSA 0,2-1,3 ng/dl
adalah 0,7 mL/tahun, sedangkan pada kadar PSA 1,4-3,2 ng/dl adalah 2,1 mL/tahun,
dan kadar PSA 3,3-9,9 ng/dl adalah 3,3 mL/tahun. Serum PSA dapat meningkat pada
saat terjadi retensi urine akut dan kadarnya perlahan-lahan menurun terutama setelah
72 jam dilakukan kateterisasi.

Pemeriksaan PSA bersama dengan colok dubur lebih superior daripada


pemeriksaan colok dubur saja dalam mendeteksi adanya karsinoma prostat. Oleh
karena itu, pada usia di atas 50 tahun atau di atas 40 tahun (pada kelompok dengan
risiko tinggi) pemeriksaan PSA menjadi sangat penting guna mendeteksi kemungkinan
adanya karsinoma prostat. Apabila kadar PSA >4 ng/ml, biopsi prostat dipertimbangkan
setelah didiskusikan dengan pasien.
Rekomendasi untuk pemeriksaan PSA:

LE GR

Pemeriksaan PSA harus dilakukan jika dicurigai adanya kemungkinan


kanker prostat yang dapat mengubah penatalaksanaan atau jika PSA dapat
1b A
membantu pengambilan keputusan pada pasien dengan risiko
BPH

4. Uroflowmetry (Pancaran Urine)

Uroflowmetry adalah pemeriksaan pancaran urine selama proses berkemih.


Pemeriksaan non-invasif ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran kemih
bagian bawah. Dari uroflowmetry dapat diperoleh informasi mengenai volume
berkemih, laju pancaran maksimum (Qmax), laju pancaran rata-rata (Qave), waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai laju pancaran maksimum, dan lama pancaran.
Pemeriksaan ini dipakai untuk mengevaluasi gejala obstruksi infravesika, baik sebelum
maupun setelah terapi.1
Hasil uroflowmetry tidak spesifik menunjukkan penyebab terjadinya kelainan
pancaran urine. Pancaran urine yang lemah dapat disebabkan obstruksi saluran kemih
bagian bawah atau kelemahan otot detrusor. Terdapat hubungan antara nilai Qmax
dengan kemungkinan obstruksi saluran kemih bagian bawah (BOO). Pada batas nilai
Qmax sebesar 10 mL/detik memiliki spesifisitas sebesar 70%, positive predictive value
(PPV) sebesar 70 %, dan sensitivitas sebesar 47% untuk mendiagnosis BOO. Sementara
itu, dengan batas nilai Qmax sebesar 15 mL/detik memiliki spesifisitas sebesar 38%,
PPV sebesar 67%, dan sensitivitas sebesar 82% untuk mendiagnosis BOO.
Sebaiknya, penilaian ada tidaknya obstruksi saluran kemih bagian bawah tidak
hanya dinilai dari hasil Qmax saja, tetapi juga digabungkan dengan pemeriksaan lain.
Kombinasi pemeriksaan skor IPSS, volume prostat, dan Qmax cukup akurat dalam
menentukan adanya obstruksi saluran kemih bagian bawah. 16 Pemeriksaan
uroflowmetry bermakna jika volume urine >150 mL.

Rekomendasi untuk uroflowmetry:

LE GR
Uroflowmetry disarankan untuk penegakan diagnosis awal dan harus
dilakukan sebelum terapi. 2b B

5. Residu urine
Residu urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa urine di kandung
kemih setelah berkemih. Jumlah residu urine pada pria normal rata-rata 12 mL.
Pemeriksaan residu urine dapat dilakukan dengan cara USG, bladder scan
atau dengan kateter uretra. Pengukuran dengan kateter ini lebih akurat dibandingkan
USG, tetapi tidak nyaman bagi pasien, dapat menimbulkan cedera uretra, infeksi
saluran kemih, hingga bakteremia.
Peningkatan volume residu urine dapat disebabkan oleh obstruksi saluran
kemih bagian bawah atau kelemahan kontraksi otot detrusor. Volume residu urine
yang banyak pada pemeriksaan awal berkaitan dengan peningkatan risiko perburukan
gejala. Peningkatan volume residu urine pada pemantauan berkala berkaitan dengan
risiko terjadinya retensi urine.

Rekomendasi untuk residu urine:

LE GR

Pengukuran volume residu urine pada pasien LUTS harus rutin dilakukan 3 B

F. Komplikasi

Menurut Arifiyanto (2008) komplikasi yang dapat terjadi pada hipertropi prostat

adalah:

 Retensi kronik dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter,

hidronefrosis, gagal ginjal.

 Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu miksi.

 Karena selalu terdapat sisa urin sehingga menyebabkan terbentuknya batu.

 Hematuria.

 Disfungsi seksual.

Kebanyakan prostatektomi tidak menyebabkan impotensi (meskipun

prostatektomi perineal dapat menyebabkan impotensi akibat kerusakan saraf pudendal

yang tidak dapat dihindari). Pada kebanyakan kasus, aktivitas seksual dapat dilakukan

kembali dalam 6 sampai 8 Minggu, karena saat ini fossa prostatik telah sembuh. Setelah
ejakulasi, maka cairan seminal mengalir ke dalam kandung kemih dan diekskresikan

bersama urin (Brunner & Suddarth, 2001).

Komplikasi yang berkaitan dengan prostatektomi yaitu:

 Hemoragi dan syok

 Pembentukan bekuan / trobosis

 Obstruksi kateter

 Disfungsi seksual

(Smeltzer & Bare, 2001)

G. Penatalaksanaan

Modalitas terapi BPH adalah :

 Observasi yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3-6 bulan

kemudian setiap tahun tergantung keadaan klien.

 Medikamentosa : terapi ini diindikasikan pada BPH dengan Keluhan

ringan, sedang, sedang dan berat tanpa disertai penyulit. Obat yang

digunakan berasal dari phitoterapi (misalnya : Hipoxis rosperi, serenoa

repens, dll), gelombang alfa blocker dan golongan supresor androgen.

 Indikasi pembedahan pada BPH adalah :

1) Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin

akut (100 ml).

2) Klien dengan residual urin yaitu urine masih tersisa di kandung

kemih setelah klien buang air kecil > 100 Ml.

3) Klien dengan penyulit yaitu klien dengan


gangguan sistem perkemihan seperti retensi urine atau
oliguria.

 Pembedahan dapat dilakukan dengan :


 TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat).
 Jaringan abnormal diangkat melalui rektroskop yang dimasukan
melalui uretra.
 Tidak dibutuhkan balutan setelah operasi.
 Dibutuhkan kateter foley setelah operasi.
 Prostatektomi Suprapubis
 Penyayatan perut bagian bawah dibuat melalui leher kandung
kemih.
 Diperlukan perban luka, drainase, kateter foley, dan kateter
suprapubis setelah operasi.
 Prostatektomi Neuropubis
 Penyayatan dibuat pada perut bagian bawah.
 Tidak ada penyayatan pada kandung kemih.
 Diperlukan balutan luka, kateter foley, dan drainase.
 Prostatektomi Perineal
 Penyayatan dilakukan diantara skrotum dan anus.
 Digunakan jika diperlukan prostatektomi radikal.
 Vasektomi biasanya dikakukan sebagai pencegahan
epididimistis.
 Persiapan buang hajat diperlukan sebelum operasi

(pembersihan perut, enema, diet rendah sisa dan antibiotik).

 Setelah operasi balutan perineal dan pengeringan luka

(drainase) diletakan pada tempatnya kemudian dibutuhkan

rendam duduk.

Pada TURP, prostatektomi suprapubis dan retropubis, efek sampingnya dapat

meliputi:

 Inkotenensi urinarius temporer

Pengosongan urine yang keruh setelah hubungan intim dan kemandulan sementara
(jumlah sperma sedikit) disebabkan oleh ejakulasi dini kedalam kandung kemih.

H.Prognosis

Prognosis pada Benign prostatic hyperplasia umumnya baik. Pasien-pasien


dengan lower urinary tract symptoms (LUTS) berkepanjangan dapat berisiko mengalami
glaukoma (10%) serta disfungsi direksi dari ejakulasi. Pilihan terapi yang tepat sesuai
kondisi klinis pasien sangat penting dalam menentukan progresifilitas Begign prostatic
hyperplasia. Sebanyak 10% pasien dengan BPH juga dapat mengalami kekambuhan
meskipun telah dilakukan reseksi prostat.

BAB II

ASUHAN KEPERAWATAN

A.Pengkajian

Dari data yang telah dikumpulkan pada pasien dengan BPH : Post Prostatektomi
dapat penulis kelompokkan menjadi:
1.Data subyektif :

 Pasien mengeluh sakit pada luka insisi, karakteristik luka, luka berwarna

merah.

 Pasien mengatakan tidak bisa melakukan hubungan seksual.

 Pasien selalu menanyakan tindakan yang dilakukan.

 Pasien mengatakan buang air kecil tidak terasa.

 Data Obyektif:

 Terdapat luka insisi, karakteristik luka berwarna merah.

 Takikardia, normalnya 80-100 kali/menit.

 Gelisah.

 Tekanan darah meningkat, normalnya 120/80 mmHg.

 Ekspresi wajah ketakutan.

 Terpasang kateter.

 Pemeriksaan Penunjang

 Pemeriksaan laboratorium

Analisis urine dan pemeriksaan mikroskopis urin penting untuk melihat

adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi. Bila terdapat hematuria, harus

diperhitungkan etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu,

infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuria.

Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dan

fungsi ginjal dan status metabolik. Pemeriksaan Prostat Specific Antigen (PSA)

dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini

keganasan. Bila nilai SPA < 4mg / ml tidak perlu biopsy. Sedangkan bila nilai

SPA 4–10 mg / ml, hitunglah Prostat Spesific Antigen Density (PSAD) yaitu PSA
serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15 maka sebaiknya

dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 mg/ml.

 Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen,

pielografi intravena, USG dan sitoskopi. Dengan tujuan untuk memperkirakan

volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli–buli dan volume residu

urine, mencari kelainan patologi lain, baik yang berhubungan maupun yang

tidak berhubungan dengan BPH.

Dari semua jenis pemeriksaan dapat dilihat :

 Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada batu traktus urinarius,
pembesaran ginjal atau buli – buli.

 Dari pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal,

hidronefrosis dan hidroureter, fish hook appearance (gambaran ureter

belok –belok di vesika).

 Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa masa ginjal,

mendeteksi residu urine, batu ginjal, divertikulum atau tumor buli – buli.

(Arif Mansjoer, 2000).

 Pemeriksaan Diagnostik.

 Urinalisis : warna kuning, coklat gelap, merah gelap / terang,

penampilan keruh, Ph: 7 atau lebih besar, bakteria.

 Kultur Urine : adanya staphylokokus aureus, proteus, klebsiella,

pseudomonas, e.coli.

 BUN / kreatinin : meningkat.


 IVP : menunjukan perlambatan pengosongan kandung kemih dan

adanya pembesaran prostat, penebalan otot abnormal kandung kemih.

 Sistogram : mengukur tekanan darah dan volume dalam kandung kemih.

 Sistouretrografi berkemih : sebagai ganti IVP untuk menvisualisasi

kandung kemih dan uretra dengan menggunakan bahan kontras

lokal.

 Sistouretroscopy :untuk menggambarkan derajat

pembesaran prostat dan kandung kemih.

 Transrectal ultrasonografi : mengetahui pembesaran prosat, mengukur

sisa urine dan keadaan patologi seperti tumor atau batu

(R.Sjamsuhidayat, 2004).

B.Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan rasa nyaman: nyeri suprapubik berhubungan dengan spasme

otot spincter.

2. Perubahan pola eliminasi urine: retensi urin berhubungan dengan obstruksi

sekunder.

3. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan sumbatan saluran

ejakulasi, hilangnya fungsi tubuh.

4. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan port de entrée

mikroorganisme melalui kateterisasi, dan jaringan terbuka.

5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan adanya kelemahan fisik, sehubungan

adanya nyeri dan ketidaknyamanan.

C. Intervensi Keperawatan
1. Gangguan rasa nyaman: nyeri suprapubik berhubungan dengan spasme

otot spincter.

 Monitor dan catat adanya rasa nyeri, lokasi, durasi dan

faktor pencetus serta penghilang nyeri.

Rasional : Memberikan informasi untuk membantu dalam

menentukan pilihan atau keefektifan intervensi.

 Observasi tanda-tanda non verbal nyeri (gelisah,

kening mengkerut, peningkatan tekanan darah dan denyut

nadi).

Rasional : memberikan informasi untuk membantu dalam

menentukan keefektifan dalam menentukan pilihan atau

keefektifan intervensi.

 Beri kompres hangat pada abdomen terutama perut bagian

bawah.

Rasional : Untuk meningkatkan relaksasi otot.

 Anjurkan pasien untuk menghindari stimulan (kopi, teh,

merokok, abdomen tegang).

Rasional : Untuk menurunkan spasme kandung kemih.

 Atur posisi pasien senyaman mungkin,


ajarkan teknik relaksasif.

Rasional : Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian

dan dapat meningkatkan kemampuan koping.

2. Perubahan pola eliminasi urine: retensi urin berhubungan dengan obstruksi

sekunder.
 Lakukan irigasi kateter secara berkala atau terus- menerus dengan

teknik steril.

Rasional : Menghindari terjadinya gumpalan yang dapat menyumbat

kateter, menyebabkan peregangan dan perdarahan kandung kemih.

 Atur posisi selang kateter dan urin bag sesuai gravitasi dalam keadaan

tertutup.

Rasional : Untuk mencegah peningkatan tekanan pada kandung

kemih.

 Observasi adanya tanda-tanda shock/hemoragi (hematuria, dingin, kulit

lembab, takikardi, dispnea).

Rasional : Untuk mencegah komplikasi berlanjut.

 Mempertahankan kesterilan sistem drainage cuci tangan sebelum dan

sesudah menggunakan alat dan observasi aliran urin serta adanya

bekuan darah atau jaringan.

Rasional : Pemberi perawatan menjadi penyebab terbesar infeksi


nosokomial. Kewaspadaan umum melindungi pemberi perawatan
dan pasien.

 Monitor urine setiap jam (hari pertama operasi) dan setiap 2 jam (mulai

hari kedua post operasi).

Rasional : Cairan membantu mendistribusikan obat-obatan ke

seluruh tubuh. Risiko terjadinya ISK dikurangi bila aliran urine encer

konstan dipertahankan melalui ginjal.

 Ukur intake output cairan.

Rasional : Menjamin keamanan untuk membantu penyembuhan

pascaoperasi.
 Beri tindakan asupan/pemasukan oral 2000-3000 ml/hari, jika tidak ada

kontra indikasi.

Rasional : Cairan membantu mendistribusikan obat-obatan ke

seluruh tubuh. Risiko terjadinya ISK dikurangi bila aliran urine encer

konstan dipertahankan melalui ginjal.

 Berikan latihan perineal (kegel training) 15-20x/jam selama 23 minggu,

anjurkan dan motivasi pasien untuk melakukannya.

Rasional : Mengajarkan pasien bagaimana melakukannya sendiri.

3. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan sumbatan saluran ejakulasi,

hilangnya fungsi tubuh.

 Motivasi pasien untuk mengungkapkan perasaannya

yang berhubungan dengan perubahannya.

Rasional : Memberikan informasi untuk membantu dalam


menentukan pilihan atau keefektifan intervensi.

 Jawablah setiap pertanyaan pasien dengan tepat.

Rasional : Untuk menginformasikan kondisi klien.

 Beri kesempatan pada pasien untuk mendiskusikan

perasaannya tentang efek prostatektomi dalam fungsi

seksual.

Rasional : Memberikan informasi untuk membantu


dalammenentukan pilihan atau keefektifan intervensi.

 Libatkan kelurga/istri dalam perawatan pmecahan


masalah fungsi seksual.

Rasional : Memberikan informasi untuk membantu


dalam menentukan pilihan atau keefektifan intervensi.
 Anjurkan pasien untuk menghindari hubungan seksual selama 1

bulan (3-4 minggu) setelah operasi.

4.. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan adanya kelemahan fisik, sehubungan

adanya nyeri dan ketidaknyamanan.

 Kaji respon pasien terhadap aktivitas.

Rasional: kecenderungan menentukan respon pasien terhadap

aktivitas.

 Monitor TTV

Rasional: Mengidentifikasi peningkatan dan penurunan

aktivitas.

 Batasi pengunjung/kunjungan oleh pasien.

Rasional: Ruangan terasa panas dan pengap yang dapat

mempengaruhi pasien.

 Anjurkan pasien menghindari peningkatan tekanan abdomen.

Rasional: Aktivitas tersebut dapat meningkatkan nyeri pada

luka operasi.

 Tingkatkan aktivitas secara bertahap, contoh bangun dari

tempat tidur bila tidak terasa nyeri.

Rasional: Aktivitas yang maju memberikan kontrol jantung,

meningkatkan regangan dan mencegah aktivitas berlebihan.

LAMPIRAN
Referensi

Tjahjodjati.2017.Panduan Penatalaksanaan Klinis Pembesaran Prostat Jinak (Benign


Prostatic Hyperplasia/BPH).Ikatan Ahli Urologi Indonesia.

Rahman syahrul.2017.The characteristics of benign prostatic hyperplasia in rumah sakit


umum haji medan.journal of public health and epidemiology.
Harun haerani.2019.aspek laboratorium benign prostatic hyperplasia.jurnal olmiah
kedokteran.vol.6 no.3

Kirby Roger,dkk.2011.fast facts: benign prostatic hyperplasia.health press limited.ISSBN


978-1-905832927.Oxford,UK.

Amadera Riselena,dkk.2019.Benign prostatic hyperplasia.jurnal medical profesional


(Medpro).Vol.1 No.2

Anda mungkin juga menyukai