DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 4
Neithalia Lerebulan
2018/2019
LAPORAN PENDAHULUAN
A. PENGERTIAN
1. Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan.
Price&Wilson (2005)
2. Hiperplasia prostat jinak adalah pembesaran kelenjar prostat nonkanker, (Corwin, 2000)
3. BPH adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas
kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium
uretra. (Smeltzer dan Bare, 2002)
4. Hiperplasi prostat adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada
pria > 50 tahun) yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretra dan pembiasan aliran
urinarius. (Doenges, 1999)
5. Menurut Doenges (1999) dan Engram (1998) untuk mengatasi BPH, tindakan infasif
medikal yang sering digunakan oleh Rumah Sakit adalah prostatektomy, yaitu tindakan
pembedahan bagian prostat (sebagian/seluruh) yang memotong uretra bertujuan untuk
memperbaiki aliran urin dan menghilangkan retensi urinaria akut.
Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas
kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra.
Prostatektomy merupakan tindakan pembedahan bagian prostate (sebagian/seluruh) yang
memotong uretra, bertujuan untuk memeperbaiki aliran urin dan menghilangkan retensi
urinaria akut.
B. ETIOLOGI
Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti penyebab prostat
hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi prostat erat kaitannya
dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis
yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasi prostat adalah :
a. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut;
b. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu pertumbuhan stroma
kelenjar prostat;
c. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati;
d. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga
menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan.
Pada umumnya dikemukakan beberapa teori :
- Teori Sel Stem, sel baru biasanya tumbuh dari sel srem. Oleh karena suatu sebab seperti
faktor usia, gangguan keseimbangan hormon atau faktor pencetus lain.
Maka sel stem dapat berproliferasi dengan cepat, sehingga terjadi hiperplasi kelenjar
periuretral.
- Teori kedua adalah teori Reawekering (Neal, 1978) menyebutkan bahwa jaringan kembali
seperti perkembangan pada masa tingkat embriologi sehingga jaringan periuretral dapat
tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya.
- Teori lain adalah teori keseimbangan hormonal yang menyebutkan bahwa dengan
bertanbahnya umur menyebabkan terjadinya produksi testoteron dan terjadinya konversi
testoteron menjadi setrogen. ( Kahardjo, 1995).
C. PATOFISIOLOGI
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-
buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal
pada orang dewasa ± 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan bukunya Purnomo
(2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer, zona sentral,
zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat
(2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron
estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi
estrogen pada jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan
kelenjar ini sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat
hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa
reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel
kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan pada
traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan
pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat,
tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor
dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem
simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang
bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi
keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan
serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang
disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor.
Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase
penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan
berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak
mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.Pada hiperplasi prostat
digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor
gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus
(mengganggu permulaan miksi), miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah,
rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna
atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi
walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi
meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi
menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan obstruksi
sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik menyebabkan
refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal
ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan
penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen
yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan
membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin
dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)
D. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan
iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat
sehingga mengakibatkan: pancaran miksi melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau
miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining) kencing terputus-putus
(intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan
inkontinen karena overflow.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat
akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau
dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor dengan tanda dan gejala antara lain: sering
miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi
yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria) (Mansjoer, 2000)
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium :
a) Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis.
b) Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak
sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak BAK atau disuria
dan menjadi nocturia.
c) Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
d) Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara
periodik (over flow inkontinen).
Menurut Brunner and Suddarth (2002) menyebutkan bahwa :
Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan ingin
berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun dan harus mengejan
saat berkemih, aliran urine tak lancar, dribbing (urine terus menerus setelah berkemih), retensi
urine akut.
Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini :
a. Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
- Grade 0 : Penonjolan prosrar 0-1 cm ke dalam rectum.
- Grade 1 : Penonjolan prosrar 1-2 cm ke dalam rectum.
- Grade 2 : Penonjolan prosrar 2-3 cm ke dalam rectum.
- Grade 3 : Penonjolan prosrar 3-4 cm ke dalam rectum.
- Grade 4 : Penonjolan prosrar 4-5 cm ke dalam rectum.
b. Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh kencing dahulu
kemudian dipasang kateter.
- Normal : Tidak ada sisa
- Grade I : sisa 0-50 cc
- Grade II : sisa 50-150 cc
- Grade III : sisa > 150 cc
- Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing.
E. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin
beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati
prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat
mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000)
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan
penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen
yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan
membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin
dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat,
2005).
F. PENATALAKSANAAN MEDIS
Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung
pada stadium-stadium dari gambaran klinis
a. Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan
konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin.
Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak
mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak
dianjurkan untuk pemakaian lama.
b. Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan
reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
c. Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat sudah
cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan
pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika,
retropubik dan perineal.
d. Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin
total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau
pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan pembedahan
dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat penghambat adrenoreseptor
alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan memberikan obat anti androgen yang menekan
produksi LH.
Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH dapat
dilakukan dengan:
a. Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi kopi, hindari
alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok dubur.
b. Medikamentosa
1) Mengharnbat adrenoreseptor α
2) Obat anti androgen
3) Penghambat enzim α -2 reduktase
4) Fisioterapi
c. Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi ginjal, infeksi
saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih, hidroureter, hidronefrosis jenis
pembedahan:
1) TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui sitoskopi atau
resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.
2) Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada kandung kemih.
3) Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian bawah
melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih.
4) Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara skrotum
dan rektum.
5) Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis dan jaringan
yang berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen bagian bawah, uretra
dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada kanker prostat.
d. Terapi Invasif Minimal
1) Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar
prostat melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung kateter.
2) Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP)
3) Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada pasien
dengan BPH adalah :
a. NLaboratorium
1). Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran kemih.
2). Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan sensitifitas
kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.
b. Pencitraan
1). Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan kadang
menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari
retensi urin.
2). IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau
hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.
3). Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin dan
keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
4). Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika dan
melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.
Perubahan usia (usia lanjut)
CEMAS
Proligerasi sel prostat Hiperplasi sel stroma pada jaringan prostat
KURANG
Obstruksi saluran kemih Pembedahan PENGETAHUAN
BPH
IMMOBILITAS FISIK
Kompensasi otot destruksor Dekompensasi otot destruksor
Kesulitan berkemih
NYERI AKUT
I. PENGKAJIAN
Tanggal/Jam : 05-04-2016 Jam 12.15 WIB
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. R
Umur : 73 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Tonjong
Status : Menikah
Pekerjaan : Pedagang
Dianogsa : BPH
No RM : 1406xx
Tgl Masuk/jam : 04-04-2016/ 10.00 WIB
B. Penanggung Jawab
Nama : Tn. T
Umur : 45 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : SMA
Alamat : Tonjong
Hubungan dengan pasien : Anak kandung
C. Keluhan Utama
Klien mengeluh tidak bisa pipis.
D. Riwayat Kesehatan
Pasien datang ke Poli Urologi RSUD Margono tanggal 04-04-2016 pukul 10.00WIB dengan
keluhan susah pipis sejak 1 minggu yang lalu, tetapi pasien tidak mau memeriksakan diri karena
merasa baik- baik saja, pasien pipis lancar dengan selang kateter. Pasien sudah membawa hasil
pemeriksaan USG dan BNO. Setelah dipemeriksaan oleh Dokter urologi. Dokter menyarankan
untuk rawat inap untuk persiapan operasi tgl 05-04-2016 jam 09.00 WIB. Hasil pemeriksaan vital
sign yaitu TD: 120/80 mmHg, N: 85 x/m, RR: 20 x/m dan S: 36,50C.
Pasien mengatakan sudah pernah dirawat di rumah sakit. Dengan keluhan nyeri saat pipis setelah
dikasih obat sembuh.
Pasien mengatakan di dalam anggota keluarganya tidak ada yang mengalami penyakit seperti ini
dan Pasien juga mengatakan tidak mempunyai riwayat penyakit menular dan menurun seperti TBC,
DM, Hipertensi,dll.
E. Pola fungsional menurut Virginia Henderson
1. Pola Oksigenasi
2. Pola Nutrisi
Sebelum sakit : klien mengatakan makan 3x sehari dengan porsi nasi sayur
dan lauk yang tak menentu. Pasien mengatakan minum 7-8 gelas/hari
(tergantung situasi cuaca). Pasien mengatakan tidak mempunyai riwayat alergi
makanan maupun obat. Pasien megatakan mempunyai riwayat merokok tiap
hari 5-6 batang rokok.
Saat dikaji : pasien mengatakan sudah makan yang disediakan rumah sakit.
Pasien mengatakan tidak mempunyai riwayat alergi makanan.
3. Pola Eliminasi
Sebelum sakit : klien mengatakan BAK 5-6 x/hari dengan warna kuning, BAB
1x/hari dengan konsistensi lembek warna kuning, tidak ada keluhan.
Saat dikaji : klien mengatakan tidak ada keluhan dalam BAB dan BAK
terpasang selang DC no 16.
4. Pola Aktivitas
Sebelum sakit : klien mengatakan aktivitas sehari-hari sebagai pedagang
Saat dikaji : pasien mengatakan lebih banyak tiduran karena terpasang selang
pipis dan infus jika butuh sesuatu dibantu keluarga.
Saat dikaji : klien mengatakan saat malam hari tidur kurang nyenyak karena
merasa tidak nyaman dengan terpasang selang pipis.
6. Pola berpakaian
Sebelum sakit : pasien mengatakan suka memakai pakaian mudah di serap
keringat dan longgar.
Saat dikaji : pasien masih memakai baju operasi yang sudah di sediakan petugas.
Saat dikaji : klien mengatakan hanya diseka oleh keluarganya 2x sehari, sikat
gigi 2x sehari.
Saat dikaji : klien mengatakan merasa kurang nyaman karena terpasang selang
pipis. Pasien juga mengatakan nyeri post operasi, P: nyeri ketika beraktivitas,
Q: seperti ditusuk-tusuk, R: dibagian genetalia dan kandung kemih, S: 5 , T:
hilang timbul.
F. Keadaan umum
Kesadaran : Composmenstis
Suhu : 36,50C
Nadi : 85 x/menit Tekanan
Darah : 120/80 mmHg
Respirasi Rate : 20 x/menit Berat
Badan : 60 kg
Ekstremitas Ekstremitas
No Pemeriksaan atas bawah
1. Oedeme - - - -
3. Kekuatan 5 5 5 5
otot
4. Lesi/ luka - infuse RL - -
Reflex :
Biseps + + + +
5. +
Triseps + + +
+
Patella + + +
Keterangan : + : ada
- : tidak ada
H. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Klorida
Darah Lengkap 105 mmol/L 98-107
Kalsium
Hemoglobin 8.2
12.2 mg/dl
g/dl 8.4-10.2
11.2-17.3
Sero Imunologi:
Leukosit 6650 U/L 3800-10600
HBSAG
Hematokrit NonLReaktif
36 % Non40-52
Reaktif
Eritrosit L 4.3 10^6/uL 4.4-5.9
Trombosit 277.000 /uL 150.000-440.000
MCV 83.8 Fl 80-100
MCH 28.2 Pg/cell 26-34
MCHC 33.6 % 32-36
RDW 12.8 % 11.5-12.4
MPV 9.6 Fl 9.4-12.4
Hitung Jenis:
Basofil 0.5 % 0-1
Eosinofil 2.6 % 2-4
Batang 0.9 % 3-5
Segmen 71.4 % 50-70
Limfosit 17.1 % 25-40
Monosit 7.5 % 2-8
PTT 10.3 Detik 9.3-11.4
APTT 39.6 Detik 29.0-40.2
Kima Klinik:
SGOT 16 U/L 15-37
SGPT 20 U/L 30-65
Ureum darah 32.9 mg/dl 14.98-38.52
Kreatinin darah 1.27 mg/dl 0.80-1.30
Glukosa sewaktu 92 mg/dl <200
Natrium 143 mmol/L 136-145
Kalium 4.2 mmol/L 3.5-5.1
2. BNO Tanggal 19 november 2015
Hasil urolithiasis
3. USG prostat Tanggal 17-11-2015
Hipertropi prostat
Tidak terlihat batu diprostat mau pun diintra buli
AN
2 DS: Resiko Prosedur
No a. Pasien mengatakanData BAK
Fokuskeluar darah pada Problem
perdarahan Etiologi
pembedahan
1 DS:selang pipisnya Nyeri Akut Agen cidera
(TURP)
DO:
a. klien mengatakan merasa kurang fisik
a. nyaman
Urin tampak kemerahan
karena terpasang pada urin bag
selang
b. pipis.
Warna merah muda tidak pekat DC
no 16
b. Pasien juga mengatakan nyeri post operasi,
c. terpasang
d. P: nyeri
Vital ketika
Sign: Suhuberaktivitas,
: 36,50C Q: seperti
ditusuk-
Nadi : 85tusuk, R: TD
x/menit dibagian genetalia dan
kandung kemih, S: 5 RR:
:120/80mmHg , T: hilang
20 timbul.
x/menit
DO:
a. Pasien tampak meringis menahan
nyeri
b. Tangan pasien tampak memegangi area nyeri
c. Genitalia tampak terpasang DC no 16
d. Vital Sign
Tekanan Darah: 120/80 mmHg Nadi :
85x/ menit
Suhu : 36,50C
Respirasi Rate : 20x/ menit
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut b.d agen cidera fisik
2. Resiko perdarahan bd Prosedur pembedahan (TURP)
INTERVENSI KEPERAWATAN
NO DX KEP NOC NIC
1 Nyeri akut bd Setelah dilakukan tindakan NIC : Pain Management
agen cidera keperawatan selama 2x24 jam 1. Lakukan pengkajian secara
fisik diharapkan masalah keperawatan konprehensif termasuk
nyeri akut dapat teratasi dengan lokasi, karakteristik, durasi,
kriteria hasil:
a. Vital sign dlm batas normal frekuensi, kualitas & faktor
TD : 110-120/80 mmHg presipitasi
Nadi : 60-100x/menit 2. Observasi reaksi non verbal
Suhu : 36-370C dari ketidaknyamanan
b. Tidak ada tanda-tanda 3. Gunakan tehnik komunikasi
perdarahan terapetik untuk mengetahui
c. Tidak ada dehidrasi
pengalaman nyeri
sebelumnya
4. Kontrol lingkungan yang
dapat mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan,
pencahayaan & kebisingan
5. Ajarkan tehnik non
farmakologi (nafas dalam)
untuk mengurangi rasa nyeri
6. Anjurkan pasien untuk
istirahat
7. Kolaborasi dengan dokter
untuk pemberian obat
analgetik
2 Resiko Setelah dilakukan tindakan Hydration management
perdarahan keperawatan selama 2x24 jam 1. Monitor keadaan umum
bd prosedur diharapkan masalah keperawatan pasien
nyeri akut dapat teratasi dengan 2. Observasi vital sign sesuai
pembedahan
kriteria hasil:
(TURP) indikasi
a. Vital sign dlm batas normal
TD : 110-120/80 mmHg 3. Pantau output cairan
Nadi : 60-100x/menit selama tindakan continuous
Suhu : 36-370C bladder irrgation
b. Tidak ada tanda-tanda
perdarahan
c. Tidak ada dehidrasi
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
12.30 Memonitor vital sign (N, S, RR) TD: 120/80 mmHg, Nadi :
85x/menit,
Mengobservasi reaksi non verbal suhu: 36,50C, RR: 20x/mnit
dari ketidaknyamanan Pasien tampak meringis
menahan nyeri
c.Memberikan
Memantau injeksi
output obat
cairan Aliran lancar 30 kali
11.00
10.00 Injeksi ketorolac 15 mg,
ketorolac 15 mg, ranitidine
selama tindakan 1
continuous permenit, warna merah
ampl
bladder irrgation ranitidine
muda tidak1 pekat
ampl + via iv
bolus
EVALUASI KEPERAWATAN
P: lanjutkan intervensi:
P: lanjutkan intervensi:
Carpenito, L. J., 2000, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, Alih Bahasa Monica Ester,
EGC, Jakarta.
Corwin, E. J., 2000, Buku Saku Pathofisiologi, Editor Endah P., EGC, Jakarta.
Doenges, M. E., Moorhous, M. F., & Geissler, A. C., 1999, Rencana Asuhan Keperawatan:
Mansjoer, A., dkk, 2000, Kapita SelektaKedokteran, Edisi Jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta.
NANDA, 2005, Panduan Diagnosa Keperawatan. Nanda 2005-2006, Editor Budi Santoso,
Potter, P. A., & Perry, A. G., 2005, Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Prose.c, dan
Price, S. A., & Wilson, L. M., 2005, Pathofsiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Alih
Sjamsuhidajat, R., & de Jong, W., 2005, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G., 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner &