Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)

Disusun Oleh :

RISKA NOVITA SARI

(P1337420318056)

2 REGULER B

POLTEKKES KEMENKES SEMARANG

PRODI D III KEPERAWATAN PEKALONGAN

TAHUN 2020
KONSEP DASAR

A. Definisi

Benign Prostate Hyperplasia (BPH) adalah suatu kondisi yang sering terjadi sebagai
hasil dari pertumbuhan dan pengendalian hormon prostat (Yuliana Elin, 2011).

Benign Prostate Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat
(secara umum pada pria ≥ 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan
pembatasan aliran urinarius (Marilynn, E.D, 2000 : 671).

Benign Prostat Hiperplasi (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat,


disebabkan karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan
kelenjar/jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra para prostatika
(Lab / UPF Ilmu Bedah RSUD dr. Sutomo, 1994 : 193).

Benign Prostate Hyperplasia (BPH) adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami
pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin
dengan cara menutupi orifisium uretra. (Smeltzer dan Bare, 2002).

B. Etiologi

Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui. Namun


yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang
erat kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan. Ada beberapa faktor kemungkinan
penyebab antara lain :

1. Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma
dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi.
2. Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan
testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
3. Interaksi stroma – epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan
transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
4. Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel
dari kelenjar prostat
5. Teori sel stem
Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit

C. Klasifikasi
Berdasarkan perkembangan penyakitnya menurut Sjamsuhidajat dan Dejong (2005)
secara klinis penyakit BPH dibagi menjadi 4 gradiasi :
1. Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan
penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan sisa urin kurang dari 50 ml
2. Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur dan batas atas
dapat dicapai, sedangkan sisa volum urin 50- 100 ml.
3. Derajat 3 : Pada saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas prostat tidak
dapat diraba dan sisa volum urin lebih dari 100ml.
4. Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi urine total

D. Anatomi Fisiologi

Kelenjar prostat merupakan organ khusus pada lokasi yang kecil, yang hanya dimiliki
oleh pria. Kelenjar prostat terletak di bawah kandung kemih (vesika urinaria) melekat
pada dinding bawah kandung kemih di sekitar uretra bagian atas. Biasanya ukurannya
sebesar buah kenari dengan ukuran 4 x 3 x 2,5 cm dan beratnya kurang lebih 20 gram
dan akan membesar sejalan dengan pertambahan usia. Prostat mengeluarkan sekret
cairan yang bercampur secret dari testis, perbesaran prostate akan membendung uretra
dan menyebabkan retensi urin. Kelenjar prostat, merupakan suatu kelenjar yang terdiri
dari 30-50 kelenjar yang terbagi atas 4 lobus yaitu:

a. Lobus posterior

b. Lobus lateral

c. Lobus anterior

d. Lobus medial
Batas lobus pada kelenjar prostat:

a. Batas superior: basis prostat melanjutkan diri sebagai collum vesica urinaria, otot
polos berjalan tanpa terputus dari satu organ ke organ yang lain. Batas inferior : apex
prostat terletak pada permukaan atas diafragma urogenitalis. Uretra meninggalkan
prostat tepat diatas apex permukaan anterior.

b. Anterior : permukaan anterior prostat berbatasan dengan simphisis pubis, dipisahkan


dari simphisis oleh lemak ekstraperitoneal yang terdapat pada cavum
retropubica(cavum retziuz). Selubung fibrosa prostat dihubungkan dengan
permukaan posterior os pubis dan ligamentum puboprostatica. Ligamentum ini
terletak pada pinggir garis tengah dan merupakan kondensasi vascia pelvis.

c. Posterior : permukaan posterior prostat berhubungan erat dengan permukaan anterior


ampula recti dan dipisahkan darinya oleh septum retovesicalis (vascia Denonvillier).
Septum ini dibentuk pada masa janin oleh fusi dinding ujung bawah excavatio
rectovesicalis peritonealis, yang semula menyebar ke bawah menuju corpus
perinealis.

d. Lateral : permukaan lateral prostat terselubung oleh serabut anterior m. levator ani
waktu serabut ini berjalan ke posterior dari os pubis. Ductus ejaculatorius menembus
bagisan atas permukaan prostat untuk bermuara pada uretra pars prostatica pada
pinggir lateral orificium utriculus prostaticus. Lobus lateral mengandung banyak
kelenjar.

E. Manifestasi Klinis

1. Gejala iritatif, meluputi:

a. Peningkaan frekuesnsi berkemih.

b. Nocturia (terbangun di malam hari untuk miksi)

c. Perasaan untuk ingin miksi yang sangat mendesak/tidak dapat di tunda (urgensi).

d. Nyeri pada saat miksi (disuria).

2. Gejala obstruktif, meliputi:

a. Pancaran urin melemah.

b. Rasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan baik.
c. Jika ingin miksi harus menunggulama.

d. Volume urin menurundan harus mengedan saat berkemih.

e. Aliran urin tidak lancar/terputus-putus.

f. Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urine dan inkontinensia
karena pernumpukan berlebih.

g. Pada gejala yang sudah lanjut, dapat terjadi azotemia (akumulasi produk sampah
nitrogen) dan gagal ginjal dengan etensi urun kronis dan volume residu yang
besar.

3. Gejala generalisata seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak
nyaman pada epigastrik.

Berdasarkan keluhan dapat dibagi menjadi :

a. Derajat 1, penderita merasakan lemahnya pancara berkemih, kencing tidak puas,


frekuensi kencing bertambah terutama di malam hari.

b. Derajat 2, adanya retensi urin mak timbulah infeksi. Penderita akan mengeluh pada
saat miksi terasa panas (disuria) dan kencing malam bertambah hebat.

c. Derajat 3, timbulnya retensi total. Bila sudah sampai tahap ini maka bisa timbul
aliran refluks ke atas, timbul infeksi askenden menjalar ke ginjal dan dapat
menyebabkan pielonefritis, hidronefrosis.

F. Patofisiologi
1. Perubahan keseimbangan hormon testosteron dan estrogen pada laki-laki usia lanjut
2. Peranan dari growth factor sebagai pemicu pertumbuhan stroma kelenjar prostat
3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel-sel yang mati
4. Terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi sel stoma
dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan
Ada 2 stadium yang mempengaruhi perubahan pada dinding kemih yaitu :

1. Stadium dini
Hiperplasi prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan
menyumbat aliran urine sehingga meningkatkan tekanan intravesikel.
2. Stadium lanjut
Terjadi dekompensasi karena penebalan dinding vesika urinaria tidak bertambah lagi
residu urine bertambah. Gejala semakin menyolok ( retensi urine clonis ), tonus otot
vesika urinaria menurun. Persyarafan para simpatis melemah dan akhirnya terjadi
kelumpuhan detsrusor dan spinter uretra sehingga terjadi over flow incontinensia
(urine menetes sacara periodik).

G. Pathways Keperawatan

Perubahan estrogen, Peranan growth Lama hidup sel Proliferasi


testosterone pada laki- hormon prostat abnormal sel stem
laki usia lanjut

BPH

Penyempitan lumen uretra prostatik

Aliran urine terhambat

Perubahan sekunder kandung kemih

Stadium lanjut Stadium dini

Dinding vesika menurun Tekanan intravesika meningkat

Residu urine Kompensasi musculus destrusor

Tonus vesika urinaria menurun Penebalan vesika urinaria

Saraf parasimpatis melemah Retensi Urine


Kelemahan muscle destrusor

Keluhan LUTS Distensi vesika


urinaria
(Lower Urinary Tract Symptom)

Pembedahan (TUR-P) Gangguan rasa nyaman


Bertahan
(nyeri akut)
lama

Resiko ketidak efektifan


Anastesi
Mikroorganisme Pemasangan jalan nafas
kateter

Resiko infeksi - Resiko infeksi - Nyeri akut


- Resiko - Resiko kekurangan cairan
inkontinensia - Resiko retensi urine pasca
pasca kateter operasi

H. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada


pasien dengan BPH adalah :

1. Laboratorium
a. Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran kemih.
b. Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan
sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.

2. Pencitraan
a. Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan kadang
menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang merupakan tanda
dari retensi urin.
b. IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau
hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-
buli.
c. Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin
dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
d. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika dan
melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.

I. Penatalaksanaan
1. Medis
Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH
tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis
a) Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan
pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti
alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap
keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun
kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
b) Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan
biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
c) Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila
diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam
1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat
dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
d) Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari
retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian terapi
definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan
pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat
penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan
memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.
Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH
dapat dilakukan dengan:
a) Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi
kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok
dubur.
b) Medikamentosa
 Mengharnbat adrenoreseptor α
 Obat anti androgen
 Penghambat enzim α -2 reduktase
 Fisioterapi
c) Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi
ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih,
hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:
 TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui
sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.
 Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada
kandung kemih.
 Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen
bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih.
 Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi
diantara skrotum dan rektum.
 Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula
seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen
bagian bawah, uretra dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada
kanker prostat.
d) Terapi Invasif Minimal
 Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan
ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung
kateter.
 Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP)
 Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)
2. Keperawatan
a. Pre operasi
 Pemeriksaan darah lengkap (Hb minimal 10g/dl, Golongan Darah, CT, BT,
AL)
 Pemeriksaan EKG, GDS mengingat penderita BPh kebanyakan lansia
 Pemeriksaan Radiologi: BNO, IVP, Rongen thorax
 Persiapan sebelum pemeriksaan BNO puasa minimal 8 jam.  Sebelum
pemeriksaan IVP pasien diberikan diet bubur kecap 2 hari, lavemen puasa
minimal 8 jam, dan mengurangi bicara untuk meminimalkan masuknya
udara
b. Post operasi
1. Irigasi/Spoling dengan Nacl
 Post operasi hari 0 : 80 tetes/menit
 Hari pertama post operasi  : 60 tetes/menit
 Hari ke 2 post operasi : 40 tetes/menit
 Hari ke 3 post operasi : 20 tetes/menit
 Hari ke 4 post operasi diklem
 Hari ke 5 post operasi dilakukan aff irigasi bila tidak ada masalah (urin
dalam kateter bening)
2. Hari ke 6 post operasi dilakukan aff drain bila tidak ada masalah (cairan
serohemoragis < 50cc)
3. Infus diberikan untuk maintenance dan memberikan obat injeksi selama 2
hari, bila pasien sudah mampu makan dan minum dengan baik obat injeksi
bisa diganti dengan obat oral.
4. Tirah baring selama 24 jam pertama. Mobilisasi setelah 24 jam post operasi
5. Dilakukan perawatan luka dan perawatan DC hari ke-3 post oprasi dengan
betadin
6. Anjurkan banyak minum (2-3l/hari)
7. DC bisa dilepas hari ke-9 post operasi
8. Hecting Aff pada hari k-10 post operasi.
9. Cek Hb post operasi bila kurang dari 10 berikan tranfusi
10. Jika terjadi spasme kandung kemih pasien dapat merasakan dorongan untuk
berkemih, merasakan tekanan atau sesak pada kandung kemih dan
perdarahan dari uretral sekitar kateter. Medikasi yang dapat melemaskan
otot polos dapat membantu mengilangkan spasme. Kompres hangat pada
pubis dapat membantu menghilangkan spasme.
11. Jika pasien dapat bergerak bebas pasien didorong untuk berjalan-jalan tapi
tidak duduk terlalu lama karena dapat meningkatkan tekanan abdomen,
perdarahan
12. Latihan perineal dilakukan untuk membantu mencapai kembali kontrol
berkemih. Latihan perineal harus dilanjutkan sampai passien mencapai
kontrol berkemih.
13. Drainase diawali sebagai urin berwarna merah muda kemerahan kemudian
jernih hingga sedikit merah muda dalam 24 jam setelah pembedahan.
14. Perdarahan merah terang dengan kekentalan yang meningkat dan sejumlah
bekuan biasanya menandakan perdarahan arteri. Darah vena tampak lebih
gelap dan kurang kental. Perdarahan vena diatasi dengan memasang traksi
pada kateter sehingga balon yang menahan kateter pada tempatnya
memberikan tekannan pada fossa prostatik.
J. Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH adalah:

1. Seiring dengan semakin beratnya BPH dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena
urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih
dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000).

2. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan
penderita harus mengejan pada miksi yang mengakibatkan peningkatan tekanan intra
abdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis dalam vesiko urinaria
akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain
itu, stasis urin dalam vesiko urinaria menjadikan media pertumbuhan
mikroorganisme. Yang dapat menyebabkan pyelonefritis (sjamsuhidrajat, 2005).

K. Pengkajian Fokus

1. Meliputi biodata : nama,umur, jenis kelamin, agama, suku,alamat, tanggal masuk,


tanggal pengkajian, diagnose medis.

2. Keluhan Utama

3. Riwayat kesehatan

a. Keluhan saat pengkajian


b. Keluhan terdahulu
c. Riwayat kesehatan keluarga
4. Pola fungsi kesehatan
a. Aktifitas
b. Istirahat
c. Eliminasi
d. Nutrisi
5. Pemeriksaan fisik
a. Status kesehatan umum
- Keadaan umum
- Kesadaran
- TTV
- TB dan BB
b. Pemeriksaan fisik secara head to toe
6. Data penunjang
7. Pengobatan

L. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri akut b/d spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada TURP.
2. Resiko infeksi b/d prosedur inovasif pembedahan.

M. Intervensi
Diagnosa I:Nyeri akut b/d spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada TURP.
1. NOC
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam rasa nyeri berkurang atau
hilang, dengan kriteria hasil:
a) klien mengatak an nyeri berkurang / hilang
b) ekspresi wajah klien tenang
c) tanda-tanda vital dalam batas normal
2. NIC
a) Kaji skala nyeri.
R/mengetahui skala nyeri.
b) Jelaskan pada klien tentang gejala dini spasmus kandung kemih
R/klien dapat mendeteksi gejala dini spasmus kandung kemih.
c) Pemantauan klien pada interval yang teratur selama 48 jam, untuk mengenal
gejala-gejala dini dari spasmus kandung kemih.
Diagnosa II:Resiko infeksi b/d prosedur inovasif pembedahan.
1. NOC
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam tidak terjadi adanya tanda-tanda
infeksi, dengan kriteria hasil:
a) Klien tidak mengalami infeksi.
b) Dapat mencapai waktu penyembuhan.
c) Tanda-tanda vital dalam batas normal dan tidak ada tanda-tanda shock.
2. NIC
a) Monitor tanda dan gejala infeksi
R/ mengetahui tanda dan gejala infeksi.
b) Ajarkan intake cairan yang cukup sehingga dapat menurunkan potensial
infeksi.
R/meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi isk dikurangi dan
mempertahankan fungsi ginjal .
c) Kolaborasi dengan dokter untuk memberikan antibiotik .
R/ mencegah infeksi.
DAFTAR PUSTAKA

Engram Barbara, 1998, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, Vol 3. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran, EGC.

Brunner dan Suddarth. 2000. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Nurarif, Amin Huda, dkk. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
dan NANDA NIC NOC. Yogyakarta: Media Action Publishing.

Wijaya Andra Saferi, dkk. 2013. KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah Keperawatan Dewasa
Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta: Penerbit Nuha Medika.

Parsons, J.K. (2010). Benign prostatic hyperplasia and male lower urinary tract symptoms:
Epidemiology and risk factors. Springer Journal, Curr BladderDysfunct Rep, 5:212–218.
Roehrborn, C. G., & McConnell, J. D. (2011). Benign prostatic hyperplasia:etiology,
pathophysiology, epidemiology, and natural history. CampbellWalsh Urology. (10th ed).
Philadelphia: Saunders Elsevier.
Mescher. Anthony L. Histologi Dasar Junquera : teks & atlas. Ed 12. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2011

http://download.portalganudaora/articlenhp?
article176210&vaL308&titleASPEK2OMUNOLOGIKO20PADA20KANKERO2ODROST
AT

Putra, R.A. (2012). 2020, Lansia Indonesia lebih banyak hidup di kota. Style sheet:
http://mizan.com/news_det/2020-lansia-indonesia-lebih-banyakhidup-di-kota.html. (Diunduh
6 Januari 2020).
http://www.scribd.com/doc/94 199640
https://www.academia.edu/12301912/Benign_Prostat_Hiperplasia_BPH_

Anda mungkin juga menyukai