Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

“HIPERTROPI PROSTAT”
RUANG PERAWATAN UROLOGI
RSUP DR WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR

Disusun Oleh:

NURAZIZAH
R014192008

Preceptor Lahan Preceptor Institusi

( ) (Dr. Yuliana Syam, S.Kp., Ns.,M.Si)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
BAB I
KONSEP MEDIS

A. Definisi

Hiperplasia prostat jinak juga dikenal sebagai Benign Prostatic Hyperplasia


(BPH) adalah diagnosis histologis yang ditandai oleh proliferasi dari elemen seluler
prostat (Deters, 2016). BPH adalah keadaan kondisi patologis yang paling umum pada
pria lansia dan penyebab kedua yang paling sering ditemukan untuk intervensi medis
pada pria di atas usia 50 tahun (Wijaya & Putri, 2013). Hiperplasia prostat benigna
adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pria lebih tua dari 50
tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi urethral dan pembatasan aliran
urinarius (Doengoes & et al, 2000).

Benigna prostat hiperplasia (BPH) adalah pertumbuhan nodul-nodul


fibroadenomatosa majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian
periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar
normal yang tersisa. Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma
fibrosa dan otot polos yang jumlahnya berbeda-beda. Prostat tersebut mengelilingi
uretra, dan pembesaran bagian periuretral akan menyebabkan obstruksi leher kandung
kemih dan uretra pars prostatika, yang mengakibatkan berkurangnya aliran kemih dari
kandung kemih (Nurarif & kusuma, 2015).

Gambar 1: Prostat Normal dan Prostat Hyperplasia


B. Etiologi

Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui.
Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor
lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan. Prevalensi histologi BPH
meningkat dari 20% pada laki-laki berusia 41-50 tahun, 50% pada laki-laki usia 51-60
tahun hingga lebih dari 90% pada laki-laki berusia di atas 80 tahun (Cooperberg, M. R.,
& et al, 2013). Ada beberapa faktor kemungkinan penyebab BPH antara lain :

1. Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan
stroma dari kalenjar prostat mengalami hiperplasia
2. Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron.
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan
testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
3. Interaksi stroma epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan
transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
4. Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel
dari kelenjar prostat.
5. Teori sel stem
Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit Teori sel stem,
menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan
produksi selstroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan.
Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya
hiperplasia prostat adalah:
1. Teori Hormonal
Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal, yaitu
antara hormon testosteron dan hormon estrogen. Karena produksi testosteron
menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di
perifer dengan pertolongan enzim aromatase, dimana sifat estrogen ini akan
merangsang terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa
testosteron diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian
estrogenlah yang berperan untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah
perubahan konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi
dan potensiasi faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya
pembesaran prostat.
Pada keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan menyebabkan produksi
hormon androgen testis yang akan mengontrol pertumbuhan prostat. Dengan makin
bertambahnya usia, akan terjadi penurunan dari fungsi testikuler (spermatogenesis)
yang akan menyebabkan penurunan yang progresif dari sekresi androgen. Hal ini
mengakibatkan hormon gonadotropin akan sangat merangsang produksi hormon
estrogen oleh sel sertoli. Dilihat dari fungsional histologis, prostat terdiri dari dua
bagian yaitu sentral sekitar uretra yang bereaksi terhadap estrogen dan bagian
perifer yang tidak bereaksi terhadap estrogen.
2. Teori Growth Factor (Faktor Pertumbuhan)
Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar
prostat. Terdapat empat peptic growth factor yaitu: basic transforming growth
factor, transforming growth factor 1, transforming growth factor 2, dan
epidermal growth factor.
3. Teori peningkatan lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati
4. Teori Sel Stem (stem cell hypothesis)
Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada seorang
dewasa berada dalam keadaan keseimbangan “steady state”, antara pertumbuhan
sel dan sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan adanya kadar testosteron
tertentu dalam jaringan prostat yang dapat mempengaruhi sel stem sehingga dapat
berproliferasi. Pada keadaan tertentu jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga
terjadi proliferasi lebih cepat. Terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga
menyebabkan produksi atau proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar periuretral
prostat menjadi berlebihan.
5. Teori Dehidrotestosteron (DHT)
Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian dari
kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat oleh
globulin menjadi sex hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2% dalam
keadaan testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam
“target cell” yaitu sel prostat melewati membran sel langsung masuk kedalam
sitoplasma, di dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha reductase menjadi
5 dehidrotestosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor sitoplasma menjadi
“hormone receptor complex”. Kemudian “hormone receptor complex” ini
mengalami transformasi reseptor, menjadi “nuclear receptor” yang masuk kedalam
inti yang kemudian melekat pada chromatin dan menyebabkan transkripsi m-RNA.
RNA ini akan menyebabkan sintese protein menyebabkan terjadinya pertumbuhan
kelenjar prostat.

C. Manifestasi Klinik

LUTS (lower urinary tract symptoms) adalah istilah umum yang digunakan
untuk menggambarkan berbagai gejala pada sistem perkemihan. LUTS berhubungan
dengan BPH yang dapat bersifat obstruktif atau iritasi, tetapi gejala lain juga dapat
terjadi (Peter, 2014).
1. Gejala Obstruktif yaitu:
a. Hesitansi : memulai lama saat miksi dan disertai mengejan yang disebabkan
oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama
meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam
uretra prostatika
b. Intermitency : terputus-putus aliran kencing akibat ketidakmampuan otot
destrusor dalam mempertahan tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi.
c. Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir miksi.
d. Pancaran lemah: kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrusor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya miksi
2. Gejala Iritasi yaitu:
a. Urgensi : perasaan ingin miksi yang sangat mendesak dan sulit ditahan
b. Frekuensi: penderita miksi lebih sering dari biasanya, dapat terjadi pada
malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
c. Disuria : nyeri saat miksi

Kategori keparahan BPH berdasarkan tanda dan gejala:

Keparahan penyakit Kekhasan gejala


Ringan Asimtomatik
Kecepatan urinary pucak < 10 mL/ s
Volume urin residual setelah pengosongan > 25-50 mL
Peningkatan BUN dan kreatinin serum
Sedang Semua tanda diatas ditambah obstruktif penghilangan
gejala dan iriatif penghilangan gejala (tanda dari detrusor
yang tidak stabil)
Parah Semua yang diatas ditambah satu atau dua lebih
komplikasi BPH

Jenis penanganan pada pasien dengan tumor prostat tergantung pada berat
gejala kliniknya. Berat derajat klinik dibagi menjadi empat gradasi berdasarkan
penemuan pada colok dubur dan sisa volume urin. Seperti yang tercantum dalam
bagan berikut ini:

Derajat Colok dubur Sisa volume urin


I Penonjolan prostat,batas atas mudah diraba <50 ml
II Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat 50-100 ml
dicapai
III Batas atas prostat tidak dapat diraba >100 mL
IV Batas atas prostat tidak dapat diraba Retensi urin total

D. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada hipertropi prostat adalah retensi kronik
dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, dan gagal ginjal.
Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada saluran kemih. Karena
selalu terdapat sisa urin sehingga menyebabkan terbentuknya batu, hematuriaf, sistitis
dan pielonefritis. Pada waktu miksi pasien harus mengedan sehingga lama-kelamaan
dapat menyebabkan hernia atau hemoroid (Black & Hawks, 2014).

E. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan menurut Deters (2016), yaitu:

1. Laboratorium
a. Urinalis : evaluasi sedimen disentrifugasi untuk menilai adanya darah,
leukosit, bakteri, protein, atau glukosa.
b. Kultur urine: ini mungkin berguna untuk menyingkirkan penyebab infeksi
kandung kemih yang mengiritasi jika temuan urinalis menunjukan
abnormalitas
c. Antigen spesifik prostat (PSA): meskipun BPH tidak menyebabkan kanker
prostat, pria yang beresiko terkena BPH juga beresiko terkena kanker prostat
sehingga dibutuhkan skrining. Pemeriksaan Prostate Spesific Antigen (PSA)
dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini
keganasan. Bila nilai PSA < 4ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan bila nilai
PSA 4-10ng/ml, hitunglah Prostate Spesific Antigen Disease (PSAD) yaitu
PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD 0,15 maka sebaiknya
dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml.
d. Elektrolit, BUN dan kreatinin: evaluasi ini merupakan alat skrining yang
berguna untuk isufisiensi ginjal kronis pada pasien yang memiliki volume
urine residu tinggi.
2. Ultrasonografi
Pemeriksaan ini berguna untuk menentukan ukuran kandung kemih, prostat dan
tingkat hidronefrosis (jika ada) pada pasien denga retensi urine atau tanda
insufisiensi ginjal.
3. Endoskopi
Endoskopi saluran kemih bagian bawah (sistoskopi) dilakukan pada pasien dengan
rencana tindakan invasif atau dicurigai adanya keganasan atau benda asing.
Endoskopi juga dilakukan pada pasien dengan riwayat penyakit menular seksual
(mis. Uretritis gonokokal), kateterisasi, atau trauma berkepanjangan.
4. IPPS/AUA-SI
Tingkat keparahan BPH dapat ditentukan dengan gejala International Prostate
Symptom Score (IPPS)/ American Urological Association Symptom Index (AUA-
SI).

Tabel 1: Skor Internasional gejala-gejala prostat WHO (International Prostate


Symptom Score, IPSS)

Pertanyaan Jawaban dan skor

Keluhan pada bulan Tidak <1 > 5 sampai 15 kali > 15 Hampir
terakhir sama sampai < 15 kali kali selalu
sekali 5 kali
Adakah anda merasa 0
buli-buli tidak
kosong setelah BAK
Berapa kali anda 0 1 2 3 4 5
hendak BAK lagi
dalam waktu 2 jam
setelah BAK
Berapa kali terjadi air 0 1 2 3 4 5
kencing berhenti
sewaktu BAK
Berapa kali anda 0 1 2 3 4 5
tidak dapat menahan
keinginan BAK
Berapa kali arus air 0 1 2 3 4 5
seni kemah sekali
sewaktu BAK
Berapa kali terjadi 0 1 2 3 4 5
anda mengalami
kesulitan memulai
BAK (harus
mengejan)
Berapa kali anda 0 1x 2x 3x 4x 5x
bangun untuk BAK
di waktu malam
Andaikata hal yang Sangat Cukup Biasa saja Agak Tidak Sangat
anda alami sekarang senang senang tidak menyen tidak
akan tetap senang angkan menyenan
berlangsung seumur gkan
hidup, bagaimana
perasaan anda

Jumlah nilai:
0 = baik sekali
1 = baik
2 = kurang baik
3 = kurang
4 = buruk
5 = sangat buruk

F. Penatalaksanaan
1. Watchfull Waiting
Tatalaksana pada penderita BPH saat ini tergantung pada LUTS yang diukur
dengan sistem skor IPSS. Pada pasien dengan skor ringan (IPSS ≤ 7 atau Madsen
Iversen ≤ 9), dilakukan watchful waiting atau observasi yang mencakup edukasi,
reasuransi, kontrol periodik, dan pengaturan gaya hidup. Bahkan bagi pasien
dengan LUTS sedang yang tidak terlalu terganggu dengan gejala LUTS yang
dirasakan juga dapat memulai terapi dengan malakukan watchful waiting. Saran
yang diberikan antara lain :
a. Mengurangi minum setelah makan malam (mengurangi nokturia).
b. Menghindari obat dekongestan (parasimpatolitik).
c. Mengurangi minum kopi dan larang minum alkohol (mengurangi frekuensi
miksi).
d. Setiap 3 bulan mengontrol keluhan.
2. Tatalaksana Invasif
Tatalaksana invasif pada BPH bertujuan untuk mengurangi jaringan adenoma.
Indikasi absolut untuk melakukan tatalaksana invasif :
a. Sisa kencing yang banyak
b. Infeksi saluran kemih berulang
c. Batu vesika
d. Hematuria makroskopil
e. Retensi urin berulang
f. Penurunan fungsi ginjal
Gold Standard untuk tatalaksana invasif BPH adalah Trans Urethral
Resection of the Prostate (TURP) yang dilakukan untuk gejala sedang sampai
berat, volume prostat kurang dari 90 gram, dan kondisi pasien memenuhi toleransi
operasi. Komplikasi jangka pendek pada TURP antara lain perdarahan, infeksi,
hiponatremi, retensi karena bekuan darah. Komplikasi jangka panjang TURP
adalah striktur uretra, ejakulasi retrograd, dan impotensi.

Gambar 3: Tindakan TURP


Bila alat yang tersedia tidak memadai, maka dapat dilakukan operasi terbuka
dengan teknik transvesikal atau retropubik. Karena morbiditas dan mortalitas yang
tinggi yang ditimbulkannya, operasi sejenis ini hanya dilakukan apabila ditemukan
pula batu vesika yang tidak bisa dipecah dengan litotriptor / divertikel yang besar
(sekaligus diverkulektomi) / volume prostat lebih dari 100cc.
3. Medical Treatment
Ada beberapa jenis pengobatan medikamentosa pada BPH yaitu :
a. Penghambat adrenergik alfa
Obat ini menghambat reseptor alfa pada otot polos di trigonum, leher vesika,
prostat, dan kapsul prostat, sehingga terjadi relaksasi, penurunan tekanan di
uretra pars prostatika, sehingga meringankan obstruksi. Perbaikan gejala timbul
dengan cepat, contohnya Prazosin, Doxazosin, Terazosin, Afluzosin, atau
Tamsulosin. Efek samping yang dapat timbul adalah karena penurunan tekanan
darah sehingga pasien bisa mengeluh pusing, capek, hidung tersumbat, dan
lemah.
b. Penghambat enzim 5 α reduktase
Obat ini menghambat kerja enzim 5 α reduktase sehingga testosteron tidak
diubah menjadi DHT, konsentrasi DHT dalam prostat menurun, sehingga
sintesis protein terhambat. Perbaikan gejala baru muncul setelah 6 bulan, dan
efek sampingnya antara lain melemahkan libido, dan menurunkan nilai PSA.
c. Phytoterapi
Obat dari tumbuhan herbal ini mengandung Hypoxis Rooperis, Pygeum
Africanum, Urtica Sp, Sabal Serulla, Curcubita pepo, populus temula,
Echinacea pupurea, dan Secale cereale. Banyak mekanisme kerja yang belum
jelas diketahui, namun PPygeum Africanum diduga mempengaruhi kerja
Growth Factor terutama b-FGF dan EGF. Efek dari obat lain yaitu anti-
estrogen, anti-androgen, menurunkan sex binding hormon globulin, hambat
proliferasi sel prostat, pengaruhi metabolisme prostaglandin, anti-inflamasi, dan
menurunkan tonus leher vesika.
BAB II
KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian Keperawatan
Pada pengkajian dilakukan wawancara dan pemeriksaan laboratorium untuk
memperoleh informasi dan data yang nantinya akan digunakan sebagai dasar untuk
membuat rencana asuhan keperawatan klien.
a. Biodata Klien
Meliputi nama, umur (penyakit Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) paling sering
didapatkan pada usia 50 tahun ke atas), jenis kelamin (Benigna Prostat Hyperplasia
(BPH) hanya dialami oleh laki-laki), alamat, agama/kepercayaan, pendidikan,
suku/bangsa, pekerjaan.
b. Keadaan Umum
Meliputi tingkat kesadaran atau GCS dan respon verbal klien (kesadaran somnolen
sebagai tanda sindroma TURP), ada tidaknya defisit konsentrasi, tingkat
kelemahan (keadaan penyakit) dan ada tidaknya perubahan berat badan .
c. Tanda-tanda Vital
Meliputi pemeriksaan:

 Tekanan darah (meningkat pada komplikasi gagal ginjal dan sidroma TURP)
 Pulse rate (bradikardi sebagai tanda sindroma TURP)
 Respiratory rate
 Suhu (meningkat bila terdapat indikasi infeksi)
Tanda vital dapat meningkat menyertai nyeri, suhu (Normal = 36,5o – 37,5oC), RR
(Normal = 16 – 20 x/mnt), nadi (Normal = 60-120 x/mnt).

d. Riwayat Keperawatan
1. Keluhan Utama
Keluhan utama yang muncul pada klien dengan BPH meliputi keluhan
berkemih yang sering, anyang-anyangan, perut bawah terasa tegang, harus
mengejan saat berkemih, urine terus menetes setelah berkemih, aliran urine
tidak lancar, merasa kandung kemih tidak kosong setelah berkemih.
2. Riwayat Kesehatan Sekarang
Disamping keluhan utama biasanya klien juga akan melaporkan beberapa
keluhan sebagai berikut seperti menggigil, demam dan disuria dapat terjadi
sebagai tanda gejala obstruksi dan iritatif.
3. Riwayat Kesehatan Dahulu
Keadaan atau penyakit-penyakit yang pernah diderita oleh penderita yang
mungkin berhubungan dengan BPH, antara lain gangguan eliminasi urine,
disfungsi seksualitas.

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Belum ditemukan adanya hubungan herediter terkait penyakit BPH. Namun
penyakit diabetes mellitus dapat menimbulkan kelainan persarafan pada vesica
urinaria

e. Riwayat Keperawatan
1) Breathing
2) Blood
3) Brain
4) Bladder
Pada klien BPH terdapat riwayat adanya penurunan kekuatan/dorongan
aliran urine, keragu-raguan pada awal berkemih, nokturia, disuria, hematuria,
isis berulang, riwayat batu (stasis urinaria), konstipasi, massa padat di bawah
abdomen bawah, nyeri tekan kandung kemih, ketidakmampuan untuk
mengosongkan kandung kemih (Doenges, 1999).Akan terasa adanya
ballotement dan ini akan menimbulkan pasien ingin buang air kecil, retensi
urine , distensi kandung kemih
5) Bowel
6) Bone
f. Pemeriksaan Fisik
1. Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi dapat
meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi
sampai syok pada retensi urin serta urosepsis sampai syok septik.
2. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk
mengetahui adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Perhatian khusus pada
abdomen:
 Inspeksi : Penonjolan pada daerah supra pubik pada keadaan retensi urine
 Palpasi : Akan terasa adanya ballotement dan ini akan menimbulkan
pasien ingin buang air kecil, retensi urine , distensi kandung kemih
 Perkusi : Redup bila terjadi residual urine
3. Traktus urinaria bagian atas akan didapatkan ginjal teraba dan apabila sudah
terjadi pielonefritis akan disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada
pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi retensi total,
daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia
4. Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan
sebab yang lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa
navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di
daerah meatus. Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya
epididimitis.
5. Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan
konsistensi sistim persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat.
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus
spingter ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain
seperti benjolan di dalam rektum dan tentu saja teraba prostat. Colok dubur
pada hiperplasia prostat menunjukkan prostat teraba membesar, konsistensi
prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, permukaan rata, lobus kanan dan
kiri simetris, tidak didapatkan nodul, dan menonjol ke dalam rektum. Semakin
berat derajat hiperplasia prostat, batas atas semakin sulit untuk diraba.
Sedangkan pada carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau teraba
nodul dan diantara lobus prostat tidak simetris.

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang dapat di angkat berdasarkan NANDA 2018-2020 (Herdman &
Kamitsuru, 2015) adalah:
1. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera biologis
2. Retensi urine
3. Intoleran aktivitas berhubungan dengan imobilitas
4. Resiko perdarahan
5. Resiko infeksi
C. Rencana/Intervensi Keperawatan
NO Diagnosa Keperawatan NOC (Tujuan dan kriteria hasil) NIC (Intervensi)
1. Nyeri akut berhubungan NOC: NIC :
dengan agens cedera biologis Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Nyeri
selama …, nyeri yang dirasakan klien - Lakukan pengkajian nyeri
berkurang dengan kriteria hasil: komprehensif yang meliputi lokasi,
Tingkat Nyeri berkurang, yang ditandai karakteristik, onset/durasi, frekuensi,
dengan: kualitas, intensitas atau berat nyero dan
- Nyeri yang dilaporkan berkurang faktor pencetus
- Panjang episode nyeri berkurang - Tentukan akibat dari pengalaman nyeri
- Tidak tampak ekspresi nyeri wajah terhadap kualitas hidup pasien (mis.
- Dapat beristirahat dengan baik Tidur, nafsu makan, pengertian,
Kontrol Nyeri yang ditandai dengan: perasaan, hubungan)
- Klien mampu mengenali kapan nyeri - Pastikan perawatan analgesic bagi
terjadi pasien dilakukan dengan pemantauan
- Kolaborasi penggunaan obat analgesik yang ketat
- Klien melaporkan nyeri terkontrol - Dukung istirahat/tidur yang adekuat
- untuk membantu penurunan nyeri
(Moorhead, Johnson, Maas, & Swanson,
2013)
Pemberian Analgesik
- Tentukan lokasi, karakteristik,
kualitas dan keparahan nyeri
- Cek perintah pengobatan meliputi
obat, dosis, dan frekuensi obat
analgesik yang diresepkan
- Cek adanya riwayat alergi obat
- Tentukan pilihan obat analgesik
(narkotik, non narkotik atau NSAID)
berdasarkan tipe dan keparahan nyeri
- Evaluasi efektivitas pemberian
analgesik setelah dilakukan injeksi.
Selain itu observasi efek samping
pemberian analgesik seperti depresi
pernapasan, mual muntah, mulut
kering dan konstipasi.
- Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik pertama
kali (Bulechek, Butcher, Dochterman,
& Wagner, 2013)
2. Retensi urine Setelah dilakukan tindakan keperawatan Urinary Retention Care
selama …. retensi urin - Monitor intake dan output
pasien teratasi dengan kriteria hasil: - Monitor penggunaan obat antikolinergik
- Kandung kemih kosong secarapenuh - Monitor derajat distensi bladder
- Tidak ada residu urine >100-200 cc - Instruksikan pada pasien dan keluarga
- Intake cairan dalam rentang normal untuk mencatat output urine
- Bebas dari ISK - Sediakan privacy untuk eliminasi
- Tidak ada spasme bladder - Stimulasi reflek bladder dengan kompres
- Balance cairan seimbang dingin pada abdomen.
- Kateterisaai jika perlu
- Monitor tanda dan gejala ISK (panas,
hematuria, perubahan bau dan konsistensi
urine)
3. Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan keperawatan Terapi aktivitas
berhubungan dengan imobilitas selama …. Intoleran aktivitas teratasi dengan - Pertimbangkan kemampuan klien
kriteria hasil: dalam berpartisipasi melalui aktivitas
- Klien dapat melakukan aktivitas rutin spesifik
- Melakukan aktivitas fisik - Berkolaborasi dengan (ahli) terapis
fisik, okupasi dan terapis rekresional
dalam perencanaan dan pemantauan
program aktivitas, jika diperlukan
- Bantu klien untuk mengeksplorasi
tujuan personal dari aktivitas-aktivitas
yang biasa dilakukan dan aktivitas
yang disukai
- Bantu dengan aktivitas fisik secara
teratur (mis., ambulasi, berpindah,
berputar, dan kebersihan diri) sesuai
kebutuhan
- Bantu klien untuk tetap fokus pada
kekuatan (yang dimilikinya) dengan
kelemahan (yang dimilikinya)
4. Risiko perdarahan Kriteria hasil: Pencegahan perdarahan
- Klien tidak mengalami hematuria - Monitor dengan ketat risiko terjadinya
- Tidak ada kehilangan darah yang perdarahan pada pasien
terlihat - Catat nilai hemoglobin dan hematocrit
- Tidak perdarahan paska pembedahan sebelum dan setelah pasien kehilangan
- Tekanan darah sistolik dalam batas darah sesuai indikasi
normal - Monitor tanda dan gejala perdarahan
- Tekanan darah diastolik dalam batas menetap (contoh; cek semua sekresi
normal darah yang terlihat jelas maupun yang
tersembunyi)
- Monitor TTV
- Lindungi pasien dari trauma yang
dapat menyebabkan perdarahan
- Hindarkan pemberian injeksi IV, IM
atau Subkutan dengan cara yang tepat
- Berikan obat-obatan (misalnya;
antasida) jika dibutuhkan.
5. Risiko infeksi Kriteria hasil: Kontrol infeksi
- Klien bebas dari tanda dan gejala - Bersihkan lingkungan setelah dipakai
infeksi pasien lain
- Suhu dalam batas normal - Ganti peralatan perawatan per pasien
- Jumlah leukosit dalam batas normal sesuai protocol institusi
- Gunakan sabun antimikroba untuk cuci
tangan
- Cuci tangan setiap sebelum dan
sesudah tindakan keperawatan
- Gunakan baju, sarung tangan sebagai
alat pelindung
- Pertahankan lingkungan aseptik selama
pemasangan alat
- Tingkatkan intake nuttrisi
- Berikan terapi antibiotik bila perlu
- Inspeksi kulit dan membran mukosa
terhadap kemerahan, panas, dan
drainase
- Dorong masukan cairan
- Dorong istirahat
- Instruksikan pasien untuk minum
antibiotik sesuai resep
- Laporkan kecurigaan infeksi
BAB III
WEB OF CAUTION (WOC)
DAFTAR PUSTAKA

Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan medikal bedah edisi 8 buku 1. Singapore:
Elsevier.

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2013). Nursing
interventions classification. Singapore: Elsevier.

Herdman, H.T & Kamitsuru, S. (2015). Diagnosis Keperawatan : Definisi & Klasifikasi 2015-
2017. Jakarta: EGC.

LeMone, P., Burke, K. M., & Bauldoff, G. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :
EGC.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2013). Nursing outcomes
classification. Singapore: Elsevier.

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa
medis dan nanda Nic-Noc jilid 1. Yogyakarta: Mediaction.

Anda mungkin juga menyukai