Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN BPH


(BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA)

Oleh :

Umar Husaen Kadafi

NIM 19037140061

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


UNIVERSITAS BONDOWOSO
2022
BAB 1
LAPORAN PENDAHULUAN

1.1 Definisi

Benign prostatic hyperplasia (BPH) suatu kondisi yang sering terjadi sebagai
hasil dari pertumbuhan dan pengendalian hormon prostat. (Smelzel,2015) atau
disebut dengan pembesaran kelenjar prostat yaitu suatu kondisi umum ketika pria
semakin tua. Kelenjar prostat yang membesar dapat menyebabkan gejala kemih
yang tidak nyaman, seperti menghalangi aliran urin keluar dari kandung kemih.
Ini juga dapat menyebabkan masalah kandung kemih, saluran kemih atau ginjal
(Mayo Clinic, 2018).kelenjar prostat membesar meluas ke atas menuju kandung
kemih dan menghambat aliran urine. Benign prostatic hyperplasia ini banyak
terjadi pada laki – laki berusia 40 tahun ke atas (Smeltzer, 2015).
BPH juga dikenal sebagai hipertrofi prostat jinak, adalah diagnosis
histologis yang ditandai oleh proliferasi elemen seluler prostat. Obstruksi kandung
kemih kronis sekunder akibat BPH dapat menyebabkan retensi urin, insufisiensi
ginjal, infeksi saluran kemih berulang, hematuria kotor, dan batu kandung kemih
(Medscape, 2019).

1.2 Anatomi Fisiologi Prostat


a. Perubahan Organ karena BPH

b. Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit


Prostat merupakan kelenjar seks tambahan terbesar pria yang tugasnya
berkontribusi pada cairan semen. Letak prostat berada didalam rongga pelvis dan
ditambah oleh 2 saluran yaitu ductus ejacolatorius dan uretra. Bentuk kelenjar
prostat menyerupai piramida terbalik dan mempunyai ukuran yang bervariasi
namun pada umumnya ± 4x3x2 cm. Bagian terbawah kelenjar prostat terdapat
apex prostat yang terletak di atas diafragma urogenitalis dan terletak satu setengah
sentimeter di belakang bagian bawah simfisis pubis. Sedangkan bagian teratas
prostat yaitu basis prostatae dan berhubungan dengan vesika urinaria pada suatu
bidang horizontal yang melalui bagian tengah simpfisis pubica. Konsistensinya
keras, sebagian berupa kelenjar sebagian berupa otot. Prostat terbungkus dalam
sebuah kapsul jaringan ikat, kapsul ini dilapisi lagi oleh fascia prostatica yang
tebal (berasal dari fascia pelvica) Prostat difiksasi oleh ligamentum
puboprotaticum, fascia superior diaphragmatis urogenitalis dan bagian depan
musculus levator ani (Sutysna, 2016).

Secara makroskopis kelenjar prostat dibagi menjadi lima buah lobus, yaitu
lobus anterior atau istmus yang terletak didepan uretra dan menghubungkan lobus
dextra dan lobus sinistra. Bagian ini tidak mengandung kelenjar dan hanya berisi
otot polos. Lobus medius yang terletak diantara uretra dan duktus ejakulatorius.
Banyak mengandung kelenjar dan merupakan bagian yang menyebabkan
terbentuknya uvula vesicae yang menonjol kedalam vesica urinaria bila lobus ini
membesar. Sebagai akibatnya dapat terjadi bendungan aliran urin pada waktu
berkemih. Lobus posterior yang terletak dibelakang uretra dan dibawah ductus
ajakulatorius. Lobus lateralis yang terletak di sisisi kiri dan kanan uretra (Sutysna,
2016).

1.3 Etiologi

Etiologi dari BPH hingga saat ini belum ada kejelasannya, tetapi menurut
penelitian yang dilakukan oleh Tawaleiiet al.,(2016) mengatakan bahwa kemungkinan
penyebab terjadinya BPH berkaitan erat dengan penuaan dan disertai dengan
perubahan hormon. Terjadinya penurunan kadar hormon testosterone karena penuaan
bisa menjadi faktor resiko terjadinya BPH (BPOM, 2012). Etiologi yang belum jelas
juga melahirkan beberapa hipotesa yang diduga menjadi penyebab timbulnya Benign
Prosat, teori penyebab BPH menurut Purnomo (2011) meliputi, Teori
Dehidrotestosteron (DHT), teori hormone(ketidakseimbangan antara estrogen dan
testosteron), faktor interaksi stroma dan epitel-epitel, teori berkurangnya kematian sel
(apoptosis), dan teori seli stem.

Penderita BPH akan menimbulkan gejala seperti berikut (Smeltzer, 2015):


1. Pembesaran prostat, seperti karet dan tidak lunak. Gejala obstruktif dan
iritatif terlihat
2. Peningkatan frekuensi berkemih
3. Nokturia
4. Penurunan volume dan kekuatan aliran urine
5. Gangguan aliran urine
6. Urine menetes
7. Sensasi tidak lampias setelah berkemih
8. Retensi urine akut (>60 ml)
9. Mengalami infeksi saluran kemih berulang
10. Keletihan
11. Anoreksia
12. Melaporkan ketidaknyamanan pada panggul

1.4 Manisfestasi klinis


a. Gejala iritatif meliputi (Kemenkes RI, 2019) :
1) Peningkatan frekuensi berkemih
2) Nokturia (terbangun pada malam hari untuk miksi)
3) Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak/tidak dapat ditunda
(urgensi)
4) Nyeri pada saat miksi (disuria)
b. Gejala obstruktif meliputi :
1) Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai
dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-
buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan
intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.
2) Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan
karena ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan
tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi
3) Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing
4) Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra
5) Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum
puas.
6) Urin terus menetes setelah berkemih
c. Gejala generalisata seperti seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah,
dan rasa tidak nyaman pada epigastrik. Berdasarkan keluhan dapat dibagi
menjadi (Sjamsuhidajat dan De jong, 2005)

1) Derajat I : penderita merasakan lemahnya pancaran berkemih, kencing


tak puas, frekuensi kencing bertambah terutama pada malam hari.
2) Derajat II : adanya retensi urin maka timbul infeksi. Penderita akan
mengeluh waktu miksi terasa panas (disuria) dan kencing malam
bertambah hebat.
3) Derajat III : timbulnya retensi total. Bila sudah sampai tahap ini maka
bisa timbul aliran refluk ke atas, timbul infeksi ascenden menjalar ke
ginjal dan dapat menyebabkan pielonfritis, hidronefrosis.

1.5 Patofisiologi

Patologi terjadinya Benign Prostate Hypeyplasia (BPH) disebabkan oleh


beberapa faktor : Peningkatan DHT, perubahan hormonal, dan interaksi stroma
dan epitel.
Perubahan mikroskopik pada prostat biasa terjadi pada pria usia 30 – 40
tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan
patologi anatomi yang ada pada pria usia 50 tahunan. Ketika seorang pria telah
berusia lanjut, maka fungsi dari testis sendiri akan menurun seiring dengan
penambahan usia. Produksi hormon testosteron pada usia 50 tahun keatas akan
mengalami penurunan dan mengalami reduksi menjadi Dehidrosteron (DHT).
Perubahan Testosteron menjadi Dehidrotestosteron (DHT) ini dipengaruhi oleh
ezim 5-alpha reduktase yang banyak meningkat pada penderita BPH itu sendiri.
Aksis hipofisis testis dan perubahan testosteron menjadi Dehidrotestosteron
(DHT) dalam sel prostat menjadi faktor penetrasi DHT ke dalam inti sel yang
menyebabkan inskripsi pada RNA sehingga menyebabkan terjadinya sintesa
protein. Ketika jumlah DHT semakin banyak seiring dengan banyaknya reduksi
testosteron menjadi DHT karena penambahan usia, maka hal ini akan
menyebabkan prostat membesar dan menekan uretra, sehingga hal ini akan
menyebabkan penderitanya mengalami gangguan eliminasi/ BAK.
Perubahan hormonal menyebabkan hiperplasia jaringan penyangga,
jaringan penyangga Stroma turun dan elemen glandural pada prostat. (Nian Afrian
Nuani & Dhina Widayati, 2017) Pada seseorang yang telah berusia 50 tahun
keatas atau yang berusia lanjut, testisnya secara fisiologis mengalami penurunan
fungsi sehingga testis yang seharusnya responsif terhadap stimulasi LH menjadi
kurang responsif sehingga produksi hormon testosteron menjadi menurun. Ketika
testis menjadi kurang responsif terhadap LH, maka dibutuhkan LH yang lebih
banyak untuk mempertahankan produksi androgen. Kadar LH yang tinggi secara
tidak proporsional menstimulasi produksi estrogen. Peningkatan estrogen yang
bersirkulasi meningkatkan sintesis globulin pengikat SHBG dan peningkatan
SHBG menurunkan konsentrasi testosteron bebas dalam sirkualsi. Hal ini
menurunkan jumlah testosteron yang siap dikonversi menjadi DHT pada stroma
plasma. Peningkatan jumlah estrogen juga inilah yang menyebabkan penambahan
jumlah sel stroma dan epitel atau dengan kata lain mengalami hiperplasia sel.
Dengan anatomi prostat yang mengelilingi uretra, maka pembesaran prostat yang
dihasilkan karena peningkatan jumlah sel-sel stroma dan epitel tadi dapat
menghambat aliran urin, sehingga sulit buang air kecil tapi dengan frekuensi urin
dan urgensi yang lebih besar (Supriyatna, dkk. 2015).
1.6 Penatalaksanaan
Rencana terapi tergantung pada penyebab, tingkat keparahan obstruksi,
dan kondisi pasien (Smeltzer, 2015). Terapi mencakup:
- Melakukan kateterisasi jika pasien tidak mampu berkemih,
konsultasikan dengan ahli urologi jika kateter tidak dapat dimasukkan.
- Menunggu dengan penuh waspada untuk memantau perkembangan
penyakit
- Pasien diberikan alfa-andregenik (missal. Alfuzosin, terazosin, dll)
yang merelaksasi otot polos leher kandung kemih dan prostat
- Pasien diberikan agen antiandrogen untuk mengurangi ukuran prostat
serta mencegah perubahan testosterone menjadi dihidrotestosteron
(DHT).
- Transurethral resection of the prostate (TURP)
- Transurethral incision of the prostate (TUIP)

1.7 Komplikasi
Bersadarkan Mayoclicic (2018) Benigna prostat hyperplasia dapat
menyebabkan komplikasi sebagai berikut:
1. Ketidakmampuan untuk buang air kecil secara tiba-tiba (retensi urin).
Pasien BPH perlu memasukkan tabung (kateter) ke dalam kandung
kemih untuk mengeringkan urin. Beberapa pria dengan pembesaran
prostat membutuhkan pembedahan untuk mengurangi retensi urin.
2. Infeksi saluran kemih (ISK). Ketidakmampuan untuk sepenuhnya
mengosongkan kandung kemih dapat meningkatkan risiko infeksi pada
saluran kemih. Jika ISK sering terjadi, diperlukan pembedahan untuk
mengangkat bagian prostat.
3. Batu kandung kemih. Ini umumnya disebabkan oleh ketidakmampuan
untuk benar-benar mengosongkan kandung kemih. Batu kandung
kemih dapat menyebabkan infeksi, iritasi kandung kemih, darah dalam
urin dan sumbatan aliran urin.

4. Kerusakan kandung kemih. Kandung kemih yang belum dikosongkan


sepenuhnya dapat meregang dan melemah seiring waktu. Akibatnya,
dinding otot kandung kemih tidak lagi berkontraksi dengan baik,
sehingga sulit untuk mengosongkan kandung kemih sepenuhnya.
5. Kerusakan ginjal. Tekanan pada kandung kemih akibat retensi urin
secara langsung dapat merusak ginjal atau memungkinkan infeksi
kandung kemih mencapai ginjal

1.8 Pemeriksaan Penunjang


Penegakan diagnose diambil berdasarkan gejala, riwayat kesehatan
sebelumnya, pengkajian fisik dan disertai pemeriksaan penunjang seperti
dibawah ini (Hellosehat, 2016):
1. Digital rectal exam. Dokter akan memeriksa ukuran prostat dengan
memasukkan jari ke dalam rektum.
2. Tes urin. Dokter akan menganalisa urin untuk melihat adanya
kemungkinan infeksi.
3. Tes darah. Tes darah dapat menunjukkan masalah yang terkait ginjal.
4. Tes darah prostate-specific antigen (PSA). PSA adalah zat yang
dihasilkan prostat. Apabila kadar PSA pada darah tinggi, hal ini
mengindikasikan bahwa prostat membesar.
5. Pemeriksaan neurologis. Tes ini dapat memeriksa fungsi otak dan
sistem saraf untuk mengeliminasi kemungkinan penyebab lainnya.
6. Sistoskopi. Alat kecil dan fleksibel yang disebut sistoskop
dimasukkan ke dalam uretra, agar dokter dapat melihat bagian dalam
uretra dan kandung kemih.
7. Biopsi. Dokter dapat memeriksa sampel prostat untuk mendeteksi
adanya sel kanker yang dapat menjadi kanker prostat.
8. Tes urodinamik. Rangkaian tes yang melihat seberapa baik uretra dan
kandung kemih menampung dan mengeluarkan urin.
9. Transrectal ultrasound. Perangkat yang disebut transducer
mengeluarkan gelombang suara yang aman dan tanpa rasa sakit untuk
menghasilkan gambar dari struktur organ. Ultrasound ini dapat
mendeteksi adanya kelainan pada prostat.

Anda mungkin juga menyukai