A. TINJAUAN TEORI
1. DEFINISI
BPH adalah suatu penyakit perbesaran atau hipertrofi dari prostat. Kata-kata
hipertrofi sering kali menimbulkan kontrofersi di kalangan klinik karena sering rancu
dengan hiperplasia. Hipertrofi bermakna bahwa dari segi kualitas terjadi pembesaran
sel, namun tidak diikuti oleh jumlah (kuantitas). Namun, hiperplasia merupakan
pembesaran ukuran sel (kualitas) dan diikuti oleh penambahan jumlah sel (kuantitas).
BPH seringkali menyebabkan gangguan dalam eliminasi urine karena pembesaran
prostat yang cenderung ke arah depan/menekan vesika urinaria (Baugman,2000 dalam
Eko Prabowo, 2014 )
Hiperplasia noduler ditemukan pada sekitar 20% laki-laki dengan usia 40
tahun,meningkat 70% pada usia 60 tahun dan menjadi 90% pada usia 70 tahun.
Pembesaran ini bukan merupakan kanker prostat, karena konsep BPH dan karsinoma
prostat berbeda. Secara anatomis, sebenarnya kelenjar prostat merupakan kelenjar
ejakulat yang membantu menyemprotkan sperma dari saluran (ductus ). Pada waktu
melakukan ejakulasi, secara fisiologis prostat membesar untuk mencegah urine dari
vesika urinaria melewati uretra. Namun, pembesaran prostat yang terus menerus akan
berdampak pada obstruksi saluran kencing (meatus urinarius internus) (Mitchell,2009
dalam Eko Prabowo, 2014).
Fungsi Prostat adalah menambah cairan alkalis pada cairan seminalis yang berguna
untuk menlindungi spermatozoa terhadap sifat asam yang terapat pada uretra dan
vagina. Di bawah kelenjar ini terdapat Kelenjar Bulbo Uretralis yang memilki panjang
2-5 cm. fungsi hampir sama dengan kelenjar prostat
Kelenjar ini menghasilkan sekresi yang penyalurannya dari testis secara kimiawi
dan fisiologis sesuai kebutuhan spermatozoa. Sewaktu perangsangan seksual, prostat
mengeluarkan cairan encer seperti susu yang mengandung berbagai enzim dan ion ke
dalam duktus ejakulatorius. Cairan ini menambah volume cairan vesikula seminalis
dan sperma. Cairan prostat bersifal basa (alkalis). Sewaktu mengendap di cairan vagina
wanita, bersama dengan ejakulat yang lain, cairan ini dibutuhkan karena motilitas
sperma akan berkurang dalam lingkungan dengan pH rendah (Elizabeth J. C, 2009)
3. ETIOLOGI
Penyebab pastinya belum diketahui secara pasti dari hiperplasia prostat, namun
faktor usia dan hormonal menjadi predisposisi terjadinya BPH. Beberapa hipotesis
menyebutkan bahwa hiperplasia prostat sangat erat kaitannya dengan (Eko
Prabowo,2014 ):
a. Peningkatan DHT ( dehidrotestosteron )
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen akan menyebabkan epitel dan
stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasia.
b. Ketidakseimbangan estrogen – tertosteron
Ketidakseimbangan ini terjadi karena proses degeneratif. Pada proses penuaan,
pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan hormon testosteron.
Hal ini yang memicu terjadinya stroma pada prostat.
4. MANIFESTASI KLINIS
Berikut ini adalah beberapa gambaran klinis pada klien BPH (Grace,2006 dalam Eko
Prabowo, 2014) :
a. Gejala prostatismus :
1) Nokturia adalah terbangun untuk miksi pada malam hari
2) Urgensi adalah perasaan ingin miksi yang sangat mendesak
3) Penurunan daya aliran urine adalah kondisi ini di karenakan oleh kemampuan
vesika urinaria yang gagal mengeluarkan urine secara spontan dan reguler,
sehingga volume urine masih sebagian besar tertinggal dalam vesika urinaria.
b. Retensi urine :
Pada awal obstruksi, biasanya pancaran urine lemah, terjadi :
1) Hestitancy terjadi karena detrusor membutuhkan waktu yang lama untuk
dapat melawan resistensi uretra.
2) Intermittency terjadi karena detrusor tidak dapat mngatasi resistensi uretra
sampai akhir miksi. Terminal dribbling dan rasa belum puas sehabis miksi
terjadi karena jumah residu urine yang banyak dalam buli-buli. Retensi
urine dialami oleh klien yang mengalami BPH kronis. Secara fisiologis,
vesika urinaria memiliki kemapuan untuk mengeluarkan urine melalui
kontraksi otot detrusor namun, obstruksi yang berkepanjangan akan
membebani kerja otot detrusor sehingga mengalami dekompensasi.
3) Pembesaran prostat ; hal ini diketahui melalui pemeriksaan rektal toucher
(RT) anterior.
4) Inkontensia yang terjadi menunjukan bahwa otot detrusor gagal dalam
melakukan kontraksi. Walaupun dengan berkembangnya penyakit ini,
urine keluar sedikit sedikit secara berkala karena setelah buli-buli mencapai
compliance maksimum tekanan dalam buli-buli akan cepat naik melebihi
tekanan sfingter.
5. PATOFISIOLOGI
Prostat sebagai kelenjar ejakulat memiliki hubungan fisiologis yang erat dengan
dihidrotestosteron (DHT). Hormon ini merupakan hormon yang memacu pertumbuan
prostat sebagai kelenjar ejakulat yang nantinya akan mengoptimalkan fungsinya.
Hormon ini disintesis dalam kelenjar prostat dari hormon testosteron dalam darah.
Proses sintesis ini dibantu oleh enzim 5-reduktase tipe 2. Selain DHT yang sebagai
prekursor, estrogen juga memiliki pengaruh terhadap pembesaran kelenjar prostat.
Seiring dengan pertmabahan usia, maka prostat akan lebih sensitif dengan stimulasi
androgen, sedangkan estrogen mampu memberikan proteksi terhadap BPH. Dengan
pembesaran yang sudah melebihi normal, maka akan terjadi desakan pada traktus
urinarius. Pada tahap awal, obstruksi traktus urinarius jarang menimbulkan keluhan,
karena dengan dorongan mengejan dan kontraksi yang kuat dari otot detruksor mampu
mengeluarkan urine secara spontan. Namun, obstruksi yang sudah kronis membuat
dekompensasi dari otot destruksor untuk berkontraksi yang akhirnya menimbulkan
obtruksi saluran kemih ( Mitchell,2009 ).
Keluhan yang biasanya munul dari obstruksi ini adalah dorongan mengejan saat
miksi yang kuat, pancaran urine lemah / menetes disuria ( saat kencing terasa terbakar)
, palpasi rektal toucher menggambarkan hipertrofi prostat, distensi vesika.hipertrofi
fibromuskuler yang terjadi pada klien BPH menimbulkan penekanan pada prostat dan
jaringan sekitar, sehingga menimbulkan iritasi pada mukosa uretra. Iritabilitas inilah
nantinya akan menyebabkan keluhan frekuensi, urgensi, inkontinensia,urgensi, dan
nokturia. Obstruksi yang berkelanjutan akan menimbulkan komplikasi yang lebih
besar, misalnya hidronefrosis, gagal ginjal, dan lain sebagainya oleh karena itu,
kateterisasi untuk tahap awal sangat efektif untuk mengurangi distensi vesika urinaria
( Mitchell,2009).
Pembesaran pada BPH ( hiperplasia prostat ) terjadi secara bertahap mulai dari
zona periuretral dan transisional. Hiperplasia ini terjadi secara nodular dan sering
diiringi oleh proliferasi fibromuskular untuk lepas dari jaringan epitel. Oleh karena itu,
hiperplasia zona transisional ditandai oleh banyaknya jaringan kelenjar yang tumbuh
pada pucuk dan cabang dari pada duktus . sebenarnya proliferasi transisional dan zona
sentral pada prostat berasal dari turunan duktus wolffii dan proriferasi zona perifer
berasal dari sinus urogenital. Sehingga ,berdasarkan latar belakang embriologis inilah
bisa diketahui mengapa BPH terjadi pada zona transisional dan sentral, sedangakan Ca
prostat terjadi pada zona perifer. (Eko Prabowo, 2014)
6. PATHWAY
Poliferasi sel
1
Retensi Kontraksi Peingkatan kontraksi otot Kontraksi otot suprapubik
urine total tidak adekuat detrusor dari buli-buli
Tekanan mekanis
azotemia Hipertrofi otot detrusor
Merangsang
nosiseptor
Mual Terbentuknya selula, sekula, dan
divertikel buli-buli
Nyeri
Akut
Gangguan Eliminasi Gangguan Pola Tidur
Urine
Prosedur pemindahan/
Risiko
transport Kurangnya privasi
Perdarahan
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang biasanya muncul pada klien dengan Benignan Prostat
Hiperplasia (BPH) adalah :
a. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan adanya sumbatan akibat pembesaran
atau obstruksi
b. Nyeri akut berhubungan dengan agens cidera biologis
c. Gangguan pola tidur berhubungan dengan proses pengobatan, imobilitas
d. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan kurang privasi, stimuli lingkungan tidak
mendukung
e. Mual berhubungan dengan gangguan biokimia, distensi, refluks
f. Disfungsi seksual berhubungan dengan Perubahan struktur tubuh (proses penyakit)
g. Ansietas ditandai dengan perubahan status kesehatan
h. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang pajanann informasi
i. Risiko perdarahan berhubungan dengan proses pembedahan
j. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif
k. Risiko cidera berhubungan dengan hambatan fisik
3. Intervensi Keperawatan
Situasional
a. Ansietas
b. Gangguan psikologis
c. Rasa makanan/minuman yang
tidak enak
d. Stimuli lingkungan yang tidak
nyaman
e. Stimuli penglihatan yang tidak
menyenangkan
f. Takut
4. Implementasi
Pelaksanaan (implementasi) adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan juga meliputi pengumpulan data
berkelanjutan, mengobservasi respon klien selama dan sesudah pelaksanaan tindakan, dan
menilai data yang baru. (Nikmatur Rohmah, 2009)
5. Evaluasi
Menurut Nursalam (2011) evaluasi keperawatan terdiri dari dua jenis yaitu:
a. Evaluasi formatif
Evaluasi ini disebut juga evaluasi berjalan dimana evaluasi dilakukan sampai dengan
tujuan tercapai.
b. Evaluasi somatif
Merupakan evaluasi akhir dimana dalam metode evaluasi ini menggunakan SOAP.
DAFTAR PUSTAKA
Mitchell. (2009). Benigna prostatic Hiperplasia atau Pembesaran Prostat jinak atau BPH.
Yogyakarta : Bursa Ilmu
Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba
Medika
Prabowo, E. (2014). Konsep dan Aplikasi Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta :
Gosyen Publishing