Anda di halaman 1dari 21

2.

1 Definisi

Benina Prostat Hiperplasia (BHP) adalah suatu penyakit perbesaran atau atau hipertrofii
dan prostat. Kata-kata hipertrofi seringkali menimbulkan kontrovensi dari kalangan klinik
karena sering rancu dengan hiperplasia. Hipertrofi bermakna bahwa dari segi kualitas terjadi
pembesaran sel, namun tidak diketahui oleh jumlah (kuantitas). Namun, hiperplasia merupakan
pembesaran ukuran sel (kualitas) dan diikuti oleh penambahan jumlah sel (kuantitas). BPH
seringkali menyebabkan ganguan dalam eliminasi urin karena pembesaran prostat yang
cenderung kearah depan atau menekan fesika urinaria (Baugman, 2000).

Hiperplasia noduler ditemukan pada sekitar 20% laki-laki dengan usia 40 tahun, meningkat
70% pada usia 60 tahun dan menjadi 90% pada usia 70 tahun. Pembesaran ini bukan merupakan
kangker prostat, karena konsep BPH dan karsinoma prostat berbeda. Secara anatomis,
sebenarnya kelenjar prostat merupakan kelenjar ejakulat yang membantu menyemprotkan
sperma dalam saluran (ductus). Pada waktu melakukan ejakulasi, secara fisiologis prostat
membesar untuk mencegah urin dari vesikaurinaria melewati uretra. Namun, pembesaran
prostat yang terus menerus akan berdampak pada obstruksi saluran kencing (meatus urinarius
internus) (Mitchell, 2009).

2.2 Etiologi

Penyebab pastinya belum diketahui secara pasti dari hiperplasia prostat, namun faktor usia
dan hormonal menjadi predisposisi terjadinya BPH. beberapa hipotensis menyebutkan bahwa
hiperplasia prostas sangat erat kaitanya dengan (Purnomo, 2007).

1. Peningkatan DHT (dehidrotestosteron)

Peningkatan 5 alva reduktase dan reseptor androgen akan menyebabkan epitel dan
stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasia.

2. Ketidakseimbangan ekstrogen –testoteron

Ketidakseimbangan ini terjadi karena proses degeneratif. pada proses penuaan, pada
pria terjadi peningkatan hormon ekstrogen dan penurunan hormon testosteron. Hal ini
yang memicu terjadinya hiperplasia stroma pada prostat.
3. Intraksi antar sel stroma dan sel epitel prostat

Peningkatan kadar epidermal growth factor atau fibroblast growth faktor dan
penurunan transforming growth faktor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan
epitel, sehingga akan terjadi BPH.

4. Berkurangnya kematian sel (apoptosis)

Estrogen yang meningkat akan menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan
epitel dari kelenjar prostat.

5. Teori stem sel

Sel stem yang meninkat akan mengakibatkan proliferasi sel transit dan memicu terjadi
benigna prostat hyperplasia.

2.3 Pato Fisiologi

Prostat sebagai kelenjar ejakulat memiliki hubungan fisiologis yang sangat erat dengan
dihidrotestosteron (DHT). Hormon ini merupakan hormon yang memacu pertumbuhan prostat
sebagai kelenjar ejakulat yang nantinya akan mengoptimalkan fungsinya. Hormon ini disintesis
dalam kelenjar prosrat dari hormon testosteron dalam darah. Proses sintesis ini dibantu oleh
enzim 5-reduktase tipe 2. Selain DHT yang sebagai prekursor , estrogen juga memiliki pengaruh
terhadap pembesaran kelenjar prostat. Seiring dengan penambahan usia, maka prostat akan lebih
sensitif dengan stimulasi androgen. Sedangkan ekstrogen mampu memberikan proteksi terhadap
BPH. Dengan pembesaran yang sudah melebihi normal, maka akan terjadi desakan pada trakturst
urinarius. Pada tahap awal obstruksi traktus urinarius jarang menimbulkan keluhan, karena
dengan dorongan mengejan dan kontraksi yang kuat dari M. Detrusor mampu mengeluarkan
urine secara spontan namun, obstruksi yang sudah kronis membuat dekompensasi dari M.
Detrusor untuk berkontraksi yang akhirnya menimbulkan obstruksi saluran kemih (mitchell,
2009).

Keluhan yang biasanya muncul dari obstruksi ini adalah dorongan yang mengejan saat miksi
yang kuat, pancaran urin lemah atau menetes, disurya (saat kencing terasa terbakar), palpasi
rektal toucher menggambarkan hipertropi prostat, distensi pesika. N hipertropi hibromos skuler
yang terjadi pada klien BPH menimbulkan penekanan pada prostat dan jaringan sekitar sehingga
menimbulkan iritasi pada mulkos uretra iritabilitas inilah nantinnyan akan menyebapkan keluhan
frekuensi, urgensi, inkontinensia, urgrnsi, dan nocturia. Onstruksi yang berkelanjutan akan
menimbulkan komplikasi yang lebih besar, misalnnya hidronefosis, gagal ginjal, dan lain
sebagainnya. Oleh karna itu, kateterisasi untuk tahap awal sangan efektif untuk mengurangai
distensi vesika urinaria ( Mitchell 2009; Heffner,2000).

Pembesaran pada BPH ( hyperplasia prostat ) terjadi pada tahap mulai dari zona periuretral
dan transisional. Hyperplasia ini terjadi secara modular dan sering diiringi oleh proliferasi
fibromoskular untuk lepas dari jaringan epitel. Oleh karna itu, hyperplasia zona transisional
ditandai oleh banyaknya jaringan kelenjar yang tumbuh pada puncak dan cabang daripada ductus.
Sebenarnnya proliperasi zona transisional dan zona sentral pada prostat berasal dari turunan
ductus woliffii dan proliferasi zona perifer berasal dari sinus urogenital. Sehingga, berdasarkan
latar belakang embriologis onilah bisa diketahui mengapa BPH terjadi pada zona transisonal dan
sentral, sedangkan Ca prostat terjadi pada zoan perifer( Hefiner, 2002).
2.4 Patway

Perubahan usia ( Usia lanjut )

Ketidak seimbangan produksi ekstrogen dan progesterone

Kadar testoteron menurun Kadar ekstrogen meningkat

Diit kompleks prostat Hiperplasia sel stroma pada jaraingan

Mempengaruhi RNA dalam

BHP

TUR/INSISI

Luka insis

Sistem irigasi Resiko dispungsi sex

Resiko infeks

Penggunaan alat invasive

Peregangan

Spasme otot VU

Nyeri Inkontensi aktivitas

Ganguan rasa nyaman nteri

2.5 Manifikasi klinis


BPH merupkan yang diderita oleh klien laki-laki dengan usia rata-rata lebih dari 50 tahun.
Gambaran klinis dari BPH sebenarnya sekunder dari dampak obstruksi saluran kencing
sehingga klien kesulitan untuk miksi. Berikut ini adalah beberapa gambaran klinis pada klien
BPH (Schwartz, 2000, grace 2006) :

1. Gejala prostatismus (nokturia, urgensy, penurunan daya aliran urine)

Dikarenakan oleh kemampuan vesika urinaria yang gagal mengelurkan urine secara
spontan dan reguler, sehingga folume urine masih sebagai besarr tertinggal dalam vesika.

1. Retensi urine

Pada awal obstruksi, biasanya pencernaan urin lemah, terjadi hesistansi, intermitensi,
urin menetes, dorongan yang mengejan yang kuat saat miksi dan retensi urin. Retensi
urin sering dialami oleh klien yang mengalami BPH kronis. Secara fisiologis,
vesikaurinaria memiliki kemampuan untuk mengeluarkan urin melalui kontrksi otot
detrusor. Namun, obstruksi yang berkepanjangan akan membuat beban kerja M.
danetrusor semakin berat dan pada akhirnya mengalami dekompensasi.

2. Pembesaran prostat

Hasil ini diketahui melalui pemeriksaan rektal toucher (RT) anterior. Biasanya
didapatkan gambaran pembesaran prostat dengan konstitensi jinak.

3. Inkontenensia

Inkontenensia yang terjadi menunjukan bahwa M. Detrosor gagal dalam melakukan


kontraksi. Dekompensasi yang berlangsung lama akan mengiritabilitas tersebut syaraf
urinarius, sehingga kontrol untuk miksi hilang.

2.6 Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium

1. analisis urine pemeriksaan mikroskopsi urine untuk melihat adanya likosit, bakteri dan
infeksi

2. elektrolit, kadar ureum,kreatinin darah untuk fungsi ginjal dan status metabolic
3. pemeriksaan PSA (prostat spesipk antigen) dilakukan sebagai dasar penentuan paknya
biopsy atau sebagai deteksi dari keganasan.

4. Darah lengkap

5. leokosit

6. Blooding time

7. liver fungsi.

b. pemeriksaan radiologi

1). Poto polos abdomen

2). Prelograf intervena

3). USG

4). Sistokopi

2.7 Penatalaksanaan

Penyakit BPH merupakan penyakit bedah.sehingga terpi bersifat simpomatis yntuk


mengurangi tanda gejala yang di akibatkan oleh obstruksi pada saluran kemih. Terapi
simtomatis di tunjukan untuk merelaksasi otot polos prostat atau demgan menurunkan kladar
hormonal yang mempengaruhi pembesaran prostat, sehingga obstuksi akan berkurang.jika
keluhan masih bhersifat ringan,maka observasi diperlukan dengan pengobatan simtomatis
untuk mengevaluasi perkembangan klien. Namun,jika telah terjadi obstruksi/retensi urine,
infeksi vesikolithiasis,insufisiensi ginjal,maka harus dilakukan pembedahan.

1. Terapi simtomatis

Pemberian obat golongan rseptor alfa-adrenergik inhibitor mampu merelaksasikan otot


polos prostat dan saluran kemih akan lebih terbuka. Obat golongan 5-alfa reduktase
inhibitor mampu menurunkan kadar dehidrotestosteron intraprostat,sehingga dengan
turunya kadar testosterone dalam plasma maka prostat akan mengecil (Schwartz,2000)

2. TUR – P (Transuretral Resection Prostatectomy)


Tindakan ini merupakan tindakn pembedahan non insisi, yaitu pemotongan secara elektris
prostat melalui meatus uretralis. Jaringan prostat yang membesar dan menghalangi jalan
nya urine akan dibuang melalui elektrokauterdan dikeluarkan melalui irigasi dilator.
Tindakan ini memiliki banyak keuntungan , yaitu meminimalisir tindakan pembedahan
terbuka, sehingga masa penyembuhan lebih cepat dan tingkt resiko infeksi bisa ditekan .

3. Pembedahan Terbuka (prostatectomy)

Tindakan ini dilakukan jiak prostat terlalu besar diikuti oleh penyakit penyerta lain.
Mesalnya tomor vesika , vesikolithiasis, dan adanya adenoma yang besar (Schwartz,
2000).

2.8 Komplikasi

1. Retensi urine akut dan involusi kontraksi kandung kemih

2. Refluks kandung kemih, hydroureter, dan hidronefosis

3. Gross hematuria dan urineary tract infection ( UTI )


BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1. pengkajian

1. Anamnesa
Prostat hanya dialami oleh klien laki-laki. Keluha yang serimg dialami oleh klien
dikenal dengan istilah LUTS (lower Urinary Tract Symptoms) antara lain hasistansi,
pancara urine lemah, intermettensi, ada sisa urine pasca miski, urgensi, frekuensidan
disurai (jika obstruksi meningkat).
2. Pemeriksaan fisik
Adanya peningkatan nadi dan tekanan darah (tidak signifikan, kecuali ada penyakit
penyerta). Hal ini merupakan bentuk kempensasi dari nyeri yang timbul akibat obstruksi
meatus uretralisdan adanya distensi bladder . jika retensi urine berlangsung lama sering
ditemukan adanya tanda gejala urosepsis ( peningkatan suhu tubuh )sampai pada syok
septic.

Obstruksi kronis pada bladder. Hal ini memicu terjadinya refluks urine dan terjadi
hidronefrosis dan pyelonefrosis, sehingga pada palpasi bimanual ditemukan adanya
rabaan pada ginjal. Pada palpasi supra simfisis akan teraba distensi baldder
(ballotemen). Pada pemeriksaan penis , uretra dan skrotum tidak ditemukan adanya
kelainan ,kecualinya ada penyakit penyerta seperti stenosis meatus ,striktur uretralis
,urethralithiasis, ca ,penis , maupun epididimetis.

Pemeriksaan RC (Rectal Toucher)adalah pemeriksaan sederhana yang sangat mudah


untuk menegakkan BPH. Tujuannya adalah untuk menentukan konsistensi system
persarafan init vesiko uretra dan besarnya prostat

3.1 Diagnosa keperawatan


Diagnosa keperawatan disusun menurut prioritas masalah pada pasien post

operasi hipertropi prostat, adalah sebagai berikut :

1) Perubahan eliminasi urine berhubungan obstruksi mekanikal : bekuan darah,

oedema, trauma, prosedur bedah, tekanan dan iritasi catheter/balon.

2) Resiko terjadi kekurangan volume cairan berhubungan dengan area bedah vaskuler

: kesulitan mengontrol perdarahan.

3) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive : alat selama pembedahan,

catheter, irigasi kandung kemih sering, trauma jaringan, insisi bedah.

4) Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa kandung kemih

: refleks spasme otot sehubungan dengan prosedur bedah dan / tekanan dari balon

kandung kemih.

5) Resiko terjadi disfungsi seksual berhubungan dengan situasi krisis (inkontinensia,

kebocoran urine setelah pengangkatan catheter, keterlibatan area genital).

6) Anxietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan, salah interpretasi

informasi, tidak mengenal sumber informasi.

3.3 Intervensi Keperawatan

1. Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi mekanikal : bekuan darah,

oedema, trauma, prosedur bedah, tekanan dan irigasi catheter/balon, ditandai dengan :

- Nyeri pada daerah tindakan operasi.

- Perubahan frekuensi berkemih.

- Urgensi.

- Dysuria.

- Pemasangan catheter tetap.


- Adanya luka tindakan operasi pada daerah prostat.

- Urine berwarna kemerahan.

Tujuan : Klien mengatakan tidak ada keluhan, dengan kriteria :

- Catheter tetap paten pada tempatntya.

- Tidak ada sumbatan aliran darah melalui catheter.

- Berkemih tanpa aliran berlebihan.

- Tidak terjadi retensi pada saat irigasi.

Intervensi :

1) Kaji haluaran urine dan sistem catheter/drainase, khususnya selama irigasi kandung

kemih.

Rasional :

Retensi dapat terjadi karena edema area bedah, bekuan darah dan spasme kandung

kemih.

2) Perhatikan waktu, jumlah berkemih dan ukuran aliran setelah catheter dilepas.

Rasional :

Catheter biasanya dilepas 2 – 5 hari setelah bedah, tetapi berkemih dapat berlanjut

menjadi masalah untuk beberapa waktu karena edema urethral dan kehilangan

tonus.

3) Dorong klien untuk berkemih bila terasa dorongan tetapi tidak lebih dari 2 – 4 jam.

Rasional :

Berkemih dengan dorongan dapat mencegah retensi, urine. Keterbatasan berkemih

untuk tiap 4 jam (bila ditoleransi) meningkatkan tonus kandung kemih dan

membantu latihan ulang kandung kemih.


4) Ukur volume residu bila ada catheter supra pubic.

Rasional :

Mengawasi keefektifan kandung kemih untuk kosong. Residu lebih dari 50 ml

menunjukkan perlunya kontinuitas catheter sampai tonus otot kandung kemih

membaik.

5) Dorong pemasukan cairan 3000 ml sesuai toleransi.

Rasional :

Mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk aliran urine.

6) Kolaborasi medis untuk irigasi kandung kemih sesuai indikasi pada periode pasca

operasi dini.

Rasional :

Mencuci kandung kemih dari bekuan darah dan untuk mempertahankan patensi

catheter/aliran urine.

2. Resiko terjadi kekurangan volume cairan berhubungan dengan area bedah vaskuler :

kesulitan mengontrol perdarahan, ditandai dengan :

- Pusing.

- Flatus negatif.

- Bibir kering.

- Puasa.

- Bising usus negatif.

- Urine berwarna kemerahan.

Tujuan : Tidak terjadi kekurangan volume cairan, dengan kriteria :

- Tanda-tanda vital normal.


- Nadi perifer teraba.

- Pengisian kapiler baik.

- Membran mukosa baik.

- Haluaran urine tepat.

Intervensi :

1) Benamkan catheter, hindari manipulasi berlenihan.

Rasional :

Penarikan/gerakan catheter dapat menyebabkan perdarahan atau pembentukan

bekuan darah.

2) Awasi pemasukan dan pengeluaran cairan.

Rasional :

Indicator keseimbangan cairan dan kebutuhan penggantian. Pada irigasi kandung

kemih, awasi perkiraan kehilangan darah dan secara akurat mengkaji haluaran

urine.

3) Evaluasi warna, komsistensi urine.

Rasional :

Untuk mengindikasikan adanya perdarahan.

4) Awasi tanda-tanda vital

Rasional :

Dehidrasi/hipovolemia memerlukan intervensi cepat untuk mencegah berlanjut ke

syok. Hipertensi, bradikardi, mual/muntah menunjukkan sindrom TURP,

memerlukan intervensi medik segera.


5) Kolaborasi untuk pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi (Hb/Ht, jumlah sel

darah merah)

Rasional :

Berguna dalam evaluasi kehilangan darah/kebutuhan penggantian.

3. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan, catheter, irigasi kandung

kemih sering, trauma jaringan, insisi bedah, ditandai dengan :

- Nyeri daerah tindakan operasi.

- Dysuria.

- Luka tindakan operasi pada daerah prostat.

- Pemasangan catheter tetap.

Tujuan : Menunjukkan tidak tampak tanda-tanda infeksi, dengan kriteria :

- Tidak tampak tanda-tanda infeksi.

- Inkontinensia tidak terjadi.

- Luka tindakan bedah cepat kering.

Intervensi :

1) Berikan perawatan catheter tetap secara steril.

Rasional :

Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi/cross infeksi.

2) Ambulasi kantung drainase dependen.

Rasional :

Menghindari refleks balik urine, yang dapat memasukkan bakteri ke kandung

kemih.

3) Awasi tanda-tanda vital.


Rasional :

Klien yang mengalami TUR beresiko untuk syok bedah/septic sehubungan dengan

instrumentasi.

4) Ganti balutan dengan sering, pembersihan dan pengeringan kulit sepanjang waktu.

Rasional :

Balutan basah dapat menyebabkan iritasi, dan memberikan media untuk

pertumbuhan bakteri, peningkatan resiko infeksi.

5) Kolaborasi medis untuk pemberian golongan obat antibiotika.

Rasional :

Dapat membunuh kuman patogen penyebab infeksi.

4. Gangguan rasa nyaman ; nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa kandung kemih :

refleks spasme otot berhubungan dengan prosedur bedah dan/tekanan dari balon

kandung kemih, ditandai dengan :

- Nyeri pada daerah tindakan operasi.

- Luka tindakan operasi.

- Ekspresi wajah meringis.

- Retensi urine, sehingga kandung kemih penuh.

Intervensi :

1) Kaji tingkat nyeri.

Rasional :

Mengetahui tingkat nyeri yang dirasakan klien dan memudahkan kita dalam

memberikan tindakan.

2) Pertahankan posisi catheter dan sistem drainase.


Rasional :

Mempertahankan fungsi catheter dan sistem drainase, menurunkan resiko

distensi/spasme kandung kemih.

3) Ajarkan tekhnik relaksasi.

Rasional :

Merileksasikan otot-otot sehingga suplay darah ke jaringan terpenuhi/adekuat,

sehingga nyeri berkurang.

4) Berikan rendam duduk bila diindikasikan.

Rasional :

Meningkatkan perfusi jaringan dan perbaikan edema dan meningkatkan

penyembuhan.

5) Kolaborasi medis untuk pemberian anti spasmodic dan analgetika.

Rasional :

- Golongan obat anti spasmodic dapat merilekskan otot polos, untuk

memberikan/menurunkan spasme dan nyeri.

- Golongan obat analgetik dapat menghambat reseptor nyeri sehingga tidak

diteruskan ke otak dan nyeri tidak dirasakan.

5. Resiko terjadi disfungsi seksual berhubungan dengan situasi krisis (inkontinensia,

kebocoran urine setelah pengangkatan catheter, keterlibatan area genital) ditandai

dengan :

- Tindakan pembedahan kelenjar prostat.

Tujuan : Fungsi seksual dapat dipertahankan, kriteria :


- Pasien dapat mendiskusikan perasaannya tentang seksualitas dengan orang

terdekat.

Intervensi :

1) Berikan informasi tentang harapan kembalinya fungsi seksual.

Rasional :

Impotensi fisiologis : terjadi bila saraf perineal dipotong selama prosedur bedah

radikal ; pada pendekatan lain, aktifitas seksual dapat dilakukan seperti biasa dalam

6 – 8 minggu.

2) Diskusikan dasar anatomi.

Rasional :

Saraf pleksus mengontrol aliran secara posterior ke prostat melalui kapsul. Pada

prosedur yang tidak melibatkan kapsul prostat, impoten dan sterilitas biasanya tidak

terjadi.

3) Instruksikan latihan perineal.

Rasional :

Meningkatkan peningkatan kontrol otot kontinensia urine dan fungsi seksual.

4) Kolaborasi ke penasehat seksualitas/seksologi sesuai indikasi.

Rasional :

Untuk memerlukan intervensi professional selanjutnya.

6. Anxietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan, salah interpretasi informasi, tidak

mengenal sumber informasi, ditandai dengan :

- Gelisah.

- Informasi kurang
Tujuan : Klien mengungkapkan anxietas teratasi, dengan kriteria :

- Klien tidak gelisah.

- Tampak rileks

Intervensi :

1) Kaji tingkat anxietas.

Rasional :

Mengetahui tingkat anxietas yang dialami klien, sehingga memudahkan dalam

memberikan tindakan selanjutnya.

2) Observasi tanda-tanda vital.

Rasional :

Indikator dalam mengetahui peningkatan anxietas yang dialami klien.

3) Berikan informasi yang jelas tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan.

Rasional :

Mengerti/memahami proses penyakit dan tindakan yang diberikan.

4) Berikan support melalui pendekatan spiritual.

Rasional :

Agar klien mempunyai semangat dan tidak putus asa dalam menjalankan

pengobatan untuk penyembuhan

3.4 Impelmentasi Asuhan Keperawatan.


Pada langkah ini, perawat memberikan asuhan keperawatan, yang

pelaksanaannya berdasarkan rencana keperawatan yang telah disesuaikan pada langkah

sebelumnya (perencanaan tindakan keperawatan).

3.5 Evaluasi Keperawatan.

Asuhan keperawatan dalam bentuk perubahan prilaku pasien merupakan focus

dari evaluasi tujuan, maka hasil evaluasi keperawatan dengan post operasi hipertropi

prostat adalah sebagai berikut :

a. Pola eliminasi urine dapat normal.

Kriteria hasil :

- Menunjukkan prilaku untuk mengendalikan refleks kandung kemih.

- Pengosongan kandung kemih tanpa adanya penekanan/distensi kandung

kemih/retensi urine.

b. Terpenuhinya kebutuhan cairan.

Kriteria hasil :

- Tanda-tanda vital normal

- Nadi perifer baik/teraba.

- Pengisian kapiler baik.

- Membran mukosa lembab.

- Haluaran urine tepat.

c. Mencegah terjadinya infeksi.

Kriteria hasil :

- Tercapainya penyembuhan dan tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi.

d. Melaporkan nyeri hilang/terkontrol.


Kriteria hasil :

- Menunjukkan keterampilan penggunaan relaksasi dan aktifitas terapeutik

sesuai indikasi dan situasi individu.

- Tampak rileks.

e. Fungsi seksual dapat dipertahankan.

Kriteria hasil :

- Menyatakan pemahaman situasi individual

- Menunjukkan keterampilan pemecahan masalah.

f. Klien mengerti/memahami tentang penyakitnya.

Kriteria hasil :

- Berpartisipasi dalam program pengobatan.

- Melakukan perubahan prilaku yang perlu.

- Melakukan dengan benar prosedur yang perlu dan menjelaskan alasan tindakan.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

BPH adalah pembesaran atau hypertropi prostat. Kelenjar prostat membesar,


memanjang kea rah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran keluar urine,
dapat menyebabkan hydronefrosis dan hydroureter. Istilah Benigna Prostat Hypertropi
sebenarnya tidak lah tepat karena kelenjar prostat tidaklah membesar atau hypertropi
prostst, tetapi kelenjar-kelenjar periuretralah yang mengalami hyperplasia (sel-selnya
bertambah banyak). Kelenjar-kelenjar prostat sendiri akan terdesak menjadi gepeng dan
disebut kapsul surgical. Maka dalam literature di benigna hyperplasia of prostat gland atau
adenoma prostat, tetapi hipertropi prostat sudah umum dipakai.

BPH adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan. Hyperplasia prostatic adalah
pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk yang prostat, pertumbuhan tersebut
dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan
menekan kelenjar normal yang tersisa.
4.2 Saran
Dengan disusunnya makalah ini diharapkan kepada semua pembaca agar dapat
menelaah dan memahami apa yang telah tertulis dalam makalah ini sehingga sedikit banyak
bisa menambah pengetahuan pembaca. Disamping itu kami juga mengharapkan saran dan
kritik dari para pembaca sehingga kami bisa berorientasi lebih baik pada makalah kami
selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai