OLEH:
NI PUTU INDAH PRASTIKA DEWI
P07120320046
PROFESI NERS / KELAS B
BPH merupakan pertumbuhan berlebihan dari prostat yang bersifat jinak dan
bukan kanker, dimana yang umumnya diderita oleh kebanyakan pria pada waktu
meningkatnya usia sehingga dinamakan penyakit orang tua. Perbesaran dari kelenjar
ini lambat laun akan mengakibatkan penekanan pada saluran urin sehingga
menyulitkan berkemih (Rahardja, 2010).
RISIKO
HIPOTERMIA
PERIOPERATIF
4. Patofisiologi
Benign Prostat Hyperplasia terjadi akibat Perubahan keseimbangan antara
hormon testosteron dan estrogen sehingga menyebabkan Testosterone bebas dtiambah
enzim 5 alfa reduktase sehingga menyebabkan Dehidro Testosteron terhidrolisis
kemudian diikat oleh reseptor di dalam sitoplasma sel prostat hingga memengaruhi inti
sel (RNA). di dalam RNA ini terjadi sintesis protein sehingga terjadi proses Proliferasi
sel. Di samping itu akibat proses penuaan sehingga terjadi ketidakseimbangan hormon,
peningkatan sel stem, interaksi sel epitel dan stroma, serta inflamasi juga dapat
menyebabkan Hyperplasia pada epitel dan stroma pada kelenjar prostat sehingga terjadi
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH). Akibat terjadinya BPH menyebabkan penyempitan
lumen urethra pars prostatika sehingga menghambat aliran urin, terjadilah bendungan
Vesica Urinaria dan meningkatkan tekanan intravesika, akibatnya terjadi Hiperiritable
pada blader dan terjadi peningkatan kontraksi otot detrusor dari buli-buli dan
menyebabkan Hipertropi otot detrusos, trabekulasi dan terbentuk selula, sekula dan
divertikel buli-buli hingga menjadi Lower Urinary Tract Syndrome (LUTS) yang
memiliki gejala obstuktif dan gejala iritatif. Gejala obstuktif meliputi: Intermiten,
Hesitansi, Terminal Dribbling, Pancaran lemah, BAK tidak puas. Sedangkan Gejala
iritatif meliputi: Urgensi, Frekuensi BAK sering (nokturia, diunal uria), Dysuria.
Akibat terjadinya bendungan pada Vesica Urinaria mengakibatkan status pada urin
yang mana menjadi media berkembangnya patogen yang meningkatkan risiko infeksi,
sedangkan peningkatan kontraksi otot detrusor dari buli-buli menyebabkan kontraksi
tidak adekuat dan kontraksi pada otor suprapubik.
Kontraksi otot pada Suprapubik menyebabkan tekanan mekanis dan merangsang
Nosiseptor dan dihantarkan serabu tipe A dan serabut tipe C pada Medulla Spinalis.
Pada Traktus Neospinotalamus, terjadi sistem aktivasi Retikular menjadi Talamus.
pada Traktus Paleospinotalamus terjadi pada Area Grisea Periakueduktus dan menjadi
Talamus. Dari sistem Aktivasi retikular ini terjadi di Hipotalamus dan Sistem limbik
pada otak khususnya terjadi di Korteks Somatosensorik yang membawa persepsi nyeri.
Sedangkan akibat peningkatan kontraksi otot detrusor dari buli-buli yang mana
kontraksi yang terjadi tidak adekuat akan menyebabkan retensi urin total sehingga
terjadi Refluks urin yang menyebabkan Hidroureter, dari Hidroureter kemudian akan
menjadi Hidronefrosis sehingga dapat terjadi Penurunan Fungsi Ginjal
5. Klasifikasi
Secara klinik derajat berat, dibagi menjadi 4 gradiasi, yaitu (Sjamsuhidayat & De
Jong, 2005) :
a. Derajat 1
Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada DRE (digital rectal
examination) atau colok dubur ditemukan penonjolan prostat dan sisa urine
kurang dari 50 ml.
b. Derajat 2
Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat lebih menonjol, batas
atas masih teraba dan sisa urine lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml.
c. Derajat 3
Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urin lebih
dari 100 ml.
d. Derajat 4
Apabila sudah terjadi retensi urine total.
6. Manifestasi Klinis
BPH adalah penyakit yang diderita oleh laki-laki usia rata-rata 50 tahun. BPH
merupakan gambaran klinis dari dampakn obstruksi saluran kencing, sehingga pasien
sulit untuk miksi (buang air kecil). Berikut beberapa gambaran klinis pada klien BPH
(Eko Prabowo & Andi Eka Pranata, 2014) :
a. Gejala prostismus (nokturia, urgency, penurunan aliran urine)
Kondisi ini disebabkan oleh kemampuan vesika urinaria yang gagal mengeluarkan
urine secara spontan dan regular, sehingga volume urine sebagian besar masih
tertinggal di dalam vesika.
b. Retensi urine
Pada awal obstruksi, biasanya pancaran urine lemah, akan terjadi hesistansi,
intermitensi, urine menetes, dorongan mengejan yang kuat saat miksi, dan retensi
urine. Retensi urine sering dialami oleh penderita BPH krronik. Secara fisiologis
vesika urinaria memiliki kemampuan untuk mengeluarkan urine melalui kontraksi
otot destrusor. Namun obstruksi yang berkepanjangan akan membuat beban kerja
m. destrusor semakin berat dan pada akhirnya akan mengalami dekompensasi.
c. Pembesaran prostat
Hal ini diketahui melalui rectal toucher (RT) anterior. Biasanya didapatkan
gambaran pembesaran prostat dengan konsistensi jinak.
d. Inkontinensia
Inkotinensia yang terjadi menunjukkan bahwa m. destrusor gagal melakukan
kontraksi. Dekompensasi yng berlangsung yang berlangsung lama akan
mengiritabilitas serabut syaraf urinarius, sehingga control untuk melakukan miksi
hilang.
7. Pemeriksaan Fisik
a. Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi dapat
meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi sampai syok
pada retensi urin serta urosepsis sampai syok – septik.
b. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk mengetahui
adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra simfiser pada
keadaan retensi akan menonjol. Saat palpasi terasa adanya ballotemen dan klien
akan terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya
residual urin.
c. Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus, striktur uretra,
batu uretra, karsinoma maupun fimosis.
d. Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis
e. Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan konsistensi
sistem persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat. Dengan rectal toucher
dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :
a) Derajat I = beratnya 20 gram.
b) Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.
c) Derajat III = beratnya 40 gram.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Retensi Urine berhubungan dengan peningkatan tekanan urethra, blok spingter
ditandai dengan distensi kandung kemih, dysuria, inkontinensia berlebih, residu
urin 150 ml
b. Inkontinensia Urin Berlebih berhubungan dengan kerusakan atau ketidak
adekuatan jalur aferen ditandai dengan distensi kandung kemih, nokturia
c. Gangguan Eliminasi Urin berhubungan dengan iritasi kandung kemih ditandai
dengan distensi kandung kemih
d. Kesiapan Peningkatan Eliminasi Urin berhubungan dengan pemenuhan
kebutuhan eliminasi yang ditingkatkan ditandai dengan jumlah urin yang
normal dan karakteristik urin normal
e. Nyeri Akut berhubungan dengan agen cedera Fisik ditandai dengan pasien
mengeluh nyeri, tampak meringis, bersikap protektif, tampak gelisah, frekuensi
nadi meningkat, tekanan darah meningkat, pola napas berubah.
f. Risiko Infeksi dibuktikan dengan efek prosedur infasive
g. Disfungsi Seksual berhubungan dengan perubahan fungsi atau struktur tubuh
ditandai dengan mengungkapkan aktivitas seksual berubah
h. Ansietas berhubungan dengan kekhawatiran mengalami kegagalan ditandai
dengan tampak gelisah, merasa khawatir dengan akibat dari kondisi yang
dihadapi.
i. Risiko Hipotermia Perioperatif dibuktikan dengan tindakan pembedahan Trans
Uretral Reseksi Prostat (TURP)
j. Perlambatan Pemulihan Pasca Bedah berhubungan dengan efek agen
farmakologis ditandai dengan waktu penyembuhan yang memanjang
3. Rencana Asuhan Keperawatan
Standar Diagnosa
Standar Luaran Keperawatan Indonesia Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
No Keperawatan Indonesia
(SLKI) (SIKI)
(SDKI)
1 Retensi Urin Setelah dilakukan intervensi selama ..x.. menit, Intervensi utama: Kateterisasi Urine
Definisi : diharapkan Retensi Urin berkurng dengan
Intervensi Pendukung:
Pengosongan kandung kemih kriteria hasil:
yang tidak lengkap Irigasi Kateter urin
1. Eliminasi Urin
Penyebab : Perawatan Retensi Urin
□ Desakan berkemih (5)
Peningkatan tekanan uretra Label: Kateterisasi Urine
□ Sensasi berkemis (5)
Kerusakan arkus reflex Observasi:
□ Distensi kandung kemih (5)
Blok spingter □ Periksa Kondisi pasien (mis. Kesadaran, tanda
□ Berkemih tidak tuntas (5) – tanda vital, daerah perineal, distensi
Disfungsi neurologis (mis.
kandung, inkontinensia urine, refelk berkemih)
Trauma, penyakit saraf) □ Volume residu urine (5)
Terapeutik :
□ Urine menetes (5)
Efek agen farmakologis
□ Siapkan peralatan, bahan – bahan dan ruang
(mis. Atropine, belladonna, □ Nocturia (5) tindakan
psikotropik, opiate,
□ Mengompol (5) □ Siapkan pasien, bebaskan pakaian bawah dan
antihistamin).
poisikan dorsal recumbent (wanita) dan supine
Gejala dan Tanda Mayor □ Enuresis (5) (laki – laki)
□ Psang sarung tangan
Subjektif :
□ Bersihkan daerah perineal atau preposium
Sensasi penuh pada dengan NaCl atau aquades
kandung kemih □ Lakukan insersi kateter urine dengan prinsip
aseptic
Objektif :
□ Sambungkan kateter urine dengan urine bag
Disuria / anuria diatas simpisis atau di paha
□ Pastikan kantung urine ditempatkan lebih
Distensi kandung kemih
rendah dar
Gejala tdan Tanda Minor □ Isi balon dengan NaCl 0,9% sesuai anjuran
pabrik
Subjektf :
□ Fiksasi selang kateter diatas simpisis atau di
Dribbling (urin menetes) paha
□ Pastikan kantung urine ditempatkan lebih
Objektif :
rendah dari kandung kemih
Inkontinensia berlebihan □ Berikan labe aktu pemasangan,
Edukasi :
Residu urin 150 ml atau
lebih □ Jelaskan tujuan dan prosedur pemasangan
kateter urine
Kondisi klinis terkait : Anjurkan menarik napas saat insersi selang kateter
Rektokel Terapeutik:
Jaga privasi, posisikan nyaman setinggi siku perawat
Tumor saluran kemih Gunakan APD
Kosongkan kantung urin dan ukur jumlah urin
Siapkan cairan irigasi sesuai kebutuhan atau order
dengan teknik aseptic sesuai jenis irigasinya
(intermiten atau Continous)
Buka desinfeksi akses port kateter dengan swab
alcohol
Klem kateter
Alirkan cairan irigasi kedalam katete rurin sesua
kebutuhan atau oder
Buka klem kateter dan biarkan urin dan cairan irigasi
mengalir keluar
Catta jumlah cairan irigasi dan output urin.
Edukasi:
Jelaskan prosedur tinfakan
Jelaskan kepada pasien dan keluarga tanda dan
gejalan serta efek jika irigasi urin tidak lancer
Label: Perawatan retensi urin
Observasi:
Identifikasi penyebab retensi urin (mis. Peningkatan
tekanan urethra, kerusakan arkus reflex, disfungsi
neurologis, efek agen farmakologis)
Monitor efek agen farmakologis (mis. Atropine,
beiladonna, psikotik)
Monitor intake dan ouput cairan
Monitor tingkat distensi kandung kemih dengan
palpasi/perkusi.
Terapeutik:
Sediakan privasi untuk berkemih
Berikan rangsangan berkemih (mis. Mengalirkan alir
keran, membilas toilet, kompres dingin pada
abdomen)
Lakukan maneuver crede, jika perlu
Pasang kateter urin, jika perlu
Fasilitais berkemih dengan interval teratur
Edukasi:
Jelaskan penyebab retensi urin
Anjurkan pasien atau keluarga mencatat output urine
Ajarkan cara melakukan rangsangan berkemih
2 Nyeri Akut Setelah dilakukan tindakan keperawatan Intervensi Utama: Manajemen Nyeri
selama .... X .... jam menit diharapkan Nyeri
Intervensi Pendukung:
Akut Berkurang dengan kriteria hasil :
Definisi: Pemberian Analgesik
Tingkat nyeri :
Edukasi manajemen nyeri
Pengalaman sensorik atau
Keluhan nyeri (5)
emosional yang berkaitan dengan Label: Manajemen Nyeri
Meringis (5)
kerusakan jarigan actual atau
Sikap protektif (5) Observasi
fungsional, dengan onset
Gelisah (5)
mendadak atau lambat dan Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
Kesulitan tidur (5)
berintensitas ringan hingga berat frekuensi, kualitas , intensitas nyeri
Menarik diri (5)
yang berlangsung kurang dari 3 Identifikasi skala nyeri
Berfokus pada diri sendiri (5)
bulan Identifikasi respons nyeri non verbal
Diaforesis (5)
Identifikasi faktor yang memperberat nyeri dan
Perasaan depresi (tertekan) (5)
memperingan nyeri
Perasan takut mengalami cedera berulang
Penyebab: Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
(5)
tentang nyeri
Agen pencedera Anoreksia (5)
Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon
fisiologis (mis. Perineum terasa tertekan (5)
nyeri
Inflamai,iskemia, Uterus teraba membulat (5) Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
neoplasma Ketegangan otot (5) Monitor keberhasilan terapi komplementer yan
Agen pencedera kimiawi Pupil dilatasi (5) sudah diberikan
(mis. Terbakar, bahan Muntah (5) Monitor efek samping penggunaan analgetik
kimia iritan) Mual (5)
Terapeutik
Agen pencedera fisik
(mis. Abses, amputasi, Berikan teknik nonfarmakologis untuk
terbakar, terpotong, mengurangi rasa nyeri (mis. TENS, hypnosis,
mengangkat berat, Frekuensi nadi (5) akupresur, terapi music, biofeedback, terapi
prosedur operasi, trauma, pijat, aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing,
latihan fisik berlebih) kompres hangat/dingin, terapi bermain)
Pola napas (5)
Kontrol lingkungan yang memperberat rasa
Gejala dan Tanda Mayor Tekanan darah (5) nyeri (mis. Suhu ruangan, pencahayaan,
Subjektif Proses berpikir (5) kebisingan)
Fokus (5) Fasilitas istirahat dan tidur
Mengeluh nyeri
Fungsi kemih (5) Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
Objektif
Perilaku (5) pemilihan strategi meredakan nyeri
Tampak meringis Nafsu makan (5) Edukasi
Bersikap protektif (mis. Pola tidur (5)
Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu
Waspada, posisi
Jelaskan strategi meredakan nyeri
menghindari nyeri)
Gelisah Kontrol Nyeri Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
Frekuensi nadi meningkat Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
Melaporkan nyeri terkontrol (5)
Sulit tidur Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
Kemampuan mengenali onset nyeri (5)
mengurangi rasa nyeri
Kemampuan mengenali penyebab nyeri
Kolaborasi
(5)
Kemampuan menggunakan teknik non- Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
farmakologis (5) Label: Pemberian Analgesik
Gejala dan Tanda Minor Dukungan orang terdekat (5)
Observasi
Subjektif Keluhan nyeri (5)
Penggunaan analgesic (5) Identifikasi karakteristik nyeri (mis. Pencetus,
- pereda, kualitas, lokasi, intensitas, frekuensi,
durasi)
Objektif
Identifikasi riwayat alergi obat
Tekanan darah meningkat Identifikasi kesesuaian jenis analgesic (mis.
Pola napas berubah Narkotika, non narkotika, atau NSAID) dengan
Nafsu makan berubah tingkat keparahan nyeri
Proses berpikir terganggu Monitor tanda tanda vital sebelum dan sesudah
Menarik diri pemberian analgesik
Berfokus pada diri sendiri Monitor efektifitas analgesik
Diaforesis
Terapeutik
Leukositopenia Observasi:
Monitor karakteristik luka (mis. Drainase, warna,
Gangguan fungsi hati
ukuran, bau)
Monitor tanda-tanda infeksi
Terapeutik:
Lepaskan balutan dan plester secara perlahan
Bersihkan dengan cairan Nacl atau pembersih
nontoksik, sesuai kebutuhan
Bersihkan jaringan nekrotik
Pasang balutan sesuai jenis luka
Pertahankan teknik steril saat perawatan luka
Ganti balutan sesuai jumlah eksudat dan drainase
Jadwalkan posisi setiap 2 jam atau sesuai kondisi
pasien
Edukasi:
Jelaskan tanda dan gejala infeksi
Anjurkan mengonsumsi makanan tinggi kalori dan
protein
Anjurkan prosedur perawatan luka secara mandiri
Kolaborasi:
Kolaborasi prosedur debridement (mis. Enzimatik,
biologis, mekanis, autolitik), jika perlu
Kolaborasi pemberian antibiotic, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA
Devi, Anakardian Kris Buana. 2017. Anatomi Fisiologi dan Biokimia Keperawatan.
Yogyakarta: Pustakabarupress.
Grace, P.A., dan Borley, N.R. 2007. At a Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga, 169. Jakarta:
Erlangga
Hardjowidjoto, S. 2000. Benigna Prostat Hiperplasi. Surabaya: Airlangga University
Press
Heffner, Linda J et al. 2005. At a Glance Sistem Reproduksi Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga
Medical Series
McPhee, Stephen J., Ganong, William F.(2010). Patofisiologi Penyakit : Pengantar
Menuju Kedokteran Klinis. Jakarta : EGC Mitchell, Kumar, Abbas, & Fausto.
(2008). Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robbins & Cotran. Edisi 7. Jakarta:
EGC
Moorhead, Sue., Jonson, Marion., Mass, Meridean L. and Swanson, Elizabeth. 2008.
Nursing Outcomes Classification (NOC), Fifth Edition. St. Louis Missouri : Mosby
Elsevier
Pakasi, R. (2009) Total Prostate Spesific Antigen, Prostate Spesifik Antigen density and
Histophatologic Analysis on benign Enlargent of Prostate. The Indonesian Journal
of medical Science Volume 1 No.5. http://med.unhas.ac.id diakses tanggal 31
Agustus 2019
Prabowo, Eko,dkk. 2014. Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Price, Sylvia A. dan Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC
Saputra, Lyndon. 2014. Organ System Visual Nursing, Genitouria. Tangerang Selatan:
Binarupa Aksara Publishare.
Schwartz, S.I. (2000). Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah Edisi 6. Jakarta: EGC
Sjamsuhidayat R, Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C & Bare, Brenda G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth Vol. 2 Edisi 8.Jakarta : EGC
Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
LEMBAR PENGESAHAN
Denpasar,