Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

DENGAN KASUS BPH (BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA)

OLEH:
NI PUTU INDAH PRASTIKA DEWI
P07120320046
PROFESI NERS / KELAS B

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
PROFESI NERS
DENPASAR
2020
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Definisi/Pengertian
Benigna prostat hyperplasia merupakan penyakit perbesaran dari prostat. BPH
seringkali menyebabkan terganggunya eliminasi urine akibat pembesaran prostat yang
cenderung kearah depan sehingga menekan vesika urinaria (Eko Prabowo & Andi Eka
Pranata, 2014).

BPH (Benigna Prostat Hiperplasia) adalah pembesaran kelenjar prostat secara


progresif yang dapat menyebabkan obtruksi dan ritriksi pada jalan urine (urethra) (M.
Clevo Rendi & Margareth TH, 2012).

Hipertrofi prostat adalah perbesaran kelenjar prostat yang membesar, memanjang


kearah depan kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran keluar urine, dapat
mengakibatkan hidronefrosis dan hidroureter. Penyebabnya tidak pasti, tetapi bukti-
bukti menunjukkan adanya keterlibatan hormonal. Kondisi ini yang umum terjadi pada
pria diatas usia 50 tahun (Pierce & Neil, 2006).

BPH merupakan pertumbuhan berlebihan dari prostat yang bersifat jinak dan
bukan kanker, dimana yang umumnya diderita oleh kebanyakan pria pada waktu
meningkatnya usia sehingga dinamakan penyakit orang tua. Perbesaran dari kelenjar
ini lambat laun akan mengakibatkan penekanan pada saluran urin sehingga
menyulitkan berkemih (Rahardja, 2010).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa BPH merupakan keadaan dimana terjadi


pembesaran pada kelenjar prostat yang dapat menyebabkan obstruksi pada leher
kandung kemih dan menyumbat aliran urine keluar. Kondisi ini umumnya terkait
dengan proses penuaan dan terjadi pada pria di atas usia 50 tahun.
2. Penyebab/Faktor Presdiposisi
Penyebab terjadinya BPH belum diketahui secara pasti, namun factor usia dan
hormonal menjadi predisposisi terjadinya BPH. Beberapa hipotesis menyebutkan
bahwa hyperplasia prostat sangat erat kaitannya dengan (Eko Prabowo & Andi Eka
Pranata, 2014) :
a. Peningkatan DHT (dehidrosteron)
Peningkatan enzim 5 alfa reduktsase dan reseptor androgen menyebabkan
epitel dan stroma dari kelenjer prostat mengalami hyperplasia.
Hal ini terjadi karena, enzim 5 alfa reduktase dan reseptor androgen (RA)
berikatan membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel, yang nantinya akan
mensintesis protein growth factor yang akan menstimulasi pertumbuhan sel
prostat (Purnomo, 2012).
b. Ketidakseimbangan estrogen-testosteron
Ketidakseimbangan ini terjadi karena proses degeneratif. Pada proses
penuaaan yang terjadi pada pria, hormone estrogen akan meningkat dan
hormone testosterone akan menurun. Hal inilah yang akan memicu terjadinya
hyperplasia stroma dan epitel.
Estrogen di dalam prostat itu berfungsi dalam proliferasi sel-sel prostat
terhadap rangsangan hormone androgen, yang akan meningkatkan jumlah
reseptor androgen, dan mengurangi terjadinya kematian sel-sel prostat
(apoptosis) (Purnomo, 2012).
c. Interaksi antar sel stroma dan sel epitel prostat
Peningkatan kadar epidermal growth factor atau fibroblast growth factor dan
penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasia stroma
dan epitel, sehingga akan terjadi BPH.
d. Berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Estrogen yang meningkat akan menyebabkan peningkatan lamanya hidup
stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
e. Teori stem sel
Sel stem yang meningkat akan menyebabkan poliferasi sel transit dan memicu
terjadinya BPH.
Sel-sel yang mati akibat dari apoptosis, akan digantikan oleh sel-sel baru. Sel
stem inilah yang akan berproliferasi membentuk sel-sel baru tersebut.
Keberadaan sel ini bergantung kepada hormone androgen. Terjadinya
proliferasi sel pada penderita BPH diasumsikan sebagai bentuk dari
ketidaktepatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan
pada sel stroma maupun sel pada kelenjar (Purnomo, 2012).
3. Pathway
(terlampir)
RETENSI URINE

RISIKO
HIPOTERMIA
PERIOPERATIF
4. Patofisiologi
Benign Prostat Hyperplasia terjadi akibat Perubahan keseimbangan antara
hormon testosteron dan estrogen sehingga menyebabkan Testosterone bebas dtiambah
enzim 5 alfa reduktase sehingga menyebabkan Dehidro Testosteron terhidrolisis
kemudian diikat oleh reseptor di dalam sitoplasma sel prostat hingga memengaruhi inti
sel (RNA). di dalam RNA ini terjadi sintesis protein sehingga terjadi proses Proliferasi
sel. Di samping itu akibat proses penuaan sehingga terjadi ketidakseimbangan hormon,
peningkatan sel stem, interaksi sel epitel dan stroma, serta inflamasi juga dapat
menyebabkan Hyperplasia pada epitel dan stroma pada kelenjar prostat sehingga terjadi
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH). Akibat terjadinya BPH menyebabkan penyempitan
lumen urethra pars prostatika sehingga menghambat aliran urin, terjadilah bendungan
Vesica Urinaria dan meningkatkan tekanan intravesika, akibatnya terjadi Hiperiritable
pada blader dan terjadi peningkatan kontraksi otot detrusor dari buli-buli dan
menyebabkan Hipertropi otot detrusos, trabekulasi dan terbentuk selula, sekula dan
divertikel buli-buli hingga menjadi Lower Urinary Tract Syndrome (LUTS) yang
memiliki gejala obstuktif dan gejala iritatif. Gejala obstuktif meliputi: Intermiten,
Hesitansi, Terminal Dribbling, Pancaran lemah, BAK tidak puas. Sedangkan Gejala
iritatif meliputi: Urgensi, Frekuensi BAK sering (nokturia, diunal uria), Dysuria.
Akibat terjadinya bendungan pada Vesica Urinaria mengakibatkan status pada urin
yang mana menjadi media berkembangnya patogen yang meningkatkan risiko infeksi,
sedangkan peningkatan kontraksi otot detrusor dari buli-buli menyebabkan kontraksi
tidak adekuat dan kontraksi pada otor suprapubik.
Kontraksi otot pada Suprapubik menyebabkan tekanan mekanis dan merangsang
Nosiseptor dan dihantarkan serabu tipe A dan serabut tipe C pada Medulla Spinalis.
Pada Traktus Neospinotalamus, terjadi sistem aktivasi Retikular menjadi Talamus.
pada Traktus Paleospinotalamus terjadi pada Area Grisea Periakueduktus dan menjadi
Talamus. Dari sistem Aktivasi retikular ini terjadi di Hipotalamus dan Sistem limbik
pada otak khususnya terjadi di Korteks Somatosensorik yang membawa persepsi nyeri.
Sedangkan akibat peningkatan kontraksi otot detrusor dari buli-buli yang mana
kontraksi yang terjadi tidak adekuat akan menyebabkan retensi urin total sehingga
terjadi Refluks urin yang menyebabkan Hidroureter, dari Hidroureter kemudian akan
menjadi Hidronefrosis sehingga dapat terjadi Penurunan Fungsi Ginjal
5. Klasifikasi
Secara klinik derajat berat, dibagi menjadi 4 gradiasi, yaitu (Sjamsuhidayat & De
Jong, 2005) :
a. Derajat 1
Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada DRE (digital rectal
examination) atau colok dubur ditemukan penonjolan prostat dan sisa urine
kurang dari 50 ml.
b. Derajat 2
Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat lebih menonjol, batas
atas masih teraba dan sisa urine lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml.
c. Derajat 3
Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urin lebih
dari 100 ml.
d. Derajat 4
Apabila sudah terjadi retensi urine total.

6. Manifestasi Klinis
BPH adalah penyakit yang diderita oleh laki-laki usia rata-rata 50 tahun. BPH
merupakan gambaran klinis dari dampakn obstruksi saluran kencing, sehingga pasien
sulit untuk miksi (buang air kecil). Berikut beberapa gambaran klinis pada klien BPH
(Eko Prabowo & Andi Eka Pranata, 2014) :
a. Gejala prostismus (nokturia, urgency, penurunan aliran urine)
Kondisi ini disebabkan oleh kemampuan vesika urinaria yang gagal mengeluarkan
urine secara spontan dan regular, sehingga volume urine sebagian besar masih
tertinggal di dalam vesika.
b. Retensi urine
Pada awal obstruksi, biasanya pancaran urine lemah, akan terjadi hesistansi,
intermitensi, urine menetes, dorongan mengejan yang kuat saat miksi, dan retensi
urine. Retensi urine sering dialami oleh penderita BPH krronik. Secara fisiologis
vesika urinaria memiliki kemampuan untuk mengeluarkan urine melalui kontraksi
otot destrusor. Namun obstruksi yang berkepanjangan akan membuat beban kerja
m. destrusor semakin berat dan pada akhirnya akan mengalami dekompensasi.
c. Pembesaran prostat
Hal ini diketahui melalui rectal toucher (RT) anterior. Biasanya didapatkan
gambaran pembesaran prostat dengan konsistensi jinak.
d. Inkontinensia
Inkotinensia yang terjadi menunjukkan bahwa m. destrusor gagal melakukan
kontraksi. Dekompensasi yng berlangsung yang berlangsung lama akan
mengiritabilitas serabut syaraf urinarius, sehingga control untuk melakukan miksi
hilang.
7. Pemeriksaan Fisik
a. Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi dapat
meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi sampai syok
pada retensi urin serta urosepsis sampai syok – septik.
b. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk mengetahui
adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra simfiser pada
keadaan retensi akan menonjol. Saat palpasi terasa adanya ballotemen dan klien
akan terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya
residual urin.
c. Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus, striktur uretra,
batu uretra, karsinoma maupun fimosis.
d. Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis
e. Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan konsistensi
sistem persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat. Dengan rectal toucher
dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :
a) Derajat I = beratnya  20 gram.
b) Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.
c) Derajat III = beratnya  40 gram.

8. Pemeriksaan Diagnostik dan Pemeriksaan Penunjang Benign Prostatic


Hyperplasia
a) Uji laboratorium yang dilakukan mencakup pemeriksaan:
- Nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin serum (SC) untuk menyingkirkan
gagal ginjal
- Urinalisis dan Kultur (biakan) urine untuk menyingkirkan infeksi saluran
kemih, Pemeriksaan ini untuk menganalisa ada tidaknya infeksi dan RBB (Red
Blood Cell) dalam urine yang memanifestasikan adanya perdarahan /
hematuria.
b) DPL (Deep Peritoneal Lavage), Pemeriksaan pendukung ini untuk melihat ada
tidaknya perdarahan internal dalam abdomen. Sampel yang diambil adalah
cairan abdomen dan diperiksa sel darah merahnya.
c) Ureum, Elektrolit dan Serum Kreatinin, Pemeriksaan ini untuk menentukan
status fungsi ginjal. Hal ini sebagai data pendukung untuk mengetahui penyakit
komplikasi dari BPH, karena obstruksi yang berlangsung kronis seringkali
menimbulkan hidronefrosis yang lambat laun akan memperberat fungsi ginjal
dan pada akhirnya menjadi gagal ginjal.
d) PA ( Patologi Anatomi), Pemeriksaan ini dilakukan dengan sampel jaringan
pasca operasi. Sampel jaringan akan dilakukan pemeriksaan mikroskopis untuk
mengetahui apakah hanya berseifat benigna atau maligna, sehingga akan
menjadi landasan treatment selanjutnya.
e) Pielografi intravena (IVP) atau US biasanya tidak dilakukan pada pria dengan
hasil normal pada pemeriksaan laboratorium sederhana. Pemeriksaan ini
dicadangkan untuk pasien dengan hematuria atau dicurigai mengidap
hidronefrosis.
f) Urodinamik dengan uroflowmetry dan sistometri dapat menilai makna BPH.
Pada pemeriksaan ini, pasien berkemih dan berbagai pengukuran dilakukan.
Pada uroflowmetry, pasien berkemih minimal 150 mL, kemudian laju maksimal
aliran urin dicatat.
g) USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume dan
besar prostat juga keadaan buli – buli termasuk residual urin. Pemeriksaan
dapat dilakukan secara transrektal, transuretral dan supra pubik.
h) Sistouretroskopi biasanya dicadangkan untuk pasien yang mengalami hematuria
dengan sebab yang belum diketahui setelah dilakukan IVP atau US atau
praoperasi telah dilakuan untuk pasien yang memerlukan TURP.
i) Skor gejala, perkiraan volume prostat, dan pengukuran antigen spesifik-prostat
dalam serum dapat membantu memperkirakan perkembangan BPH.
(McPhee &Ganong, 2010)
9. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan BPH secara umum menurut Grace and Borley (2007) adalah:
a. Medikamentosa, seperti mengubah asupan cairan oral; kurangi konsumsi
kafein; menggunakan Bloker α- adrenergic (misalnya fenoksibenzamin,
prazosin); antiandrogen yang bekerja selektif pada tingkat seluler prostat
(misalnya finasteride); kateterisasi intermiten jika terdapat kegagalan otot
detrusor; dan dilatasi balon dan stenting pada prostat (pada pasien yang tidak
siap operasi).
b. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
1) Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut.
2) Klien dengan residual urin  100 ml.
3) Terapi medikamentosa tidak berhasil.
4) Flowmetri menunjukkan pola obstruktif
Pembedahan dapat dilakukan dengan :
1) TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat )
2) Retropubic atau Extravesical Prostatectomy
3) Perianal Prostatectomy
4) Suprapubic atau Tranvesical Prostatectomy

Menurut Sjamsuhidjat (2005), dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH


tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis, yaitu:
a. Stadium I, biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan
konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan
terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan,
tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya
adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
b. Stadium II, merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya
dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
c. Stadium III, reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan
prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam.
Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat
dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
d. Stadium IV, yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi
urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi diagnosis, kemudian terapi
definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan
pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat
penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan
memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.
10. Komplikasi
Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2005) komplikasi BPH adalah :
1. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
2. Infeksi saluran kemih
3. Involusi kontraksi kandung kemih
4. Refluk kandung kemih
5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus berlanjut
maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin yang akan
mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk batu
endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu tersebut
dapat pula menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat mengakibatkan
pielonefritis.
8. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada waktu
miksi pasien harus mengedan.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
a. Pemeriksaan fisik
1) Pemeriksaan rektum dengan jari tangan dapat mengungkapkan pembesaran
fokal atau difus prostat
2) Pemeriksaan abdomen bawah (simpisis pubis) dapat memperlihatkan
pembesaran kandung kemih
(McPhee & Ganong, 2010)
3) Abdomen: Defisiensi nutrisi, edema, pruritus, echymosis menunjukkan
renal insufisiensi dari obstruksi yang lama.
4) Kandung kemih
a) Inspeksi : penonjolan pada daerah supra pubik menunjukan adanya
retensi urine
b) Palpasi : akan terasa adanya ballotement dan ini akan menimbulkan
pasien ingin buang air kecil yang menunjukan adanya retensi urine
c) Perkusi : suara redup menunjukan adanya residual urine.
5) Pemeriksaan penis: uretra kemungkinan adanya penyebab lain misalnya
stenose meatus, striktur uretra, batu uretra/femosis.
6) Pemeriksaan Rectal Toucher (Colok Dubur) dilakukan dengan posisi knee
chest dengan syarat vesika urinaria kosong/dikosongkan. Tujuannya adalah
untuk menentukan konsistensi prostat dan besar prostat.
b. Pengkajian 11 Pola Fungsional Gordon
1. Pola persepsi dan Manajemen kesehatan
Biasanya kasus BPH terjadi pada pasien laki-laki yang sudah tua, dan
pasien biasanya tidak memperdulikan hal ini, karena sering mengatakan
bahwa sakit yang diderita nya pengaruh umur yang sudah tua. Perawat
perlu mengkaji apakah klien mengetahui penyakit apa yang dideritanya?
Dan apa penyebab sakitnya saat ini?
2. Pola nutrisi dan metabolic
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek
penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari
anastesi pada postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual,
muntah, penurunan berat badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi
masukan dan pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya.
3. Pola Eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh
pasien dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai
aliran urin, aliran urin berkurang, pengosongan kandung kemih inkomplit,
frekuensi berkemih, nokturia, disuria dan hematuria. Sedangkan pada
postoperasi BPH yang terjadi karena tindakan invasif serta prosedur
pembedahan sehingga perlu adanya obervasi drainase kateter untuk
mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi
warna urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah, perdarahan
dengan tidak ada bekuan, peningkatan viskositas, warna keruh, gelap
dengan bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada
kemugkinan terjadinya konstipasi. Pada post operasi BPH, karena
perubahan pola makan dan makanan.
4. Pola latihan- aktivitas
Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah dan
terpasang traksi kateter selama 6 – 24 jam. Pada paha yang dilakukan
perekatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan, klien
juga merasa nyeri pada prostat dan pinggang. Klien dengan BPH
aktivitasnya sering dibantu oleh keluarga.
5. Pola istirahat dan tidur
Pada pasien dengan BPH biasanya istirahat dan tidurnya terganggu,
disebabkan oleh nyeri pinggang dan BAK yang keluar terus menerus
dimana hal ini dapat mengganngu kenyamanan klien. Jadi perawat perlu
mengkaji berapa lama klien tidur dalam sehari, apakah ada perubahan
lama tidur sebelum dan selama sakit/ selama dirawat?
6. Pola konsep diri dan persepsi diri
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya
karena memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat
dilihat dari tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan
perilaku.
7. Pola kognitif- perceptual
Klien BPH umumnya adalah orang tua, maka alat indra klien biasanya
terganggu karena pengaruh usia lanjut. Namun tidak semua pasien
mengalami hal itu, jadi perawat perlu mengkaji bagaimana alat indra klien,
bagaimana status neurologis klien, apakah ada gangguan?
8. Pola peran dan hubungan
Pada pasien dengan BPH merasa rendah diri terhadap penyakit yang
diderita nya. Sehingga hal ini menyebabkan kurangnya sosialisasi klien
dengan lingkungan sekitar. Perawat perlu mengkaji bagaimana hubungan
klien dengan keluarga dan masyarakat sekitar? apakah ada perubahan
peran selama klien sakit?
9. Pola reproduksi- seksual
Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang
mengalami masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan
seksualnya, takut inkontinensia/menetes selama hubungan intim,
penurunan kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri
tekan pada prostat.
10. Pola koping dan toleransi stres
Klien dengan BPH mengalami peningkatan stres karena memikirkan
pengobatan dan penyakit yang dideritanya menyebabkan klien tidak bisa
melakukan aktivitas seksual seperti biasanya, bisa terlihat dari perubahan
tingkah laku dan kegelisahan klien. Perawat perlu mengkaji bagaimana
klien menghadapi masalah yang dialami? Apakah klien menggunakan
obat-obatan untuk mengurangi stresnya?
11. Pola keyakinan dan nilai
Pasien BPH mengalami gangguan dalam hal keyakinan, seperti gangguan
dalam beribadah shalat, klien tidak bisa melaksanakannya, karena BAK
yang sering keluar tanpa disadari. Perawat juga perlu mengkaji apakah ada
pantangan dalam agama klien untuk proses pengobatan?

2. Diagnosa Keperawatan
a. Retensi Urine berhubungan dengan peningkatan tekanan urethra, blok spingter
ditandai dengan distensi kandung kemih, dysuria, inkontinensia berlebih, residu
urin 150 ml
b. Inkontinensia Urin Berlebih berhubungan dengan kerusakan atau ketidak
adekuatan jalur aferen ditandai dengan distensi kandung kemih, nokturia
c. Gangguan Eliminasi Urin berhubungan dengan iritasi kandung kemih ditandai
dengan distensi kandung kemih
d. Kesiapan Peningkatan Eliminasi Urin berhubungan dengan pemenuhan
kebutuhan eliminasi yang ditingkatkan ditandai dengan jumlah urin yang
normal dan karakteristik urin normal
e. Nyeri Akut berhubungan dengan agen cedera Fisik ditandai dengan pasien
mengeluh nyeri, tampak meringis, bersikap protektif, tampak gelisah, frekuensi
nadi meningkat, tekanan darah meningkat, pola napas berubah.
f. Risiko Infeksi dibuktikan dengan efek prosedur infasive
g. Disfungsi Seksual berhubungan dengan perubahan fungsi atau struktur tubuh
ditandai dengan mengungkapkan aktivitas seksual berubah
h. Ansietas berhubungan dengan kekhawatiran mengalami kegagalan ditandai
dengan tampak gelisah, merasa khawatir dengan akibat dari kondisi yang
dihadapi.
i. Risiko Hipotermia Perioperatif dibuktikan dengan tindakan pembedahan Trans
Uretral Reseksi Prostat (TURP)
j. Perlambatan Pemulihan Pasca Bedah berhubungan dengan efek agen
farmakologis ditandai dengan waktu penyembuhan yang memanjang
3. Rencana Asuhan Keperawatan
Standar Diagnosa
Standar Luaran Keperawatan Indonesia Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
No Keperawatan Indonesia
(SLKI) (SIKI)
(SDKI)
1 Retensi Urin Setelah dilakukan intervensi selama ..x.. menit, Intervensi utama: Kateterisasi Urine
Definisi : diharapkan Retensi Urin berkurng dengan
Intervensi Pendukung:
Pengosongan kandung kemih kriteria hasil:
yang tidak lengkap  Irigasi Kateter urin
1. Eliminasi Urin
Penyebab :  Perawatan Retensi Urin
□ Desakan berkemih (5)
 Peningkatan tekanan uretra Label: Kateterisasi Urine
□ Sensasi berkemis (5)
 Kerusakan arkus reflex Observasi:
□ Distensi kandung kemih (5)
 Blok spingter □ Periksa Kondisi pasien (mis. Kesadaran, tanda
□ Berkemih tidak tuntas (5) – tanda vital, daerah perineal, distensi
 Disfungsi neurologis (mis.
kandung, inkontinensia urine, refelk berkemih)
Trauma, penyakit saraf) □ Volume residu urine (5)
Terapeutik :
□ Urine menetes (5)
 Efek agen farmakologis
□ Siapkan peralatan, bahan – bahan dan ruang
(mis. Atropine, belladonna, □ Nocturia (5) tindakan
psikotropik, opiate,
□ Mengompol (5) □ Siapkan pasien, bebaskan pakaian bawah dan
antihistamin).
poisikan dorsal recumbent (wanita) dan supine
Gejala dan Tanda Mayor □ Enuresis (5) (laki – laki)
□ Psang sarung tangan
Subjektif :
□ Bersihkan daerah perineal atau preposium
 Sensasi penuh pada dengan NaCl atau aquades
kandung kemih □ Lakukan insersi kateter urine dengan prinsip
aseptic
Objektif :
□ Sambungkan kateter urine dengan urine bag
 Disuria / anuria diatas simpisis atau di paha
□ Pastikan kantung urine ditempatkan lebih
 Distensi kandung kemih
rendah dar
Gejala tdan Tanda Minor □ Isi balon dengan NaCl 0,9% sesuai anjuran
pabrik
Subjektf :
□ Fiksasi selang kateter diatas simpisis atau di
 Dribbling (urin menetes) paha
□ Pastikan kantung urine ditempatkan lebih
Objektif :
rendah dari kandung kemih
 Inkontinensia berlebihan □ Berikan labe aktu pemasangan,
Edukasi :
 Residu urin 150 ml atau
lebih □ Jelaskan tujuan dan prosedur pemasangan
kateter urine
Kondisi klinis terkait : Anjurkan menarik napas saat insersi selang kateter

 Benigna prostat hyperplasia


Label: Irigasi kTeter urin
 Pembengkakan perineal Observasi:
 Identifikasi indikasi irigasi kateter urin
 Cedera medulla spinalis
 Monitor intake dan output cairan

 Rektokel Terapeutik:
 Jaga privasi, posisikan nyaman setinggi siku perawat
Tumor saluran kemih  Gunakan APD
 Kosongkan kantung urin dan ukur jumlah urin
 Siapkan cairan irigasi sesuai kebutuhan atau order
dengan teknik aseptic sesuai jenis irigasinya
(intermiten atau Continous)
 Buka desinfeksi akses port kateter dengan swab
alcohol
 Klem kateter
 Alirkan cairan irigasi kedalam katete rurin sesua
kebutuhan atau oder
 Buka klem kateter dan biarkan urin dan cairan irigasi
mengalir keluar
 Catta jumlah cairan irigasi dan output urin.
Edukasi:
 Jelaskan prosedur tinfakan
 Jelaskan kepada pasien dan keluarga tanda dan
gejalan serta efek jika irigasi urin tidak lancer
Label: Perawatan retensi urin
Observasi:
 Identifikasi penyebab retensi urin (mis. Peningkatan
tekanan urethra, kerusakan arkus reflex, disfungsi
neurologis, efek agen farmakologis)
 Monitor efek agen farmakologis (mis. Atropine,
beiladonna, psikotik)
 Monitor intake dan ouput cairan
 Monitor tingkat distensi kandung kemih dengan
palpasi/perkusi.
Terapeutik:
 Sediakan privasi untuk berkemih
 Berikan rangsangan berkemih (mis. Mengalirkan alir
keran, membilas toilet, kompres dingin pada
abdomen)
 Lakukan maneuver crede, jika perlu
 Pasang kateter urin, jika perlu
 Fasilitais berkemih dengan interval teratur
Edukasi:
 Jelaskan penyebab retensi urin
 Anjurkan pasien atau keluarga mencatat output urine
 Ajarkan cara melakukan rangsangan berkemih
2 Nyeri Akut Setelah dilakukan tindakan keperawatan Intervensi Utama: Manajemen Nyeri
selama .... X .... jam menit diharapkan Nyeri
Intervensi Pendukung:
Akut Berkurang dengan kriteria hasil :
Definisi:  Pemberian Analgesik
Tingkat nyeri :
 Edukasi manajemen nyeri
Pengalaman sensorik atau
 Keluhan nyeri (5)
emosional yang berkaitan dengan Label: Manajemen Nyeri
 Meringis (5)
kerusakan jarigan actual atau
 Sikap protektif (5) Observasi
fungsional, dengan onset
 Gelisah (5)
mendadak atau lambat dan  Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
 Kesulitan tidur (5)
berintensitas ringan hingga berat frekuensi, kualitas , intensitas nyeri
 Menarik diri (5)
yang berlangsung kurang dari 3  Identifikasi skala nyeri
 Berfokus pada diri sendiri (5)
bulan  Identifikasi respons nyeri non verbal
 Diaforesis (5)
 Identifikasi faktor yang memperberat nyeri dan
 Perasaan depresi (tertekan) (5)
memperingan nyeri
 Perasan takut mengalami cedera berulang
Penyebab:  Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
(5)
tentang nyeri
 Agen pencedera  Anoreksia (5)
 Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon
fisiologis (mis.  Perineum terasa tertekan (5)
nyeri
Inflamai,iskemia,  Uterus teraba membulat (5)  Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
neoplasma  Ketegangan otot (5)  Monitor keberhasilan terapi komplementer yan
 Agen pencedera kimiawi  Pupil dilatasi (5) sudah diberikan
(mis. Terbakar, bahan  Muntah (5)  Monitor efek samping penggunaan analgetik
kimia iritan)  Mual (5)
Terapeutik
 Agen pencedera fisik
(mis. Abses, amputasi,  Berikan teknik nonfarmakologis untuk
terbakar, terpotong, mengurangi rasa nyeri (mis. TENS, hypnosis,
mengangkat berat,  Frekuensi nadi (5) akupresur, terapi music, biofeedback, terapi
prosedur operasi, trauma, pijat, aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing,
latihan fisik berlebih) kompres hangat/dingin, terapi bermain)
 Pola napas (5)
 Kontrol lingkungan yang memperberat rasa
Gejala dan Tanda Mayor  Tekanan darah (5) nyeri (mis. Suhu ruangan, pencahayaan,
Subjektif  Proses berpikir (5) kebisingan)
 Fokus (5)  Fasilitas istirahat dan tidur
 Mengeluh nyeri
 Fungsi kemih (5)  Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
Objektif
 Perilaku (5) pemilihan strategi meredakan nyeri
 Tampak meringis  Nafsu makan (5) Edukasi
 Bersikap protektif (mis.  Pola tidur (5)
 Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu
Waspada, posisi
 Jelaskan strategi meredakan nyeri
menghindari nyeri)
 Gelisah Kontrol Nyeri  Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
 Frekuensi nadi meningkat  Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
 Melaporkan nyeri terkontrol (5)
 Sulit tidur  Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
 Kemampuan mengenali onset nyeri (5)
mengurangi rasa nyeri
 Kemampuan mengenali penyebab nyeri
Kolaborasi
(5)
 Kemampuan menggunakan teknik non-  Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
farmakologis (5) Label: Pemberian Analgesik
Gejala dan Tanda Minor  Dukungan orang terdekat (5)
Observasi
Subjektif  Keluhan nyeri (5)
 Penggunaan analgesic (5)  Identifikasi karakteristik nyeri (mis. Pencetus,
- pereda, kualitas, lokasi, intensitas, frekuensi,
durasi)
Objektif
 Identifikasi riwayat alergi obat
 Tekanan darah meningkat  Identifikasi kesesuaian jenis analgesic (mis.
 Pola napas berubah Narkotika, non narkotika, atau NSAID) dengan
 Nafsu makan berubah tingkat keparahan nyeri
 Proses berpikir terganggu  Monitor tanda tanda vital sebelum dan sesudah
 Menarik diri pemberian analgesik
 Berfokus pada diri sendiri  Monitor efektifitas analgesik
 Diaforesis
Terapeutik

Kondisi klinis terkait  Diskusikan jenis analgesic yang disukai untuk


mencapai analgesia optimal, jika perlu
 Kondisi pembedahan
 Pertimbangkan penggunaan infus kontinu, atau
 Cedera traumatis
bolus opioid untuk mempertahankan kadar
 Infeksi
dalam serum
 Sindrom koroner akut
 Tetapkan target efektifitas analgesik untuk
 Glaukoma
mengoptimalkan respon pasien
 Dokumentasikan respons terhadap efek
analgesik dan efek yang tidak diinginkan
Edukasi

 Jelaskan efek terapu dan efek samping obat


Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian dosis dan jenis


analgesik, sesuai indikasi
3 Risiko Infeksi (D.0142) Setelah diberikan asuhan keperawatan selama … Intervensi Utama: Pencegahan Infeksi
Definisi : beresiko mengalami x...jam diharapkan dapat mengatasi Resiko Intervensi Pendukung:
peningkatan terserang organisme Infeksi dengan kriteria hasil:  Manajemen Medikasi
patogenik Tingkat infeksi  Perawatan Luka
Faktor Resiko :  Kebersihan tangan meningkat (5) Label: Pencegahan Infeksi
 Penyakit kronis (mis.  Kebersihan badan meningkat (5) Observasi
Diabetes militus)  Nafsu makan meningkat (5)  Monitor tanda dan gejala infeksi local dan istemik
 Efek prosedur invasive  Demam menurun (5) Terapeutik
 Malnutrisi  Kemerahanmenurun (5)  Batasi jumlah pengunjung
 Peningkatan paparan  Nyeri menurun (5)  Berikan berawatan kulit pada area edema
organisme pathogen  Bengkak menurun (5)  Cucitangan sebelum dan sesudah kontak dengan
lingkungan  Vesikel menurun (5) pasien dan lingkungan pasien
 Ketidakadekuatan  Cairan berbau busuk menurun (5)  Pertahankan Teknik aseptic pada pasien beresiko
pertahanan tubuh primer  Sputum berwarna hijau menurun (5) tinggi
 Drainase purulenmenurun (5)
 Gangguan peristaltic Edukasi
 Pluria menurun (5)
 Kerusakan integritas  Jelaskan tanda dan gejala nfeksi
 Periode malaise menurun (5)
kulit  Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
 Periode menggigil menurun (5)
 Perubahan sekresi  Ajarkan etika batuk
 Letargi menurun (5)
pH  Ajarkan cara memeriksa kondisi luka
 Gangguan kognitif menurun (5)
 Penurunan kerja  Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
 Kadar sel darah putih membaik (5)
silialis  Anjurkan meningkatkan asupan cairan
 Kultur darah membaik (5)
 Ketuban pecah lama Kolaborasi
 Kultur urine membaik (5)
 Ketuban pecah  Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu
 Kultur sputum membaik (5)
sebelum waktunya
 Kultur area luka membaik (5)
 Merokok Label: Manajemen Medikasi
 Kultur feses membaik (5)
 Status cairan tubuh Observasi:
 Ketidakadekuatan  Indentifikasi penggunaan obat sesuai resep
pertahanan tubuh  Identifikasi masa kadaluwarsa obat
sekunder  Identifikasi kemampuan dan pengetahuan
 Penurunan menjalani program pengobatan
hemoglobin  Monitor keefektifan dan efek samping pemberian
 Imununosupresi obat
 Leukopenia  Monitor tanda dan gejala keracunan obat
 Supresi respon  Monitor darah serum (mis. Elektrolit, protombim),
inflamasi jika perlu
 Faksinasi tidak  Monitor kepatuhan menjalani program pengobatan
adekuat Terapeutik:
Kondisi klinis terkait :  Fasilitasi program pengobatan, jika perlu
 AIDS  Sediakan sumber informasi program pengobatan
 Luka bakar secara visual dan tertulis
 Penyakit paru obstruktif  Fasilitasi pasien dan keluarga melakukan
kronis penyesuaian pola hidup akibat program
 Diabetes militus pengobatan
 Tindakan infasif
 Kondisi penggunaan Edukasi:
terapi steroid  Ajarkan pasien dan keluarga cara mengelola obat
 Penyalahgunaan obat (dosis, penyimpanan, rute, waktu pemberian)
 Ketuban pecah sebelum  Ajarkan cara menangani atau mengurangi efek
waktunya (KPSW) samping, jika terjadi
 Kanker  Anjurkan menghubungi petugas kesehatan jika
 Gagal ginjal terjadi efek samping obat
 Imunosupresi
 Lymphedema Label: Perawatan Luka

 Leukositopenia Observasi:
 Monitor karakteristik luka (mis. Drainase, warna,
 Gangguan fungsi hati
ukuran, bau)
 Monitor tanda-tanda infeksi
Terapeutik:
 Lepaskan balutan dan plester secara perlahan
 Bersihkan dengan cairan Nacl atau pembersih
nontoksik, sesuai kebutuhan
 Bersihkan jaringan nekrotik
 Pasang balutan sesuai jenis luka
 Pertahankan teknik steril saat perawatan luka
 Ganti balutan sesuai jumlah eksudat dan drainase
 Jadwalkan posisi setiap 2 jam atau sesuai kondisi
pasien
Edukasi:
 Jelaskan tanda dan gejala infeksi
 Anjurkan mengonsumsi makanan tinggi kalori dan
protein
 Anjurkan prosedur perawatan luka secara mandiri
Kolaborasi:
 Kolaborasi prosedur debridement (mis. Enzimatik,
biologis, mekanis, autolitik), jika perlu
 Kolaborasi pemberian antibiotic, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Devi, Anakardian Kris Buana. 2017. Anatomi Fisiologi dan Biokimia Keperawatan.
Yogyakarta: Pustakabarupress.
Grace, P.A., dan Borley, N.R. 2007. At a Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga, 169. Jakarta:
Erlangga
Hardjowidjoto, S. 2000. Benigna Prostat Hiperplasi. Surabaya: Airlangga University
Press
Heffner, Linda J et al. 2005. At a Glance Sistem Reproduksi Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga
Medical Series
McPhee, Stephen J., Ganong, William F.(2010). Patofisiologi Penyakit : Pengantar
Menuju Kedokteran Klinis. Jakarta : EGC Mitchell, Kumar, Abbas, & Fausto.
(2008). Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robbins & Cotran. Edisi 7. Jakarta:
EGC
Moorhead, Sue., Jonson, Marion., Mass, Meridean L. and Swanson, Elizabeth. 2008.
Nursing Outcomes Classification (NOC), Fifth Edition. St. Louis Missouri : Mosby
Elsevier
Pakasi, R. (2009) Total Prostate Spesific Antigen, Prostate Spesifik Antigen density and
Histophatologic Analysis on benign Enlargent of Prostate. The Indonesian Journal
of medical Science Volume 1 No.5. http://med.unhas.ac.id diakses tanggal 31
Agustus 2019
Prabowo, Eko,dkk. 2014. Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Price, Sylvia A. dan Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC
Saputra, Lyndon. 2014. Organ System Visual Nursing, Genitouria. Tangerang Selatan:
Binarupa Aksara Publishare.
Schwartz, S.I. (2000). Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah Edisi 6. Jakarta: EGC
Sjamsuhidayat R, Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C & Bare, Brenda G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth Vol. 2 Edisi 8.Jakarta : EGC
Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
LEMBAR PENGESAHAN
Denpasar,

NAMA PEMBIMBING NAMA MAHASISWA

Ns. I WAYAN SUKAWANA,S.Kep.,M.Pd NI PUTU INDAH PRASTIKA DEWI

NIP. 196709281990031001 NIM. P07120320046

Anda mungkin juga menyukai