Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

KEGAWATDARURATAN PASIEN DENGAN


KEJANG DEMAM

Oleh:
NI MADE ANASARI
NIM. PO7120216008

S.Tr KEPERAWATAN

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2019
I. KONSEP DASAR TEORI KEJANG DEMAM
A. Defenisi
Kejang demam adalah serangan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal di atas 38°C). Kondisi yang menyebabkan kejang demam
antara lain : infeksi yang mengenai jaringan ekstrakranial seperti tonsilitis, otitis
media akut, bronkitis (Riyadi, Sujono & Sukarmin, 2009).
Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling sering
dijumpai pada anak. Bangkitan kejang ini terjadi karena adanya kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal diatas 38°C) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium.
Penyebab demam terbanyak adalah infeksi saluran pernapasan bagian atas disusul
infeksi saluran pencernaan. Insiden terjadinya kejang demam terutama pada
golongan anak umur 6 bulan sampai 4 tahun. Hampir3% dari anak yang berumur
di bawah 5 tahun pernah menderita kejang demam. Kejang demam lebih sering
didapatkan pada laki-laki dari pada perempuaan. Hal tersebut disebabkan karena
pada wanita didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat dibandingkan laki-laki
(Judha & Rahil, 2011).
Pada saat mengalami kejang, anak akan terlihat aneh untuk beberapa saat,
kemudian kaku, dan memutar matanya. Anak tidak responsif untuk beberapa
waktu, nafas akan terganggu, dan kulit akan tampak lebih gelap dari biasanya.
Setelah kejang, anak akan segera normal kembali. Serangan kejang pada penderita
kejang demam dapat terjadi satu, dua, tiga kali atau lebih selama satu episode
demam. Jadi, satu episode kejang demam dapat terdiri dari satu, dua, tiga atau
lebih serangan kejang.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kejang demam
adalah bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh yang sering
dijumpai pada anak usia di bawah umur 5 tahun.Dari pengertian diatas maka
penulis menyimpulkan bahwa yang di maksud kejang demam adalah perubahan
potensial listrik cerebral yang berlebihan akibat kenaikan suhu dimana suhu rectal
diatas 38°C sehingga mengakibatkan renjatan kejang yang biasanya terjadi pada
anak dengan usia 3 bulan sampai 5 tahun.
B. Etiologi
Etiologi dari kejang demam masih tidak diketahui. Namun pada
sebagian besar anak dipicu oleh tingginya suhu tubuh bukan kecepatan
peningkatan suhu tubuh. Biasanya suhu demam diatas 38,8oC dan terjadi
disaat suhu tubuh naik dan bukan pada saat setelah terjadinya kenaikan suhu
tubuh (Dona Wong L, 2008).
Bangkitan kejang pada bayi dan anak disebabkan oleh kenaikan suhu
badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi diluar susunan
syaraf pusat misalnya tonsilitis, ostitis media akut, bronkitis(Judha & Rahil,
2011).Kondisi yang dapat menyebabkan kejang demam antara lain infeksi
yang mengenai jaringan ekstrakranial sperti tonsilitis, otitis media akut,
bronkitis (Riyadi, Sujono & Sukarmin, 2009).
Demam merupakan faktor pencetus terjadinya kejang demam
pada anak. Demam sering disebabkan oleh berbagai penyakit infeksi seperti
infeksi saluran pernafasan akut, otitis media akut, gastroenteritis, bronkitis,
infeksi saluran kemih, dan lain-lain. Setiap anak memiliki ambang kejang
yang berbeda. Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang paling tinggi. Pada
anak dengan ambang kejang yang rendah, serangan kejang telah terjadi pada
suhu 38°C bahkan kurang, sedangkan padaanak dengan ambang kejang
tinggi, serangan kejang baru terjadi pada suhu 40°C bahkan lebih.
Beberapa faktor yang berperan menyebabkan kejang demam antara
lain adalah demam, demam setelah imunisasi DPT dan morbili, efek toksin
dari mikroorganisme, respon alergik atau keadaan imun yang abnormal
akibat infeksi, perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit (Dewanto et
al, 2009).
Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah (IDAI, 2009)
1. Riwayat kejang demam dalam keluarga
2. Usia kurang dari 18 bulan
3. Temperatur tubuh saat kejang. Makin rendah temperatur saat kejang
makin sering berulang
4. Lamanya demam.
5. Adapun faktor risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari adalah (IDAI,
2009)
6. Adanya gangguan perkembangan neurologis
7. kejang demam kompleks
8. riwayat epilepsi dalam keluarga
9. lamanya demam

C. Tanda Dan Gejala


Menurut, Riyadi, Sujono & Sukarmin (2009), manifestasi klinik yang
muncul pada penderita kejang demam :
1. Suhu tubuh anak (suhu rektal) lebih dari 38°C.
2. Timbulnya kejang yang bersifat tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau kinetik.
Beberapa detik setelah kejang berhenti anak tidak memberikan reaksi apapun
tetapi beberapa saat kemudian anak akan tersadar kembali tanpa ada kelainan
persarafan.
3. Saat kejang anak tidak berespon terhadap rangsangan seperti panggilan, cahaya
(penurunan kesadaran)
Selain itu pedoman mendiagnosis kejang demam menurut Livingstone juga
dapat kita jadikan pedoman untuk menetukan manifestasi klinik kejang
demam. Ada 7 kriteria antara lain:
1. Umur anak saat kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun.
2. Kejang hanya berlangsung tidak lebih dari 15 menit.
3. Kejang bersifat umum (tidak pada satu bagian tubuh seperti pada otot rahang
saja).
4. Kejang timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
5. Pemeriksaan sistem persarafan sebelum dan setelah kejang tidak ada kelainan.
6. Pemeriksaan elektro Enchephalography dalam kurun waktu 1 minggu atau
lebih setelah suhu normal tidak dijumpai kelainan
7. Frekuensi kejang dalam waktu 1 tahun tidak lebih dari 4 kali.
Serangan kejang biasanya terjadi 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung
singkat dengan sifat kejang dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal
atau kinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak
tidak memberi reaksi apapun sejenak tapi setelah beberapa detik atau menit
anak akan sadar tanpa ada kelainan saraf.(Judha & Rahil, 2011)
D. Klasifikasi
Kejang demam dibagi menjadi 2 golongan. Terdapat perbedaan kecil dalam
penggolongan tersebut, menyangkut jenis kejang, tingginya demam, usia
penderita, lamanya kejang berlangsung, gambaran rekaman otak, dan lainnya
(Lumbantobing, 2004).
1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure) Adapun ciri-ciri kejang
demam sederhana antara lain :
a. Berlangsung singkat (< 15 menit)
b. Menunjukkan tanda-tanda kejang tonik dan atau klonik.
c. Kejang hanya terjadi sekali / tidak berulang dalam 24 jam.
2. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure) Adapun ciri-ciri kejang
demam kompleks antara lain :
a. Berlangsung lama (> 15 menit).
b. Menunjukkan tanda-tanda kejang fokal yaitu kejang yang hanya
melibatkan salah satu bagian tubuh.
c. Kejang berulang/multipel atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
d. Kejang tonik yaitu serangan berupa kejang/kaku seluruh tubuh. Kejang
klonik yaitu gerakan menyentak tiba-tiba pada sebagian anggota tubuh.
E. Pathway Kejang Demam
F. Patofisiologi
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi di pecah
menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan
dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal
membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion K+ dan sangat sulit
dilalui oleh ion Na+ dan elektrolit lainya kecuali ion Cl-. Akibatnya konsentrasi
ion kalium dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi natrium rendah, sedang di luar
sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi
ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial membran yang
disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial
membran di perlukan energi dan bantuan enzim NA-K ATP-ase yang terdapat
pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh perubahan
konsentrasi ion di ruang ekstraseluler. Rangsangan yang datang mendadak
misalnya mekanisme, kimiawi, atau aliran listrik dari sekitarnya.
Perubahanpatofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.Pada
keadaan demam kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10 sampai 15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak 3
tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang
dewasa yang hanya 15%.Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh dapat mengubah
keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi
difusi dari ion kalium maupun ion natrium akibat terjadinya lepas muatan listrik.
Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh
sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan “neurotransmitter” dan
terjadi kejang. Kejang demam yang berlangsung lama biasanya disertai apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang
akhirnya terjadi hiposemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh
metabolisme anerobik, hipotensi, artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur
dan suhu tubuh meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktivitas otot
dan mengakibatkan metabolisme otak meningkat (Judha & Rahil, 2011).
Infeksi yang terjadi pada jaringan di luar kranial seperti tonsilitis, otitis
media akut, bronkitis penyebab terbanyak adalah bakteri yang bersifat toksik.
Toksik yang dihasilkan oleh mikroorganisme dapat menyebar keseluruh tubuh
melalui hematogen maupun limfogen.
Penyebaran toksik ke seluruh tubuh akan direspon oleh hipotalamus dengan
menaikkan pengaturan suhu di hipotalamus sebagai tanda tubuhmengalami
bahaya secara sistemik. Naiknya pengaturan suhu di hipotalamus akan
merangsang kenaikan suhu di bagian tubuh yang lain seperti otot, kulit sehingga
terjadi peningkatan kontraksi otot.
Naiknya suhu di hipotalamus, otot, kulit jaringan tubuh yang lain akan
disertai pengeluaran mediator kimia seperti epinefrin dan prostaglandin.
Pengeluaran mediator kimia ini dapat merangsang peningkatan potensial aksi pada
neuron . Peningkatan potensial inilah yang merangsang perpindahan ion natrium,
ion kalium dengan cepat dari luar sel menuju ke dalam sel. Peristiwa inilah yang
diduga dapat menaikkan fase depolarisasi neuron dengan cepat sehingga timbul
kejang.
Serangan cepat itulah yang dapat menjadikan anak mengalami penurunan
kesadaran, otot ekstremitas maupun bronkus juga dapat mengalami spasma
sehingga anak beresiko terhadap injuri dan kelangsungan jalan nafas oleh
penutupan lidah dan spasma bronkus (Price, 2005).

G. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaannya meliputi:
1. Darah
a. Glukosa darah:hipoglikemia merupakan predisposisi kejang
(N<200mq/dl)
b. BUN:peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan
indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
c. Elektrolit:Kalium, natrium.Ketidakseimbngan elektrolit merupakan
predisposisi kejang
d. Kalium (N 3,80-5,00 meq/dl)
e. Natrium (N 135-144 meq/dl)
2. Cairan cerebo spinal:mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda
infeksi,pendarahan penyebab kejang
3. X Ray:untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi
4. Tansiluminasi: suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan UUB masih
terbaik (di bawah 2 tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus untuk
transiluminasi kepala
5. EEG: teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang
utuh untuk mengetahui fokus aktivitas kejang,hasil biasanya normal.
6. CT Scan: untuk mengidentifikasi lesi cerebral infark hematoma,cerebral
oedema,trauma,abses,tumor dengan atau tanpa kontras.

H. Penatalaksanaan Medis
1. Pengobatan Saat Terjadi Kejang Demam
Dalam penanganan kejang demam, orang tua harus mengupayakan
diri setenang mungkin dalam mengobservasi anak. Beberapa hal yang harus
diperhatikan adalah sebagai berikut :
a. Anak harus dibaringkan di tempat yang datar dengan posisi menyamping,
bukan terlentang, untuk menghindari bahaya tersedak.
b. Jangan meletakkan benda apapun dalam mulut si anak seperti sendok,
karena justru benda tersebut dapat menyumbat jalan napas.
c. Jangan memegangi anak untuk melawan kejang
d. Sebagian besar kejang berlangsung singkat dan tidak memerlukan
penanganan khusus.
e. Jika kejang terus berlanjut selama 10 menit, anak harus segera dibawa ke
fasilitas kesehatan terdekat.
f. Setelah kejang berakhir, anak perlu dibawa menemui dokter untuk
meneliti sumber demam, terutama jika ada kekakuan leher, muntah-
muntah yang berat, atau anak terus tampak lemas.
Menurut, Riyadi, Sujono & Sukarmin (2009), menyatakan
bahwapenatalaksanaan yang dilakukan saat pasien dirumah sakit antara lain:
a. Saat timbul kejang maka penderita diberikan diazepam intravena secara
perlahan dengan panduan dosis untuk berat badan yang kurang dari 10 kg
dosisnya 0,5-0,75 mg/kg BB, diatas 20 kg 0,5 mg/kg BB. Dosis rata-rata
yang diberikan adalah 0,3 mg/kg BB/ kali pemberian dengan maksimal
dosis pemberian 5 mg pada anak kurang dari 5 tahun dan maksimal 10
mg pada anak yang berumur lebih dari 5 tahun. Pemberian tidak boleh
melebihi 50 mg persuntikan. Setelah pemberian pertama diberikan masih
timbul kejang 15 menit kemudian dapat diberikan injeksi diazepam
secara intravena dengan dosis yang sama. Apabila masih kejang maka
ditunggu 15 menit lagi kemudian diberikan injeksi diazepam ketiga
dengan dosis yang sama secara intramuskuler.
b. Pembebasan jalan napas dengan cara kepala dalam posisi hiperekstensi
miring, pakaian dilonggarkan, dan pengisapan lendir. Bila tidak membaik
dapat dilakukan intubasi endotrakeal atau trakeostomi.
c. Pemberian oksigen, untuk membantu kecukupan perfusi jaringan.
d. Pemberian cairan intravena untuk mencukupi kebutuhan dan
memudahkan dalam pemberian terapi intravena. Dalam pemberian cairan
intravena pemantauan intake dan output cairan selama 24 jamperlu
dilakukan, karena pada penderita yang beresiko terjadinya peningkatan
tekanan intrakranial kelebihan cairan dapat memperberat penurunan
kesadaran pasien. Selain itu pada pasien dengan peningkatan intraklanial
juga pemberian cairan yang mengandung natrium perlu dihindari.
e. Pemberian kompres hangat untuk membantu suhu tubuh dengan metode
konduksi yaitu perpindahan panas dari derajat tinggi (suhu tubuh) ke
benda yang mempunyai derajat yang lebih rendah (kain kompres).
Kompres diletakkan pada jaringan penghantar panas yang banyak seperti
kelenjar limfe di ketiak, leher, lipatan paha, serta area pembuluh darah
yang besar seperti di leher. Tindakan ini dapat dikombinasikan dengan
pemberian antipiretik seperti prometazon 4-6 mg/kg BB/hari (terbagi
dalam 3 kali pemberian).
f. Apabila terjadi peningkatan tekanan intrakranial maka perlu diberikan
obat-obatan untuk mengurang edema otak seperti dektametason 0,5-1
ampul setiap 6 jam sampai keadaan membaik.Posisi kepala hiperekstensi
tetapi lebih tinggi dari anggota tubuh yang lain dengan craa menaikan
tempat tidur bagian kepala lebih tinggi kurang kebih 15° (posisi tubuh
pada garis lurus)
g. Untuk pengobatan rumatan setelah pasien terbebas dari kejang pasca
pemberian diazepam, maka perlu diberikan obat fenobarbital dengan
dosis awal 30 mg pada neonatus, 50 mg pada anak usia 1 bulan-1tahun,
75 mg pada anak usia 1 tahun keatas dengan tehnik pemberian
intramuskuler. Setelah itu diberikan obat rumatan fenobarbital dengan
dosis pertama 8-10 mg/kg BB /hari (terbagi dalam 2 kali pemberian) hari
berikutnya 4-5 mg/kg BB/hari yang terbagi dalam 2 kali pemberian.
h. Pengobatan penyebab.
Karena yang menjadi penyebab timbulnya kejang adalah kenaikan suhu
tubuh akibat infeksi seperti di telinga, saluran pernapasan, tonsil maka
pemeriksaan seperti angka leukosit, foto rongent, pemeriksaan penunjang
lain untuk mengetahui jenis mikroorganisme yang menjadi penyebab
infeksi sangat perlu dilakukan. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memilih
jenis antibiotik yang cocok diberikan pada pasien anak dengan kejang
demam.

2. Setelah Kejang Demam Berhenti


Bila kejang berhenti dan tidak berlanjut, pengobatan cukup dilanjutkan
dengan pengobatan intermitten yang diberikan pada anak demam untuk
mencegah terjadinya kejang demam. Obat yang diberikan berupa :
a. Antipiretik
Paracetamol atau asetaminofen 10-15 mg/kgBB diberikan 4 kali atau tiap
6 jam. Berikan dosis rendah dan pertimbangkan efek samping berupa
hiperhidrosis. Ibuprofen 10 mg/kgBB diberikan 3 kali (8 jam).
b. Antikonvulsan
Berikan diazepam oral dosis 0,3-0,5 mg/kgBB setiap 8 jam pada saat
demam untuk menurunkan resiko berulangnya kejang atau diazepam
rectal dosis 0,5 mg/kgBB sebanyak 3 kali per hari.

3. Pencegahan Kejang Demam


a. Pencegahan Primordial
Yaitu upaya pencegahan munculnya faktor predisposisi terhadap
kasus kejang demam pada seorang anak dimana belum tampak adanya
faktor yang menjadi risiko kejang demam. Upaya primordial dapat
berupa:
1) Penyuluhan kepada ibu yang memiliki bayi atau anak tentang upaya
untuk meningkatkan status gizi anak, dengan cara memenuhi
kebutuhan nutrisinya. Jika status gizi anak baik maka akan
meningkatkan daya tahan tubuhnya sehingga dapat terhindar dari
berbagai penyakit infeksi yang memicu terjadinya demam.
2) Menjaga sanitasi dan kebersihan lingkungan. Jika lingkungan bersih
dan sehat akan sulit bagi agent penyakit untuk berkembang biak
sehingga anak dapat terhindar dari berbagai penyakit infeksi.

b. Pencegahan Primer
Pencegahan Primer yaitu upaya awal pencegahan sebelum seseorang
anak mengalami kejang demam. Pencegahan ini ditujukan kepada
kelompok yang mempunyai faktor risiko. Dengan adanya pencegahan ini
diharapkan keluarga/orang terdekat dengan anak dapat mencegah
terjadinya serangan kejang demam.
Upaya pencegahan ini dilakukan ketika anak mengalami demam.
Demam merupakan faktor pencetus terjadinya kejang demam. Jika anak
mengalami demam segera kompres anak dengan air hangat dan berikan
antipiretik untuk menurunkan demamnya meskipun tidak ditemukan bukti
bahwa pemberian antipiretik dapat mengurangi risiko terjadinya kejang
demam.

c. Pencegahan Sekunder
Yaitu upaya pencegahan yang dilakukan ketika anak sudah mengalami
kejang demam. Adapun tata laksana dalam penanganan kejang demam
pada anak meliputi:
1) Pengobatan Fase Akut
Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama adalah
menjaga agar jalan nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak
dimiringkan untuk mencegah aspirasi. Sebagian besar kasus kejang
berhenti sendiri, tetapi dapat juga berlangsung terus atau berulang.
Pengisapan lendir dan pemberian oksigen harus dilakukan teratur, bila
perlu dilakukan intubasi. Keadaan dan kebutuhan cairan, kalori dan
elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh dapat diturunkan dengan
kompres air hangat dan pemberian antipiretik. Pemberantasan kejang
dilakukan dengan cara memberikan obat antikejang kepada penderita.
Obat yang diberikan adalah diazepam. Dapat diberikan melalui intravena
maupun rektal.

2) Mencari dan mengobati penyebab


Pada anak, demam sering disebabkan oleh infeksi saluran
pernafasan akut, otitis media, bronkitis, infeksi saluran kemih, dan lain-
lain. Untuk mengobati penyakit infeksi tersebut diberikan antibiotik yang
adekuat. Kejang dengan suhubadan yang tinggi juga dapat terjadi karena
faktor lain, seperti meningitis atau ensefalitis. Oleh sebab itu
pemeriksaan cairan serebrospinal (lumbal pungsi) diindikasikan pada
anak penderita kejang demam berusia kurang dari 2 tahun. Pemeriksaan
laboratorium lain dilakukan atas indikasi untuk mencari penyebab,
seperti pemeriksaan darah rutin, kadar gula darah dan elektrolit.
Pemeriksaan EEG dilakukan pada kejang demam kompleks atau anak
yang mempunyai risiko untuk mengalami epilepsi.
3) Pengobatan profilaksis terhadap kejang demam berulang
Pencegahan kejang demam berulang perlu dilakukan karena
menakutkan keluarga dan bila berlangsung terus dapat menyebabkan
kerusakan otak yang menetap. Terdapat 2 cara profilaksis, yaitu:
a) Profilaksis intermitten pada waktu demam
Pengobatan profilaksis intermittent dengan antikonvulsan segera
diberikan pada saat penderita demam (suhu rektal lebih dari 38ºC).
Pilihan obat harus dapat cepat masuk dan bekerja ke otak. Obat yang
dapat diberikan berupa diazepam, klonazepam atau kloralhidrat
supositoria.
b) Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari
Indikasi pemberian profilaksis terus menerus adalah:
(1)Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan atau
gangguan perkembangan neurologis.
(2)Terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik
pada orang tua atau saudara kandung.
(3)Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti
kelainan neurologis sementara atau menetap. Kejang demam
terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi
kejang multipel dalam satu episode demam. Antikonvulsan
profilaksis terus menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah
kejang terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-
2 bulan. Pemberian profilaksis terus menerus hanya berguna
untuk mencegah berulangnya kejang demam berat, tetapi tidak
dapat mencegah timbulnya epilepsi di kemudian hari. Obat yang
dapat diberikan berupa fenobarbital dan asam valproat.

d. Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier adalah mencegah
terjadinya kecacatan, kematian, serta usaha rehabilitasi. Penderita
kejang demam mempunyai risiko untuk mengalami kematian
meskipun kemungkinannya sangat kecil. Selain itu, jika penderita
kejang demam kompleks tidak segera mendapat penanganan yang
tepat dan cepat akan berakibat pada kerusakan sel saraf (neuron).
Oleh karena itu, anak yang menderita kejang demam perlu
mendapat penanganan yang adekuat dari petugas kesehatan guna
mencegah timbulnya kecacatan bahkan kematian.
H. Komplikasi
Gangguan-gangguan yang dapat terjadi akibat dari kejang demam anak
antara lain:
1. Kejang Demam Berulang.
Kejang demam berulang adalah kejang demam yang timbul pada lebih dari
satu episode demam. Beberapa hal yang merupakan faktor risiko
berulangnya kejang demam yaitu :
a. Usia anak < 15 bulan pada saat kejang demam pertama
b. Riwayat kejang demam dalam keluarga
c. Kejang demam terjadi segera setelah mulai demam
d. Riwayat demam yang sering
e. Kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.

Berdasarkan penelitian kohort prospektif yang dilakukan Bahtera,


T., dkk (2009) di RSUP dr. Kariadi Semarang, dimana subjek penelitian
adalah penderita kejang demam pertama yang berusia 2 bulan - 6 tahun,
kemudian selama 18 bulan diamati. Subjek penelitian berjumlah 148 orang.
Lima puluh enam (37,84%) anak mengalami bangkitan kejang demam
berulang.30

2. Kerusakan Neuron Otak.


Kejang yang berlangsung lama (>15 menit) biasanya disertai
dengan apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk
kontraksi otot yang akhirnya menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia,
asidosis laktat karena metabolisme anaerobik, hipotensi arterial, denyut
jantung yang tak teratur, serta suhu tubuh yang makin meningkat sejalan
dengan meningkatnya aktivitas otot sehingga meningkatkan metabolisme
otak. Proses di atas merupakan faktor penyebab terjadinya kerusakan
neuron otak selama berlangsung kejang lama. Faktor terpenting adalah
gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga
meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang
mengakibatkan kerusakan neuron otak.

3. Retardasi Mental, terjadi akibat kerusakan otak yang parah dan tidak
mendapatkan pengobatan yang adekuat.
4. Epilepsi, terjadi karena kerusakan pada daerah medial lobus temporalis
setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama. Ada 3 faktor
risiko yang menyebabkan kejang demam menjadi epilepsi dikemudian hari,
yaitu :
a. Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung.
b. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang
demam pertama.
c. Kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.

Menurut American National Collaborative Perinatal Project,


1,6% dari semua anak yang menderita kejang demam akan berkembang
menjadi epilepsi, 10% dari semua anak yang menderita kejang demam
yang mempunyai dua atau tiga faktor risiko di atas akan berkembang
menjadi epilepsi.
5. Hemiparesis, yaitu kelumpuhan atau kelemahan otot-otot lengan, tungkai
serta wajah pada salah satu sisi tubuh. Biasanya terjadi pada penderita yang
mengalami kejang lama (kejang demam kompleks). Mula-mula
kelumpuhan bersifat flaksid, setelah 2 minggu timbul spasitas.
II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Survey Primer
Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan
manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam
kehidupan. Tujuan dari Primary survey adalah untuk mengidentifikasi dan
memperbaiki dengan segera masalah yang mengancam kehidupan. Prioritas yang
dilakukan pada primary survey antara lain (Fulde, 2009) :
a. Airway maintenance dengan cervical spine protection
b. Breathing dan oxygenation
c. Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
d. Disability-pemeriksaan neurologis singkat
e. Exposure dengan kontrol lingkungan
Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary survey
bahwa setiap langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan langkah
berikutnya hanya dilakukan jika langkah sebelumnya telah sepenuhnya dinilai dan
berhasil. Setiap anggota tim dapat melaksanakan tugas sesuai urutan sebagai
sebuah tim dan anggota yang telah dialokasikan peran tertentu seperti airway,
circulation, dll, sehingga akan sepenuhnya menyadari mengenai pembagian waktu
dalam keterlibatan mereka (American College of Surgeons, 1997). Primary survey
perlu terus dilakukan berulang-ulang pada seluruh tahapan awal manajemen.
Kunci untuk perawatan trauma yang baik adalah penilaian yang terarah, kemudian
diikuti oleh pemberian intervensi yang tepat dan sesuai serta pengkajian ulang
melalui pendekatan AIR (assessment, intervention, reassessment).
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain (Gilbert.,
D’Souza., & Pletz, 2009)
a. A : Airway ( jalan nafas ) karena pada kasus kejang demam Inpuls-inpuls
radang dihantarkan ke hipotalamus yang merupakan pusat pengatur suhu
tubuh  Hipotalamus menginterpretasikan impuls menjadi demam  Demam yang
terlalu tinggi merangsang kerja syaraf jaringan otak secara berlebihan ,
sehingga jaringan otak tidak dapat lagi mengkoordinasi persyarafan-
persyarafan pada anggota gerak tubuh. wajah yang membiru, lengan dan
kakinya tesentak-sentak tak terkendali selama beberapa waktu. Gejala ini
hanya berlangsung beberapa detik, tetapi akibat yang ditimbulkannya dapat
membahayakan keselamatan anak balita. Akibat langsung yang timbul apabila
terjadi kejang demam adalah gerakan mulut dan lidah tidak terkontrol. Lidah
dapat seketika tergigit, dan atau berbalik arah lalu menyumbat saluran
pernapasan.
Diagnosa:
- Ketidakefektifan bersihan jalan nafas bd spasme jalan nafas
- Risiko aspirasi bd penurunan reflek menelan
Tindakan yang dilakukan :
- Semua pakaian ketat dibuka
- Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung
- Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen
- Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen.
Evaluasi :
- Inefektifan jalan nafas tidak terjadi
- Jalan nafas bersih dari sumbatan
- RR dalam batas normal
- Suara nafas vesikuler

b. B : Breathing (pola nafas) karena pada kejang yang berlangsung lama


misalnya  lebih 15 menit biasanya disertai apnea, Na meningkat, kebutuhan O2
dan energi meningkat untuk kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi
hipoxia dan menimbulkan terjadinya asidosis.
Diagnosa:
- Gangguan pertukaran gas
- Gangguan ventilasi spontan
Tindakan yang dilakukan :
- Mengatasi kejang secepat mungkin
- Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih dalam keadaan
kejang, ditunggu selama 15 menit, bila masih terdapat kejang diulangi
suntikan kedua dengan dosis yang sama juga secara intravena. Setelah 15
menit suntikan ke 2 masih kejang diberikan suntikan ke 3 dengan dosis
yang sama tetapi melalui intramuskuler, diharapkan kejang akan
berhenti. Bila belum juga berhenti dapat diberikan fenobarbital atau
paraldehid 4 % secara intravena.
- Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen
Evaluasi :
- RR dalam batas normal
- Tidak terjadi asfiksia
- Tidak terjadi hipoxia

c. C : Circulation karena gangguan peredaran darah mengakibatkan hipoksia


sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang
mngakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah medial
lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama
dapat menjadi matang dikemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi
spontan, karena itu kejang demam yang berlangsung lama dapat
menyebabkan kelainan anatomis diotak hingga terjadi epilepsi.
Tindakan yang dilakukan :
- Mengatasi kejang secepat mungkin
- Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih dalam
keadaan kejang, ditunggu selama 15 menit, bila masih terdapat kejang
diulangi suntikan kedua dengan dosis yang sama juga secara
intravena. Setelah 15 menit suntikan ke 2 masih kejang diberikan
suntikan ke 3 dengan dosis yang sama tetapi melalui intramuskuler,
diharapkan kejang akan berhenti. Bila belum juga berhenti dapat
diberikan fenobarbital atau paraldehid 4 % secara intravena.
Pengobatan penunjang saat serangan kejang adalah :
- Semua pakaian ketat dibuka
- Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung
- Usahakan agar jalan napas bebasuntuk menjamin  kebutuhan oksigen
- Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan
oksigen
Evaluasi :
- Tidak terjadi gangguan peredaran darah
- Tidak terjadi hipoxia
- Tidak terjadi kejang
- RR dalam batas normal

d. Disability
Klien bisa sadar atau tidak tergantung pada jenis serangan atau
karakteristik dari epilepsi yang diderita. Biasanya pasien merasa
bingung, dan tidak teringat kejadian saat kejang
- Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
e. Exposure
Pakaian klien di buka untuk melakukan pemeriksaan thoraks, apakah
ada cedera tambahan akibat kejang, dan periksa suhu tubuh pasien
untuk mengetahui suhu tubuh yangmana kejang mungkin disebabkan
atau didahului oleh terjadinya demam.
Diagnosa:
- Risiko ketidakefektifan termoregulasi
Tindakan:
- Temukan adanya tanda-tanda kemungkinan terjadinya fraktur akibat
kejang yang dialami
- Berikan suhu ruangan yang sesuai untuk pasien dengan gangguan
termoregulasi.

2. Survey sekunder
a. Identitas klien meliputi: nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal
pengkajian dan diagnosa medis.
b. Keluhan utama:
Klien masuk dengan kejang, dan disertai penurunan kesadaran
c. Riwayat penyakit:
Klien yang berhubungan dengan faktor resiko bio-psiko-
spiritual. Kapan klien mulai serangan, pada usia berapa. Frekuansi
serangan, ada faktor presipitasi seperti suhu tinggi, kurang tidur, dan
emosi yang labil. Apakah pernah menderita sakit berat yang disertai
hilangnya kesadaran, kejang, cedera otak operasi otak. Apakah klien
terbiasa menggunakan obat-obat penenang atau obat terlarang, atau
mengkonsumsi alcohol. Klien mengalami gangguan interaksi dengan
orang lain / keluarga karena malu ,merasa rendah diri, ketidak berdayaan,
tidak mempunyai harapan dan selalu waspada/berhati-hati dalam
hubungan dengan orang lain.
1) Riwayat kesehatan
2) Riwayat keluarga dengan kejang
3) Riwayat kejang demam
4) Tumor intrakranial
5) Trauma kepala terbuka, stroke
d. Riwayat kejang :
1) Bagaimana frekuensi kejang.
2) Gambaran kejang seperti apa
3) Apakah sebelum kejang ada tanda-tanda awal.
4) Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan
5) Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
6) Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
e. Pemeriksaan fisik
1) Kepala dan leher : Sakit kepala, leher terasa kaku
2) Thoraks : Pada klien dengan sesak, biasanya menggunakan otot bantu
napas
3) Ekstermitas : Keletihan, kelemahan umum, keterbatasan dalam
beraktivitas, perubahan tonus otot, gerakan involunter/kontraksi otot
4) Eliminasi : Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter.
Pada post iktal terjadi inkontinensia (urine/fekal) akibat otot relaksasi
5) Sistem pencernaan : Sensitivitas terhadap makanan, mual/muntah
yang berhubungan dengan aktivitas kejang, kerusakan jaringan lunak.
Selain pengkajian tersebut, focus pengkajian pada sekondari survey
adalah sebagai berikut.
Menurut Doenges (1993 : 259) dasar data pengkajian pasien adalah:
1) Aktifitas / Istirahat
Gejala : Keletihan, kelemahan umum
Keterbatasan dalam beraktifitas / bekerja yang ditimbulkan oleh diri
sendiri / orang terdekat / pemberi asuhan kesehatan atau orang lain.
Tanda : Perubahan tonus / kekuatan otot
Gerakan involunter / kontraksi otot ataupun sekelompok otot
2) Sirkulasi
Gejala : Iktal : Hipertensi, peningkatan nadi sianosis
Posiktal : Tanda vital normal atau depresi dengan penurunan nadi dan
pernafasan.
3) Eliminasi
Gejala : Inkontinensia episodik.
Tanda : Iktal : Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter.
Posiktal : Otot relaksasi yang menyebabkan inkontenensia ( baik urine
/ fekal ).
4) Makanan dan cairan
Gejala : Sensitivitas terhadap makanan, mual / muntah yang
berhubungan dengan aktifitas kejang.
5) Neurosensori
Gejala : Riwayat sakit kepala, aktifitas kejang berulang, pingsan,
pusing. Riwayat trauma kepala, anoksia dan infeksi cerebral.
6) Nyeri / kenyaman
Gejala : Sakit kepala, nyeri otot / punggung pada periode posiktal.
Tanda : Sikap / tingkah laku yang berhati –hati.
Perubahan pada tonus otot.
Tingkah laku distraksi / gelisah.
7) Pernafasan
Gejala : Fase iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan menurun /
cepat, peningkatan sekresi mukus.
Fase posiktal : apnea.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit
2. Risiko Cedera dibuktikan dengan adanya kondisi klinis kejang
3. Risiko Ketidakefektifan perfusi jaringan otak dibuktikan dengan adanya
factor risiko cedera kepala
C. Intervensi
DIAGNOSA STANDAR LUARAN STANDAR INTERVENSI
KEPERAWATAN KEPERAWATAN
INDONESIA (SLKI) INDONESIA (SIKI)
Hipertermia Setelah dilakukan tindakan Manajemen
Hipertermia (I. 15506)
Definisi: Suhu tubuh keperawatan ……x….. jam
Observasi
meningkat diatas rentang diharapkan Termoregulasi
1. Identifikasi
normal tubuh Penyebab Membaik (L.14134)
penyebab hipertermia
a. Proses dengan kriteria hasil:
(mis. Dehidrasi,
penyakit (mis: 1. Kejang menurun (5)
terpapar lingkungan
infeksi, 2. Konsumsi oksigen
panas, penggunaan
kanker) meningkat (1)
incubator)
Gejala dan tanda 3. Pucat menurun (5)
2. Monitor suhu tubuh
mayor Subyektif: 4. Takikardi menurun (5)
3. Monitor kadar elektrolit
Tidak ada Objektif 5. Takipnea menurun (5)
4. Monitor haluaran urine
a. suhu tubuh diatas 6. Hipoksia menurun (5)
5. Monitor komplikasi
nilai normal 7. Kadar glukosa darah
akibat
membaik (5)
hipertermia
Gejala dan tanda 8. Pengisian kapiler
Terapeutik
minor Subyektif: membaik (5)
1. Sediakan lingkunga
Tidak ada 9. Ventilasi membaik (5)
yang dingin
Objektif 10. Tekanan darah
2. Longgarkan atau
a. Kulit merah membaik (5)
lepaska pakaian
b. Kejang
Hindari pemberian
antipiretik atau aspirin
c. Takikardi
3. Berikan oksigen
d. Takipnea
jika perlu
e. Kulit terasa
Edukasi
hangat
1. Anjurkan tirah baring

Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
cairan dan elektrolit
intravena jika perlu

Regulasi Temperatur
(I.14578)
Observasi
1. Monitor suhu tubuh
anak tiap 2 jam
2. Monitor tekanan darah,
frekuensi pernapasan,
dan nadi
3. Monitor warna
dan suhu kulit
4. Monitor dan catat
tanda dan gejala
hipertermia
Terapeutik
1. Pasang alat pemantau
suhu kontinu jika perlu
2. Sesuaikan suhu
linkungan
dengan kebutuhan
pasien
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
antipiretik
Risiko cedera Setelah dilakukan tindakan Pencegahan Cidera
Definisi: Berisiko (I.14537)
keperawatan ……x….. jam
mengalami bahaya atau Observasi
diharapkan Tingkat Cedera
1. Identifikasi area
kerusakan fisik yang
Menurun (L.14136) dengan
lingkungan yang
menyebabkan seseorang
kriteria hasil:
berpotensi
tidak lagi sepenuhnya
1. Tekanan darah membaik (5)
menyebabkan cedera
sehat atau dalam kondisi
2. Frekuensi nadi membaik (5)
2. Identifikasi obat yang
baik
3. Frekuensi nafas
berpotensi
Faktor resiko Internal
a. Hipoksia jaringan membaik (5) menyebabkan cedera
b. Kegagalan Kontrol Kejang
Pencegahan Kejang (I.14542)
mekanisme Meningkat (L.06050) dengan
Observasi
pertahanan tubuh kriteria hasil:
1. Monitor status
1. Kepatuhan minum obat
neurologis
meningkat (5)
2. Monitor tanda-
2. Kemampuan melaporkanefek
tanda vital
samping obat
Terapeutik
meningkat (5)
1. Baringkan pasien agar
3. Mendapatkan obat yang
tidak terjatuh
dibutuhkan meningkat (1)
2. Rendahkan ketinggian
4. Melaporkan frekuensi kejang
tempat tidur
meningkat (1)
3. Pasang side-rail tempat
tidur
4. Jauhkan
benda-benda berbahaya
terutama benda tajam
Edukasi
1. Anjurkan segera
melapor jika
merasakan aura
2. Ajarkan keluarga
pertolongan pertama
pada kejang
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
anti konvulsan jika perlu

Risiko perfusi jaringan Setelah dilakukan tindakan Manajemen


cerebral
keperawatan ……x….. jam Peningkatan Tekanan
Definisi: Berisiko
diharapkan Perfusi Intrakranial (I.06194)
mengalami penurunan
Serebral Meningkat
sirkulasi darah ke otak Observasi
(L.02014) dengan kriteria hasil:
Faktor resiko 1. Identifikasi
a. Cedera kepala 1. Tingkat Kesadaran meningkat
penyebab peningkatan
(5)
TIK (mis. Lesi,
2. Demam menurun (5)
gangguan metabolism,
3. Tekanan arteri rata-rata
edema serebral)
membaik (5)
2. Monitor tanda atau
4. Tekanan darah sistolik
gejala peningkatan TIK
membaik (5)
(mis. Tekanan darah
5. Tekanan darah diastolic
meningkat, tekanan
membaik (5)
nadi melebar,
bradikardi, pola napas
irregular, kesadaran
menurun)
3. Monitor MAP
4. Monitor status
pernapasan
5. Monitor intake dan
output cairan
Terapeutik
1. Cegah terjadinya kejang
2. Pertahankan suhu
tubuh normal
3. Meminimalkan
stimulus dengan
menyediakan
lingkungan yang
tenang
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
sedasi dan
antikonvulsan, jika
perlu.
Pemantauan Tekanan
Intrakranial (I.06198)
Observasi
1. Monitor penurunan
frekuensi jantung
2. Monitor penurunan
tingkat kesadaran
3. Monitor ireguleritas
irama napas
Terapeutik
1. Pertahankan posisi
kepala dan leher netral
2. Atur interval
pemantauan sesuai
kondisi pasien
3. Dokumentasikanhasil
pemantauan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
2. Informasikan
pemantauan jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Arif Mansjoer, dkk (2000), Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media


Aesculapius, Jakarta
Dewanto, George, et al. 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana
Penyakit Saraf. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Doenges, Marillyn E, dkk (2000), Penerapan Proses Keperawatan dan Diagnosa
Keperawatan, EGC, Jakarta
Doenges, Marillyn E, et all (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC,
Jakarta
Hawari, Irawaty, 2012. Epilepsi di Indonesia. Available from: http://www.ina-
epsy.org/ [Accessed 4 Desember 2019].
IDAI. 2009. Pedoman Pelayanan Medis, hal: 253, Jakarta, IDAI.
Judha M & Rahil H.N. 2011 Sistem Persarafan Dalam Asuhan Keperawatan.
Yogyakarta: Gosyen Publishing
Krisanty P,. Dkk (2008), Asuhan Keperawatan Gawat darurat, Trans info Media,
Jakarta
Lumbantobing, SM. 2004. Neurogeriatri. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. p. 111-
122
Ngastiyah (1997), Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta
Price and Wilson. 2005. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Vol.2.
Jakarta : EGC.
Riyadi, Sujono & Sukarmin. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi 1,
Yogyakarta : Graha Ilmu
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Kota Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia.
Kota Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Kota Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI
WHO, 2012. Neurological disorders: A Public Health Approach. WHO.
Tabanan, 2019
Pembimbing Praktik/ CI Mahasiswa

(Ni Made Anasari)


NIP. NIM. P07120216008

Pembimbing Akademik/ CT

(Ni Made Wedri, A.Per.Pen.,S.Kep.,Ns.,M.Kes)


NIP. 196106241987032002
D. PERENCANAAN ASUHAN KEPERAWATAN

DIAGNOSA STANDAR LUARAN STANDAR INTERVENSI


KEPERAWATAN KEPERAWATAN
INDONESIA (SLKI) INDONESIA (SIKI)
Hipertermia Setelah dilakukan tindakan Manajemen
Hipertermia (I. 15506)
Definisi: Suhu tubuh keperawatan ……x….. jam
Observasi
meningkat diatas rentang diharapkan Termoregulasi
1. Identifikasi
normal tubuh Penyebab Membaik (L.14134)
penyebab hipertermia
a. Proses penyakit dengan kriteria hasil:
(mis. Dehidrasi,
(mis: infeksi, 1. Kejang menurun (5)
terpapar lingkungan
kanker) 2. Konsumsi oksigen
panas, penggunaan
Gejala dan tanda meningkat (1)
incubator)
mayor Subyektif: 3. Pucat menurun (5)
2. Monitor suhu tubuh
Tidak ada Objektif 4. Takikardi menurun (5)
3. Monitor kadar elektrolit
a. suhu tubuh diatas 5. Takipnea menurun (5)
4. Monitor haluaran urine
nilai normal 6. Hipoksia menurun (5)
5. Monitor komplikasi
7. Kadar glukosa darah
akibat
Gejala dan tanda membaik (5)
hipertermia
minor Subyektif: 8. Pengisian kapiler
Terapeutik
Tidak ada membaik (5)
1. Sediakan lingkunga
Objektif 9. Ventilasi membaik (5)
yang dingin
a. Kulit merah 10. Tekanan darah
2. Longgarkan atau
membaik (5)
b. Kejang
lepaska pakaian
c. Takikardi Hindari pemberian
antipiretik atau aspirin
d. Takipnea
3. Berikan oksigen
e. Kulit terasa
jika perlu
hangat
Edukasi
1. Anjurkan tirah baring

Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
cairan dan elektrolit
intravena jika perlu

Regulasi Temperatur
(I.14578)
Observasi
1. Monitor suhu tubuh
anak tiap 2 jam
2. Monitor tekanan darah,
frekuensi pernapasan,
dan nadi
3. Monitor warna
dan suhu kulit
4. Monitor dan catat
tanda dan gejala
hipertermia
Terapeutik
1. Pasang alat pemantau
suhu kontinu jika perlu
2. Sesuaikan suhu
linkungan
dengan kebutuhan
pasien
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
antipiretik
Risiko perfusi jaringan Setelah dilakukan tindakan Manajemen
cerebral
keperawatan ……x….. jam Peningkatan Tekanan
Definisi: Berisiko
diharapkan Perfusi Intrakranial (I.06194)
mengalami penurunan
Serebral Meningkat
sirkulasi darah ke otak Observasi
(L.02014) dengan kriteria hasil:
Faktor resiko 1. Identifikasi
1. Tingkat Kesadaran meningkat
a. Cedera kepala penyebab peningkatan
(5)
TIK (mis. Lesi,
2. Demam menurun (5)
gangguan metabolism,
3. Tekanan arteri rata-rata
edema serebral)
membaik (5)
2. Monitor tanda atau
4. Tekanan darah sistolik
gejala peningkatan TIK
membaik (5)
(mis. Tekanan darah
5. Tekanan darah diastolic
meningkat, tekanan
membaik (5)
nadi melebar,
bradikardi, pola napas
irregular, kesadaran
menurun)
3. Monitor MAP
4. Monitor status
pernapasan
5. Monitor intake dan
output cairan
Terapeutik
1. Cegah terjadinya
kejang
2. Pertahankan suhu
tubuh normal
3. Meminimalkan
stimulus dengan
menyediakan
lingkungan yang
tenang
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
sedasi dan
antikonvulsan, jika
perlu.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai