0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
2K tayangan29 halaman
Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
Dokumen tersebut membahas tentang Benign Prostate Hyperplasia (BPH) yang meliputi definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, gejala klinis, diagnosis, penatalaksanaan, dan komplikasi BPH beserta pembahasan anatomi dan fisiologi kelenjar prostat.
Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
Dokumen tersebut membahas tentang Benign Prostate Hyperplasia (BPH) yang meliputi definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, gejala klinis, diagnosis, penatalaksanaan, dan komplikasi BPH beserta pembahasan anatomi dan fisiologi kelenjar prostat.
Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
Dokumen tersebut membahas tentang Benign Prostate Hyperplasia (BPH) yang meliputi definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, gejala klinis, diagnosis, penatalaksanaan, dan komplikasi BPH beserta pembahasan anatomi dan fisiologi kelenjar prostat.
J 500090003 Pembimbing : dr. Bambang Suhartanto, Sp. B
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH RSUD Dr. HARJONO PONOROGO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2013 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pembesaran prostat jinak atau Benign Prostate Hyperplasia. Terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat. Berhubungan dengan proses penuaan yang mengakibatkan penurunan kadar hormon pria. Pada usia 60 tahun nodul pembesaran prostat tersebut terlihat pada sekitar 60%, tetapi gejala baru dikeluhkan sekitar 30-40% Sedangkan pada usia 80 tahun nodul terlihat pada 90% yang sekitar 50% diantaranya sudah mulai memberikan gejala Penelitian secara histopatologi di negara Barat menunjukkan sekitar 20% kasus BPH terjadi pada usia 41-50 tahun, 50% pada usia 51-60 tahun dan lebih dari 90% pada usia lebih dari 80 tahun Di Indonesia, BPH merupakan kelainan urologi kedua setelah batu saluran kemih yang dijumpai di klinik Urologi dan diperkirakan 50% pada pria berusia diatas 50 tahun Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta ditemukan rata-rata 150-200 penderita pembesaran prostat setiap tahun memerlukan tindakan operasi, serta ada kecenderungan angka tersebut akan terus meningkat SMF Urologi RS Dr Wahidin Sudirohusodo Makasar, dalam 5 tahun terakhir penyakit ini menduduki peringkat pertama menggeser batu saluran kemih Angka harapan hidup di Indonesia, rata-rata mencapai 65 tahun sehingga diperkirakan 2,5 juta laki-laki di Indonesia menderita BPH Tujuan Penulisan Untuk mengetahui berbagai hal tentang definisi, epidemiologi, etiologi, faktor risiko, patofisiologi, gambaran klinis, kriteria diagnosis, penatalaksanaan serta komplikasi pada penyakit Benign Prostate Hyperplasia (BPH). BAB II ISI Anatomi Fisiologi Kelenjar Prostat Prostat organ kelenjar yang fibromuskular, yang terletak persis dibawah kandung kemih. Berat prostat pada orang dewasa normal 20 gram, didalamnya terdapat uretra posterior dengan panjangannya 2,5-3 cm Prostat terdiri dari lima lobus : Lobus anterior, Lobus medius , Lobus posterior , Lobus dextra, Lobus sinistra Prostat dibagi atas : Zona anterior fibromuskular , Zona transisi , Zona central, Zona perifer Fungsi kelenjar prostat yaitu mengeluarkan cairan alkalis yang menetralkan sekresi vagina yang asam, karena sperma lebih dapat bertahan dalam suasana yang sedikit basa Dihidrotestosteron (DHT) yang dibentuk dari testosteron di sel sertoli dan di beberapa organ memiliki peranan dalam pertumbuhan prostat dan merangsang aktivitas sekretorik prostat. Prostat juga dipengaruhi oleh hormon androgen, bagian yang sensitif terhadap androgen adalah bagian perifer, sedangkan yang sensitif terhadap estrogen adalah bagian sentral sekresi androgen yang berkurang sedangkan estrogen bertambah secara relatif ataupun absolut orang tua bagian central yang mengalami hiperplasia DEFINISI BPH Benign Prostate Hyperplasia atau BPH adalah pembesaran prostat jinak yang menghambat aliran urin dari kandung kemih. Pembesaran ukuran prostat ini akibat adanya hiperplasia stroma dan sel epitelial mulai dari zona periuretra Terdapat hiperplasia sel- sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat yang biasanya timbul di periuretra dan zona transisi dari kelenjar menekan kelenjar normal yang tersisa EPIDEMIOLOGI Insidensi BPH mulai usia 40-an dimana kemungkinan seseorang tersebut menderita 40%, rentang usia 60-70 tahun, persentasenya 50% diatas 70 tahun akan meningkat 90% RS Cipto Mangunkusumo ditemukan 423 kasus BPH yang dirawat selama tiga tahun (1994-1997) dan di RS Sumber Waras sebanyak 617 kasus dalam periode yang sama Di Indonesia, BPH merupakan penyakit tersering kedua di klinik urologi setelah batu saluran kemih Etiologi Teori Dihidrotestosteron (DHT) Testosteron DHT sintesis PGF Picu Pertumbuhan Kelenjar Prostat Ketidakseimbangan antara estrogen- testosteron Usia tua testosteron estrogen (peka androgen)reseptor androgen apoptosis sel prostat Interaksi stroma- epitel Diferensiasi dan pertumbuhan sel-sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth factor) Berkurangnya kematian sel prostat Teori stem cell sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi bergantung pada hormon androgen kadarnya menurun akan menyebabkan terjadinya apoptosis Faktor Risiko Kadar Hormon Usia Ras Riwayat keluarga Obesitas Pola Diet Aktivitas Seksual Kebiasaan Merokok Kebiasaan minum-minuman alkohol Olahraga Penyakit Diabetes Mellitus
Patofisiologi Gangguan keseimbangan akibat senilitas Testosteron menurun, Estrogen tetap Sensitifitas reseptor Androgen Responsif thdp kerja DHT (mediator pertumbuhan prostat) BPH Penyempitan Lumen Uretra Posterior Tekanan Intravesika Gejala Obstruktif & Iritatif
Gambaran klinis Gejala obstruktif : hesitancy, pancaran kencing lemah (loss of force), pancaran kencing terputus-putus (intermitency), tidak puas saat selesai berkemih (sense of residual urine), rasa ingin kencing lagi sesudah kencing (double voiding) dan keluarnya sisa kencing pada akhir berkemih (terminal dribbling). Gejala iritatif : frekuensi kencing yang tidak normal (polakisuria), terbangun di tengah malam karena sering kencing (nocturia), sulit menahan kencing (urgency), dan rasa sakit waktu kencing (disuria), kadang juga terjadi kencing berdarah (hematuria). KLASIFIKASI BPH Colok dubur, penonjolan prostat, batas atas mudah diraba dan sisa volume urin <50 ml Derajat I Colok dubur, penonjolan prostat jelas, batas atas dapat dicapai, sisa volume urin 50-100 ml Derajat II Colok dubur, batas atas prostat tidak dapat diraba, sisa volume urin > 100 ml Derajat III Terjadi retensi urin total Derajat IV Diagnosis Keluhan yang dirasakan dan seberapa lama keluhan itu telah mengganggu Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenitalia (pernah mengalami cedera, infeksi atau pembedahan) Riwayat kesehatan Obat-obatan Anamnesis Colok dubur atau digital rectal examination (DRE) : Bentuk, Ukuran, Permukaan, Sulcus Medianus, Konsistensi,, Volume Prostat, Nyeri Tekan/tidak, nodul Tonus sfingter ani, mukosa rectum Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Penunjang Urinalisis Pemeriksaan Fungsi Ginjal Pemeriksaan PSA (Prostate Spesific Antigen) Catatan Harian Miksi (Voiding Diaries) Uroflometri Pemeriksaan Residual Urine Pencitraan Traktus Urinarius Uretrosistoskopi Pemeriksaan Urodinamika PENATALAKSANAAN Pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan penyakitnya keadaannya tetap diawasi oleh dokter Watchful waiting Antagonis adrenergik reseptor yang dapat berupapreparat non selektiif Inhibitor 5 reductase, yaitu finasteride dan dutasteride Fitofarmaka Medikamentosa Teknik ablasi jaringan prostat atau pembedahan Teknik instrumentasi alternatif Terapi Intervensi INDIKASI PEMBEDAHAN retensi urine karena BPO (derajat obstruksi prostat) infeksi saluran kemih berulang karena BPO hematuria makroskopik karena BPE batu kandung kemih karena BPO gagal ginjal yang disebabkan oleh BPO TEKNIK PEMBEDAHAN Prostatektomi terbuka TURP (Trans Uretra Resection Prostat) TUIP (Trans Uretra Insisi Prostat) Laser Prostatektomi merupakan cara yang paling tua, paling invasif, dan paling efisien di antara tindakan pada BPH yang lain dan memberikan perbaikan gejala BPH 98% pendekatan transvesikal yang mula-mula diperkenalkan oleh Hryntschack dan pendekatan retropubik yang dipopulerkan oleh Millin Prostatektomi terbuka 90% dari semua tindakan pembedahan prostat pada pasien BPH TURP lebih sedikit menimbulkan trauma dibandingkan prosedur bedah terbuka dan memerlukan masa pemulihan yang lebih singkat TURP (Trans Uretra Resection Prostat) direkomendasikan pada prostat yang ukurannya kecil (kurang dari 30 cm 3 ), tidak dijumpai pembesaran lobus medius, dan tidak diketemukan adanya kecurigaan karsinoma prostat TUIP (Trans Uretra Insisi Prostat) Jika dibandingkan dengan pembedahan, pemakaian Laser ternyata lebih sedikit menimbulkan komplikasi dan penyembuhan lebih cepat, tetapi kemampuan dalam meningkatkan perbaikan gejala miksi maupun Qmax tidak sebaik TURP Laser Prostatektomi PROSTATEKTOMI TERBUKA KOMPLIKASI Trabekulasi yakni terjadi penebalan serat- serat otot detrusor akibat tekanan intra vesika yang selalu tinggi karena obstruksi. Sakulasi yaitu mukosa kandung kemih menerobos di antara serat-serat detrusor. Divertikel yakni terjadi bila sakulasi menjadi besar. Pembentukan batu vesika akibat selalu terdapat sisa urine setelah miksi, sehingga terjadi pengendapan batu Bila tekanan intra vesika yang selalu tinggi tersebut diteruskan ke ureter dan ginjal akan terjadi hidroureter dan hidronefrosis yang akan mengakibatkan penurunan fungsi ginjal TERIMA KASIH DAFTAR PUSTAKA Abbas, AK., 2005. Robbins Basic Pathology. W.B Saunders Amalia, R., 2007. Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Pembesaran Prostat Jinak. Program Pasca Sarjana. Semarang : Fakultas Kedokteran UNDIP AUA, 2003. AUA guideline on management of benign prostatic hyperplasia. Practice guidelines committee. Chapter 1: diagnosis and treatment recommendations. Journal Urology 170: 530-547 Birowo, P., 2002. Pembesaran Prostat Jinak. Jurnal Kedokteran & Farmasi Medika. No 7 tahun XXVIII Burkit, HJ., 1992. Problem Diagnosis and Management in Essensial Surgery. Churchill Livingstone. London : p.405-482 Connell, JD., 1999. Etiology, Pathophisiology and Diagnosis of Benign Prostatic Hiperplasia. In: Campbells Urology, W.B Saunders : 1432-33, 1437-44 Fadlol, Mochtar., 2005. Prediksi Volume Prostat Pada Penderita Pembesaran Prostat Jinak. Indonesia Journal of Surgery; XXXIII-4; 139-145 Fairman, J., 2005. Benign Prostatic Hyperplasia (BPH). AUA Foundation Education, Research, Advocacy Furqan, 2003. Evaluasi Biakan Urin Pada Penderita BPH Setelah Pemasangan Kateter Menetap:Pertama Kali dan Berulang. Sumatera Utara : Bagian Ilmu Bedah FK USU Guess, 1995. Epidemiology and Natural History of Benign Prostatic Hiperplasia. Urological Clinic of North America, volume 22. No.2 IAUI, 2000. Pedoman Penatalaksanaan BPH di Indonesia. Ikatan Ahli Urologi Indonesia Jacobsen, SJ., 1999. Treatment for Benign Prostatic Hyperplasia 15 among community dwelling men: the Olmsted County study of Urinary Symptoms and Healths Status. J Urol 162: 1301-1306 Javle, P., 1998. Grading of Benign Prostatic Obstruction can Predict the Outcome of Transurethral Prostatectomy. Journal Urology 160: 1713-1717 Kirby, Roger S, Christmas, Timothy J, 1997. Benign Prostatic Hiperplasia. Second Edition. Mosby International Laguna, P., Alivizatos, G., 2000. Prostate Spesific Antigen and Benign Prostatic Hyperplasia. Curr Oppin Urol 10: 3-8 Leveillee, 2006. Prostate Hyperplasia Benign. http://www.emedicine.com (diakses 9 Juni 2013) McConnell, JD., Bruskewitz, R., 1998. The effect of finasteride on the risk of acute urinary retention and the need for surgical treatment among men with benign prostatic hyperplasia. New England Journal Medicine 338: 557-563 Palinrungi, 2001. Terapi Medikamentosa Pembesaran Prostat Jinak dalam Jurnal Medika Nusantara, April-Juni. 22(2):360-69 Presti, JC., 2004. Neoplasms of the Prostate Gland in Smiths General Urology Sixteenth Edition Mc Graw Hill : Boston ; p.367-84 Purnomo, 2007. Dasar-Dasar Urologi, Edisi Kedua. Jakarta : Sagung Seto. 69-85 Raharjo, D., 1997. Pembesaran Prostat Jinak Manifestasi Klinik dan Manajemen. Jakarta : Ropansuri ; 15(1) : 37-44 Ramsey, EW., 2000. Practice patterns of Canadian Urologist in BPH and prostate cancer. Journal Urology 163: 499-502 Roehborn, Calus G, McConnell, John D., 2002. Etiology, Pathophysiology, and Naturall History of Benign Prostatic Hyperplasia. In Campbells Urology 8th ed W.B Saunders : p.1297-1330 Roehrborn, CG., 2001. Guidelines for the diagnosis and treatment of benign prostatic hyperplasia: a comparative, international review. Urology 58: 642-650 Samira, I., 2011. Benign Prostat Hyperplasia. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Sarim, ES., 1987. Usaha Menurunkan Angka Bakteriuria Setelah Pemasangan Kateter Uretra Menetap dan Perawatan Terbuka dengan Pemakaian Salep Povidone Iodine. UPF Imu Bedah FK UNPAD. Bandung : RS Hasan Sadikin Sjamsuhidajat, R., 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah de jong. Ed 3. Jakarta : EGC Snell, RS., 2006. Prostat. Anatomi Klinik. Ed 6. Jakarta : EGC;p.345-50 Walsh, Patrick C, 1992. Benign Prostatic Hyperplasia. In : Campbells Urology. 6th ed W.B Saunders ; p.1009-1025 Weinerth, 1992. The Male Genital System in Textbook of Surgery, Pocket Companion, Edited by: Sabiston DC and Liverly HK, W.B Saunders Company : 670-680