Anda di halaman 1dari 26

GOLONGAN OBAT ANTIJAMUR SISTEMIK KELOMPOK ANTIJAMUR AZOL Diperkenalkan untuk pertama kalinya pada tahun 1944, antijamur

azol berperanan penting dalam penatalaksanaan infeksi jamur. Kelompok azol dapat dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan jumlah nitrogen pada cincin azol. Kelompok imidazol (ketokonazol, mikonazol, dan klotrimazol) terdiri dari dua nitrogen dan kelompok triazol (itrakonazol, flukonazol, varikonazol, dan posakonazol) mengandung tiga nitrogen. Kedua kelompok ini memiliki spektrum dan mekanisme aksi yang sama. Triazol dimetabolisme lebih lambat dan efek samping yang sedikit dibandingkan imidazol, karena keuntungan itulah para peneliti berusaha mengembangkan golongan triazol daripada imidazol. Mekanisme kerja obat golongan azol

Gambar. Mekanisme biosintesis ergosterol dan mekanisme kerja berberapa obat antijamur terhadap biosintesis ergosterol

Pada umumnya golongan azol bekerja menghambat biosintesis ergosterol yang merupakan sterol utama untuk mempertahankan integritas membran sel jamur. Bekerja dengan cara menginhibisi enzim sitokrom P 450, C-14--demethylase yang bertanggung jawab merubah lanosterol menjadi ergosterol, hal ini mengakibatkan dinding sel jamur menjadi permeabel dan terjadi penghancuran jamur. 1. Ketokonazol Ketokonazol diperkenalkan tahun 1970 merupakan antijamur golongan imidazol pertama yang diberikan secara oral. Ketokonazol tidak lagi digunakan sebagai lini pertama untuk pengobatan infeksi dermatofitosis atau kandidiasis.

Gambar. Struktur kimia ketokonazol Aktivitas spektrum Ketokonazol mempunyai spektrum yang luas dan efektif terhadap Blastomyces dermatitidis, Candida species, Coccidiodes immitis, Histoplasma capsulatum, Malasezzia furfur, Paracoccidiodes brasiliensis. Ketokonazol juga efektif terhadap dermatofit tetapi tidak efektif terhadap Aspergillus spesies dan Zygomycetes. Farmakokinetik Absorpsi peroral tiap individu bervariasi.Setelah pemberian peroral dosis 200,400, dan 800 mg, konsentrasi puncak plasma sekitar 4, 8, 20 g/ml. Waktu paruh tergantung dari peningkatan dosis sekitar 7-8 jam pada dosis 800 mg. Konsentrasi zat aktif dalam urin sangat rendah. Di dalam darah, 84% ketokonazol terikat dalam plasma protein; 15% terikat pada eritrosit; dan 1% dalam bentuk bebas. Ketokonazol mencapai keratinosit secara efisien, dan konsentrasi pada cairan di vagina sama dengan di plasma. Konsentrasi dalam cairan

serebrospinal (CSF) pada pasien meningitis jamur kurang dari 1% dari total konsentrasi obat di plasma. Pemberian bersama dengan obat yang menginduksi enzim mikrosomal hepatik seperti rifampisin, dan isoniazid, dapat menurunkan 50% absorpsi ketokonazol. Konsentrasi ketokonazol dapat meningkat dalam plasma apabila diberikan bersama dengan siklosporin, midazolam, triazolam, indinavir, dan fen itoin karena obat tersebut dimetabolisme oleh enzim sitokrom p 450 CYP3A4.8 Makanan dapat menurunkan konsentrasi ketokonazol dalam serum, maka preparat ini lebih baik diberikan dalam kondisi perut kosong. Dosis Dosis ketokonazol yang diberikan pada dewasa 400 mg/hari sedangkan dosis untuk anak-anak 3,3-6,6 mg/kgBB dosis tunggal. Lama pengobatan untuk tinea korporis dan tinea kruris selama 2-4 minggu, 5 hari untuk kandida vulvovaginitis, 2 minggu untuk kandida esofagitis, tinea versikolor selama 5-10 hari, 6-12 bulan untuk mikosis dalam. Efek samping Anoreksia, mual dan muntah merupakan efek samping yang sering dijumpai terjadi pada 20% pasien yang mendapat dosis 400 mg/hari. Pemberian pada saat menjelang tidur atau dalam dosis terbagi dapat mengatasi keadaan ini. Alergi dapat terjadi pada 4% pasien, dan gatal tanpa rash terjadi sekitar 2% pada pasien yang diterapi ketokonazol. Ketokonazol dapat menginhibisi biosintesis steroid, seperti halnya pada jamur. Peninggian transaminase sementara dapat terjadi pada 5-10% pasien. Untuk pengobatan jangka waktu yang lama, dianjurkan dilakukan pemeriksaan fungsi hati. Hepatitis drug induced dapat terjadi pada beberapa hari pemberian terapi atau dapat terjadi berbulan-bulan setelah pemberian terapi ketokonazol. Ketokonazol dosis tinggi (>800 mg/hari) dapat menghambat human adrenal synthetase dan testicular steroid yang dapat menimbulkan alopesia, ginekomastia dan impoten. Interaksi obat Konsentrasi serum ketokonazol dapat menurun pada pasien yang mengkonsumsi obat yang menurunkan sekresi asam lambung antasida, antikolinergik dan H2 antagonis sehingga sebaiknya obat ini diberikan setelah 2 jam pemberian ketokonazol. Ketokonazol dapat memperpanjang waktu paruh terfenadin, astemizol dan cisaprid sehingga tidak diberikan

bersamaan dan juga dapat menimbulkan efek samping kardiovaskuler seperti pemanjangan Q-T interval dan torsade de pointes. Ketokonazol juga dapat memperpanjang waktu paruh dari midazolam dan triazolam dan dapat meningkatkan kadar siklosporin dan konsentrasi serum dari warfarin. Pemberian ketokonazol dan rifampisin secara bersamaaam dapat menurunkan efektifitas kedua obat. 2. Itrakonazol Itrakonazol diperkenalkan pada tahun 1992 merupakan sintesis derivat triazol. Digunakan sebagai lini pertama untuk infeksi yang disebabkan Candida dan spesies nondermatofita lainnya.

Gambar. Struktur Itrakonazol Aktivitas spektrum Itrakonazol mempunyai aktifitas spektrum yang luas terhadap Aspergillosis sp., Blastomyces dermatidis, Candida sp., Cossidiodes immitis, Cryptococcus neoformans, Histoplasma capsulatum, Malassezia furfur, Paracoccidiodes brasiliensis, Scedosporium apiospermum dan Sporothrix schenckii. Itrakonazol juga efektif terhadap dematiaceous mould dan dermatofita tetapi tidak efektif terhadap Zygomycetes. Farmakokinetik Konsentrasi itrakonazol di dalam serum dipengaruhi oleh makanan dan asam lambung. Absorpsi itrakonazol tidak begitu sempurna pada saluran gastrointestinal (55%) tetapi absorpsi tersebut dapat ditingkatkan jika itrakonazol dikonsumsi bersama makanan. Pemberian oral dengan dosis tunggal 100 mg, konsentrasi puncak plasma akan mencapai 0,10,2 mg/L dalam waktu 2-4 jam. Itrakonazol didistribusikan ke kulit melalui difusi pasif dari plasma menuju keratinosit dimana obat melekat di keratin. Itrakonazol dapat ditemukan dalam keringat sampai 24 jam

setelah pemberian dosis awal. Eksresi terbanyak itrakonazol melalui sebum. Sejumlah kecil itrakonazol didistribusikan kembali dari kulit dan ke plasma, selanjutnya itrakonazol dieliminasi melalui stratum korneum. Kurang dari 0,03% dari dosis itrakonazol akan dieksresi di urin tanpa mengalami perubahan tetapi lebih dari 18% akan dibuang melalui feces tanpa mengalami perubahan. Itrakonazol dimetabolisme di hati oleh sistem enzim hepatik sitokrom P-450. Kebanyakan metabolit yang tidak aktif akan dieksresi oleh empedu dan urin. Metabolit utamanya yaitu hidroksitrakonazol yang merupakan suatu bioaktif. Itrakonazol masih ditemukan pada stratum korneum selama 3-4 minggu setelah penghentian terapi. Pada model in vivo, efek terapi itrakonazol pada stratum korneum masih ada untuk 2-3 minggu setelah terapi dihentikan. Dosis Itrakonazol dosis kontinyu sama efektif dengan dosis pulse. Pada onikomikosis kuku tangan, pulse terapi diberikan selama 2 bulan, sedangkan onikomikosis kuku kaki selama 3 bulan. Itrakonazol merupakan obat kategori C, sehingga tidak direkomendasikan untuk wanita hamil dan menyusui, karena dieksresikan di air susu. Itrakonazol tersedia juga dalam bentuk kapsul 100 mg. Bentuk kapsul diberikan dalam kondisi lambung penuh untuk absorpsi maksimal, karena cyclodextrin yang terdapat dalam bentuk ini sering menimbulkan keluhan gastrointestinal. Tabel . Rejimen dosis itrakonazol Dewasa Onikomikosis Kuku tangan : 200 mg 2xsehari 1 minggu/bulan , 2 dosis pulse Kuku kaki : 200 mg/harix12 minggu Atau 200 mg 2xsehari x 1minggu/bulan, 3 dosis pulse Tinea kapitis 250 mg/hari x 2-8 minggu Anak-anak Kuku tangan : 5 mg/kg/hari x 1 minggu/bulan, 2 dosis pulsea Kuku kaki : 5 mg/kg/hari x 1 minggu/bulan, 3 dosis pulse

Infeksi Trichophyton : 5 mg/kg/hari x 2-4 minggu Infeksi Mikrosporum : 5 mg/kg/hari x 4-8 minggu Tinea korporis, tinea kruris, 200 mg 2xseharix1 minggu Dosis berdasarkan berat x 1-4 tinea pedis minggu Pitiriasis versikolor 200 mg/hari x 5-7 hari, untuk Tidak ada penelitian pencegahan rekuren dengan 200 mg 2xsehari dosis tunggal/bulan
5

Dosis pediatrik berdasarkan berat badan : 100 mg/hari (15-30 mg), 100 mg/hari dapat diganti dengan 200 mg/hari (30-40 kg), 200mg/hari (> 50 kg) Efek samping Efek samping yang sering dijumpai adalah masalah gastrointestinal seperti mual, nyeri abdomen dan konstipasi. Efek samping lain seperti sakit kepala, pruritus, dan ruam alergi. Penelitian efek samping itrakonazol oleh Sharkey dkk., tahun 1991 terhadap 189 pasien yang mendapat dosis 50-400 mg per hari, melaporkan bahwa mual dan muntah (10%), hipertrigliseridemia (9%) hipokalemia (6%), peningkatan serum aminotransferase (5%), rash (2%) dan efek samping lain (39%). Ditemukannya hipokalemia pada pasien yang menerima dosis itrakonazol 600 mg perhari yang dikombinasi dengan pemberian jangka panjang Amfoterisin B. Efek samping lain meliputi insufisiensi adrenal, edema tungkai bawah, hipertensi, dan pada satu pasien mengalami rhabdomyolisis. Dosis di atas 400 mg perhari tidak direkomendasikan untuk pemberian jangka panjang. Interaksi obat Absorpsi itrakonazol akan berkurang jika diberikan bersama dengan obat yang dapat menurunkan sekresi asam lambung seperti antasida, H2 antagonis, omeprazol dan lansoprazol. Itrakonazol merupakan suatu inhibitor dari sistem hepatik sitokrom P 450-3A4 sehingga pemberian bersama obat lain yang metabolismenya melalui sistem tersebut dapat meningkatkan konsentrasi azol. Itrakonazol dapat memperpanjang dari waktu paruh paruh obat terfenadin, astemizol, midazolam, triazolam, lovastatin, simvastatin, cisaprid, pimozid, quinidin. Itrakonazol juga dapat meningkatkan konsentrasi serum digoksin, siklosporin takrolimus, dan warfarin. 3. Flukonazol Flukonazol merupakan suatu hidrofilik dari sintetik triazol, terdapat dalam bentuk oral dan parenteral. Ditemukan pada tahun 1982 dan diperkenalkan pertama kali di Eropa lalu di Amerika Serikat. Bersifat fungistatik dan efektif melawan yeast (kecuali Candida krusei).

Mekanisme kerja

Flukonazol mempunyai mekanisme kerja yang sama dengan triazol lain yaitu merupakan suatu inhibitor poten terhadap biosintesis ergosterol, bekerja dengan menghambat sistem enzim sitokrom P-450 14--demethylase dan bersifat fungistatik.

Gambar. Struktur Flukonazol Aktifitas spektrum Menurut FDA flukonazol efektif untuk mengatasi kandidiasis oral atau esophageal, criptococcal meningitis dan pada penelitian lain dinyatakan efektif (limfokutaneus dan visceral). Farnakokinetik Absorpsi paling baik (>90%) setelah makan dan keadaan perut terisi dan tidak pada sporotrikosis

tergantung dari keasaman lambung. Flukonazol memiliki waktu paruh 25-30 jam, dan mencapai kadar tetap setelah pemberian sekali sehari selama 7 hari. Flukonazol berikatan lemah pada protein plasma dan sekitar 90% obat bersirkulasi bebas di dalam plasma. Sekitar 80% obat dieksresikan melalui urin, 2 % feses, dan 11 % dalam bentuk metabolit di urin. Kadar flukonazol di dalam CSF, saliva, jaringan vagina, sputum, kulit dilaporkan sebanding dengan konsentrasi dalam plasma. Gangguan farmakokinetik flukonazol berupa penurunan plasma klirens ditemukan pada pasien dengan sirosis dan gagal ginjal. Pada bayi di bawah 3 bulan , flukonazol klirens lebih cepat dibandingkan pada orang dewasa. Dosis Flukonazol digunakan sebagai lini pertama terapi kandidiasis mukotan. Pada pediatrik digunakan untuk terapi tinea kapitis yang disebabkan Tinea tonsurans dengan dosis 6

mg/kg/hr selama 20 hari, dan 5 mg/kg/hr selama 30 hari. Tetapi diberikan lebih lama pada infeksi Mycoplasma canis. Flukonazol tersedia sediaan tablet 50 mg, 100 mg, 150 mg, dan 200mg; sediaan oral solusio 10 mg/ml dan 40 mg/ml dan dalam bentuk sediaan intravena. Direkomendasikan pada anak-anak <6 bulan. Penggunaan untuk orang dewasa dan kandidiasis vagina adalah 150 mg dosis tunggal. Pada kandidiasis vulvovaginal rekuren 150 mg tiap minggu selama 6 bulan atau lebih. Tinea pedis dengan 150 mg tiap minggu selama 3-4 minggu, dengan 75% perbaikan pada minggu ke-4. Pada terapi onikomikosis, terbinafin 250 mg sehari selama 12 minggu lebih utama dibandingkan flukonazol 150 mg tiap minggu selama 24 minggu. Pada pitiriasis versikolor digunakan 400 mg dosis tunggal. Pada suatu penelitian open label randomized meneliti pitiriasis versikolor yang diterapi dengan 400 mg flukonazol dosis tunggal dibandingkan dengan 400 mg itrakonazol, ternyata flukonazol lebih efektif dibandingkan itrakonazol dengan dosis sama. Flukonazol ditoleransi baik oleh geriatrik kecuali dengan gangguan ginjal. Obat ini termasuk kategori C, sehingga tidak direkomendasikan untuk wanita hamil dan menyusui. Efek samping Efek samping yang sering adalah masalah gastrointestinal seperti mual, muntah, diare, nyeri abdomen dan juga sakit kepala. Selain itu hipersensitivitas, agranulositosis, sindroma Stevens Johnsons, hepatotoksik, trombositopenia dan efek pada sistem saraf pusat. Interaksi obat Flukonazol dapat meningkatkan efek atau kadar dari obat astemizol, amitriptilin, kafein, siklosporin, fenitoin, sulfonylurea, terfenadin, teofilin, warfarin, simetidin, hidroklortiazid dan zidofudin. Pemberian bersama flukonazol dengan cisapride ataupun terfenadin merupakan kontraindikasi oleh karena dapat menimbulkan disritmia jantung yang serius dan torsade de pointes. Flukonazol juga dapat berinteraksi dengan tolbutamid, glipizid yang menimbulkan efek hipoglikemia. Kadar atau efek flukonazol dapat menurun jika diberikan bersama karbamazepin, isoniazid, fenobarbital, rifabutin dan rifampisin. 4. Varikonazol

Varikonazol merupakan triazol generasi kedua berupa turunan flukonazol dan tersedia dalam bentuk oral maupun parenteral. Merupakan derivat flukonazol.

Gambar. Struktur varikonazol

Mekanisme kerja Varikonazol merupakan inhibitor poten terhadap biosintesis ergosterol, bekerja pada enzim sitokrom p-450, lanosterol 14-- demethylase. Hal ini menyebabkan berkurangnya ergosterol dan penumpukan methilat sterols yang mengakibatkan rusaknya struktur dan fungsi membran jamur. Aktifitas spektrum Varikonazol mempunyai spektrum yang luas terhadap Aspergillus sp., Blastomyces dermatitidis, Candida sp, Candida spp flukonazol resistant., Cryptococcus neoforams, Fusarium sp., Histoplasma capsulatum, dan terhadap Zygomycetes. Farmakokinetik Vorikonazol tersedia dalam bentuk tablet dan sediaan intravena (dalam bahan pembawa sulfobutyl betadex sodium) dengan pemberian dua kali sehari. Bioavailabilabilitas oral vorikonazol sebesar 96% dan 56% terikat dengan protein. Asam lambung dapat menghambat absorpsi vorikonazol. Konsentrasi maksimal pada plasma terjadi dua jam setelah pemberian oral. Vorikonazol dapat mencapai cairan serebrospinal dengan konsentrasi 1-3 g/ml dengan waktu paruh enam jam dalam darah. Dosis Scedosporium apospermum. Tidak efektif

Pemberian pada kandidiasis esofageal dimulai dengan dosis oral 200 mg setiap 12 jam untuk berat badan > 40 kg dan 100 mg setiap 12 jam untuk berat badan < 40 kg. Untuk aspergilosis invasif dan penyakit jamur, lainnya yang disebabkan Scedosporium asiospermum dan Fussarium spp, direkomendasikan loading dose 6 mg/kg IV setiap 12 jam untuk 24 jam pertama, diikuti dengan dosis pemeliharaan 4 mg/kgBB setiap 12 jam dengan pemberian intravena atau 200 mg setiap 12 jam per oral. Efek samping Vorikonazol dapat ditoleransi baik oleh manusia. Efek toksik vorikonazol yang sering ditemukan adalah gangguan penglihatan transien (30%). Meski dapat ditoleransi dengan baik, pada 10-15% kasus ditemukan adanya abnormalitas fungsi hepar sehingga dalam pemberian vorikonazol perlu dilakukan monitor fungsi hepar. Vorikonazol bersifat teratogenik pada hewan dan kontraindikasi pada wanita hamil. Interaksi obat Absorpsi varikonazol tidak mengalami penurunan jika diberikan bersama dengan obat lain seperti simetidin, ranitidin yang berfungsi mengurangi sekresi asam lambung. Varikonazol kurang poten sebagai inhibitor sistem enzim human hepatik sitokrom P -450- 3A4 dibandingkan itrakonazol ataupun ketokonazol, namun varikonazol dapat meningkatkan konsentrasi serum terfenadin, astemizol, cisaprid, pimozid, warfarin, tolbutamid, glipizid dan quinidin. Varikonazol dapat menurunkan konsentrasi serum siklosporin dan takrolimus. 5. Posakonazol Posakonazol merupakan kelompok triazol generasi dua, memiliki struktur kimia serupa dengan itrakonazol namun mengganti cincin klorin dan cincin furan dengan cincin dioksolan. Posakonazol menghambat jamur dengan inhibisi enzim lanosterol 14-demethylase. Deplesi ergosterol menyebabkan akumulasi prekursor metilasi sterol menyebabkan inhibisi pertumbuhan dinding sel jamur, kematian sel jamur.

10

Gambar. Struktur kimia posakonazol.

Aktivitas spektrum Posakonazol memiliki kemampuan antijamur terluas saat ini. Tidak ditemukan resistensi silang posakonazol dengan flukonazol. Posakonazol merupakan satu-satunya golongan azol yang dapat menghambat jamur golongan Zygomycetes. Posakonazol juga dapat digunakan dalam pengobatan aspergilosis dan fusariosis. Dosis Posakonazol hanya tersedia dalam bentuk suspensi oral, dapat diberikan dengan rentang dosis 50-800 mg. Pemberian awal posakonazol dibagi menjadi empat dosis guna mencapai level plasma adekuat. Pemberian posakonazol dapat juga diberikan dua kali sehari pada keadaan tidak membahayakan jiwa. Absorbsi posakonazol lebih baik bila diberikan bersama dengan makanan atau suplemen nutrisi.

KELOMPOK ANTIJAMUR ALILAMIN TERBINAFIN Terbinafin merupakan antijamur sintetik golongan alilamin yang dapat diberikan secara oral. Obat ini terutama bersifat fungisidal dan sangat aktif melawan dermatofit, tetapi kurang terhadap mold, dimorphic fungi dan yeast. Pertama kali ditemukan pada tahun 1983, digunakan di Eropa sejak tahun 1991 dan di Amerika Serikat pada tahun 1996.

11

Gambar. Struktur kimia terbinafin Mekanisme kerja Terbinafin menghambat kerja enzim squalene epoxidase (enzim yang berfungsi sebagai katalis untuk merubah squalene-2,3 epoxide) pada membran sel jamur sehingga menghambat sintesis ergosterol (merupakan komponen sterol yang utama pada membran plasma sel jamur). Terbinafin menyebabkan Hal ini mengakibatkan berkurangnya ergosterol yang berfungsi untuk mempertahankan pertumbuhan membran sel jamur sehingga pertumbuhan akan berhenti (efek fungistatik) dan dengan adanya penumpukan squalene yang banyak di dalam sel jamur dalam bentuk endapan lemak sehingga menimbulkan kerusakan pada membran sel jamur (efek fungisidal). Aktifitas spektrum Terbinafin merupakan anti jamur yang berspektrum luas. Efektif terhadap dermatofit yang bersifat fungisidal dan fungistatik untuk Candida albican, s tetapi bersifat fungisidal terhadap Candida parapsilosis. Terbinafin juga efektif terhadap Aspergillosis sp., Blastomyces dermatitidis, Histoplasma capsulatum, Sporothrix schenxkii dan beberapa dermatiaceous moulds. Farmakokinetik Terbinafin diabsorpsi di traktus gastrointestinal, mencapai konsentrasi puncak di serum berkisar 0,8-1,5 mg/L setelah pemberian 2 jam dengan 250 mg dosis tunggal. Pemberian bersama makanan tidak mempengaruhi absorpsi obat. Terbinafin bersifat lipofilik dan keratofilik, terdistribusi secara luas pada dermis, epidermis, jaringan lemak dan kuku. Konsentrasi plasma terbinafin terbagi dalam tiga fase dimana waktu paruh terbinafin yang terdistribusi di dalam plasma yaitu 1,1 jam; eliminasi waktu paruh 16 sampai 100 jam setelah pemberian 250 mg dosis tunggal; setelah 4 minggu

12

pengobatan dengan dosis 250 mg/hari waktu paruh rata-rata 22 hari. Di dalam dermisepidermis, rambut, dan kuku eliminasi waktu paruh rata-rata 24-28 hari. Terbinafin dapat mencapai stratum korneum, pertama kali melalui sebum kemudian bergabung dengan basal keratinosit dan selanjutnya berdifusi ke dermis-epidermis, tetapi terbinafin tidak terdeteksi di dalam kelenjar keringat ekrin. Terbinafin yang diberikan secara oral akan menetap di dalam kulit dengam konsentrasi di atas MIC untuk dermatofit selama 23 minggu setelah pengobatan dihentikan. Terbinafin dapat terdeteksi pada bagian distal nail plate dalam waktu 1 minggu setelah pengobatan dan kadar obat yang efektif dicapai setelah 4 minggu pengobatan. Terbinafin tetap akan dijumpai di dalam kuku untuk jangka waktu yang lama setelah pengobatan dihentikan. Terbinafin dimetabolisme di hepar dan metabolit tidak aktif akan dieksresi melalui urin sebanyak 70% dan melalui feces sebanyak 20%. Dosis Pada onikomikosis kuku tangan dan kaki dewasa yang disebabkan dermatofita, pemberian terbinafin kontinyu lebih efektif daripada itrakonazol dosis pulse. Oral terbinafin efektif untuk pengobatan dermatofitosis pada kulit dan kuku. Dosis terbinafin oral untuk dewasa yaitu 250 mg/hari, tetapi pada pasien dengan gangguan hepar atau fungsi ginjal (kreatinin klirens < 50 ml/menit atau konsentrasi serum kreatinin > 300 mol/ml) dosis harus diberikan setengah dari dosis tersebut. Pengobatan tinea pedis selama 2 minggu, tinea korporis dan kruris selama 1-2 minggu, sedangkan infeksi pada kuku tangan selama 3 bulan dan kuku kaki selama 6 bulan atau lebih. Tabel. Terbinafin dosis rejimen5 Onikomikosis Dewasa Kuku tangan : 250 mg/hr x 6 minggu Kuku kaki : 250 mg/hr x 12 minggu 250 mg/hr x 2-8 minggu Anak-anak 3-6 mg/khg/hr minggua x 6-12

Tinea kapitis

Tinea korporis, tinea kruris Tinea pedis (mokasin) Dermatitis seboroik

250 mg/hr x 1-2 minggu 250 mg/hr x 2 minggu 250 mg/hr x 4-6 minggu

Infeksi Trichophyton : 3-6 mg/kg/hr x 2-4 minggua Infeksi Microsporum : 3-6 mg/kg/hr x 6-8 minggua 3-6 mg/kg/hr x 1-2 minggu
b b

13

Dosis anak berdasarkan berat badan : 62,5 mg/hr (10-20 kg), 125 mg/hr (20-40 kg), 250 mg/hr (>40 kg). Catatan : tingkat kesembuhan tinggi dicapai dengan dosis 4,5 mg/hr atau lebih. b Tidak ada penelitian.

Efek samping Efek samping pada gastrointestinal seperti diare, dispepsia, dan nyeri abdomen. Terbinafin tidak direkomendasikan untuk pasien dengan penyakit hepar kronik atau aktif. Interaksi obat Konsentrasi terbinafin akan menurun jika diberikan bersama rifampisin. Namun kadar dalam darah dapat meningkat apabila diberikan bersama simetidin yang merupakan suatu inhibitor sitokrim P-450. KELOMPOK ANTIJAMUR POLIEN 1. Amfoterisin B Amfoterisin B merupakan antibiotik polien yang berasal dari Streptomyces nodosus, diperkenalkan pada tahun 1956 dan disetujui digunakan sebagai anti jamur pada manusia di tahun 1960. Amfoterisin B deoksikolat (formula konvensional) digunakan untuk pengobatan infeksi deep mycoses, pemberian secara parenteral sering menimbukkan efek toksik terutama pada ginjal (nefrotoksik) sehingga kemudian dikembangkan 3 jenis formula yang kurang toksik terhadap ginjal dengan dasar lipid (lipid-based formations) yaitu (1) Amfoterisin B liposomal (AmBisome), obat ini diselubungi dengan fosfolipid yang mengandung liposom. (2) Amfoterisin B lipid kompleks (Abelcet, ABLC), merupakan suatu kompleks dengan fosfolipid yang membentuk struktur seperti pita. (3) Amfoterisin B dispersi koloid (Amphocil, Amphotec, ABCD), merupakan suatu kompleks dengan kolesterol sulfat yang membentuk potongan lemak kecil.

14

Gambar . Struktur Amfoterisin B

Tabel 3.Formula lipid Amfoterisin B

Mekanisme kerja Amfoterisin B (AMB) berikatan dengan ergosterol sehingga mengakibatkan fungsi barier membran menjadi rusak, hilangnya unsur sel penting, mengganggu metabolisme jamur, serta menimbulkan kerusakan oksidatif terhadap sel jamur.

Aktifitas spektrum Amfoterisin B mempunyai aktifitas spektrum yang luas terhadap Aspergillus sp., Mucorales sp., Blastomyces dermatitidid, candida sp., Coccidiodiodes immitis, Cryptococcus neoformans, Histoplasma capsulatum, paracoccidioides brasiliensis, Penicillium marneffei. Sedangkan untuk Aspergillus tereus, Fussarium sp., Malassezia furfur, Scedosporium sp., dan Trichosporon asahii biasanya resisten.

15

Farmakokinetik Amfoterisin B sangat sedikit diserap dengan cara pemberian oral (bioavailibilitasnya < 5%) sehingga untuk tetap mempertahankan konsentrasi serum yang adekuat diberikan secara intravena. Pemberian parenteral formula konvensional dengan dosis 1 mg/kbBB akan menghasilkan konsentrasi serum yang maksimum sebanyak 1,0-2,0 mg/l. Kurang dari 10% dari dosis tersebut akan menetap di dalam darah setelah 12 jam pemberian dan > 90% akan berikatan dengan protein. Sebagian besar ditemukan di hepar (40% dari dosis), paru-paru (6% dari dosis), ginjal (2% dari dosis), sedangkan di cairan serebrospinal (CSF) < 5 % konsentrasi darah. Formula konvensional mempunyai waktu paruh fase kedua 24-48 jam dan waktu paruh fase ketiga 2 minggu. Sebagian besar struktur formula dengan dasar lemak seperti Amfoterisin B lipid kompleks (ABLC) akan menghilang dengan cepat dari dalam darah tetapi sebagian kecil liposom akan menetap di sirkulasi untuk jangka waktu yang lama. Konsentrasi serum maksimum dari liposomal amfoterisin B (AmBisome) yaitu 10-35 mg/L dengan dosis 3 mg/kbBB dan 25-60 mg/L dengan dosis 5 mg/kgBB. Kadar 5-10 mg/L dapat dideteksi setelah pemberian 24 jam dengan dosis 5 mg/kgBB. Pemberian liposomal amfoterisin B menghasilkan konsentrasi obat yang lebih tinggi di dalam hepar dan limpa dibandingkan dengan formula konvensional sedangkan konsentrasi obat pada ginjal lebih rendah dibandingkan dengan formula konvensional. Waktu paruh liposomal amfoterisin B 100-200 jam. Konsentrasi serum maksimum amfoterisin B lipid kompleks (Abelcet) setelah pemberian perenteral lebih rendah dibandingkan dengan formula konvensional sehingga distribusi obat pada jaringan lebih cepat, konsentrasi maksimum dicapai 1-2 mg/L setelah pemberian dosis 5 mg/kgBB selama 1 minggu. Pemberian amfoterisin B lipid kompleks menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi pada hepar, limpa dan paru-paru dibandingkan dengan formula konvensional, sedangkan konsentrasi pada ginjal lebih rendah dibandingkan dengan formula konvensional. Waktu paruh amfoterisin B lipid kompleks 170 jam. Konsentrasi serum maksimum amfoterisin B dispersi koloid (ABCD) sekitar 2 mg/L dengan dosis 1 mg/kbBB, tetapi kadar obat di dalam darah akan segera menurun setelah pemberian berakhir dan dijumpai distribusi obat yang cepat ke jaringan. Pemberian amfoterisin B dispersi koloid akan menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi pada hepar

16

dan limpa dibandingkan dengan formula konvensional, sedangkan konsentrasi pada ginjal lebih rendah dibandingkan dengan formula konvensional. Dosis Kebanyakan pasien dengan infeksi mikosis dalam diberikan dosis 1-2 gr amfoterisin B deoksikolat selama 6-10 minggu. Orang dewasa dengan fungsi ginjal yang normal diberikan dosis 0,6-1,0 mg/kg BB. Sebelum pemberian obat, terlebih dahulu dites dengan dosis 1 mg amfoterisin B di dalam 50 ml cairan dextrose dan diberikan selama 1-2 jam (anak-anak dengan berat badan kurang dari 30 kg diberikan dosis 0,5 mg) kemudian diobservasi dan dimonitor suhu, denyut jantung dan tekanan darah setiap 30 menit oleh karena pada beberapa pasien dapat timbul reaksi hipotensi berat atau reaksi anafilaksis. Dosis obat dapat ditingkatkan > 1mg/kgBB, tetapi tidak melebihi 50 mg. Setelah 2 minggu pengobatan, konsentrasi di dalam darah akan stabil dan kadar obat di jaringan makin bertambah dan memungkinkan obat diberikan pada interval 48 atau 72 jam. Pemberian liposomal amfoterisin B biasanya dimulai dengan dosis 1,0 mg/kg BB dapat ditingkatkan menjadi 3,0-5,0 mg.kgBB atau lebih. Formula ini harus diberikan intravena dalam waktu 2 jam, jika ditoleransi baik maka waktu pemberian dapat dipersingkat menjadi 1 jam. Obat ini berikan pada individu selama 3 bulan dengan dosis kumulatif 15 g tanpa efek samping toksik yang signifikan. Dosis yang dianjurkan adalah 3 mg/kbBB/hari. Dosis yang direkomendasikan untuk pemberian amfoterisin B lipid kompleks yaitu 5 mg/kgBB dan diberikan intravena dengan rata-rata 2,5 mg/kbBB/jam. Obat ini pernah diberikan pada individu selama 11 bulan dengan dosis kumulatif 50 g tanpa efek samping toksik yang signifikan. Dosis awal amfoterisin B dispersi koloid yaitu 1,0 mg/kgBB diberikan intravena dengan rata-rata 1 mg/kgBB/jam dan jika dibutuhkan dosis dapat ditingkatkan menjadi 3,04,0 mg/kgBB. Obat ini pernah diberikan pada individu dengan dosis kumulatif 3 g tanpa efek samping toksik yang signifikan. Efek samping Pemberian formula konvensional dengan cara intravena dapat segera menimbulkan efek samping seperti demam, menggigil dan badan menjadi kaku. Biasanya timbul setelah 1-3 jam pemberian obat. Mual dan muntah dapat juga dijumpai tetapi jarang, sedangkan efek lokal flebitis sering juga dijumpai. Efek samping toksik yang paling serius adalah kerusakan

17

tubulus ginjal. Kebanyakan pasien yang mendapat formula konvensional sering menderita kerusakan fungsi ginjal terutama pada pasien yang mendapat dosis lebih dari 0,5/kgBb/hari. Formula konvensional dapat juga menyebabkan hilangnya potasium dan magnesium. Pasien yang mendapat pengobatan lebih dari 2 minggu, dapat timbul anemia normokromik dan normositik sedang. Prevalensi timbulnya efek samping yang cepat setelah pemberian amfoterisin B lipid kompleks dan amfoterisin B dispersi koloid lebih sedikit dibandingkan dengan formula konvensional. Efek samping yang dapat dijumpai yaitu demam, menggigil dan hipoksia yang dilaporkan sekitar 25% penderita yang menggunakan obat tersebut tetapi biasanya tidak menetap. Formula dengan dasar lemak kurang menimbulkan efek samping dibandingkan formula konvensional dan dari hasil penelitian (konsentrasi serum kreatinin) menunjukkan kerusakan ginjal akibat amfoterisin B lipid kompleks sebanyak 25%, amfoterisin B dispersi koloid sebanyak 15%, amfoterisin B liposomal sebanyak 20% sedangkan formula konvensional sebanyak 30-50%. Efek samping yang lain dari formula dengan dasar lemak yaitu peningkatan kadar transaminase, alkalin fosfatase dan konsentrasi serum bilirubin. Pasien yang mendapat pengobatan liposomal amfoterisin B dijumpai tes fungsi hati yang tidak normal sekitar 2550%, tetapi biasanya tidak menetap. Interaksi obat Amfoterisin B dapat menambah efek nefrotoksik obat lain seperti antibiotik aminoglikosida, siklosporin, antineoplastik tertentu sehingga kombinasi obat tersebut harus hati-hati. Kombinasi obat amfoterisin B dengan kortikosteroid dan digitalis glikosid dapat menimbulkan hipokalemi. 2.Nistatin Nistatin merupakan antibotik yang digunakan sebagai antijamur, diisolasi dari Streptomyces nourse pada tahun 1951. Untuk pengobatan kandidiasis oral, nistatin diberikan tablet nistatin 500.000 unit setiap 6 jam. Suspensi nistatin oral terdiri dari 100.000 unit/ml yang diberikan 4 kali sehari dengan dosis pada bayi baru lahir 1 ml, infant 2 ml dan dewasa 5 ml. KELOMPOK ANTIJAMUR EKINOKANDIN

18

1.

Kaspofungin Kaspofungin merupakan derivat semi sintetik dari pneumo-candin B0 yang merupakan

fermentasi lipopeptida jamur Glarea lozoyensis. Kaspofungin efektif melawan jamur yang resisten terhadap flukonazol. Memiliki efektifitas sangat baik dan lebih aman diberikan pada infeksi Candida. Pada awal 2001, kaspofungin mendapat persetujuan FDA untuk terapi esofagitis dan orofaringeal kandida. Penelitian Mora-Duarte et al. menunjukkan bahwa kaspofungin memiliki efektifitas serupa dengan AMB konvensional untuk penatalaksanaan kandidiasis mukosa dan sistemik namun kaspofungin dapat ditoleransi dengan lebih baik oleh tubuh. 3,6,10,15 kaspofungin juga telah disetujui penggunaannya dalam aspergilosis invasif yang gagal diterapi dengan terapi AMB atau vorikonazol. Monitoring ketat penggunaan caspofungin diperlukan dalam terapi fungemia akibat C. parapsilosis untuk menghindari terjadi fungemia resisten. Mekanisme kerja Kaspofungin menghambat sintesis -(1,3)-D-glukan yang merupakan komponen dinding sel jamur.

Gambar . Struktur Kaspofungin

Aktifitas spektrum Kaspofungin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas. Kaspofungin efektif

terhadap Aspergillus fumigates, Aspergillus flavus dan Aspergillus terreus. Kaspofungin mempunyai aktifitas yang berubah-ubah terhadap Coccidioides immitis, Histoplasma

19

capsulatum dan dermatiaceous molds. Kaspofungin juga efektif terhadap sebagian besar Candida sp., dengan efek fungisidal yang tinggi, tetapi dengan Candida parpsilosis dan Candida krusei kurang efektif, dan resisten terhadap Cryptococcus neoformans. Farmakokinetik Pemberian kaspofungin secara parenteral setelah 1 jam dengan dosis 70 mg akan dicapai konsentrasi serum sebanyak 20 mg/L. Kurang dari 10% dosis obat akan menetap di dalam darah setelah pemberian 36-48 jam dan lebih dari 96% akan berikatan dengan protein. Sebagian besar obat akan didistribusikan ke dalam jaringan ( 92% dari dosis) dengan konsentrasi yang tertinggi dijumpai pada hepar. Sekitar 1% dari dosis akan dieksresi tanpa ada perubahan melalui urin. Kaspofungin dimetabolisme di hepar dan metabolit yang tidak aktif akan dibuang melalui empedu (35%) dan urin (40%). Dosis Pada pasien aspergilosis, dosis yang dianjurkan 70 mg pada hari pertama dan 50 mg/hari untuk hari selanjutnya. Setiap dosis harus diberikan intravena melalui infus dalam periode 1 jam. Pasien dengan kerusakan hepar sedang, direkomendasikan dosis kaspofungin diturunkan menjadi 35 mg. Efek samping Efek samping yang sering dijumpai yaitu demam, adanya ruam kulit, mual, muntah. Interaksi obat Pemberian kaspofungin bersama siklosporin dapat meningkatkan transaminase 2-3 kali lipat dari batas normal.
2. Mikafungin

Pada tahun 2005, mikafungin disetujui FDA untuk terapi esofagitis kandida pada pasien HIV.

Dosis Pettengell et al. melaporkan pemberian mikafungin 50-100 mg/hari menyebabkan respon total atau parsial pada 35 dari 36 pasien kandidiasis esophagus (97,2%) dan insiden

20

efek simpang hanya 2,8% (1 dari 36 pasien). Mikafungin juga bermanfaat untuk terapi aspergilosis invasif. Penelitian juga telah dilakukan untuk membandingkan efektifitas mikafungin dengan flukonazol sebagai antijamur profilaksis pada 882 pasien yang menjalani transplantasi stem sel hemopoietik. Mikafungin diberikan 50 mg/hari atau flukonazol 400 mg/hari secara acak selama enam minggu. Hasil penelitian menunjukkan respon mikafungin sebagai antijamur profilaksis lebih baik dibanding flukonazol (80% dibanding 73.5%; p = 0.025). Hasil ini konsisten terhadap semua subgroup termasuk anak dan orang tua, pasien dengan netropenia persisten dan resipien transplantasi alogenik dan autolog.
3. Anindulafungin

Anindulafungin merupakan kelompok ekinokandin yang telah disetujui FDA tahun 2006 untuk penatalaksanaan kandidiasis esophagus, peritonitis dan abses intraabdomen disebabkan kandida. Dosis Suatu penelitian terhadap 123 pasien kandidiasis invasif diacak untuk menerima sediaan 50, 75, atau 100 mg anindulafungin sekali sehari. Kriteria efikasi primer yang dinilai adalah tingkat respon klinis dan mikrobiologik pada populasi saat pengamatan lanjut dan dua minggu setelah selesai terapi. Saat pengamatan lanjut, nilai keberhasilan terapi adalah 72%, 85%, dan 83% pada kelompok 50, 75, dan 100 mg. Pada saat akhir terapi, nilai keberhasilan adalah 84%, 90%, dan 89%. Anindulafungin juga memiliki kemampuan menghambat aspergilus dan kandida yang resisten terhadap kelompok azol dan AMB. Anindulafungin tidak dimetabolisme di hati dan tidak dieliminasi melalui urin. Obat ini tidak memiliki interaksi dengan enzim sitokrom P450. Karena itu, penggunaan anindulafungin tidak memerlukan penyesuaian dosis pada pasien insufisien renal atau hepar, juga pada pasien yang menggunakan obat lain.

KELOMPOK ANTIJAMUR LAIN 1.Flusitosin

21

Flusitosin (5-fluorositosin) merupakan sintesis dari fluorinated pirimidin yang dapat diberikan secara oral maupun parenteral.

Gambar . Struktur Flusitosin

Mekanisme kerja Flusitosin masuk ke dalam sel jamur disebabkan kerja sitosin permease, kemudian diubah oleh sitosin deaminase menjadi 5-flourourasil yang bergabung ke dalam RNA jamur sehingga mengakibatkan sintesis protein terganggu. Flusitosin dapat juga thymidylate sinthetase yang menyebabkan inhibisi sintesis DNA. Aktifitas spektrumD Flusitosin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas, efektif terhadap Candida sp., Cryptococcus neoformans, Cladophialophora carrionii, Fonsecaea sp., Phialophora verrucosa. Farmakokinetik Pemberian flusitosin secara oral absorpsinya cepat dan hampir sempurna. Konsentrasi plasma puncak pada orang dewasa dengan fungsi ginjal normal sekitar 70-80 g/ml, tercapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian dosis 37,5 mg/kg. Sekitar 80% pemberian dosis dieksresikan di urin tanpa mengalami perubahan; konsentrasi di urin 200-500 g/ml. Waktu paruh 3-6 jam pada orang normal. Pada pasien gagal ginjal, waktu paruh lebih lama selama 200 jam. Konsentrasi flusitosin di CSF sekitar 65%-90% secara simultan sama dengan di dalam plasma. Flusitosin juga ditemukan dalam humour aqueus. menghambat

Dosis Pada orang dewasa dengan fungsi ginjal yang normal, pemberian flusitosin diawali dengan dosis 100 mg/kg BB perhari, dibagi dalam 4 dosis dengan interval 6 jam namun jika terdapat gangguan ginjal pemberian flusitosin diawali dengan dosis 25 mg/kgBB. Efek samping
22

Efek samping yang sering dijumpai yaitu mual,muntah dan diare. Trombositopenia dan leukopenia dapat terjadi jika konsentrasi obat di dalam darah meninggi, menetap (>100 mg/L) dan dapat juga dijumpai jika obat dihentikan. Peninggian kadar transaminase dapat juga dijumpai pada beberapa pasien tetapi dapat kembali normal setelah obat dihentikan. Interaksi obat Kerja flusitosin dapat dihambat secara kompetitif oleh sitarabin (sitosin arabinosid) sehingga pemberian flusitosin bersama sitarabin merupakan kontraindikasi, karena efek myelosupresif dan hepatotoksik flusitosin dapat bertambah jika diberikan bersama dengan imunosupresif atau sitotoksik. Pemberian zidofudin bersama flusitosin harus hati-hati oleh karena dapat menimbulkan efek myelosupresif. Kombinasi amfoterisin B dan flusitosin mempunyai efek sinergis terhadap Candida sp dan Cryptococcus neoformans namun efek nefrotoksik Amfoterisin B dapat berkurang ketika flusitosin dieksresi. 2.Griseofulvin Griseofulvin merupakan antibiotik antijamur yang berasal dari spesies Penicillium mold. Pertama kali diteliti digunakan sebagai antijamur pada tumbuhan dan kemudian diperkenalkan untuk pengobatan infeksi dermatofita pada hewan. Griseofulvin digunakan sejak tahun 1958 untuk pengobatan infeksi dermatofita pada manusia. Griseofulvin merupakan obat anti jamur yang pertama diberikan secara oral untuk pengobatan dermatofitosis.

Gambar . Struktur griseofulvin

Mekanisme kerja Griseofulvin merupakan obat antijamur yang bersifat fungistatik, berikatan dengan protein mikrotubular dan menghambat mitosis sel jamur sehingga tetap dalam fase metafase. Aktifitas spektrum Griseofulvin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas hanya untuk spesies Epidermophyton flocossum, Microsporum sp., dan Trichophyton sp., yang merupakan
23

penyebab infeksi jamur pada kulit, rambut kuku. Griseofulvin tidak efektif terhadap kandidiasis kutaneus dan pitiriasis versikolor. Farmakokinetik Pemberian griseofulvin secara oral dengan dosis 0,5-1 gr akan menghasilkan konsentrasi puncak di plasma sebanyak 1 mikrogram/ml dalam waktu 4 jam. Griseofulvin mempunyai waktu paruh di dalam plasma lebih kurang 1 hari dan sekitar 50% dari dosis oral dapat dideteksi di dalam urin dalam waktu 5 hari dan kebanyakan dalam bentuk metabolit. Griseofulvin sangat sedikit diabsorpsi dalam keadaan perut kosong. Mengkonsumsi griseofulvin bersama dengan makanan berkadar lemak tinggi dapat meningkatkan absorpsi mengakibatkan kadar griseofulvin dalam serum akan lebih tinggi. Ketika diabsorpsi, griseofulvin pertama kali akan berikatan dengan serum albumin dan distribusi di jaringan ditentukan dengan konsentrasi bebas. Selanjutnya menyebar melalui cairan transepidermal dan keringat serta akan dideposit di sel prekursor keratin kulit (stratum korneum), selanjutnya terjadi ikatan yang kuat dan menetap. Lapisan keratin yang terinfeksi akan digantikan dengan lapisan keratin baru yang lebih resisten terhadap serangan jamur. Pemberian griseofulvin secara oral akan mencapai stratum korneum setelah 4-8 jam. Griseofulvin dimetabolisme di hepar menjadi 6-dismethil griseofulvin dan akan dieksresikan melalui urin. Eliminasi waktu paruh 9-21 jam dan kurang dari 1% dari dosis akan dijumpai pada urin tanpa perubahan bentuk. Dosis Griseofulvin terdiri atas 2 bentuk yaitu microsize (mikrochryristallin) dan ultramicrosize (ultramicrochrystallin). Bentuk ultramicrosize penyerapannya pada saluran pencernaan 1,5 kali dibandingkan dengan bentuk microsize. Pada saat ini, griseofulvin lebih sering digunakan untuk pengobatan tinea kapitis. Tinea kapitis lebih sering dijumpai pada anak-anak disebabkan oleh Trychopyton tonsurans. Dosis pada anak-anak 20-25 mg/kg/hari (mikrosize), atau 15-20 mg/kg/hari (ultrasize) selama 6-8 minggu. Dosis griseofulvin (pemberian secara oral) yaitu dewasa 500-1000 mg/ hari (microsize) dosis tunggal atau terbagi dan 330-375 mg/hari (ultramicrosize) dosis tunggal atau terbagi.
10

Lama pengobatan untuk tinea korporis dan kruris selama 2-4 minggu, untuk tinea

24

kapitis paling sedikit selama 4-6 minggu, untuk tinea pedis selama 4-8 minggu dan untuk tinea unguium selama 3-6 bulan. Efek samping Efek samping griseofulvin biasanya ringan berupa sakit kepala, mual, muntah, dan nyeri abdomen. Timbulnya reaksi urtikaria dan erupsi kulit dapat terjadi pada sebagian pasien. Interaksi obat Absorpsi griseofulvin menurun jika diberikan bersama dengan fenobarbital, namun efek ini dapat diatasi dengan cara mengkonsumsi griseofilvin bersama makanan. Griseofulvin juga dapat menurunkan efektifitas warfarin. Kegagalan kontrasepsi juga ditemukan pada pasien yang mengkonsumsi griseofulvin bersasma dengan penggunaan kontrasepsi oral.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Verma S, Heffernan MD. Superficial Fungal Infection: Dermatophytosis, onychomycosis, Tinea Nigra, Piedra. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatrickss Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw-Hill.2008.p 1807-1821. Hay RJ. Deep Fungal Infections. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatrickss Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw-Hill.2008.p 1831-1844

2.

25

3. Gupta AK, Copper EA. Update in antifungal therapy of dermatophytosis. Mycopathologia (2008) 166;353-367 4. High WA, Fitzpatrick JE. Topical Antifungal Agents. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatrickss Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw-Hill.2008.p 2116-2121 Bellantoni MS, Konnikov N. Oral antifungal agents. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatrickss Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw-Hill.2008.p 2211-2217 Dismukes WE. Introduction to antifungal drugs. Clinical infectious disease 2000; 30:653-7

5.

6.

7. Ashley ES et.al. Pharmacology of systemic antifungal agents. Clinical Infectious Disease D 2006;43 (Suppl 1):28-39. 8. Gupta AK. Systemic antifungal agents. In: Wolverton ES, editor. Comprehensive dermatology drug therapy. Indianapolis, Indiana: W.B. Saunders Company;2002. Pp7599. 9. Gubbins PO, Anaissie EJ. Antifungal therapy. In: Anaissie EJ, McGinn MR, Pfaller. Clinical Mycology. 2nd Ed. China: Elsevier. 2009. p161-196 10. Bennet JE. Antimicrobial Agents: Antifungal Agents. In: Brunton LL, Lazo JS, Parker KL. Goodman & Gilman's: The Pharmacological Basis Of Therapeutics. 11th Ed. New York: Mc Graw-Hill. 2006

26

Anda mungkin juga menyukai