Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Obstruksi duktus nasolakrimalis adalah penyumbatan sistem drainase


lakrimal. Pada anak-anak sebagian besar obstruksi duktus nasolakrimalis adalah
kongenital. Obstruksi pada duktus nasolakrimalis, menyebabkan air mata tidak
dapat mengalir ke kavum nasi. Hal ini sering menimbulkan gejala epifora. Selain
gejala epifora yang sering dikeluhkan, pasien yang mengalami obstruksi pada
saluran ini, sering mengalami rekuren infeksi mata atau infeksi saluran air mata.1,2
Prevalensi terjadinya obstruksi duktus nasolakrimalis kongenital di Amerika
Serikat adalah sebesar 2-4% dari seluruh kelahiran dan sepertiganya mengalami
duktus nasolakrimal bilateral. Sebanyak 35% pasien obstruksi duktus
nasolakrimal mengalami obstruksi pada katup Hasner pada ujung duktus
nasolakrimal, 15% agenesis pungtum, 10% fistel kongenital, 5% defek
kraniofasial.6 Terdapat 90% pasien obstruksi duktus lakrimal kongenital
mengalami patensi saluran pada usia kurang dari 1 tahun namun sisanya berlanjut
hingga usia lebih dari 1 tahun.4
Obstruksi duktus nasolakrimal dapat menimbulkan beberapa komplikasi.
Komplikasi yang tersering salah satunya adalah konjungtivitis dan komplikasi
lainnya adalah dakriosistitis. Pada beberapa kasus dibutuhkan penatalaksanaan
untuk membuat saluran nasolakrimal yang paten. Komplikasi penyakitnya
membutuhkan pengetahuan dan pemahaman mengenai penegakan diagnosis dan
tatalaksana obstruksi duktus nasolakrimal kongenital.5

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Obstruksi duktus nasolakrimalis adalah penyumbatan sistem drainase
lakrimal. Pada anak-anak sebagian besar obstruksi duktus nasolakrimalis adalah
kongenital. Penyumbatan yang terjadi bisa unilateral atau bilateral.5
2.2 Epidemiologi
Prevalensi terjadinya obstruksi duktus nasolakrimalis kongenital di
Amerika Serikat adalah sebesar 2-4% dari seluruh kelahiran dan sepertiganya
mengalami duktus nasolakrimal bilateral. Sebanyak 35% pasien obstruksi duktus
nasolakrimal mengalami obstruksi pada katup Hasner pada ujung duktus
nasolakrimal, 15% agenesis pungtum, 10% fistel kongenital, 5% defek
kraniofasial. Kebanyakan duktus terbuka minggu 4-6 kelahiran. Munculnya
manifestasi klinis pada usia minggu sampai beberapa bulan. Data internasional
menyatakan angka kejadian obstruksi nasolakrimal pada anak-anak yang
mengalami Sindroma Down berkisar antara 22% - 36%.6
2.3 Embriologi
2.3.1 Aparatus sekresi
Perkembangan glandula lakrimal dimulai dari bakal ektoderm di orbita
superolateral anterior. Bagian tersebut akan bercabang membentuk duktus dan
alveoli. Glandula lakrimal masih kecil dan belum berfungsi hingga mencapai usia
6 minggu setelah lahir. Hal ini menjelaskan mengapa pada neonatus yang
menangis tidak mengeluarkan air mata.1
2.3.2 Aparatus eksresi
Di akhir minggu kelima usia kehamilan, lekukan nasolakrimal membentuk
suatu alur di antara tonjolan nasal dan maksila. Pada dasar lekukan ini, duktus
nasolakrimal berkembang dari lipatan tebal ektoderm (gambar 1A&B). Suatu zat
padat memisahkan dari batas ektoderm dan turun ke lapisan mesenkim. Cord
canalize membentuk duktus nasolakrimal dan sakus lakrimal. Kanalikulus
dibentuk dari invaginasi ektoderm yang menyambung ke distal cord. Di bagian

2
kaudal, duktus melebar ke intranasal dan berakhir pada meatus inferior (gambar
1C). Kanalisasi lengkap pada saat lahir (gambar 1D). Kegagalan pembentukan
kanal mengakibatkan obstruksi duktus nasolakrimal kongenital. Obstruksi pada
bagian akhir distal (katup Hasner) didapatkan pada 50% neonatus. Kepatenan
duktus terjadi secara spontan dalam bulan-bulan pertama kehidupan. Seperti yang
dijelaskan sebelumnya, lakrimasi belum berfungsi secara normal hingga usia 6
minggu, sehingga pengeluaran air mata yang berlebihan tidak segera diketahui
bila terjadi obstruksi.1

Gambar 1. A.Usia gestasi 5,5 minggu. B.Pada usia gestasi 6 minggu, terbentuk
lipatan tebal ektoderm padat, diantara bentuk primitif kantus medial dan hidung.
C. Usia gestasi 12 minggu, lipatan tersebut proliferasi. Kavitas tiap bagian mulai
terbentuk pada bulan ke 3 hingga ke 4. D. Bulan ke 7, kanalisasi terbentuk secara
sempurna, hanya pungtum dan katup Hasner yang belum imperforasi.(sumber :
Orbit, Eyelids and Lacrimal system.AAO Basic and Clinical Science Course)
2.4 Anatomi Sistem Lakrimalis
Sistem lakrimalis mencakup struktur-struktur yang terlibat dalam produksi
dan drainase air mata. Komponen sekresi terdiri atas kelenjar yang menghasilkan
berbagai unsur pembentuk cairan air mata, yang disebarkan di atas permukaan
mata oleh kedipan mata. Komponen sekresi sistem ini yang mengalirkan secret
ke dalam hidung terdiri atas kanalikuli, sakus lakrimalis, dan duktus
nasolakrimalis.2

3
Kompleks lakrimalis terdiri atas kelenjar lakrimal, kelenjar lakrimal
aksesorius, kanalikuli, sakus lakrimalis, dan duktus nasolakrimalis.2
A. Kelenjar lakrimal
Kelenjar lakrimal terdiri atas struktur-struktur berikut ini:
a. Bagian orbita berbentuk kenari, terletak di dalam fossa glandula lakrimalis
di segmen temporal atas anterior orbita yang dipisahkan oleh kornu
lateralis musculus levator palpebrae.
b. Bagian palpebra yang lebih kecil terletak tepat di atas segmen temporal
forniks konjungtivae superior. Duktus sekretorius lakrimal, yang bermuara
pada sekitar sepuluh lubang kecil, menghubungkan bagian orbita dan
bagian palpebrae kelenjar lakrimal dengan forniks konjungtiva superior.
B. Kelenjar lakrimal aksesorius
Kelenjar lakrimal aksesorius yang terdiri dari glandula Krause dan
Wolfring) terletak di dalam substansia propria di konjungtiva palpebrae.
C. Kanalikuli, sakus lakrimalis dan duktus nasolakrimalis
Air mata mengalir dari lacus lakrimalis melalui pungtum superius dan
inferius dan kanalikuli ke sakus lakrimalis, yang terletak di dalam fossa
glandula lakrimalis. Duktus nasolakrimalis berlanjut ke bawah dari sakus dan
bermuara ke meatus inferior rongga hidung, lateral terhadap turbinatus
inferior. Air mata diarahkan ke dalam pungtum oleh isapan kapiler, gravitasi
dan kedipan palpebra. Kombinasi kekuatan isapan kapiler dalam kanalikuli,
gravitasi, dan aktivitas memompa otot Horner- perluasan muskulus orbicularis
oculi ke belakang sakus lakrimalis akan meneruskan aliran air mata ke bawah
melalui duktus nasolakrimalis ke dalam hidung.

4
Gambar 2. Anatomi Sistem Lakrimalis (sumber :Mansmed,2010)

Gambar 3. Katup Hasner (sumber : Katherine A. Lee M.D., Ph.D et al, 2017)
2.5 Fisiologi Sistem Lakrimasi
2.5.1 Sistem Lakrimasi
Air mata melewati empat proses yaitu produksi dari aparatus atau sistem
sekretori lakrimalis, distribusi oleh berkedip, evaporasi dari permukaan okular,
dan drainase melalui aparatus atau sistem ekskretori lakrimalis. Abnormalitas
salah satu saja dari keempat proses ini dapat menyebabkan mata kering.4
2.5.2 Sistem Sekresi Air Mata
Volume terbesar air mata dihasilkan oleh kelenjar lakrimal yang terletak di
fossaa glandula lakrimalis di kuadran temporal atas orbita. Kelenjar yang
berbentuk kenari ini dibagi oleh kornu lateral aponeorosis levator menjadi lobus
orbita yang lebih besar dan lobus palpebra yang lebih kecil. Masing-masing
dengan sistem duktulusnya yang bermuara ke forniks temporal superior. Lobus

5
palpebra kadang-kadang dapat dilihat dengan membalikan palpebra superior.
Persarafan kelenjar utama datang dari nukleus lakrimalis di pons melalui nervus
intermedius dan menempuh suatu jaras rumit cabang maksilaris nervus
trigeminus. Denervasi adalah konsekuensi yang sering terjadi pada neuroma
akustik dan tumor-tumor lain di sudut cerebellopontin.2
Kelenjar lakrimal aksesorius, meskipun hanya sepersepuluh dari massa
kelenjar utama, mempunyai peranan penting. Struktur kelenjar Krause dan
Wolfring identik dengan kelenjar utama, tetapi tidak memiliki ductulus. Kelenjar-
kelenjar ini terletak di dalam konjungtiva, terutama di forniks superior. Sel-sel
goblet uniseluler, yang juga tersebar di konjungtiva. Mensekresi glikoprotein
dalam bentuk musin. Modifikasi kelenjar sebasea meibom dan zeiss di tepian
palpebra. Memberi lipid pada airmata. Kelenjar Moll adalah modifikasi kelenjar
keringat yang juga ikut membentuk film air mata.2
Sekresi kelenjar lakrimal dipicu oleh emosi atau iritasi fisik dan
menyebabkan airmata menngalir berlimpah melewati tepian palpebra (epifora).
Kelenjar lakrimal aksesorius dikenal sebagai “pensekresi dasar”. Sekret yang
dihasilkan normalnya cukup untuk memelihara kesehatan kornea. Hilangnya sel
goblet berakibat mengeringnya kornea meskipun banyak air mata dari kelenjar
lakrimal.2
2.5.3 Sistem Ekskresi Air Mata
Sistem ekskresi terdiri atas pungtum, kanalikuli, sakus lakrimalis, dan
duktus nasolakrimalis. Setiap berkedip, palpebra menutup mirip dengan risleting –
mulai di lateral, menyebarkan air mata secara merata di atas kornea, dan
menyalurkannya ke dalam sistem ekskresi pada aspek medial palpebra. Setiap kali
mengedip, muskulus orbicularis okuli akan menekan ampula sehingga
memendekkan kanalikuli horizontal. Dalam keadaan normal, air mata dihasilkan
sesuai dengan kecepatan penguapannya, dan itulah sebabnya hanya sedikit yang
sampai ke sistem ekskresi. Bila memenuhi sakus konjungtiva, air mata akan
masuk ke pungtum sebagian karena hisapan kapiler.2
Dengan menutup mata, bagian khusus orbikularis pre-tarsal yang
mengelilingi ampula mengencang untuk mencegahnya keluar. Secara bersamaan,

6
palpebra ditarik ke arah krista lakrimalis posterior, dan traksi fascia mengelilingi
sakus lakrimalis berakibat memendeknya kanalikulus dan menimbulkan tekanan
negatif pada sakus. Kerja pompa dinamik mengalirkan air mata ke dalam sakus,
yang kemudian masuk melalui duktus nasolakrimalis – karena pengaruh gaya
berat dan elastisitas jaringan – ke dalam meatus inferior hidung. Lipatan-lipatan
mirip-katup dari epitel pelapis sakus cenderung menghambat aliran balik air mata
dan udara. Yang paling berkembang di antara lipatan ini adalah “katup” Hasner di
ujung distal duktus nasolakrimalis.2
Berikut adalah ilustrasi dari sistem ekskresi air mata yang berhubungan
dengan fungsi gabungan dari muskulus orbikularis okuli dan sistem lakrimal
inferior.

Gambar 4. Sistem Sekresi Airmata (Wagner et al, 2006)


2.5.4 Air Mata
Airmata membentuk lapisan setebal 7-10 µm yang menutupi epitel kornea
dan konjungtiva. Fungsi lapisan ultraitipis ini adalah (1) membuat kornea menjadi
permukaan optik yang licin dengan meniadakan ketidakteraturan minimal di
permukaan epitel ; (2) membasahi dan melindungi permukaan epitel kornea dan
konjungtiva yang lembut ; (3) menghambat pertumbuhan mikroorganisme dengan
pembilasan mekanik dan efek anti mikroba; dan (4) menyediakan kornea berbagai
subtansi nutrien yang diperlukan.2
Volume airmata normal diperkirakan 7 ± 2 µL di setiap mata. Albumin
mencakup 60% dari total protein airmata; sisanya globulin dan lisozim yang
berjumlah sama banyak. Terdapat imunoglobulin IgA, IgG, dan IgE. Yang paling
banyak adalah IgA yang berbeda dari IgA serum karena bukan berasal dari

7
transudat serum saja; IgA juga diproduksi sel-sel plasma di dalam kelenjar
lakrimal. Pada keadaan alergi tertentu, seperti kongjungtivitis vernal, konsentrasi
IgE dalam cairan airmata meningkat. Lisozim airmata menyusun 21-25% protein
total – bekerja secara sinergis dengan gamma globulin dan faktor anti bakteri non-
lisozim lain-membentuk mekanisme pertahanan penting terhadap infeksi. Enzim
airmata lain juga bisa berperan dalam diagnosis berbagai kondisi tertentu, mis-.,
eksoseaminidase untuk diagnosis penyakit Tay-Sachs.2
K+, Na+, dan Cl- terdapat dalam konsentrasi lebih tinggi dalam air mata
dari dalam plasma. Air mata juga mengandung sedikit glukosa (5 mg/dL) dan urea
(0,04 mg/dL) dan perubahannya dalam konsentrasi darah akan diikuti perubahan
konsentrasi glukosa dan urea air mata. pH rata-rata air mata adalah 7,35, meski
ada variasi normal yang besar (5,20-8,35). Dalam keadaan normal, cairan air mata
adalah isotonik. Osmolalitas film air mata bervariasi dari 295 sampai 309
mosm/L.2
2.6 Etiologi dan Klasifikasi
Penyebab paling sering (50%) adalah kegagalan dari membran di ujung
duktus nasolakrimal (katup Hasner) membuka pada saat kelahiran. Penyebab
lainnya adalah tidak ada pungtum pada kelopak mata atas dan bawah, stenosis,
infeksi dan tulang hidung yang mengobstruksi saluran air mata saat memasuki
hidung.5
Etiologi dari obstruksi duktus nasolakrimal kongenital dapat dipisahkan
menjadi sistem atas (pungtum, kanalikuli, kanalikuli komunis) dan yang
melibatkan sistem dibawahnya (sakus lakrimal dan duktus nasolakrimalis).
Penyebabnya adalah embriogenesis yang abnormal dengan kegagalan
pembentukan kantung pada saat membran embrio atau striktur yang membatasi
perkembangan normal dari aparatus nasolakrimal. Beberapa pendapat mengatakan
lokasi yang paling sering adalah pada saat pembukaan duktus nasolakrimal
kedalam meatus inferior. Pendapat lainnya yaitu dari Sevel yang menunjukkan
bahwa 60% - 70% kasus pada janin tidak mengalami pembukaan antara duktus
nasolakrimal dan meatus inferior, kejadian ini didukung dengan adanya kerusakan
pada mukosa dan epitel yang menyebabkan obstruksi, mengingat pada membran

8
tersebutlah dijadikan sebagai saluran pada beberapa bulan setelah kelahiran
sehingga aliran air mata mengalami ganguan karena adanya embriogenesis yang
abnormal dan kelainan anatomi. Perkembangan sistem nasolakrimal dimulai pada
tahap 6 minggu dari perkembangan embrio. 7
Obstruksi duktus nasolakrimal terbagi menjadi dua berdasarkan usia terjadinya :
1. Obstruksi duktus nasolakrimal kongenital
Sistem nasolakrimal berkembang sebagai tabung yang solid yang
kemudian mengalami kanalisasi dan paten tepat sebelum cukup bulan. Obstruksi
duktus nasolakrimal kongenital (CLDO) adalah gangguan patensi duktus
nasolakrimal yang didapatkan semenjak dari lahir. Ujung distal duktus
nasolakrimal bisa tetap imperforata sehingga menyebabkan mata berair. Sekitar
6% bayi mengalami pengeluaran air mata walau saat tidak menangis.
Penyebab tersering (50%) dari obtruksi duktus nasolakrimal kongenital
adalah kegagalan dari membran di ujung duktus nasolakrimal (katup Hasner)
untuk membuka pada atau mendekati kelahiran.14
Penyebab lainnya adalah tidak ada punctum pada kelopak mata atas dan
bawah, stenosis, infeksi, dan tulang hidung yang mengobstruksi saluran air mata
saat memasuki hidung.12
Obstruksi kanalikuli menyebabkan sebagian kumpulan air mata dalam
sakus lakrimal dapat terinfeksi dan menimbulkan mukocelle atau mengakibatkan
drakiosistitis. Kebanyakan obstruksi menghilang pada tahun pertama kehidupan
namun jika epifora masih terjadi setelah tahun pertama kehidupan dapat dilakukan
patensi dengan melewatkan suatu probe melalui pungtum ke duktus lakrimalis
untuk melubangi membran yang tertutup (probing).
2. Obstruksi duktus nasolakrimal didapat
Obstruksi duktus nasolakrimalis didapat terbagi menjadi dua, yakni primer
dan sekunder. Obstruksi duktus nasolakrimalis primer adalah keadaan obstruksi
duktus yang disebabkan inflamsi atau fibrosis tanpa faktor yang mendasarinya.
Penyebab obstruksi duktus nasolakrimalis antara lain :8

9
1. Infeksi, dapat disebabkan bakteri, virus, parasit, dan jamur.
a. Bacteria : Actinomyces, Propionibacterium, Fusobacterium,
Bacteroides, Mycobacterium, Chlamydia species, Nocardia,
Enterobacter, Aeromonas, Treponema pallidum, dan
Staphylococcus aureus.
b. Virus : herpes simplex, herpes zoster, chickenpox, epidemic
keratoconjunctivitis
c. Jamur : Aspergillus, Candida, Pityrosporum, and Trichophyton.
d. Parasit : Ascaris lumbricoides.
2. Inflamasi baik yang bersifat endogen maupun eksogen.
a. Endogen: Wegener granulomatosis, sarcoidosis, cicatricial
pemphigoid, sinus histiocytosis, Kawasaki disease,
danscleroderma.
b. Eksogen : obat tetes mata, radiasi, kemoterapi sistemik,
transplantasi sum-sum tulang.
3. Neoplasia, baik yang bersifat primer, sekunder, atau metastatic.
a. Neoplasma primer, misalnya tumor pada puncta, canaliculi,
lacrimal sac, atau nasolacrimal duct.
b. Neoplasma sekunder atau tumor akibat penyebaran tumor di
sekitar strktur anatomi, misalnya kanker kelopak mata contohnya
basal cell carcinoma, squamous cell carcinoma.
c. Penyebaran metastatik jarang terjadi namun pernah dilaporkan
misalnya kanker payudara atau prostat.
4. Traumatik.15
a. Iatrogenic : scar yang timbul akibat pembedahan misalnya pada
probing saluran lakrimal, dekompresi orbita, paranasal, nasal,
craniofacial.
b. Non-iatrogenik.
5. Mekanik.15
a. Benda asing intraluminal merupakan penyumbatan akibat benda
asing di dalam saluran air mata seperti dacryolith,

10
b. Kompresi dari luar adanya benda saing diluar menghambat
pengeluaran air mata dari salurannya misalnya rhinolith, benda
asing di hidung, mucocelle.
2.7 Patofisiologi
Obstuksi duktus nasolakrimalis primer lebih tinggi pada wanita dan pada
usia lanjut. Hal ini disebabkan anatomi fossa lakrimal bagian bawah dan duktus
nasolakrimal bagian tengah. Terdapat perubahan dimensi anteroposterior pada
tulang canal nasolakrimal pada pasien osteoporosis. Hal lain yang mempengaruhi
terjadinya obstruksi adalah fluktuasi hormon, menstruasi, dan sistem imun.
Perubahan hormon menyebabkan perubahan secara general re-epitelisasi di tubuh
termasuk di sakus dan duktus nasolacrimal.8
Obstruksi duktus nasolakrimal sekunder, disebabkan karena infeksi,
inflamasi, mekanikal, tumor, trauma. Bakteri seperti Actinomyces,
Propionibacterium, Fusobacterium, Bacteriodes, Mycobacterium, Chlamydia.
Pada infeksi virus, obstruksi disebabkan kerusakan substansia propia dari jaringan
elastis kanalikuler dan atau perlekatan baris membran epitel kanalikuli. Jamur
juga dapat menimbulkan sumbatan melalui sumbatan batu, atau dacryolith. Parasit
jarang menimbulkan obstruksi namun pernah dilaporkan Ascaris lumbricoides
memasuki sistem lakrimal melalui katup Hasner.8
Inflamasi endogen yang menyebabkan obstruksi seperti granulomatosis,
sarcoidosis, pemphigoid. Inflamasi eksogen yang menimbulkan obstruksi antara
lain obat tetes mata, radiasi, kemotherapy sistemik.8
2.8 Manifestasi Klinis
Beberapa hal yang menjadi manifetasi klinis obstruksi duktus
nasolakrimal antara lain:8
1. Epifora.
2. Iritasi.
3. Pandangan kabur yang disebabkan penambahan meniskus air mata.
4. Dacryosistitis, konjungtivitis, pemphigus okular yang bersifat rekuren.
5. Sisi medial kantus yang nyeri dan bengkak.

11
Tanda-tanda dapat timbul beberapa hari atau beberapa minggu setelah
lahir dan sering bertambah berat karena infeksi saluran pernapasan atas atau
karena pemajanan atas suhu dingin atau angin.
Penyumbatan karena tidak sempurnanya sistem nasolakrimalis biasanya
menyebabkan pengaliran air mata yang berlebihan ke pipi (epifora) dari salah satu
ataupun kedua mata (lebih jarang) pada bayi berumur 3-12 minggu.
Penyumbatan ini biasanya akan menghilang dengan sendirinya pada usia 6 bulan,
sejalan dengan perkembangan sistem nasolakrimalis.
2.9 Diagnosis
Diagnosis obstruksi duktus nasolakrimalis ditegakkan dengan gejala
klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Tanda-tanda dapat timbul
beberapa hari atau beberapa minggu setelah lahir dan sering bertambah berat
karena infeksi saluran pernafasan atas atau karena pemajanan terhadap suhu
dingin atau angin. Manifestasi obstruksi duktus nasolakrimal yang lazim adalah
mata berair hingga sampai banjir air mata yang jelas (epifora), penimbunan cairan
mukoid atau mukopurulen, dan kerak. Mungkin ada eritema atau maserasi kulit
karena iritasi dan gesekan yang disebabkan oleh tetes-tetes air mata dan cairan.5,8
Pada banyak kasus refluks cairan jernih atau mukopurulen dapat
dihilangkan dengan pemijatan sakus nasolakrimal, yang membuktikan adanya
obstruksi terhadap aliran. Bayi dengan sumbatan duktus nasolakrimal dapat
mengalami infeksi akut dan radang sakus nasolakrimal (dakriosistitis), radang
jaringan sekitarnya (perisistitis), atau bahkan selulitis periorbita. Pada
dakriosistitis daerah sakus bengkak, merah dan nyeri, dan mungkin ada tanda
sistemik infeksi seperti demam dan iritabilitas.5
Pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis antara lain:
1. Pemeriksaan yang dilakukan antara lain adalah pemeriksaan sistem lakrimal:9
a. Uji Anel
Uji Anel dilakukan untuk mengetahui fungsi ekskresi dalam sistem
lakrimal. Dominique Anel, seorang ahli bedah Prancis yang pertama kali
menggunakan cara ini. Anestesia topikal diberikan dan dilakukan dilatasi
pungtum lakrimal. Jarum anel dimasukan ke dalam pungtum dan

12
kanalikuli lakrimal, dan dilakukan penyemprotan dengan garam fisiologik.
Kemudian tanyakan apakah pasien merasa cairan masuk ke
tenggorokannya, atau dilihat apakah ada refleks menelan pada pasien. Bila
ditemukan tanda-tanda tersebut, maka menunjukan fungsi ekskresi
lakrimal masih baik. Bila tidak, maka kemungkinan terjadi penyumbatan
pada duktus nasolakrimal.

Gambar 5. Uji Anel


Sumber: Manual for Eye Examination and Diagnosis 7th Edition
b. Uji Rasa
Uji rasa dilakukan untuk fungsi ekskresi lakrimal. Satu tetes larutan
sakarin diteteskan pada konjungtiva. Bila pasien merasa ada rasa manis
setelah 5 menit berarti sistem ekskresi masih baik.
c. Uji Schirmer I
Merupakan pemeriksaan sekresi total air mata (refleks dan basal).
Penderita diperiksa di kamar penerangan redup dan tidak mengalami
manipulasi mata berlebihan sebelumnya. Sepotong kertas filter/kertas filter
Whatman no.41 lebar 5 mm dan panjang 30 mm diselipkan pada forniks
konjungtiva bulbi bawah, ujung kertas lain menggantung pada bagian
kertas yang terjepit pada forniks inferior tersebut. Bila setelah 5 menit
kertas tidak basah menunjukan air mata berkurang. Uji ini untuk menilai
kuantitas (bukan kualitas) air mata. Jadi tidak berhubungan dengan kadar
musin yang dikeluarkan oleh sel goblet. Bila setelah 5 menit seluruh filter
basah maka ini tidak banyak nilainya karena refleks mungkin terlalu

13
kuat.Bila bagian yang basah kurang dari 10 mm, berarti fungsi sekresi air
mata terganggu,bila lebih dari 10 mm berarti hipersekresi atau
pseudoepifora.

Gambar 6. Uji Schirmer I


Sumber: http://www.eyerounds.org/atlas/photos/Schirmer-test.jpg
d. Uji Schirmer II
Untuk mengetahui refleks sekresi lakrimal, dilakukan uji schirmer II. Uji
ini dilakukan bila pada uji Schirmer I kertas basah kurang dari 10 mm
setelah 5 menit, dinilai apakah hal ini disebabkan hambatan kelelahan
sekresi atau kurangnya fungsi dari refleks sekresi. Pada 1 mata diteteskan
anestesi topikal dan diletakkan kertas Schimer. Hidung dirangsang dengan
kapas selama 2 menit. Dilihat basahnya kertas filter setelah 5 menit.Bila
tidak basah berarti refleks sekresi gagal total. Pada keadaan normal kertas
filter akan basah 15 mm setelah 5 menit.
2. Tes Regurgitasi.2
Pada tes regurgitasi, dilakukan pijatan pada sakus lakrimalis, hasil
positif jika ditemukan adanya refkluks mukoid yang mengindikasikan adanya
obstruksi pada saluran bawah.

14
Gambar 7. Tes Regurgitasi.
Sumber: http://emedicine.medscape.com
3. Pemeriksan pungtum dan eksternal mata dengan slitlamp.
Ukur ketinggian vertikal meniskus air mata sebelum diberi tetes mata.
Ketika memeriksa meniscus air mata, singkirkan blepharitis, mata kering dan
penyakit eksternal lain, sebagai penyebab hipersekresi dan peninggian
meniskus air mata. Jika didapatkan ketinggian meniskus lebih dari 2
milimeter, maka terdapat obstruksi pada duktus nasolakrimalis.8
4. Fluorescein Dye Retention Test (FDRT)
Fluorescein Dye Retention Test (FDRT) ini merupakan pemeriksaan
semi kuantitatif untuk aliran air mata yang lambat dan terobstruksi. Juga
disebut dengan fluorescein dye disappearance test. Teteskan satu tetes
fluorescein 2% ke sakus konjungtiva tanpa anestesi sebelumnya. Catat
jumlah warna yang tertinggal setelah 3 dan 5 menit pada satu atau kedua
mata dan intensitas pewarnaan yang tertinggal (residual) dinilai. Pemeriksaan
bernilai positif jika ada fluorescein residual. Pewarna (dye) biasanya keluar
dari sistem pada waktu 3 – 5 menit. Jika ada obstruksi, pemeriksaan FDRT
positif. Negatif palsu bisa didapatkan sekiranya sakus lakrimal yang besar
atau mukokel, atau sumbatan distal duktus nasolakrimal di mana pewarna
bisa terkumpul di sakus atau duktus.8

15
Gambar 8. Fluorescein Dye Retention Test (FDRT)
Sumber: Manual for Eye Examination and Diagnosis 7th Edition
2.10 Diagnosis Banding
Diagnosa banding dari obstruksi duktus nasolacrimal kongenital, antara
lain:12
a. Acute conjunctivitis
b. Glaucoma
c. Dacryocele
d. Anomali kongenital sistem drainase lacrimal atas (punctal atau canalicular
atresia atau agenesis)
e. Entropion dan triachiasis
2.11 Penatalaksanaan
Pada kebanyakan kasus ostruksi duktus nasolakrimal kongenital, dapat
terjadi resolusi spontan dalam tahun pertama kehidupan. Namun, pada beberapa
kasus lainnya, resolusi tidak juga terjadi, sehingga dibutuhkan beberapa
penanganan untuk menatalaksana obstruksi ini.
Beberapa pilihan penatalaksanaan obstruksi duktus nasolakrimal
kongenital adalah sebagai berikut :
2.11.1 Medical Therapy
Massage daerah lakrimal menjadi pilihan pertama. Massage dengan tekanan
pada pangkal hidung ke arah inferior dilakukan satu sampi 2 menit tiap hari. Bila

16
dalam jangka waktu 3 bulan tidak menunjukkan perbaikan maka irigasi berulang
merupakan langkah berikutnya yang dilakukan sampai anak berusia satu tahu.
Batas usia ini tidak mutlak. Apabila tanda radang tidak ada maka irigasi dapat
dilanjutkan sampai anak berusia dua tahun.10
2.11.2 Surgery
1. Intubasi tabun silikon dan dakriositorinostomi
Suatu tindakan yang lebih agresif berupa intubasi tabung silikon dapat
dilakukan antara usia dua tahun dengan pembiusan umum. Jika tidak berhasil,
merupakan indikasi dilakukannya tindakan pembedahan yaitu Ballon
dacryocystoplasty ataupun dakriorinostomi.

Gambar 9. Dakriosistorhinostomi (sumber: Kanski Clinical Ophthalmology 6th ed)

2. Ballon dacryocystoplasty
Ballon dacryocystoplasty biasa digunakan pada anak dengan obstruksi
duktus nasolakrimalis kongenital dan pada dewasa dengan obstruksi duktus
nasolakrimalis partial. Jika terjadi peradangan pada konjungtiva diberikan obat
tetes mata yang mengandung antibiotik.10
Menurut Panduan Manajemen Klinis Perhimpunan Dokter Spesialis Mata
Indonesia (PERDAMI) penatalaksanaan obstruksi duktus nasolakrimal kongenital
adalah sebagai berikut : 11
A. Pelayanan Kesehatan Mata Primer (PEC)
- Bila bayi dibawah 3 bulan, beri tetes antibiotik topikal selama 5-7 hari.

17
- Pengasuh dan/atau orang tuanya diberitahu cara melakukan pemijatan
pada sakus lakrimal
- Bila bayi sudah berumur diatas 3 bulan dan mata masih berair dan ada
secret, rujuk ke SEC
B. Pelayanan Kesehatan Mata Sekunder (SEC)
- Bila bayi sudah berumur diatas 3 bulan, lakukan irigasi dari pungtum
lakrimal superior/inferior agar membran Hassner terbuka.
- Beri tetes antibiotika dengan steroid selama 3-5 hari.
- Bila setelah dilakukan 3 kali tindakan diatas berturut-turut tiap 2 minggu
tetapi masih berair dan banyak sekret, lakukan probing dalam anestesi
umum.
- Bila tes Anel masih menunjukkan regurgitasi, lakukan pematahan konka
inferior.
- Bila setelah dilakukan tindakan diatas mata masih berair dan banyak
sekret, rujuk ke pelayanan kesehatan mata tersier.
C. Pelayanan Kesehatan Mata Tertier (TEC)
- Bila sakus belum dilatasi, lakukan probing pematahan konka inferior.
- Bila sakus sudah dilatasi akan tetapi sekret masih banyak, lakukan
dakriosistorhinostomi.
- Bila terdapat kelainan pada kanalikulus atau mukosa hidung tidak dapat
dijahit dengan dinding sakus sewaktu dilakukan operasi, pasang selang
silikon lakrimal.
- Sesudah operasi beri antibiotik oral, antibiotik dengan steroid tetes mata,
analgetika, dan dekongestan tetes hidung.
- Antikoagulan diberikan jika perlu.
- Selang silikon diangkat 2-3 bulan sesudah operasi.
2.12 Prognosis
Pada obstruksi duktus nasolakrimal kongenital, jarang terjadi komplikasi
serta kanalisasi spontan pada usia kurang dari 1 tahun sering terjadi (95%).13
Namun, apabila tidak terjadi kanalisasi spontan, dilakukan prosedur tindakan

18
bedah misalnya dracyocystorhinostomy dan endoskopi laser
dracryocystorhinostomy yang angka kesembuhan bisa mencapai 90%.8
2.13 Komplikasi
Komplikasi obstruksi duktus nasolakrimal antara lain:12
 Perdarahan yang berlebihan (epistaksis)
 Dermatitis (pada kelopak mata)
 Infeksi luka
 Pengangkatan tabung / stent secara tidak sengaja oleh pasien
 Dracyocystitis

19
BAB III
KESIMPULAN

Obstruksi duktus nasolakrimalis adalah penyumbatan sistem drainase


lakrimal. Pada anak-anak sebagian besar obstruksi duktus nasolakrimalis adalah
kongenital. Penyumbatan yang terjadi bisa unilateral atau bilateral.5 Beberapa hal
yang menjadi manifetasi klinis obstruksi duktus nasolakrimal antara lain, epifora,
iritasi, pandangan kabur yang disebabkan penambahan meniskus air mata,
dacryosistitis, konjungtivitis, pemphigus okular yang bersifat rekuren, sisi medial
kantus yang nyeri dan bengkak6. Pada obstruksi duktus nasolakrimal kongenital,
jarang terjadi komplikasi serta kanalisasi spontan pada usia kurang dari 1 tahun
sering terjadi (95%).4 Namun, apabila tidak terjadi kanalisasi spontan, dilakukan
prosedur tindakan bedah misalnya dracyocystorhinostomy dan endoskopi laser
dracryocystorhinostomy yang angka kesembuhan bisa mencapai 90%.6

20
DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Ophthalmology. Section 7: Orbit, Eyelids, and Lacrimal


System. Basic and Clinical Science Course. San Fransisco:AAO;2009.p.259-
272
2. Vaughan, D.G., Asbury, T. and Riordan-Eva, P., 2009. Oftalmologi umum.
Edisi, 17. Jakarta: EGC; 2009:h.18-89.
3. MansMed Media Center [homepage on the internet]. Anatomy of The Lacrimal
system [updated 2010 September; cited: 2015 Sep 21]. Available from:
http://media.mansmed.com/details.php?image_id=34
4. Kanski, J.J. and Bowling, B., 2011. Lacrimal drainage System. Clinical
ophtalmology Sixth Edition. Philadelphia: Elsevier; 2011.p.151-160
5. Lee, K.A., Chandler, D.L., Repka, M.X., Beck, R.W., Foster, N.C., Frick,
K.D., Golden, R.P., Lambert, S.R., Melia, M., Tien, D.R. and Weakley Jr,
D.R., 2012. A randomized trial comparing the cost-effectiveness of 2
approaches for treating unilateral nasolacrimal duct obstruction. Archives of
ophthalmology, 130(12), p.1525.
6. Mounir B. Congenital anomalies of the nasolacrimal duct clinical presentation.
2009 (dikutip dari : http://emedicine.medscape.com/article/1210252-overview,
29 Desember 2017)
7. Katowitz, W.R. and Katowitz, J.A., 2006. Congenital etiologies of lacrimal
system obstructions. The Lacrimal System, p.35 - 42.
8. Worak SR. Obstruction Nasolakrimal Duct Clinical Presentation. 2016.
[diakses 29 Desember 2017].
(dikutip dari: http://emedicine.medscape.com /article/1210141-clinical#b4.)
9. Ilyas, S. and Yulianti, S.R., 2012. Ilmu Penyakit Mata, Edisi 3. Balai Penerbit
FKUI, Jakarta. pp. 24-25.
10. Takahashi, Y., Kakizaki, H., Chan, W.O. and Selva, D., 2010. Management of
congenital nasolacrimal duct obstruction. Acta ophthalmologica, 88(5), pp.506-
513.

21
11. Gondhowiardjo, T.D. and Simanjuntak, G.W.S., 2006. Panduan Manajemen
Klinis PERDAMI. Jakarta: PP PERDAMI, 34. p. 79-80.

12. Katherine A. Lee M.D., Ph.D., Aaron M. Miller, MD, MBA, FAAP., Alex
Kozak., Anand Kuma.r, MS, Brad H. Feldman, M.D., Cat Nguyen Burkat, MD
FACS., K. David Epley, M.D., Katherine A. Lee M.D., Ph.D and Marcus M.
Marcet, MD., 2017. Nasolacrimal Duct Obstruction, Congenital. American
Academy of Ophthalmology

13. Camara. 2010. Nasolacrimal Duct Obstruction. (Dikutip dari :


http://emedicine.medscape.com/article/1210141-overview , 11 Juli 2010)

14. Sadri, I., 2003. Uji Schirmer I Sebelum dan Sesudah 2 Jam Menggunakan
Komputer (Master's thesis).

15. Tanweer F, Mahkamova K, Harkness P. Nasolacrimal duct tumours in the era


of endoscopic dacryocystorhinostomy: literature review. J Laryngol Otol. 2013
Jul. 127 (7):670-5.

22

Anda mungkin juga menyukai